Pukul empat sore sudah memberi kode, akan tetapi Dara tak jua dijemput oleh Mulyadi sesuai janji yang disampaikan tadi pagi. Jangan tanya dia gelisah atau tidaknya. Entah berapa kali mondar-mandir bagai setrikaan."Katanya anak orang kaya, banyak harta, dan bisa keluar dari sini seenak hati. Tapi kok udah mulai gelisah?" ejek senior jeruji besi."Diam lu, gue cuma sakit perut," kilah Dara berselimut dusta."Oh, sakit perut. Lapor sana ke WC, bukannya bolak-balik kayak benang kusut," tambahnya lagi. Senior jeruji besi tampak tersenyum puas, melihat tingkah Dara yang begitu kentara."Diam! Kalau lu masih nyerocos, gue bisa nambahin masa tahanan lu disini," ancam Dara seolah punya power."Duuuh, takut diancam begini," ledeknya bersamaan dengan ekspresi orang ketakutan. "Emangnya lu mau nambahin masa tahanan gue berapaan? Jelas udah mentok. Kalau diubah menjadi hukuman mati ya bagus dong, berarti hidup lu lebih menderita dari gue nantinya."Ledekan senior jeruji besi kali ini tak ditangga
"Nggak tahu, Mi. Semoga baik-baik saja," jawab Arjuna tak semangat. Dari gurat wajahnya, kentara sekali jika Arjuna mengelak hal yang menyangkut dengan Santoso juga kakak-adiknya."Coba telpon, Ar!""Mi, aku nemui dokter dulu ya. Mau nanya perkembangan mami kesehatan mami udah sampai mana." Shanti terpaksa mengangguk.Setelah berpamitan dengan Shanti, Arjuna pun pamit dengan Ratna juga Devina."Tapi aku juga mau pulang, Mas. Apa nggak sebaiknya besok saja pas dokternya visir pas pagi?""Benar kata Ratna, Ar. Sudah malam, kasian Devina belum bisa istirahat.""Okelah, tapi nggak apa-apa kan aku nggak bisa antar?""Nggak masalah, Mas. Bukannya kata kamu sudah ada polisi yang ngawal aku."Di kantor polisi sana, Mulyadi duduk di depan meja petugas yang sudah siap mengintrogasinya. Mulyadi di interogasi secara terpisah dengan seluruh bodyguard-nya.Polisi yang bertugas, sudah mempersiapkan beberapa pertanyaan. Kali ini masih seputaran ancaman yang dilakukan Mulyadi pada Shanti. Sampai saat
Di ruang keluarga, Santoso tampak fokus menatap layar televisi, mendengar berita soal perkembangan kecelakaan pesawat dan para penumpang yang menjadi korban, baik yang selamat ataupun tidak.Bukan tanpa alasan, dirinya ingin mengetahui perkembangan Shanti. Namun, gengsi untuk menghubungi Arjuna secara langsung.Sonia dan Lidya saling memberi kode, seperti ada sesuatu yang ingin mema sampaikan pada Santoso."Kamu aja!" ucap Sonia pada Lidya walaupun tanpa suara, gerak mulutnya cukup jelas."Kakak aja!" balas Lidya seraya menoleh melirik sekilas ke arah Santoso dengan ekor matanya.Sonia duduk dari ujung ke ujung sofa, sedangkan Santoso duduk di tengah-tengah mereka."Kalian masih mau membujuk, Papa?" Santoso bersuara, gerak-gerik anak sulung dan bungsunya itu sangat kentara sekali."Baiknya memang begitu, Pi. Yang ada kalau kayak gini, bakal memecah belah keluarga kita," protes Sonia. Sebagai anak sulung tentunya tidak mudah bagi Sonia menghadapi semua ini, begitu juga dengan Lidya."L
Ponsel yang standby di tangannya, tak butuh lama bagi Arjuna membaca pesan yang dikirim oleh kakak kandungnya itu, meskipun dia hanya membaca lewat sekilas pemberitahuan di layar ponselnya."Mereka pikir aku akan gentar dengan ancaman ini. Cukup selama ini aku yang menjadi tameng menyelamatkan hidup keluarga. Namun, nggak berlaku lagi sekarang."Tanpa membuka pesan yang dikirim Sonia, Arjuna malah menghapus pesan yang Sonia serta memblokir nomor ponsel kakaknya itu dari whatsapp. Arjuna lebih memilih fokus pada kondisi Shanti daripada meladeni saudara kandungnya itu. Sebegitu kecewakah Arjuna sampai-sampai tak memberi celah?"Gimana, Kak? Sudah dibaca? Udah tiga jam lho ini." Lidya masih saja penasaran. Mereka tengah menikmati cemilan malam di balkon lantai dua."Belum. Sibuk atau bisa jadi sengaja nggak direspon.""Nggak direspon, berarti dia baca dong?""Tanda birunya nggak ada.""Apa Mas Arjuna menonaktifkan pertanda pesan yang masuk itu sudah dibaca?""Ya … nggak tau lah soal itu.
Benar saja, esok hari Lidya langsung terbang ke Jakarta, tentu saja berbohong pada Santoso. Alih-alih beralasan ada interview di luar kota. Meskipun Sonia sudah melarang tapi tetap saja Lidya berangkat dengan berbohong pada Santoso."Aku pergi interview dulu ya, Pi. Doakan berhasil," pamit Lidya seraya mencium punggung tangan Santoso."Pasti. Semoga kamu bisa lebih sukses dari Arjuna.""Tentu, Pi. Aku akan bikin papi bangga, nggak kayak Mas Arjuna."Sebelum pamit, Lidya memberi selembar kertas pada asisten rumah tangganya. Disana tertulis apa saja yang akan dilakukan asisten rumah tangganya serta jam minum obat. Tak lupa, Lidya meminta asisten mengabari dirinya jika ada kondisi darurat. Atau jika tidak ada respon, asisten rumah tangga diminta untuk menghubungi Sonia."Pak, ada Mas Arjuna?" tanya Lidya pada security yang bertugas. Lidya sampai di Jakarta pukul dua belas siang."Bapaknya baru saja pergi, Mbak Lid.""Sama mami juga?" Lidya ingin memastikan."Iya, sama nyonya juga.""Kira
Gerbang didorong oleh Pak Kobir saat bunyi klakson memberi kode.Pak Kobir tidak langsung memberitahu Arjuna, dirinya beranggapan tak sopan jika sang Tuan belum duduk di dalam rumah. Arjuna dan Pak Sobri melakukan seperti kemarin saat mobil sudah berhenti di depan rumah, hal akan menjadi rutinitas sampai waktu tak ditentukan."Mami langsung istirahat saja ya. Aku ada urusan sebentar," pamit Arjuna setelah membopong tubuh Shanti ke peraduan."Mau kemana, Ar? Bukannya cuti," tanya Shanti heran."Ada perlu sebentar, Mi.""Iya, sebentarnya kemana? Nggak tenang mami nih, Ar. Kata kamu ada polisi yang ngejagain. Tapi kok mami nggak lihat dari kemarin kalau ada yang jaga berpakaian lengkap seperti biasanya.""Yang jaga kita nggak pake seragam, Mi. Sengaja biar nggak ketahuan sama orang-orangnya Mulyadi.""Tapi nggak ada juga yang berdiri di dekat rumah kita.""Mereka berdiri di suatu tempat dengan standby CCTV. Begitu juga tadi di rumah Ratna. Kalau terang-terangan dijaga, mana ada yang bera
Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan
Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna