Ratna berdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam, kemudian melepaskannya perlahan.Tok … Tok … Tok …"Na … Devina," panggilnya lagi seraya mengetuk pintu kamar. Hatinya sungguh tak tenang melihat Devina seperti itu. Apalagi tadi sampai menitikkan air mata. Begitu terluka kah Devina?"Buka pintunya, Nak? Devina kenapa? Cerita sama mama!" pinta Ratna lirih.Kreet!!!Pintu terbuka pelan.Gadis kecil kesayangan Ratna berdiri di ambang pintu dengan mata yang sembab.Tanpa bertanya, Ratna langsung memeluk putri semata wayangnya dengan sangat erat.Dadanya yang sejak tadi sesak menahan tangis, lolos juga tanpa permisi."Maafin mama, Na. Bukan bermaksud bikin kamu sedih.""Nana yang minta maaf, Ma. Gara-gara Nana, mama jadi nangis. Mama nggak mau mama sedih."Mereka berpelukan hingga beberapa menit, larut dalam tangis yang tertahan."Sekarang Nana, cerita sama mama. Kenapa Nana sedih?"Setelah berpelukan, Ratna mengajak Devina duduk di meja makan dan sebelumnya dia memberikan air putih hangat
Doddy mengikuti saran dari Bram untuk merental mobil guna melancarkan aksinya. Doddy juga ingin membukti seakurat apa ucapan Bram yang terkenal dengan playing victim dalam pertemanan itu. Saat Doddy menyetujui usulannya, Bram seolah percaya diri akan mampu membuktikan semuanya pada Doddy.Lima menit memarkir di depan kantor, tampak mobil yang dikemudi Arjuna keluar dari area perkantoran. Bram menunggu sebentar, memberi jarak agar tidak terlalu dekat. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat puluh lima menit, mobil Arjuna menepi ke sebuah rumah mewah yang terdiri dari dua lantai.Melihat mobil yang dikemudi Arjuna memasuki sebuah komplek perumahan mewah. Meski agak curiga, Bram masih berharap kalau Arjuna tidak membelokkan mobilnya ke dalam komplek dan harapan Bram berakhir sia-sia. Tak dipungkiri, Bram sedikit kesal hingga dia tak sadar menekan rem agak kencang, hingga membuat Doddy sedikit terhuyung ke depan. Untung saja kepalanya tidak mengenai dashboard."Ini bukti apaan sih,
Arjuna menarik napas dalam-dalam kemudian dia lepaskan perlahan."Arjuna! Kamu itu sadar nggak barusan bicara apa?" Suara Santi semakin meninggi sesekali tampak dia menoleh ke belakang yang jelas tidak ada siapa-siapa."Kenapa kamu diam, Ar? Kenapa bukan Dara? Kamu benar-benar ingin mempermalukan mami?" Bertubi-tubi pertanyaan yang terlontar dari mulut Santi, membuat Arjuna agak kebingungan menjelaskan semuanya.Papi Arjuna dan Papa Dara sahabatan dari bangku kuliah hingga mereka meniti karir. Untungnya, Papa Dara adalah anak pewaris tunggal yang mana lepas kuliah langsung duduk di kursi perusahaan yang diperuntukkan padanya. Berbeda dengan Papi Arjuna yang berasal dari keluarga sederhana, kuliah pun bermodalkan beasiswa karena kepintaran Sugiono tak diragukan lagi."Apa sudah ada perempuan lain yang mengisi hatimu, Mas?" Ruang tamu yang sunyi beberapa saat digetarkan dengan suara seorang perempuan tinggi semampai, berbadan ideal, putih, dan punya dua lesung pipi yang dalam.Arjuna ya
"Jangan bicara seperti itu. Cinta itu dipupuk. Cinta juga tidak menjamin seseorang berjodoh atau tidaknya. Kamu tidak perlu khawatir. Serahkan semuanya pada tante.""Tapi, Tan –.""Tenang, Arjuna sudah tante suruh temui kamu. Tante ke kamar dulu, ya, Sayang.""Jangan dihapus air matanya!""Tante tahu, Arjuna itu pantang melihat perempuan menangis di depan matanya.""Kamu harus membuat Arjuna merasa bersalah dengan ucapannya."Santi berbisik sebelum akhirnya beranjak dan berlalu. Masih sempat mengulas senyuman sebelum beranjak.Di dalam kamar Arjuna tampak berulang kali menarik napas dalam dan melepaskannya perlahan. Kondisi yang terjadi sekarang dirasa tak tepat datangnya.*Tahun demi tahun beranjak dengan tanpa terasa. Usia Arjuna sudah cukup matang begitupun dengan Dara yang sudah menyelesaikan pendidikan S-1 nya di salah satu universitas swasta di Malaysia. Arjuna 32 tahun, Dara 22 tahun. Memang terkesan masih muda jika berganti status di umur segitu, tapi balik lagi setiap orang
Setelah mengambil ponsel dari tangan Devina, Ratna langsung mematikan sambungan telepon meski di seberang sana masih terdengar samar Bram berucap halo berulang kali. Namun, Ratna sengaja tidak menggubris sama sekali. Seolah-olah tak mendengar apalagi Devina tak mengalihkan pandangannya sama sekali.Setelah mematikan sambungan teleponnya, Ratna malah mendekatkan ponselnya ke telinganya sendiri, "Halo, Mas. Halo .... "Ma, kok diambil handphonenya? Kan Nana belum selesai ngomong sama papanya," protes Devina, tampak wajahnya heran bercampur sedikit kecewa. "Oh ini, Na. Pulsa mama habis," Ratna beralasan seraya berusaha tak salah tingkah. "Yah, Mama. Dikira tadi nelpon pake w******p. Telpon pake w******p aja, Ma. Kan ada jaringan internet.""Iya, tapi kapan-kapan kita coba telpon papa lagi. Sekarang udah malam, lebih baik Nana tidur biar nggak kesiangan bangun besok!" "Baiklah." Meski di dalam hatinya ada rasa tak terima dan tak puas, Devina tak bisa berbuat banyak, dia segera merapika
Arjuna menyudahi menyantap sarapannya dengan meminum air putih hangat setengah gelas."Kita bicarakan nanti pas aku sudah pulang kerja, Mi. Aku harap mami mengerti dan paham," ucapnya sebelum akhirnya beranjak. Sama sekali Arjuna tak melempar pandangan pada Santi ataupun Dara."Arjuna! Arjuna! Kamu dengar mami manggil nggak?" teriak Santi, akan tetapi Arjuna sama sekali tidak menoleh ke belakang apalagi memberhentikan langkahnya. Mata Santi menatap tajam meski punggung anaknya saja yang terlihat. Dia tampak begitu emosi dengan sikap Arjuna yang masih tidak sejalan dengan dirinya. Saking susahnya menahan emosi, wajah Santi yang mengkilat karena perawatan tampak memerah bagai kena cahaya matahari yang terik."Kalau Mami dibiarkan seperti ini terus bisa-bisa kedepannya makin memperburuk keadaaan," bisik Arjuna dalam hati sembari terus melangkah ke arah pintu utama. "Tan, kayaknya aku balik saja ke Jogja. Percuma aja aku di sini, Tan. Mas Arjuna tampak keberatan dengan adanya aku. Apala
Eka langsung sekejap beranjak dan bertekuk lutut di hadapan Ratna."Aku yang make. Ibuku sakit keras di kampung. Jadi aku terpaksa pakai uang toko kamu, Rat. Maaf … Maaf … kalau aku lancang. Aku rela kalau kamu pecat, Rat."Bukannya memarahi Eka, Ratna malah membantu janda beranak dua itu untuk bangkit."Bagiku, uang bukanlah suatu yang terpenting dibanding kepercayaan. Aku rasa akan berbeda cerita jika kamu mengatakan hal sebenarnya, tanpa melibatkan nama orang tuamu bahkan parahnya kamu menyematkan sakit keras pada perempuan yang berjuang melahirkan kamu dulu, Ka."Tubuh Eka bergetar hebat. Dia berdiri dalam kondisi tertunduk. Sama sekali tak berani mengangkat kepalanya untuk menatap Ratna."Berat hati, aku harus memecat kamu dan aku sendiri yang akan turun tangan mengurus toko ini."Seketika dunia Eka runtuh seketika. Selain hidupnya akan menjadi rakyat jelata lagi, hal yang cukup membuat dirinya terkejut dan tidak habis pikir kenapa Ratna bisa tahu kebenaran yang sesungguhnya."Ja
"Oke … Oke …," sahut Arjuna seraya bangkit dari duduknya. Seketika itu juga senyum Santi mengembang pertanda kemenangan di depan matanya. "Dara bisa kerja di sini, tidak sekarang, tapii mulai Senin depan."Senyum yang sempat merekah mendadak menciut seketika mendengar ucapan Arjuna selanjutnya."Lho, nggak bisa dong. Mami maunya besok sudah masuk kerja langsung," protes Santi tak sabar.Dara yang tadinya diam seribu bahasa, itupun hanya …"Tan …," panggil Dara seraya menatap penuh arti pada Santi."Okelah, Senin depan ya. Mami terima. Asal kamu jangan sampai ingkar janji kayak sebelumnya.""Kita pulang yuk, Tan. Mas Arjuna pasti masih banyak pekerjaannya.""Kok pulang sih. Ke mall dulu dong, Sayang. Kan mau cari baju buat kamu kerja Senin depan."Sebelum meninggalkan ruangan Arjuna. Dara tak lupa mengucapkan terima kasih pada Arjuna."Makasih banyak, Mas. Aku dan tante pulang dulu," pamitnya.Tanpa menjawab, Arjuna hanya membalas dengan sekali anggukan.***Bram yang berdiri di depan