"Hei, Romi! Kamu tanggalkan semua atribut yang memancing kecurigaan. Lalu, pantau ke dalam. Kalau anak sialan itu masih ada, kamu cari cara gimana supaya dia keluar dari kamar wanita matre itu!" titah Mulyadi.Detik kemudian, bodyguard yang perintahkan dengan sigap mengikuti instruksi. Buru-buru turun dari mobil menuju kamar inap Shanti.Sebelum memastikan ada atau tidaknya Arjuna di dalam, dia memantau dengan berjalan di teras yang kebetulan juga jalan alternatif menuju ruangan VVIP lainnya. Tak lupa memasang kedua telinganya, siapa tahu ditandai dengan adanya suara dari dalam.Dua kali mondar-mandir. Romi tak menemukan suara apapun dari dalam sana. Malahan, untuk memastikan keberadaan Arjuna dirinya berdiri dan mengintip dari jendela, tentunya sudah memantau keadaan sekeliling.Dia menjauh setelah mengintip lewat jendela, merogoh ponsel dari saku celana."Aman, Bos. Hajar saja sekarang!" infonya setelah telepon tersambung.Mulyadi dan kedua bodyguard lainnya pun menanggalkan atribut
Mulyadi dan rombongannya tiba di kantor polisi cepat satu jam sebelum jam besuk dibuka. Sengaja, karena dia ingin menampakkan dan berpamitan pada polisi yang berani menentangnya kemarin malam."Salahnya Anda tidak mendengar ancaman saya, coba kalau pinter dikit, jabatan Anda pasti akan lebih tinggi dari ini," ucap Mulyadi yang sengaja menunggu keluarnya polisi itu."Saya lebih milih dibuang seperti ini daripada tidak punya harga diri, Pak. Ada Allah yang akan menolong saya sampai kapanpun.""Ya … ya, saya iyain ajalah ya. Daripada Anda makin sedih."Berhasilnya Mulyadi mendepak salah satu polisi yang benar-benar mengabdi tak mengherankan negeri kohona ini. Namun, terkadang penyelamatan Sang Pencipta itu memang terasa sakit."Papa …!" Mata Dara terbelalak sempurna melihat Mulyadi duduk di kursi keluarga penghuni penjara.Sampai saat ini kasus Dara memang masih dalam tahap pengembangan."Apa kabar kamu?" Mulyadi bangkit dari duduk, mengembangkan kedua tangannya untuk mengisyaratkan ingi
Pukul empat sore sudah memberi kode, akan tetapi Dara tak jua dijemput oleh Mulyadi sesuai janji yang disampaikan tadi pagi. Jangan tanya dia gelisah atau tidaknya. Entah berapa kali mondar-mandir bagai setrikaan."Katanya anak orang kaya, banyak harta, dan bisa keluar dari sini seenak hati. Tapi kok udah mulai gelisah?" ejek senior jeruji besi."Diam lu, gue cuma sakit perut," kilah Dara berselimut dusta."Oh, sakit perut. Lapor sana ke WC, bukannya bolak-balik kayak benang kusut," tambahnya lagi. Senior jeruji besi tampak tersenyum puas, melihat tingkah Dara yang begitu kentara."Diam! Kalau lu masih nyerocos, gue bisa nambahin masa tahanan lu disini," ancam Dara seolah punya power."Duuuh, takut diancam begini," ledeknya bersamaan dengan ekspresi orang ketakutan. "Emangnya lu mau nambahin masa tahanan gue berapaan? Jelas udah mentok. Kalau diubah menjadi hukuman mati ya bagus dong, berarti hidup lu lebih menderita dari gue nantinya."Ledekan senior jeruji besi kali ini tak ditangga
"Nggak tahu, Mi. Semoga baik-baik saja," jawab Arjuna tak semangat. Dari gurat wajahnya, kentara sekali jika Arjuna mengelak hal yang menyangkut dengan Santoso juga kakak-adiknya."Coba telpon, Ar!""Mi, aku nemui dokter dulu ya. Mau nanya perkembangan mami kesehatan mami udah sampai mana." Shanti terpaksa mengangguk.Setelah berpamitan dengan Shanti, Arjuna pun pamit dengan Ratna juga Devina."Tapi aku juga mau pulang, Mas. Apa nggak sebaiknya besok saja pas dokternya visir pas pagi?""Benar kata Ratna, Ar. Sudah malam, kasian Devina belum bisa istirahat.""Okelah, tapi nggak apa-apa kan aku nggak bisa antar?""Nggak masalah, Mas. Bukannya kata kamu sudah ada polisi yang ngawal aku."Di kantor polisi sana, Mulyadi duduk di depan meja petugas yang sudah siap mengintrogasinya. Mulyadi di interogasi secara terpisah dengan seluruh bodyguard-nya.Polisi yang bertugas, sudah mempersiapkan beberapa pertanyaan. Kali ini masih seputaran ancaman yang dilakukan Mulyadi pada Shanti. Sampai saat
Di ruang keluarga, Santoso tampak fokus menatap layar televisi, mendengar berita soal perkembangan kecelakaan pesawat dan para penumpang yang menjadi korban, baik yang selamat ataupun tidak.Bukan tanpa alasan, dirinya ingin mengetahui perkembangan Shanti. Namun, gengsi untuk menghubungi Arjuna secara langsung.Sonia dan Lidya saling memberi kode, seperti ada sesuatu yang ingin mema sampaikan pada Santoso."Kamu aja!" ucap Sonia pada Lidya walaupun tanpa suara, gerak mulutnya cukup jelas."Kakak aja!" balas Lidya seraya menoleh melirik sekilas ke arah Santoso dengan ekor matanya.Sonia duduk dari ujung ke ujung sofa, sedangkan Santoso duduk di tengah-tengah mereka."Kalian masih mau membujuk, Papa?" Santoso bersuara, gerak-gerik anak sulung dan bungsunya itu sangat kentara sekali."Baiknya memang begitu, Pi. Yang ada kalau kayak gini, bakal memecah belah keluarga kita," protes Sonia. Sebagai anak sulung tentunya tidak mudah bagi Sonia menghadapi semua ini, begitu juga dengan Lidya."L
Ponsel yang standby di tangannya, tak butuh lama bagi Arjuna membaca pesan yang dikirim oleh kakak kandungnya itu, meskipun dia hanya membaca lewat sekilas pemberitahuan di layar ponselnya."Mereka pikir aku akan gentar dengan ancaman ini. Cukup selama ini aku yang menjadi tameng menyelamatkan hidup keluarga. Namun, nggak berlaku lagi sekarang."Tanpa membuka pesan yang dikirim Sonia, Arjuna malah menghapus pesan yang Sonia serta memblokir nomor ponsel kakaknya itu dari whatsapp. Arjuna lebih memilih fokus pada kondisi Shanti daripada meladeni saudara kandungnya itu. Sebegitu kecewakah Arjuna sampai-sampai tak memberi celah?"Gimana, Kak? Sudah dibaca? Udah tiga jam lho ini." Lidya masih saja penasaran. Mereka tengah menikmati cemilan malam di balkon lantai dua."Belum. Sibuk atau bisa jadi sengaja nggak direspon.""Nggak direspon, berarti dia baca dong?""Tanda birunya nggak ada.""Apa Mas Arjuna menonaktifkan pertanda pesan yang masuk itu sudah dibaca?""Ya … nggak tau lah soal itu.
Benar saja, esok hari Lidya langsung terbang ke Jakarta, tentu saja berbohong pada Santoso. Alih-alih beralasan ada interview di luar kota. Meskipun Sonia sudah melarang tapi tetap saja Lidya berangkat dengan berbohong pada Santoso."Aku pergi interview dulu ya, Pi. Doakan berhasil," pamit Lidya seraya mencium punggung tangan Santoso."Pasti. Semoga kamu bisa lebih sukses dari Arjuna.""Tentu, Pi. Aku akan bikin papi bangga, nggak kayak Mas Arjuna."Sebelum pamit, Lidya memberi selembar kertas pada asisten rumah tangganya. Disana tertulis apa saja yang akan dilakukan asisten rumah tangganya serta jam minum obat. Tak lupa, Lidya meminta asisten mengabari dirinya jika ada kondisi darurat. Atau jika tidak ada respon, asisten rumah tangga diminta untuk menghubungi Sonia."Pak, ada Mas Arjuna?" tanya Lidya pada security yang bertugas. Lidya sampai di Jakarta pukul dua belas siang."Bapaknya baru saja pergi, Mbak Lid.""Sama mami juga?" Lidya ingin memastikan."Iya, sama nyonya juga.""Kira
Gerbang didorong oleh Pak Kobir saat bunyi klakson memberi kode.Pak Kobir tidak langsung memberitahu Arjuna, dirinya beranggapan tak sopan jika sang Tuan belum duduk di dalam rumah. Arjuna dan Pak Sobri melakukan seperti kemarin saat mobil sudah berhenti di depan rumah, hal akan menjadi rutinitas sampai waktu tak ditentukan."Mami langsung istirahat saja ya. Aku ada urusan sebentar," pamit Arjuna setelah membopong tubuh Shanti ke peraduan."Mau kemana, Ar? Bukannya cuti," tanya Shanti heran."Ada perlu sebentar, Mi.""Iya, sebentarnya kemana? Nggak tenang mami nih, Ar. Kata kamu ada polisi yang ngejagain. Tapi kok mami nggak lihat dari kemarin kalau ada yang jaga berpakaian lengkap seperti biasanya.""Yang jaga kita nggak pake seragam, Mi. Sengaja biar nggak ketahuan sama orang-orangnya Mulyadi.""Tapi nggak ada juga yang berdiri di dekat rumah kita.""Mereka berdiri di suatu tempat dengan standby CCTV. Begitu juga tadi di rumah Ratna. Kalau terang-terangan dijaga, mana ada yang bera