Ini satu lagi, jangan nilai orang dengan tampilan aja!
‘Lumayan juga,’ batinku kala memandang ruangan yang berukuran tak seberapa itu.Setelah mendapatkan kunci dan diberikan rentetan wejangan dari Bu Soimah, istri Pak Juki, terkait jam kunci gerbang dan sebagainya, aku telah tiba di kamarku yang berada di lantai dua. Ruangan kecil dengan satu tempat tidur dan lemari itu memang sederhana, tapi paling tidak cukup untuk diriku seorang.Baru saja kurebahkan tubuh setelah berbenah dan membersihkan diri, aku pun langsung terlelap tanpa sadar. Detik berikutnya kubuka mata, cahaya terang telah menembus jendela. Saking lelahnya kemarin, aku pun tak sadar hari baru sudah menyapa. Ternyata seperti ini rasanya tertidur pulas bahkan tak kenal waktu saat terjaga.‘Kalau di rumah dulu, mana bisa?’ ujarku dalam hati sembari tertawa pahit.Aku melihat jam di layar ponsel menunjukkan waktu pukul delapan pagi. Namun, pandanganku malah terpaku pada foto Devina yang kujadikan wallpaper di layar ponsel."Devina, Ibu rindu," gumamku seraya menyusuri foto putri
Sudah satu minggu berlalu sejak kuterima panggilan dari pengadilan negeri. Hari ini hari persidangan kedua perceraianku dengan Mas Bram digelar. Aku harus bergegas. Selepas mandi, aku mematut diri di depan cermin yang menempel di dinding dekat jendela. "Devina, mama pastikan sebentar lagi kita akan kembali bersama," gumamku pada sosok di dalam cermin. Demi terlihat rapi datang ke pengadilan, aku sengaja membeli satu setel baju, memakai baju kemeja berwarna cream dipadukan dengan rok span di bawah lutut, dilengkapi flat shoes berwarna hitam. Rambut sengaja aku gerai diberi bando hitam bermata kupu-kupu. Polesan lipstik warna peach cukup menjadi perona agar tidak terlihat pucat. "Ya ampun, tumben banget pagi-pagi udah rapi. Nggak lagi janji sama lelaki buaya 'kan?" Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara melengking di belakangku. Aku pun menoleh setelah mengunci pintu kamar. Lagi-lagi Bu Soimah. "Pamit ya, Bu," balasku tanpa menanggapi apa yang dia katakan. "Waduh, kalau ga bisa jawab
“Para hadirin sekalian.” Seluruh perhatian peserta sidang kini berpusat pada ketua hakim. “Dikarenakan sidang pertama dengan agenda perdamaian dan mediasi tidak menemukan titik temu, juga setelah menimbang proses pembuktian dari pihak penggugat maupun tergugat yang telah dipaparkan, maka dengan ini saya nyatakan saudara Ratna Wulandari dengan saudara Bramantio Triandra resmi dinyatakan bercerai.”Kusatukan kedua tanganku di wajah kala mendengar suara tiga ketukan palu menggema.‘Semua telah berakhir,’ batinku bersyukur.Kutolehkan pandanganku ke samping, memberikan senyum kemenangan pada pria yang kini resmi menyandang status sebagai mantan suamiku. Namun, Mas Bram langsung membuang muka sambil mengepalkan kedua tangannya.“Lagakmu angkuh sekali, Ratna!” Tiba-tiba Paman Toni bangkit dari kursinya dan langsung mencelaku begitu melihat wajah keponakan kesayangannya itu merengut. “Aku akan jadi orang pertama yang menertawai kamu saat kamu ngemis minta balikan sama Bram!” lanjutnya.Menden
Aku tersentak kaget mendengar seruan itu. Semua mata tertuju pada dua orang lelaki yang masih berdiri di dekat pintu masuk. Salah satu pria itu adalah Pak Adi, saksi yang kuajukan, tapi siapa pria jenjang di sebelahnya?Terdengar decit kursi bergeser. "Bapak Arjuna?!" Kulihat Mas Bram berdiri, terlihat kaget saat menatap pria yang berada di sebelah Pak Adi.Aku pun mengulangi nama yang Mas Bram ajukan dalam hati, 'Arjuna?' Spontan kukembalikan pandanganku pada sosok tinggi idealis bak pria luar negeri di samping Pak Adi, merasa familier dengan nama tersebut.Tak kuduga, kala kudaratkan pandanganku pada pria bernama Arjuna itu, netra kami beradu pandang. Kami saling menatap untuk sesaat, tapi pria itu dengan cepat mengalihkan pandangannya dariku, membuatku merasa sedikit bingung dengan sikap dinginnya."Mohon izin, Yang Mulia. Saksi yang ditunggu sudah datang," ucap Bang Firman."Baik, hadirin sekalian, mohon tenang, " titah ketua hakim sembari mengetukkan palu beberapa kali. "Saksi yan
Keningku seketika mengerut mendengar apa yang diucapkan Bapak Arjuna. Terasa ada yang janggal dari yang dia ucapkan. 'Apa ini hanya perasaanku saja?' Tanpa disadari mataku menatap ke arah Pak Adi, seolah paham dengan tatapanku dia pun mengangkat bahunya."Maksud saya, sudah selayaknya saya membantu, Ibu," sahutnya dengan senyum kaku. Dia memperbaiki posisi berdiri, kemudian salah satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. "Anggap saja ini tanda terima kasih saya pada ibu, karena sudah menjadi salah satu investor terbesar di PT Podoromo," tambahnya lagi."Oh …." Aku tersenyum manis dan mengangguk paham."Bu Ratna, kalau begitu, saya pamit dulu. Jika ada yang diperlukan, silakan kontak saya," Tiba-tiba Bang Firman berceletuk, menyadarkanku jika ia sedang berusaha menghilangkan kekakuan yang tercipta, begitu yang kubaca dari gurat wajahnya."Baik, Bang. Terima kasih sebelumnya," sahutku sembari menjabat tangan yang diulurkan Bang Firman. Pengacaraku pun undur diri selepas berpamitan den
Bukan hanya kami bertiga, orang-orang yang ada di sekitar sekolah juga ikut mencari sumber teriakan itu. Kuhela napas berat begitu melihat siapa dalangnya. Suara yang baru beberapa minggu belum kudengar lagi—juga tidak kurindukan."Mau kamu bawa ke mana cucu saya, hah?" Terlihat mama mertuaku mengacungkan jari telunjuknya ke arahku, seakan menuding seorang pencuri.Di sampingku, kulihat Pak Arjuna mengerutkan kening, menampakkan wajah tak suka atas tingkah nenek-nenek yang baru saja memanggilku. Namun, dia masih terdiam untuk membaca keadaan, jelas saja karena orang seperti Pak Arjuna pasti bukan pribadi yang gegabah."Yang jelas bukan ke rumah Mama." Jawabanku justru membuat mama mertua, ah maksudku mantan mama mertuaku, mendelik.Dia berjalan mendekatiku, matanya yang terbilang tajam beberapa kali melempar pandangan pada Bapak Arjuna yang sudah berdiri di sisi pintu kemudi."Kamu tidak ada hak atas Devina!" Gigi palsunya hampir tanggal karena terlalu semangat mencercaku. Aku kelepasa
Mobil sedan putih yang dikemudi Bram perlahan memasuki halaman rumah setelah melaju dengan kecepatan kencang waktu perjalanan pulang tadi. Bram memutuskan memarkir kendaraannya itu di sembarangan tempat, ingin buru-buru masuk ke dalam rumah.Sebab, kepalanya terasa mau pecah karena selama dalam perjalanan, Wati-mamanya terus saja menagih penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Padahal dalam perjalanan, Bram sudah mengatakan akan menjelaskan semuanya di rumah.Bram tergesa-gesa turun dan berujung membanting pintu mobil. Sejurus kemudian, Wati pun ikut turun menyusul anaknya dari belakang sembari terus menagih jawaban."Bram … tunggu! Mama butuh penjelasan kamu!" seru Wati dari belakang, meski tergopoh-gopoh mengikuti langkah Bram. "Ini kita sudah sampai di rumah tapi kamu masih saja belum memberi penjelasan sama mama!" tambah Wati.Selain penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, sisi lain ada rasa tidak terima atas perlakuan anaknya tadi, yang membela Ratna ketimbang diriny
Seketika lamunannya buyar kala mendengar teriakan Bram. "Laura … lama banget sih! Kamu bikin minum atau bikin apa, sih?" teriaknya lagi.Laura mengerjap, kemudian dengan cepat menyudahi pekerjaannya. "Iya, Mas. Ini udah selesai kok," sahutnya sigap dan bergegas menuju ruang tamu.Tatapan Bram yang tajam, dibalas dengan senyuman oleh Laura. "Maaf, ya, Mas. Kelamaan kamu nunggunya. Nih diminum dulu," ujar Laura dengan lembut sembari memberikan gelas berisikan es teh pada suaminya itu. Lalu, setelahnya dia pun memberikan gelas satu lagi pada Wati. Namun, kening Wati mengerut melihat tingkah menantu sirinya itu."Diminum dulu, biar agak adem, Ma." Kemudian Laura melirik sinis ke arah Bram. "Di luar panas, dalam rumah lebih panas lagi." Bram dan Wati tampak menenggak habis es teh yang dibuatkan Laura. Haus sekali tampaknya. Es teh manis yang penuh tadi, kini hanya es batu yang tersisa dalam hitungan detik saja. "Aku tahu kamu tidak siap menerima semuanya, Mas. Aku yakin ada rasa sesal di
Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."
Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me
Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-
"Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman
Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna
Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan
Gerbang didorong oleh Pak Kobir saat bunyi klakson memberi kode.Pak Kobir tidak langsung memberitahu Arjuna, dirinya beranggapan tak sopan jika sang Tuan belum duduk di dalam rumah. Arjuna dan Pak Sobri melakukan seperti kemarin saat mobil sudah berhenti di depan rumah, hal akan menjadi rutinitas sampai waktu tak ditentukan."Mami langsung istirahat saja ya. Aku ada urusan sebentar," pamit Arjuna setelah membopong tubuh Shanti ke peraduan."Mau kemana, Ar? Bukannya cuti," tanya Shanti heran."Ada perlu sebentar, Mi.""Iya, sebentarnya kemana? Nggak tenang mami nih, Ar. Kata kamu ada polisi yang ngejagain. Tapi kok mami nggak lihat dari kemarin kalau ada yang jaga berpakaian lengkap seperti biasanya.""Yang jaga kita nggak pake seragam, Mi. Sengaja biar nggak ketahuan sama orang-orangnya Mulyadi.""Tapi nggak ada juga yang berdiri di dekat rumah kita.""Mereka berdiri di suatu tempat dengan standby CCTV. Begitu juga tadi di rumah Ratna. Kalau terang-terangan dijaga, mana ada yang bera
Benar saja, esok hari Lidya langsung terbang ke Jakarta, tentu saja berbohong pada Santoso. Alih-alih beralasan ada interview di luar kota. Meskipun Sonia sudah melarang tapi tetap saja Lidya berangkat dengan berbohong pada Santoso."Aku pergi interview dulu ya, Pi. Doakan berhasil," pamit Lidya seraya mencium punggung tangan Santoso."Pasti. Semoga kamu bisa lebih sukses dari Arjuna.""Tentu, Pi. Aku akan bikin papi bangga, nggak kayak Mas Arjuna."Sebelum pamit, Lidya memberi selembar kertas pada asisten rumah tangganya. Disana tertulis apa saja yang akan dilakukan asisten rumah tangganya serta jam minum obat. Tak lupa, Lidya meminta asisten mengabari dirinya jika ada kondisi darurat. Atau jika tidak ada respon, asisten rumah tangga diminta untuk menghubungi Sonia."Pak, ada Mas Arjuna?" tanya Lidya pada security yang bertugas. Lidya sampai di Jakarta pukul dua belas siang."Bapaknya baru saja pergi, Mbak Lid.""Sama mami juga?" Lidya ingin memastikan."Iya, sama nyonya juga.""Kira
Ponsel yang standby di tangannya, tak butuh lama bagi Arjuna membaca pesan yang dikirim oleh kakak kandungnya itu, meskipun dia hanya membaca lewat sekilas pemberitahuan di layar ponselnya."Mereka pikir aku akan gentar dengan ancaman ini. Cukup selama ini aku yang menjadi tameng menyelamatkan hidup keluarga. Namun, nggak berlaku lagi sekarang."Tanpa membuka pesan yang dikirim Sonia, Arjuna malah menghapus pesan yang Sonia serta memblokir nomor ponsel kakaknya itu dari whatsapp. Arjuna lebih memilih fokus pada kondisi Shanti daripada meladeni saudara kandungnya itu. Sebegitu kecewakah Arjuna sampai-sampai tak memberi celah?"Gimana, Kak? Sudah dibaca? Udah tiga jam lho ini." Lidya masih saja penasaran. Mereka tengah menikmati cemilan malam di balkon lantai dua."Belum. Sibuk atau bisa jadi sengaja nggak direspon.""Nggak direspon, berarti dia baca dong?""Tanda birunya nggak ada.""Apa Mas Arjuna menonaktifkan pertanda pesan yang masuk itu sudah dibaca?""Ya … nggak tau lah soal itu.