POV Author"Lelaki itu cukup licik! Bisa-bisanya dia ingin memerasku dengan cara menggunakan Naya agar aku bisa luluh. Sangat tidak tahu malu dan tidak punya hati." Wanita bermata bulat itu membatin di dalam hati. Hatinya seketika panas, mendengar tawaran mantan suaminya. "Bapak! Dia sakit apa?" tanya Jihan lagi."Sekarang sedang di rumah sakit, Han, please!"Jihan tidak melanjutkan pertanyaannya. Panggilan berakhir begitu saja. Adnan mengembuskan napas berat. Kedua wanita di belakangnya menatap penuh tanda tanya."Bagaimana jawaban Jihan, Nak?" tanya wanita tua itu.Lelaki bercambang itu kembali duduk kemudian mengusap wajahnya dengan kedua tangan, sedikit putus asa. Ia hanya menggeleng sebagai jawaban. "Maksudmu, Jihan gak mau bantuin?" Masih dengan anggukan yang sama sebagai jawaban."Meskipun kau sudah menawarkan tentang pengasuhan Naya?" tanya wanita paruh baya di sampingnya. Lelaki itu hanya mengembuskan napas berat. Tatapannya kosong ke depan.Pikirannya saat ini sangat kac
Bahkan keluarga suaminya, terutama Bu Lastri dan Lisa tidak memedulikan keberadaan mereka setiap kali berkunjung ke rumah. Justru, mereka tidak segan-segan untuk mengusir Jihan dan putrinya secara halus, meskipun tidak secara langsung. Jihan malas berdebat dengan mereka. Terlalu menghabiskan energi dengan sia-sia. Ia tidak punya waktu untuk itu. Jihan menata gemuruh di dadanya yang membuncah. Setelah merasa sedikit tenang, ia merapikan tasnya dan berjalan meninggalkan mereka tanpa menoleh. Tanpa disengaja, ia berpapasan dengan wanita bergigi gingsul bersama putri kecil di sebelahnya. Anak kecil yang ia kenal itu bernama Dita. Wanita itu terkejut dan menatapnya penuh tanda tanya. Hening sekitar beberapa detik. Lisa dan Ibunya saling menatap. Sedangkan lelaki bermata tajam diam membeku. Mereka menunggu peristiwa apa yang akan terjadi berikutnya. Hal itu merupakan pemandangan pertama kali bagi mereka menyaksikan kedua wanita itu saling berpapasan di waktu yang tidak tepat."Kenapa wa
POV AuthorLelaki beralis tebal itu membeku sepersekian detik. Ia bingung harus menjawab apa. Raisya, istrinya itu baru saja datang dan tiba-tiba sangat marah. Ia harus memikirkan sesuatu agar istrinya mereda. Bukan saatnya untuk berdebat. Ada hal lain yang harus dia utamakan.Dia juga harus memperlakukan baik kepada mantan istrinya karena sudah berada di rumah sakit. Hal itu merupakan kesempatan untuknya meminta bantuan, juga belas kasihan. Ia masih memikirkan bapaknya yang sedang terbaring di dalam sana. Meskipun mantan, Jihan datang ke rumah sakit pasti karena ada sikap iba terhadap mantan bapak mertuanya.Dari keheningan tersebut, Jihan–wanita yang memiliki bulu mata lentik itu mendekati wanita di depannya, yang semenjak tadi terbakar amarah."Aku hampir lupa untuk memberitahumu. Seringlah memantaunya. Jangan sampai dia izin merantau lagi dan kau akan ...." Jihan menaikkan kedua bahunya kemudian melenggang pergi, sebelum Raisya semakin meradang."Oh, ya, satu lagi. Kadang-kadang,
Lelaki itu menahan sakit di pipinya. Ia tidak sempat menghindar karena sangat tiba-tiba."Kau sangat keterlaluan, Mas! Kau benar-benar mengkhianatiku dan juga Dita, putrimu. Aku minta surat cerai darimu besok," bentak Raisya. Air matanya ingin sekali menetes, tetapi tertahan."Raisya ... kau tidak boleh meminta dalam keadaan emosi seperti ini. Sya, dengarkan Mas. Raisya ...."Wanita itu pergi dengan gemuruh di dadanya. Adnan ingin menghentikan, tetapi istrinya tidak lagi menghiraukan ucapannya.Raisya berjalan dengan cepat sambil menarik tangan putrinya bersamanya, kemudian menghentikan ojek yang sedang mangkal. Akhirnya, air mata itu yang semenjak tadi tertahan, menetes karena tidak dapat dibendung lagi. Ia sangat kecewa. "Arghhh!" Adnan mengacak-acak rambutnya.Ia ingin mengejar istrinya, tetapi dia urungkan. Masih ada yang menunggu di dalam. Ia kembali ke ruang tunggu pasien. Ibu dan Lisa pasti menunggunya dengan cemas. "Bagaimana, Mas? Biaya bapak belum dilunasi." Lisa menegurn
POV AuthorIa menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Matanya menyipit, melihat kertas di atas meja kemudian mendekat untuk meraihnya. [Aku ke rumah Mama. Bapak lagi kritis dan semakin parah] Isi tulisan tersebut.Huf, dia mengembuskan napas berat. Kemarin dia tidak sempat melihat bapak mertuanya karena pertengkaran mereka. Padahal dia sudah sampai di rumah sakit bersama putrinya.Ia membuang kertas tersebut begitu saja ke lantai. "Kenapa tidak kirim pesan saja, kenapa harus pakai kertas seperti ini?" ketus Raisya. "Lelaki itu memang aneh. Beginilah caranya untuk menghindar."Ia melanjutkan langkahnya ke dapur, membuat nasi goreng telur untuk dirinya dan putrinya. Hanya telur, sosis dan kacang polong yang tersedia sebagai bahan untuk nasi goreng. Ia belum sempat berbelanja ke pasar tradisional atau minimarket, lebih tepatnya menghemat pengeluaran.Uang simpanan mereka semakin menipis karena suaminya tak kunjung mendapatkan pekerjaan sampai saat ini. Ia sudah menyarankan suaminya untu
Mata Lisa nyalang. Ia menahan pipinya yang telah merah lebam. Ia tidak mengira akan mendapatkan tamparan keras dari wanita di depannya. Seandainya, dia tahu, dia akan bersiap-siap untuk menangkis tamparan yang mendarat di pipinya."Kau!! Dasar benalu!" Lisa histeris dan membalas Raisya. Raisya juga bersiap-siap dengan kemungkinan balasan dari Lisa. Tangan Lisa sudah lebih dulu mendarat ke pipi Raisya. Prak!Namun kemudian, Adnan melerai mereka. Ia khawatir akan semakin rumit perselisihan kedua wanita di sampingnya."Hentikan!" Adnan berdiri, di tengah, di antara dua wanita yang sedang bertengkar hebat."Sudah ... sudah!!" Ibu memekik keras karena ketakutan.Tadinya, dia sudah duduk karena kelelahan. Karena mendengar pertengkaran, ia beranjak dari tempat duduk dan menghampiri mereka. "Kalian sudah gila! Kenapa bertengkar di rumahku? Apa kalian tidak malu dilihat oleh para tetangga dan warga yang lewat?" bentak Bu Lastri dengan bibir bergetar. Matanya menatap kedua wanita yang bersel
POV AuthorArka meraih ponselnya di atas meja dan membuka aplikasi hijau. Jempolnya mengetik sebuah pesan dan mengirimnya ke seseorang. Sementara itu, sebuah notifikasi pesan masuk di telepon seluler. Dika melirik sekilas ke ponsel miliknya. Ia mengusap dan membaca pesan tersebut. Sedetik kemudian, ia tersenyum. Seringai kemenangan nampak di wajahnya karena merasa telah berhasil."Hahaha ... dia memang lucu! Dia terlalu lambat atau karena tidak berani?"Dika tidak menggubris pesan tersebut. Ia menyimpan kembali ponsel miliknya ke saku celana. Ia masih tersenyum."Siapa, Dika?" tanya Jihan dengan raut wajah bingung, karena melihat Dika yang menyeringai. "Oh, bukan siapa-siapa. Ayo, kita pergi!"Dika menyalakan mesin mobil. Ia pun sudah melupakan pesan tadi. Namun tiba-tiba, sebuah panggilan masuk ke gawainya. Ia mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat siapa yang memanggil. "Kenapa lagi dia menelepon?" Ia membatin.Wanita di sebelahnya menoleh sebentar ke Dika, kemudian menatap l
Di sebuah rumah minimalis tipe 40/60, Jihan keluar dari kamar mandi. Ia baru saja membersihkan badan. Putrinya sedang menunggu sambil bermain boneka miliknya.Wanita dengan shower cap yang masih menempel di kepalanya itu sedikit bingung memilih baju yang akan dikenakannya. Cukup lama ia menatap lemari miliknya.Malam ini dia akan ke sebuah restoran. Sore tadi, Arka mengajaknya makan malam. Beberapa pakaian yang dicobanya di depan cermin telah ia pakai sebelumnya. Jadi, dia agak bingung memilih pakaian yang mana lagi. Setelah beberapa menit, ia memutuskan memilih celana kain dan atasan memakai mantel coat atau trench coat karena di luar saat ini musim hujan. Apalagi restoran yang akan mereka kunjungi adalah restoran mewah dan pasti ruangannya akan sangat dingin. Beberapa menit berlalu, Jihan dan putrinya telah siap dengan pakaian yang dikenakannya. Mereka sedang menunggu mobil yang akan menjemput. Sebuah mobil memasuki pekarangan rumah Jihan, kemudian berhenti. Seorang lelaki keluar