POV AdnanAku membuka pintu rumah dan beristirahat sebentar di atas sofa. Aku singgah sebentar ke rumah kedua orang tuaku, tidak langsung ke rumah kami bersama Raisya.Hati ini masih kesal dengan sikap Jihan barusan, belum lagi mengingat jawabannya yang menusuk jantung. Ucapanku tidak membuatnya gentar.Aku terburu-buru ke rumah ini karena panggilan Ibu yang sangat mendadak. Suaranya lewat panggilan telepon tadi membuatku khawatir, seolah dia sedang histeris. Entah kenapa?Aku ingin melihatnya, sekaligus tahu keadaannya. "Mas, kau itu harus tegas. Kalau begini terus, kapan kau bisa mendapatkan bagianmu?" ucap Lisa saat keluar dari kamarnya dengan bedak masih menempel di wajahnya. Aku menoleh ke samping karena suara itu, "Astaghfirullah! Aku pikir siapa. Kenapa tidak kau bersihkan dulu mukamu, Lis? Mas kirain siapa. Belum lagi lampu mati, wajahmu terlalu pucat seperti pocong. Tolong nyalakan lampu!" Waktu sudah menjelang malam. Lampu di ruang tamu belum dinyalakan. Aku sedikit terke
POV Adnan"Wanita itu kalau sudah dikhianati akan sulit mempercayai kembali, Nan. Maka dari itu, kalau kau tidak ingin terbakar, jangan bermain api."Aku masih menunduk, tidak tahu harus merespon apalagi. Ucapan Bapak ada benarnya."Sepertinya, tidak bisa diperbaiki lagi, Pak.""Ya, harus terima konsekuensinya. Kamu yang hancurkan, maka kau yang benahi," lanjut Bapak. Aku sedikit sakit mendengar ucapannya. To the point dan sangat menyakitkan. Kami diam sesaat. Tidak ada lagi pembicaraan di antara kami. "Bapak mau keluar sebentar. Mau ngopi di warung Mbok Jum. Dari tadi Bapak duduk di sini, tidak ada apa-apa di atas meja walaupun hanya air putih," sindir Bapak ke Lisa, yang sedang sibuk dengan gawainya. "Jangan lupa hibur Ibu kalian!" Lelaki paruh baya itu berjalan, keluar dari rumah. Usia bapak terlampau delapan atau sembilan tahun dengan Ibu. Tidak heran, ia terlihat lebih tua karena menikah di usia tidak muda lagi. Ia terus berjalan hingga tidak terlihat lagi bayangannya dari mata
POV AuthorLelaki bermata coklat itu melirik kembali ke meja Jihan dan pengacaranya. Wanita yang diliriknya terlihat tenang dan santai. Tidak ada raut kekhawatiran di wajahnya. Sepertinya, wanita itu sudah sangat siap dengan keputusan sidang.Melihat ekspresi wanita tadi, antara keraguan dan keyakinan mulai menyelimutinya. Namun kemudian lelaki tersebut membuang perasaan cemas, karena dia yakin akan mendapatkan haknya. Sudah lama, dia menyiapkannya bersama pengacaranya.Embusan napas keluar dari paru-paru lewat mulut, ia mencoba menetralisir pikirannya agar bisa bersikap tenang. Ia tidak sabar ingin mendengarkan hasil keputusan hakim untuk menjawab keraguannya. Ibu, Istri, dan adiknya, Lisa berada di bagian tengah, tempat para tamu yang ingin menyaksikan jalannya sidang. Mereka juga tidak sabar ingin mendengarkan keputusan hakim. Sidang dilaksanakan secara terbuka, hanya beberapa kerabat saja yang hadir. "Ma ...." Suara panggilan anak kecil menarik perhatian Adnan dan istrinya."Ken
POV Author"Iya, benar, Mas. Secepat mungkin, Mas ajukan. Hubungi segera pengacaramu," sahut Lisa. Sedangkan wanita tua yang berada di kursi depan tidak berkata apapun. Ia tidak tahu harus berkata apalagi. Pikirannya dipenuhi dengan bayang-bayang para debt colector yang akan datang menagih. Bagaimana nasibnya nanti."Sudah, sudah, Mas belum bisa mikir untuk saat ini. Kepalaku ingin sekali pecah di sini." Kepala Adnan sangat pusing dan sakit karena berat berpikir. Ia tidak bisa mencerna ucapan apapun untuk saat ini.Taksi terus melaju dan mereka masih serius mengobrol. Sedangkan Adnan dan ibunya hanya diam, membisu. Obrolan Raisya dan adiknya tidak bisa ia serap dengan baik.Setelah beberapa lama, mereka pun sampai kemudian keluar dari mobil."Bagaimana nasib Ibu, Nan?" Wanita tua di sebelahnya menangis tersedu-sedu setelah memasuki rumah. Ia duduk dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia sangat takut, membayangkan para debt kolektor datang ke rumah dan memarahi, bahkan membentaknya. Ia t
POV Author"Apakah cara ini akan berhasil?" tanya lelaki tersebut. Ia masih sangsi dengan usulan adiknya. Ia masih membutuhkan penjelasan lagi."Aduh, Mas gimana, sih? Harus berhasil, dong! Itu hanya masalah kecil. Masa Mas tidak bisa?""Okay, Mas akan usahakan.""Gitu, dong. Jangan putus asa dulu. Kalau Mas berhasil mendapatkan hak asuh Naya, aku yakin wanita itu akan bertekuk lutut. Dia akan melakukan apapun demi putrinya, apalagi dijauhkan. Mungkin dengan cara ini Mas bisa bernegosiasi agar mendapatkan sebagian hak Mas. Gimana menurutmu, Mas?""Boleh juga," ujar lelaki itu sambil memegang dagunya."Mas, kenapa gak gugat dengan kedai? Kedai masih ada hak Mas di sana."Adnan tidak menyangka adik dan istrinya cukup cerdas dengan masalah ini. Mereka bertiga menatap lelaki yang sedang makan tersebut. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Lelaki itu masih berpikir keras, pasalnya rumah dan mobil saja ia tidak berhasil, apalagi kedai. Dan kemudian hak asuh anak. Sangat membingungkan.Ia han
POV AuthorIa terlihat sedikit putus asa, sempat terbersit di benak akan semakin sulit untuk mendekati mereka dan tidak mungkin mengganggu terus. Pintu mobil itu terbuka. Seorang lelaki berbadan tegap keluar dan berjalan menuju pintu yang satu untuk membukanya.Tidak berselang lama, dua orang wanita dewasa keluar dari dalam mobil beserta putri kecil. Salah satu dari kedua wanita itu adalah mantan istrinya dan satunya lagi seorang wanita, yang membantu putrinya turun dari mobil. Wanita itulah yang pernah datang bersama Arka pada suatu malam untuk membantu Jihan.Mereka terlihat sangat akrab. Lelaki itu masih menatap dari kejauhan. Entah apa lagi yang ada dalam pikirannya saat. Benar-benar kacau.Setelah menjawab penasarannya, ia berbalik menuju tempat yang sudah dia rencanakan untuk kunjungi hari ini. Ia melajukan motornya, hingga akhirnya beberapa menit berlalu ia sampai ke tempat tujuan. Adnan memasuki kantor, kemudian mengutarakan maksudnya ke pengacara yang akan membantunya. Seki
POV AuthorJihan berdiri dan menyusul Arka keluar dari ruangan. Wanita itu masih mengikuti dari belakang. Langkah kaki mereka terhenti sejenak."Loh, gimana, Bos. Tidak jadi meeting hari ini?" Dika baru saja masuk ke ruangan, tetapi bertemu dengan Arka dan juga Jihan di depan pintu."Kita bahas di kedai saja.""Di kedai Mba Jihan 'kan?" Dika menggodanya dengan mengedipkan mata ke temannya tersebut. Seketika, ia mengerti maksud Arka ke sana.Lelaki itu tidak menyahut, hanya membalas dengan sorotan mata awas. Entah Dika tidak tahu maksud tatapan itu. Akan tetapi, nyalinya seketika menciut.Mereka pun berjalan berempat, bersama. Dika dan rekannya Dea, lebih tepatnya gebetan mengikut dari belakang. Ia hanya mengikuti keputusan pimpinannya.Wanita di samping Dika itu cukup pendiam dan pemalu. Hal itulah yang membuat Mahardika atau yang biasa dipanggil Dika, harus lebih ekstra untuk merayu Dea. Semenjak Dea bekerja di kantor Arka, Dika semakin semangat bekerja. Sehingga Arka selalu menggan
POV Author"Ti-dak ada, Mas. Hanya pembahasan ringan tentang masa-masa kuliah kami dulu," ucap Jihan. "Silakan makan!" Jihan mencairkan suasana yang beku. Ia pun mendekatkan tisu dan tempat sendok ke Arka agar mudah diraih. "Oh, jadi kalian nostalgia lagi tentang kuliah?" sahut Arka, sambil menaikkan gulungan lengan kemejanya ke atas. Ia pun meraih sendok yang diberikan."Iya, sekalian bahas ...." Dika tidak melanjutkan ucapannya. Ia hampir saja menyebut yang sebenarnya tentang pembahasan mereka."Bahas apa?" Arka menoleh padanya."Tidak ada, Bos. Ayo, lanjutkan makannya! Keburu dingin sup-nya. Wangi sup ini bikin nagih. Kamu harus coba, Bos.""Kamu gak persilakan Dea?" Dea hanya tersenyum mendengar godaan Arka."Sudah, Bos. Dari tadi, sebelum Pak Bos kembali ke sini."Jihan sesekali tertawa melihat tingkah Arka yang selalu menggoda Dika dan Dea. Mereka pun kembali makan dengan lahap. Rasa lapar sudah tidak bisa kompromi lagi. "Ma ...." Gadis kecil berponi berlari ke arah ibunya."
"Apa maksudmu, Mba? Aku tidak merayu siapapun, apa kau salah orang?" Raisya membelalak. "Tidak usah berlagak tidak tahu. Beberapa hari lalu, aku melihatmu berbicara dengan suamiku di depan rumahmu. Dan aku tidak menyangka suamiku ikut masuk ke rumah ini. Apalagi coba kalau bukan kau ajak ... ih, astaghfirullah ...."Raisya berpikir keras untuk mengingat-ingat. Setahunya tidak ada seorang pun yang dia ajak ke rumah. Mana mungkin? Namun kemudian, dia mulai mengingat sesuatu. "Pak Burhan?""Nah, kau mengetahui namanya. Kau pasti sudah lama mengincarnya 'kan?""Mba, aku tidak pernah merayu suamimu atau apapun yang kau tuduhkan. Beberapa hari yang lalu dia memang ke rumahku karena memperbaiki lampu rumah ini.""Apa? Kenapa kau memintanya, bukan meminta yang lain atau teknisi saja?""Sebenarnya, aku menanyainya alamat atau kontak teknisi, tapi suamimu yang menawarkan sendiri. Katanya, dia juga pengalaman memperbaiki lampu yang rusak. Jadi, aku persilakan. Tidak ada yang lain."Erma, wanit
Di sebuah kamar yang cukup luas, kedua insan itu masih terlibat obrolan serius. Mata mereka belum terpejam. Keduanya masih hanyut, membahas kisah mereka yang dulu. Di dalam hati terdalam, masih ada kekaguman Jihan terhadap lelaki di sampingnya. Tidak terkecuali, Arka. Ketabahannya menunggu, tidak diragukan lagi. "Han!""Iya, Mas." Jihan menoleh ke sisi kanannya. Lelaki itu sedang berbaring sambil menatap langit kamar."Aku ingin bercerita, tapi posisimu terlalu jauh. Apakah kau tidak ingin mendekat? Berbaringlah di sisiku!" ucap Arka dengan seringai senang."Mas!" Pipi Jihan seketika merah merona karena godaan suaminya. "Kenapa? Naya sudah tidur 'kan?" Lelaki bermata tajam itu membalikkan badan dan menghadap ke arah Jihan.Wanita di hadapannya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut, karena memang benar putrinya sudah tidur. Arka mendekatkan dan menyandarkan kepala Jihan ke dadanya. Wanita itu hanya patuh dan mengikuti arahan Arka."Mas!" tegur Jihan."Hmm ...."Jihan mendongakkan
Nyonya Assel berbalik. "Siapa yang kau panggil ayah putri kecil? Bukankah Papa ganteng yang berdiri di sampingmu, ayahmu?" tunjuk Nyonya Assel ke Arka."Iya, Nek. Ini Papaku." Alis wanita di depannya seketika tertaut ke atas."Hmmm, aku masih muda, loh. Kok, panggilnya nenek?" ucap Nyonya Assel cemberut. Ia tidak suka dengan panggilan putri kecil di depannya, meskipun itu jujur. Anak sekecil dia mana bisa membedakan usia tua maupun muda. Panggilan itu telah menciderai perawatannya yang sudah ia gelontorkan selama bertahun-tahun. Entah nominalnya sudah tidak bisa dihitung lagi dengan kalkulator, tetapi tiba-tiba dinafikan oleh anak kecil dalam sepersekian detik. "Maaf, Tante.""Nah, gitu dong. Putri kecil yang pintar! Apakah kau mengenal paman ini? Kau memanggilnya apa tadi?""Dia bukan pam- ....""Oh, mungkin anak kecil itu mengira aku seperti papanya. Wajah orang kan hampir banyak yang serupa, tapi tak sama." Sebelum Naya melanjutkan jawabannya, Adnan sudah menyambung, kemudian be
Saat itu, Arka berjalan diapit oleh dua ratu cantik. Di tangan kirinya seorang putri kecil yang sangat menggemaskan, sedangkan di sisi kanannya, wanita anggun yang sedang mengapit lengannya. Mereka terus berjalan beriringan hingga ke singgasana pengantin.Semua mata tertuju ke mereka. Sebuah pemandangan yang sempurna untuk ditonton banyak orang. Mereka tidak menyangka bahwa tamu undangan sudah berdatangan lebih dulu. Padahal acara baru saja dimulai. Lelaki cambang yang duduk bersebelahan dengan Nyonya Assel, seketika membulatkan kedua bola matanya. Ia masih sangsi dengan apa yang dilihatnya. Adnan tidak bisa menafikan bahwa wanita yang berdiri di atas sana ialah mantan istrinya. Ia tidak menyangka Jihan sangat menakjubkan. Jihan sangat cantik bak seorang ratu sehari. Tanpa keraguan dari dasar hatinya. Ia tidak pernah melihat Jihan mengenakan gaun seindah itu. Di mana dia selama ini sehingga belum pernah menyaksikan istri sendiri sangat cantik, bak bidadari? Selama ini, dia hanya
Pagi itu, Adnan bangun dari tidur dan bersiap berangkat ke tempat kerja. Lisa masih bermalas-malasan di kamar karena hari itu bukan jadwalnya bekerja di pagi hari. Jadi, dia masih punya waktu untuk melanjutkan tidur karena semalam menonton serial drama di ponselnya. Sebenarnya, Lisa cukup senang bila kakaknya tinggal bersama di rumah, karena dia sangat takut di rumah sendiri selama sebulan belakangan. Itulah kenapa semalam dia tidak melanjutkan pertanyaannya karena tidak ingin kakaknya berubah pikiran dan kembali ke kosan. "Lisa ... Lis ... Di mana ya, kopi dan gulanya? Sarapan juga tidak ada. Kenapa dapurnya kosong semua?" Adiknya tidak menjawab.Selama sebulan belakangan, Adnan sangat sibuk menyiapkan makanan dan sarapan untuk dirinya sendiri. Padahal dulu, semua sudah tersedia tanpa diminta. Apalagi pakaian, ia harus menyiapkan sendiri segala keperluannya. Bahkan dia harus mencuci sendiri pakaiannya. Adiknya yang diharapkan tidak bisa diandalkan. Terlalu malas. Sudah seminggu,
Setelah dari kantor, Adnan mengendarai motornya menuju rumah kedua orang tuanya. Hampir sekitar sebulan, dia tidak berkunjung ke rumah. Sebelum menuju rumah, dia menyempatkan diri mengunjungi Lisa. Ia memperlambat laju motornya saat mendekati sebuah bangunan dua lantai, kemudian mencari parkiran motor. Setelah menemukan ruang kosong untuk menyimpan motornya, ia bergegas menuju bangunan tersebut. Ia masuk dan menuju lantai atas, tempat di mana para karyawan untuk beristirahat sekaligus berganti pakaian untuk bersiap-siap pulang dan berganti pekerja lain secara shift. Lisa mendapatkan shift pagi. Lantai atas merupakan ruang untuk SPA (Solus Per Aqua), sedangkan lantai bawah untuk Salon. Ya, adiknya bekerja di salon tersebut sebagai cleaning service untuk penebusan utangnya. Selain itu, Lisa tidak punya pilihan untuk bekerja karena Adnan sudah tidak mengirimkan uang lagi padanya. Adnan terus berjalan setelah menaiki tangga terakhir, kemudian berbelok ke kiri. Di ujung jalan ialah ru
"Ya, tau sendiri kan. Dia biang dari semua kegagalan hubungan kalian beberapa tahun silam. Dan kamu tau, gak. Dia juga sangat menyukai Mas Arka. Itulah kenapa dia selalu menghalangimu, pun menjelekkanmu di depan Mas Arka. Bahkan dia pernah memprovokasi Mas Arka. Sekarang dia sedang menerima akibat dari kejahatannya. Dia belum juga menikah sampai sekarang. Dia mengira Mas Arka akan melamarnya. Wanita itu terlalu terobsesi. Seharusnya dia move on dan mulai membuka hati untuk yang lain. Kasian kalau nanti jadi perawan tua.""Mungkin itu sudah jadi pilihannya, Met.""Entahlah! Bagiku, mungkin itu karma.""Mmm ...."Beberapa undangan sudah tersebar, begitu juga untuk keluarga dan kerabat terdekat. Akan tetapi, Jihan tidak tahu kalau undangan untuk alumni sudah disebar juga. Padahal dia sendiri yang berencana akan mengirim ke grup."Han, kita meet up yuk! Udah lama loh, kita tidak mengobrol lagi." Meta menyambung lagi setelah jeda beberapa menit."Okay. Aku juga udah kangen, kita udah lama
Kedua orang dewasa sedang duduk di atas kursi terbuat dari kayu jati minimalis. Mereka berada di dalam ruangan dengan luas sekitar enam belas meter. Di sekitar mereka terdapat meja dan kursi yang sama. Cahaya lampu menyinari sangat lembut dan tidak menyilaukan mata, sehingga membuat pengunjung nyaman. Meskipun di luar sudah pagi, ruangan tersebut tetap menyalakan lampu agar terkesan menyenangkan, sekaligus terlihat elegan dengan cahaya oranye. Wanita yang mereka tunggu pun datang menghampiri mereka, setelah menunggu beberapa menit**Setelah menjelaskan maksud kedatangan mereka, Ibu Anna pulang lebih dulu karena ada beberapa hal yang harus dilakukan. Hal penting baginya bahwa Jihan sudah mengerti dan tidak ada lagi kesalahpahaman. Setidaknya, dia sudah membantu putranya memperbaiki kesalahpahaman yang terjadi kemarin. "Jangan ditunda apalagi diperlambat. Mama tunggu kabar dari kalian secepatnya." Setelah mengatakan itu, wanita tua tersebut beranjak pergi."Baik, Ma."Arka dan Jihan
Ia melihat sekali lagi bangunan di depannya untuk memastikan bahwa pintu rumah yang dia ketuk adalah rumahnya. Ia mencoba, memanggil nama istrinya, Raisya berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. "Ke mana orang di dalam rumah ini?" tanyanya dalam hati.Adnan memutuskan untuk menunggu di teras depan rumah. Mungkin saja, istrinya sedang keluar bersama putrinya. Hampir sekitar tiga jam, orang yang ditunggu-tunggu belum kunjung datang. Matahari sudah sangat terik. Adnan semakin gelisah dan mulai lapar. Tubuhnya semakin lemas. Hingga malam pun tiba, seorang wanita bersama gadis kecil keluar dari dalam mobil dan berjalan memasuki pagar rumah. Ia menghentikan langkahnya saat melihat seorang lelaki di depan rumahnya. "Raisya! Aku menunggu kalian sejak pagi tadi. Kalian dari mana saja?" Lelaki itu mendongakkan wajahnya. Ia seakan tidak kuat lagi untuk berdiri."Untuk apa kau kembali ke sini? Aku pikir kau sudah mati.""Kamu? kamu mendoakan Mas seperti itu? Ini kan rumahku, jadi