"Raisya! Dita ...."Aku mencari mereka di dapur dan sekeliling ruangan, tetapi tidak ada mereka. Hingga akhirnya aku memutuskan, menuju kamar dan membuka pintu. Tiba-tiba, aku terpaku sepersekian detik. Wanita itu membenamkan wajahnya di bantal, sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Aku sedikit bingung dengan tingkah Raisya. Aku mendekat dan bertanya, "Kamu kenapa, Sya?""Pokoknya, aku tidak bisa menerima semua ini, Mas." Ia mendongakkan kepalanya, melihat ke arahku dengan suara serak."Ada apa? Apa yang terjadi?" Aku masih tidak mengerti apa maksudnya. Pikiranku masih kalut untuk mencerna ucapannya. "Kau tenang lah dulu dan jelaskan ke Mas dengan baik. Sebenarnya ada apa? Siapa yang sudah menyakitimu?" Matanya sudah sembab. Entah sudah berapa lama dia di dalam kamar dan menangis seperti ini. "Aku tidak akan pernah memaafkannya. Dia sudah menjelek-jelekkanku di depan semua teman alumni, Mas.""Emangnya dia siapa?" tanyaku masih penuh dengan tanda tanya."Siapa la
POV AdnanAku mendorong pintu, tetapi terkunci. Aku mencoba, menggedor-gedor pintu sambil memanggilnya dengan suara keras, tetapi tidak ada jawaban. Seketika, aku terpikir pintu belakang. Pasti belum dikunci. Aku pun berjalan ke belakang untuk mengecek. Aku tak tahu dia masih ada di dalam atau di luar. Atau sengaja bersembunyi di dalam karena mendengar suaraku. Sial! aku kebingungan, tidak tahu pasti dia di dalam atau tidak sama sekali. Pintu jendela! Ya, aku teringat pintu jendela.Aku bergegas berjalan untuk mengecek jendela di belakang, hasilnya tetap nihil. Jendela tengah sampai depan pun sama, tidak bisa dibuka. Rumah ini semuanya terkunci rapat. Bagaimana aku bisa tahu Jihan ada di dalam atau tidak. Aku sudah beberapa kali mengetuk pintu, tetapi tidak ada yang menyahut dari dalam.Aku terdiam sejenak, tidak tahu harus melakukan apa lagi. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal.Jendela kamarnya! Ya, aku baru ingat yang ini.Aku berjalan lagi menuju jendela. Sudah aku coba b
POV Adnan"Kau menganggap ku mengancammu atau tidak, terserah kamu. Aku hanya ingin memperingatkanmu. Ini tempat umum, Mas. Banyak pengunjung yang berdatangan. Anda akan membuat mereka tidak nyaman. Sebaiknya, kau pergi sekarang.""Aku tidak peduli siapa pun mereka. Aku ingin menyelesaikan semua ini denganmu," bentakku. Aku tidak bergeming dari tempatku berdiri."Apakah Mas tidak malu, mereka akan merekam dan menyebarkan videomu ke media sosial? Dari tadi kau berteriak di kedaiku, pun di depan orang banyak.""Kau!" Aku semakin geram. Aku melirik sekilas ke arah mereka. Wanita ini sungguh tidak bisa diduga. Ucapannya ada benarnya juga. Seketika nyaliku sedikit menyusut, bila melihat pengunjung yang memerhatikanku.Jihan berbalik, meninggalkanku dan hendak ke dapur. Aku pun mengikuti langkahnya. Aku masih kesal dengan sikapnya yang sangat tak acuh. Dua orang karyawannya bergegas keluar karena melihat kami masuk. Mungkin juga karena tatapanku tajam ke arah mereka, mengisyaratkan mereka
POV AdnanAku membuka pintu rumah dan beristirahat sebentar di atas sofa. Aku singgah sebentar ke rumah kedua orang tuaku, tidak langsung ke rumah kami bersama Raisya.Hati ini masih kesal dengan sikap Jihan barusan, belum lagi mengingat jawabannya yang menusuk jantung. Ucapanku tidak membuatnya gentar.Aku terburu-buru ke rumah ini karena panggilan Ibu yang sangat mendadak. Suaranya lewat panggilan telepon tadi membuatku khawatir, seolah dia sedang histeris. Entah kenapa?Aku ingin melihatnya, sekaligus tahu keadaannya. "Mas, kau itu harus tegas. Kalau begini terus, kapan kau bisa mendapatkan bagianmu?" ucap Lisa saat keluar dari kamarnya dengan bedak masih menempel di wajahnya. Aku menoleh ke samping karena suara itu, "Astaghfirullah! Aku pikir siapa. Kenapa tidak kau bersihkan dulu mukamu, Lis? Mas kirain siapa. Belum lagi lampu mati, wajahmu terlalu pucat seperti pocong. Tolong nyalakan lampu!" Waktu sudah menjelang malam. Lampu di ruang tamu belum dinyalakan. Aku sedikit terke
POV Adnan"Wanita itu kalau sudah dikhianati akan sulit mempercayai kembali, Nan. Maka dari itu, kalau kau tidak ingin terbakar, jangan bermain api."Aku masih menunduk, tidak tahu harus merespon apalagi. Ucapan Bapak ada benarnya."Sepertinya, tidak bisa diperbaiki lagi, Pak.""Ya, harus terima konsekuensinya. Kamu yang hancurkan, maka kau yang benahi," lanjut Bapak. Aku sedikit sakit mendengar ucapannya. To the point dan sangat menyakitkan. Kami diam sesaat. Tidak ada lagi pembicaraan di antara kami. "Bapak mau keluar sebentar. Mau ngopi di warung Mbok Jum. Dari tadi Bapak duduk di sini, tidak ada apa-apa di atas meja walaupun hanya air putih," sindir Bapak ke Lisa, yang sedang sibuk dengan gawainya. "Jangan lupa hibur Ibu kalian!" Lelaki paruh baya itu berjalan, keluar dari rumah. Usia bapak terlampau delapan atau sembilan tahun dengan Ibu. Tidak heran, ia terlihat lebih tua karena menikah di usia tidak muda lagi. Ia terus berjalan hingga tidak terlihat lagi bayangannya dari mata
POV AuthorLelaki bermata coklat itu melirik kembali ke meja Jihan dan pengacaranya. Wanita yang diliriknya terlihat tenang dan santai. Tidak ada raut kekhawatiran di wajahnya. Sepertinya, wanita itu sudah sangat siap dengan keputusan sidang.Melihat ekspresi wanita tadi, antara keraguan dan keyakinan mulai menyelimutinya. Namun kemudian lelaki tersebut membuang perasaan cemas, karena dia yakin akan mendapatkan haknya. Sudah lama, dia menyiapkannya bersama pengacaranya.Embusan napas keluar dari paru-paru lewat mulut, ia mencoba menetralisir pikirannya agar bisa bersikap tenang. Ia tidak sabar ingin mendengarkan hasil keputusan hakim untuk menjawab keraguannya. Ibu, Istri, dan adiknya, Lisa berada di bagian tengah, tempat para tamu yang ingin menyaksikan jalannya sidang. Mereka juga tidak sabar ingin mendengarkan keputusan hakim. Sidang dilaksanakan secara terbuka, hanya beberapa kerabat saja yang hadir. "Ma ...." Suara panggilan anak kecil menarik perhatian Adnan dan istrinya."Ken
POV Author"Iya, benar, Mas. Secepat mungkin, Mas ajukan. Hubungi segera pengacaramu," sahut Lisa. Sedangkan wanita tua yang berada di kursi depan tidak berkata apapun. Ia tidak tahu harus berkata apalagi. Pikirannya dipenuhi dengan bayang-bayang para debt colector yang akan datang menagih. Bagaimana nasibnya nanti."Sudah, sudah, Mas belum bisa mikir untuk saat ini. Kepalaku ingin sekali pecah di sini." Kepala Adnan sangat pusing dan sakit karena berat berpikir. Ia tidak bisa mencerna ucapan apapun untuk saat ini.Taksi terus melaju dan mereka masih serius mengobrol. Sedangkan Adnan dan ibunya hanya diam, membisu. Obrolan Raisya dan adiknya tidak bisa ia serap dengan baik.Setelah beberapa lama, mereka pun sampai kemudian keluar dari mobil."Bagaimana nasib Ibu, Nan?" Wanita tua di sebelahnya menangis tersedu-sedu setelah memasuki rumah. Ia duduk dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia sangat takut, membayangkan para debt kolektor datang ke rumah dan memarahi, bahkan membentaknya. Ia t
POV Author"Apakah cara ini akan berhasil?" tanya lelaki tersebut. Ia masih sangsi dengan usulan adiknya. Ia masih membutuhkan penjelasan lagi."Aduh, Mas gimana, sih? Harus berhasil, dong! Itu hanya masalah kecil. Masa Mas tidak bisa?""Okay, Mas akan usahakan.""Gitu, dong. Jangan putus asa dulu. Kalau Mas berhasil mendapatkan hak asuh Naya, aku yakin wanita itu akan bertekuk lutut. Dia akan melakukan apapun demi putrinya, apalagi dijauhkan. Mungkin dengan cara ini Mas bisa bernegosiasi agar mendapatkan sebagian hak Mas. Gimana menurutmu, Mas?""Boleh juga," ujar lelaki itu sambil memegang dagunya."Mas, kenapa gak gugat dengan kedai? Kedai masih ada hak Mas di sana."Adnan tidak menyangka adik dan istrinya cukup cerdas dengan masalah ini. Mereka bertiga menatap lelaki yang sedang makan tersebut. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Lelaki itu masih berpikir keras, pasalnya rumah dan mobil saja ia tidak berhasil, apalagi kedai. Dan kemudian hak asuh anak. Sangat membingungkan.Ia han