Mas Attala tampak terkejut saat aku mengatakan kecurigaanku kepadanya. "Rania, tenangkan dirimu, jangan biarkan emosi menguasai pikiranmu. Aku dan Anita hanya membahas masalah pekerjaan, kami tidak melakukan apa-apa yang tidak semestinya," ungkapnya dengan tegas."Benarkah? Tetapi sikapnya tampak jauh dari profesional, seolah-olah dia sedang merayumu, Mas, mana ada dia bersikap profesional, jika pakaiannya saja seperti itu, seolah memancing hawa nafsu lelaki," kataku, menatap wajah Anita dengan penuh curiga.Aku tahu bahwa Mas Attala bisa merasakan kegundahan hatiku, dan dia akhirnya mencoba untuk memberikan penjelasan kepadaku."Rania, aku mohon, jangan berpikiran buruk tentang diriku. Aku tidak tertarik pada Anita, meskipun dia berusaha untuk menarik perhatianku, hingga saat ini aku pun tidak tertarik dengan dirinya," ujar Mas Attala, berusaha menenangkan perasaanku. Aku mulai merasa agak lega, tapi tetap sulit untuk mengusir rasa cemburu ini sepenuhnya.Dengan perlahan, aku menari
Aku melihat reaksi Mas Attala, terpana mendengar kabar kehamilan yang baru saja ku sampaikan kepadanya. "Apa? Kamu hamil?" tanyanya dengan tatapan tidak percaya. Aku mengangguk mantap, menyodorkan bukti tespack kepadanya sebagai bukti nyata. "Iya Mas, aku hamil anakmu," ucapku dengan penuh kebahagiaan. Melihat bukti tespack itu, senyuman bahagia segera terukir di wajah Mas Attala. Dia langsung memelukku erat, seperti tak mampu menahan perasaan bahagianya. "Alhamdulillah, Ra. Akhirnya kita mendapatkan amanah dengan diberikan calon buah hati. Mas sangat bersyukur dan bahagia. Jadi, tadi kau merasa tidak enak badan dan mual-mual karena tanda-tanda kehamilan?" tanya Mas Raka, masih dengan ekspresi takjub di wajahnya. "Mungkin iya, Mas. Bi Ima bilang gejala yang aku rasakan seperti tanda-tanda hamil, lalu dia menyarankanku memeriksanya ke klinik. Di sana, dokter menyuruhku tes kehamilan dengan tespack. Alhamdulillah, benar-benar tak menyangka kita diberikan kepercayaan oleh Allah unt
Aku terkejut melihat Mas Raka yang tampak sangat marah saat dia menyaksikan diriku dicium oleh Mas Arif."Mas Raka, ini bukan seperti yang kamu pikirkan," kataku sambil panik mendorong tubuh Mas Arif menjauh dariku.Dalam hati, aku merasa campur aduk. Aku begitu ingin menjelaskan bahwa ini adalah perangkap yang dibuat oleh Mas Arif, tetapi kata-kata itu terasa terlalu sulit untuk diungkapkan saat ini.Tak tahu malu, Mas Arif malah tampak santai saat menyaksikan kekacauan yang ia buat, ia tampak tak pedulikan tatapan kemarahan Mas Raka saat itu."Apa yang ada di benak orang ini? Kenapa dia begitu santai dan seolah tak hiraukan apa yang sedang terjadi," gumamku kesal dalam hati.Sementara itu, wajah Mas Raka semakin memerah marah saat ia menatap Mas Arif yang asyik mengusap bibir basahnya dengan ibu jarinya."Bagaimana kau berani menyentuh istriku, sopir yang tak tau diuntung dan tidak tahu tata krama dengan majikannya!" geram Mas Raka, matanya melotot penuh amarah.Aku merasa terjebak
Aku terkejut saat mendengar apa yang baru saja diucapkan Mas Raka. Kulihat tatapan wajahnya yang murka, pasti Andin sudah berhasil menghasut suamiku. "Apa maksudmu, Mas? Bercerai? Tidak, aku tidak mau bercerai dengan dirimu," teriakku dengan penuh penegasan, menolak keinginan Mas Raka untuk menceraikan diriku.Kemudian, aku mulai merenung sejenak dan bertanya-tanya apa yang mungkin menyebabkan suamiku sampai berpikiran seperti itu. Kenapa dia begitu mudah percaya dengan omongan Andin? Apakah aku pernah membuatnya kecewa sehingga dia merasa perlu untuk berpisah denganku? Aku tidak habis pikir, apa yang membuat suamiku sampai sesakitan ini? Sementara itu, Mas Raka balas menegurku dengan marah, "Kenapa? Bukankah kau bisa bersama dengan lelaki ini setelah kita bercerai nanti?" ungkapnya dengan nada kesal dan marah kepadaku. "Cukup, Mas! Kau jangan menghardik diriku!" seruku sambil berusaha menenangkan diri. "Kau kira aku suka dengan sopir itu? Kau kira aku sudi bersama dengan dia? Tid
Mendengar penghinaan yang mereka lemparkan padaku, rasanya aku muak hingga tak tahan dan ingin segera keluar dari situasi buruk ini. Aku, Kalea, bersumpah di hati, mulai besok akan mencari pekerjaan agar tidak lagi dianggap benalu oleh mereka. Berbagai pikiran terus berkecamuk, memikirkan bagaimana harus memulai langkah tersebut. Namun saat itulah, rasa percaya diri dan tekad yang kuat mulai muncul di hatiku. "Ibu, tidak usah khawatir. Mulai besok, aku akan segera mencari pekerjaan dan tidak akan merepotkan Mas Raka lagi," balasku dengan menatap tajam wajah ibu mertuaku yang masih mencibir sinis. "Syukurlah, semoga saja kamu tidak akan menjadi benalu pada kehidupan anakku," timpalnya dengan penuh sindiran. Mendengar pernyataan ibu mertuaku itu, hatiku seketika penuh dengan amarah dan kekecewaan."Jangan mencibir diriku, Bu. Apakah Ibu dan Mas Raka tidak pernah merasa jika di sini kalian juga menjadi benalu saja? Tinggal di rumah mewah milik mertua Mas Raka, menikmati kekayaan tanp
Hari ini, aku, Kalea, memutuskan untuk mencari pekerjaan. Aku bersemangat mengajukan lamaran ke berbagai perusahaan di kota ini.Tak terhitung berapa lamaran yang telah kucetak dan kuserahkan kepada pak satpam di setiap gedung.Namun, langkah kakiku terhenti sejenak ketika aku melihat sebuah perusahaan besar di depanku.Di dalam hati, aku merasa ragu, "Apakah aku pantas bekerja di sini? Jadi OB pun tak ada masalah," gumamku dalam hati.lalu kutegaskan niatku, "Aku harus mencoba, demi mendapatkan pekerjaan dan masa depan yang lebih baik!"Kebetulan, aku mendengar percakapan antara beberapa OB di perusahaan tersebut, yang membahas tentang adanya lowongan pekerjaan untuk posisi mereka.Aku merasa ini adalah kesempatan yang baik dan segera menyambarnya. Aku pun mendekati OB tersebut dan menanyakan hal tersebut dengan rasa penasaran dan harapan."Memangnya ada lowongan di sini?" tanyaku, menahan rasa gugup yang mencoba merayapi."Iya Mbak, kebetulan kantor butuh hari ini untuk menggantika
Aku, Kalea, benar-benar shock saat mendengar apa yang dikatakan oleh abang tukang rujak buah saat itu.Aku tak bisa mempercayai apa yang baru saja aku dengar, ternyata Andien yang menjadi maduku selama ini tengah mengandung anak Mas Raka tanpa sepengetahuan diriku."Apakah dia sengaja menyembunyikan kehamilan ini dariku?" pikirku, merasa bingung dan kesal. Aku bahkan tidak sempat menyadari bahwa penjual rujak buah di depanku tengah menatapku aneh. "Mbak, kok bengong saja?" tegur penjual rujak buah itu, seolah menarikku kembali kepada kenyataan. "Tidak ada apa-apa kok, Bang. Ya sudah, berapa semuanya?" balasku, mencoba mengakhiri percakapan kami agar bisa segera pergi mencari kebenaran. "Lima belas ribu, Mbak," balas Abang tukang rujak buah tersebut. Aku segera membayar pesanan tersebut dan bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Dalam benakku, semua pikiran terasa kacau, antara ingin tahu apa yang terjadi dan merasa tidak sanggup untuk menghadapi kenyataan pahit ini. Aku bahkan
Aku, Kalea, tercengang saat mendengar Andien berbicara kepada Mas Raka, suamiku, memintanya untuk menceraikan diriku. Seketika aliran darahku pun langsung mendidih, aku benar-benar sangat marah dan geram melihat wajahnya."Apa maksudmu meminta suamiku menceraikanku? Kau pikir kau ini siapa? Dasar l*cur tak tau diri," tanyaku dengan suara penuh amarah. "Masa bodoh dengan wanita seperti Mbak, saat ini aku bisa memberikan keturunan bagi Mas Raka, aku tidak perduli dengan ejekanmu kepadaku, meskipun kau mengatakan aku adalah l*cur, tapi aku bisa memberikan Mas Raka keturunan," .jawab Andien dengan tatapan sinis yang menusuk hatiku. Aliran darahku mendidih mendengar penghinaan Andien tersebut. "Dasar wanita murahan, wanita yak tau malu , beraninya kau menghinaku seperti itu," umpatku, seraya memukul kecewa dan bingung. Menahan amarah yang tak terbendung, kuangkat tanganku tinggi-tinggi dan layangkan tamparan keras pada wajah Andien. Plaaak! Bekas merah dari telapak tanganku terpatri
Setelah pemakaman ibuku, aku hanya duduk di dekat pusaranya, memandangi gundukan tanah yang masih basah. Airmataku tak tertahankan jatuh mengalir deras dari pelupuk mataku. "Mama... kenapa harus sekarang mama meninggalkan Raka sendirian? Raka masih butuh mama," bisik hatiku, tenggelam dalam kepedihan. Aku meratapi semua kenangan yang kulewati bersama ibuku, mengingat betapa besar pengorbanannya untukku.Meskipun ibuku memiliki sifat jahat. Namun, kasih sayang dan perhatian yang dia berikan kepadaku tidak lekang oleh waktu."Kenapa mama meninggalkan aku saat aku seperti ini?" tanyaku pada pusara mamaku yang masih basah, mencari jawaban yang tidak akan pernah kudapat. Seiring berjalannya waktu, aku tetap enggan beranjak dari sisi pusara ibuku. Hingga akhirnya, Attala datang menghampiriku, menepuk pundakku pelan. "Bersedih boleh, Raka, tapi jangan kamu sampai meratapi kematian ibumu di tanah yang masih basah," ucapnya, mencoba membawaku kembali ke kenyataan. Merasa sakit yang tidak
Suasana menjadi semakin haru saat aku melihat ibuku meneteskan air mata, tanda penyesalan yang begitu dalam. Saat aku mendengar ucapan ibuku yang seolah sedang memberikan sebuah pesan terakhir untuk semua orang, seketika membuat tubuhku merinding.Entah mengapa aku merasa sesuatu yang tak enak di sana.Tak lama kemudian, ibuku kembali berkata pada Kalea, "Ibu minta maaf atas apa yang sudah ibu lakukan kepadamu, Kalea. Ibu telah menyakiti dirimu dan membuatmu menerima fitnah yang sengaja ibu buat bersama Andini demi memisahkan kalian berdua." Isak tangis ibuku semakin keras, seiring dengan penyesalan yang saat ini dia rasakan.Hatiku terenyuh, teriris oleh kesedihan yang kini harus ibu rasakan. Tapi apa boleh buat, semua ini akibat perbuatan ibuku sendiri di masa lalu.Namun, aku mencoba memahami apa yang sebenarnya ibu rasakan saat ini. Ibuku melanjutkan, "Ibu tahu bahwa kesalahan yang sudah ibu lakukan tidak pantas untuk mendapatkan maaf. Namun, saat ini ibu sudah menerima hukuman a
Aku terkejut saat mendengar apa yang diucapkan oleh mamaku, seolah apa yang dikatakannya itu adalah sebuah pesan terakhir untuk diriku. "Mama, jangan bicara aneh-aneh. Mama pasti akan sembuh setelah ini," ucapku, mencoba menguatkan mamaku yang tampak lemah.Mama menatapku dengan sorot mata yang berkaca-kaca, dan tangisan tak mampu lagi ditahannya. Ia bahkan meminta maaf kepadaku, membuat hatiku sangat terharu dan sedih. Aku pun larut dalam suasana kesedihan ketika mamaku mengatakan itu dengan penuh penyesalan."Maafkan Mama, Raka. Mama sudah membuat keluargamu hancur, dan kini kamu telah kehilangan semuanya. Mungkin ini balasan yang seharusnya Mama terima," ujar mamaku dengan isak tangis yang membuatku seketika larut dalam tangisan."Tidak, Ma. Jangan bicara begitu lagi. Raka juga bersalah dalam hal ini, semuanya karena Raka yang terlalu egois dan terlalu mengejar dunia hingga Raka menjadi orang tampak," ungkapku, tak mampu menahan air mata. Aku mencium punggung ibuku, mencoba untu
Aku terdiam sejenak, mencerna apa yang Arif katakan kepadaku. Saat ini, ekonomi benar-benar menurun drastis dan tawaran Arif terasa sangat aku butuhkan saat-saat seperti ini."Apakah dia mau membantuku? Tapi, bagaimana kalau Rania menolak membantu?" gumamku penuh kekhawatiran.Arif tampak tahu apa yang ada di benakku, dia tahu jika saat ini aku ragu akan Rania dan Attala mau membantuku.Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi antara diriku, Kalea dan Rania di masa lalu."Aku sedikit ragu jika dia akan membantuku setelah apa yang aku lakukan di masa lalu. Kesalahan yang aku lakukan benar-benar sangat fatal, hingga aku membuat dirinya benar-benar kubuat sangat menderita. Entah mengapa aku tidak yakin jika dia mau membantu diriku saat ini," ungkapku penuh penyesalan.Arif menatap simpati kepadaku, dia berusaha untuk meyakinkan diriku saat ini, meskipun aku masih ragu jika Rania dan Attala mau memberikan bantuannya kepadaku."Jangan berpikiran buruk soal Rania dan Pak Attala. Mereka orang
Aku merasa terkejut sekaligus bingung saat mendengar tawaran yang diberikan Arif. Sebenarnya, dalam diriku ingin menolak tawaran tersebut. Namun, situasi yang sedang aku alami saat ini membuatku merasa tidak punya pilihan lain. "Benarkah ini satu-satunya jalan untuk keluar dari kondisi ini? Aku harus menerima tawaran Arif untuk bekerja menjadi sopir kantor Attala, suami Rania? Apa yang mereka pikirkan setelah tahu aku mau melamar bekerja di sana? Apakah mereka akan mentertawakan nasibku?" batinku sedih sekaligus bingung menentukan pilihanku. Tapi aku berpikir kembali, sudah seminggu ini aku lelah menjadi tukang parkir yang harus selalu bersaing dengan preman-preman untuk mendapatkan lahan. "Jika aku tidak menerima tawaran ini, aku akan menjadi tukang parkir dengan penghasilan tak menentu dan aku akan mengecewakan ibuku," pikirku lagi penuh kebimbangan.Akhirnya, dengan perasaan berat, aku menerima tawaran Arif. "Baiklah, aku mau, kapan aku bisa bekerja?" tanyaku dengan tatapan ma
Aku merasa bingung saat melihat ibuku yang tampak sangat gugup ketika aku memintanya untuk meminta maaf kepada Kalea. "Mama belum siap, Raka. Mama takut jika dia tidak akan memaafkan Mama," ujar mamaku sambil menatap wajahku bingung.Aku pun berusaha untuk mengerti perasaan ibuku, tapi aku tak bisa menahan rasa ingin tahu, apa yang sebenarnya membuatnya begitu takut. "Apa yang membuat Mama takut? Apakah ini karena dia merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan?" gumamku dalam hati. Mungkin aku memang harus memberikan waktu untuk ibuku meminta maaf kepada Kalea. Akhirnya, setelah kami berbicara cukup lama, aku putuskan untuk mencari kos yang murah di dekat sini. Namun, sayangnya kos yang ada di depan rumahku harganya cukup mahal. Seolah tak ada pilihan lain, aku terpaksa mencari kos di dekat rumah yang sekarang sudah kujual kepada Arif. Saat kami tiba di depan tempat kos tersebut, beberapa tetangga yang mengenal kami tampak terkejut melihat kami di sana.Mereka sepertinya sedang
Aku mencoba menenangkan perasaanku ketika melihat ibuku sudah mulai gugup dan terlihat dia sedang menyembunyikan sesuatu. Mungkinkah saat ini ibuku mulai cemas saat Nadia mengatakan itu kepada ibuku?Apakah ibuku saat ini mulai merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan kepada Nadia? Aku benar-benar sangat malu dan menyesal ketika tahu ibuku sendiri yang tega melakukan itu kepada Nadia.Demi memisahkan diriku dengan Nadia, dia rela berbuat fitnah dan membuatku percaya dengan apa yang dia katakan.Nadia tampak menatap penuh amarah, ketika dia baru saja mengatakan sesuatu yang membuat ibuku menjadi sangat gugup. Hatiku semakin percaya jika selama ini ibu yang berperan dalam penderitaan Nadia.Apakah benar ibuku telah membuat Nadia merasa seolah-olah kehilangan rahimnya karena bekerja sama dengan Andien waktu itu?Ketika kesadaran itu menerjang benakku, rasa menyesal pun menyusul, membuatku ingin segera meminta maaf kepada Nadia. "Nadia," kataku dengan suara serak,"Sebenarnya aku i
Aku, Raka, saat itu mendengar sekilas tentang Arif yang sedang menelpon seseorang. Entah mengapa, perasaan aneh muncul di benakku, seolah yang dia telpon adalah Attala, suami Rania.Aku ingin sekali mengonfirmasi perasaan ini, ingin menanyakan kepada Arif siapa sebenarnya yang sedang dia telpon. Namun, aku ragu. Aku takut jika nanti Arif tersinggung dan membuat diriku kehilangan kesempatan untuk bekerja di perusahaan tempat Arif bekerja saat ini. Apakah benar yang dia telpon adalah suami Rania? Ataukah ini hanya perasaanku saja? Arif mulai berpamitan kepadaku. "Maaf Raka, aku harus kembali ke tempat kerja, bosku sedang menelpon," ujarnya. Aku tersenyum tipis, menahan rasa penasaran yang mengusik hatiku.Tak lama kemudian Arif pergi meninggalkanku. Aku terdiam, melihat punggung Arif yang semakin menjauh. Entah apa yang harus kulakukan, mungkinkah aku salah? Aku tersentak dari lamunan, sejenak melupakan perasaan cemas yang tadi menggangguku. Kemudian aku kembali untuk menyusul ibuku,
Aku, Raka, terperangah saat mendengar pengakuan yang Arif sampaikan kepadaku. Betapa tidak, kebenaran mengenai rahim Kalea yang sebenarnya tidak diangkat membuatku terpukul dan sulit untuk mempercayainya.Ternyata selama ini, ibuku telah berbohong kepadaku. Bagaimana mungkin aku bisa begitu percaya dengan ucapan ibuku yang, waktu itu, bersekongkol dengan seorang dokter yang menggantikan dokter Ridwan di rumah sakit itu. Aku merasa frustrasi dan hampir tak bisa menerima kenyataan saat Arif mengungkapkan semua itu kepadaku. "Mengapa Mama begitu tega melakukan ini padaku dan Kalea? Apakah ini memang rencananya sejak awal?" gumamku dalam hati, merasa tertipu oleh orang yang seharusnya paling aku percayai. Arif menceritakan secara detail kejadian saat itu, tak ada yang dia sembunyikan ketika dia mengungkapkan semuanya. Di dalam hati, aku merasa semakin hancur mendengar kebenaran ini. "Bagaimana aku bisa memaafkan Mama setelah kejadian ini? Apakah Kalea akan mampu melupakan semuanya d