Kami berpisah di depan hotel. Masing-masing dari kami menaiki taksi yang berbeda tujuan. Taksi melaju di atas jalan raya mengantarku ke tujuan. Aku menyandarkan kepala di jok mobil sambil menghembuskan napas berat. Udara yang terperangkap di dada mulai berangsur plong. Setidaknya menghindari mereka tidak membuat lelah hati dan telinga. Dering notifikasi pesan di smartphone-ku berulang. Aku sempat berpikir pesan tersebut dari Meta, tetapi bukan. Pesan tersebut tidak memiliki nama.Pesan masuk ke WA. Aku mengeklik aplikasi berwarna hijau tersebut kemudian membaca isi pesan di dalamnya.[Dasar wanita licik! Harusnya kau berkaca dulu sebelum menjelek-jelekkan orang di depan orang lain][Aku tahu kau hanya ingin mencari belas kasihan orang]Aku mengernyitkan dahi seketika. Deru dadaku memompa. Terasa sangat sesak. Aku tidak mengerti siapa yang dia maksud. Siapa yang aku jelekkan?Nama pengirimnya tidak tersimpan di gawaiku. Aku tidak tahu siapa yang mengirim pesan ini.Setelah beberapa
Mba Tina dan Naya sudah menghilang dari pandangan ekor mata. Aku mengalihkan kembali pandanganku ke wanita di depanku. Ia sangat tidak senang. Wanita ini sangat tidak ada malunya. Merebut milik orang, tetapi dia juga yang merasa terzolimi. Wanita aneh!"Kamu minta penjelasan apa. Bukankah aku yang harus meminta penjelasanmu, kenapa?" tanyaku padanya geram."Jihan, jika suami ingin berpoligami, tidak ada larangan dalam agama. Bahkan disunnahkan. Aku yakin kau sudah tahu hal itu.""Disunnahkan bagi yang mampu lahir dan batin, bukan hanya karena nafsu. Camkan itu!""Apakah kau yakin karena nafsu? Mungkin ini jalan ibadahnya dia agar terhindar dari dosa.""Raisya, kau berbicara seperti itu karena tidak berada di posisiku sekarang. Kau hanya ingin menyelamatkan harga dirimu. Apakah Mas Adnan sudah mempertimbangkan perasaan istri pertamanya? Sudahkah dia pertimbangkan hati yang disakiti, dikhianati, dan dibohongi?""Suami tidak butuh izin dan restu seorang istri jika dia mau berpoligami." I
"Dia tidak bertanya sesuatu atau apapun itu?""Tidak, Bu. Dia datang sambil mengedarkan pandangannya, kemudian langsung ke dalam bagian dapur tanpa berkata apa-apa. Kami tidak berani bertanya padanya.""Baik, lupakan saja. Mari lanjutkan pekerjaan kita! Pesanan dari sekolah SMA Bakti 12, sudah siap?""Iya, Bu. Sudah diantar oleh kurirnya. Pesanan yang 30 kotak dibatalkan. Mereka hanya minta 20."Seketika aku mengembuskan napas. Beginilah resiko berusaha, ada saja rintangannya. "Iya, tidak apa. Ini sudah resiko. Yang penting sudah ada kesepakatan awal.""Iya, Bu."Kami pun melanjutkan pekerjaan kami. Jarum jam terus berputar. Tidak terasa matahari telah meninggi dan sangat terik. Posisinya tepat di atas kepala. Setelah menyelesaikan makan siang, aku menundukkan hati dengan berserah diri kepada sang Maha Pelindung, menyerahkan segala sesuatu padanya.Tidak berselang lama, sebuah taksi memasuki halaman dan memarkir di depan kedai. Hari ini, aku akan pergi ke kantor advokat milik Mas Ark
"Mba Jihan!""Ada yang bisa saya bantu, Bu? Cari siapa, ya?" Aku masih terkejut dengan kedatangan mereka. Tidak biasanya mereka ke sini."Aku temanin Ibu, katanya kangen ingin berkunjung melihat cucunya," jelas Lisa padaku untuk memecahkan kekakuan mereka dan kebingunganku."Oh, gitu!""Naya sudah sehat?" Ibu meraih Naya. "Iya, Nek. Naya sehat." Naya mendekati mereka kemudian mencium punggung tangan mereka satu persatu."Alhamdulillah, cucu nenek sudah sehat! Jalan-jalan ke rumah nenek nanti, ya. Nenek udah kangen. Mau ikut nenek 'kan?""Emang Ayah ada di lumah nenek?""Ada. Hampir setiap hari ayah di sana." Ia sedikit kikuk setelah mengucapkannya kemudian melirikku."Kok, gak singgah di lumah ini? Katanya kelja?""Mmm ...." Ibu terlihat bingung dan melirik ke Lisa. "Iya, Ayah hanya singgah aja. Setelah itu, dia pergi lagi untuk bekerja." Lisa ikut menjelaskan ke putri kecil di depan mereka. Putri kecilku itu meskipun masih usia anak-anak, tetapi cukup jeli. Ia tidak mudah menerima
Pikiranku masih bertanya-tanya siapa yang mengetuk pintu.Aku menatap sebentar ke Ibu dan Lisa bergantian, meminta penjelasan mereka siapa yang mengetuk pintu di luar. Namun, mereka tidak merespon kebingunganku, pun mereka terlihat bingung. Aku beranjak dari tempat duduk menuju pintu, kemudian membukanya. Aku terkejut beberapa detik melihat lelaki ini ke sini lagi. Apalagi yang diinginkan oleh lelaki ini. Ia melangkah masuk tanpa menunggu aku mempersilakannya ke dalam. Ia seakan tidak peduli dengan reaksiku."Ibu ... Lisa! Kalian di sini? Ada apa ke sini sore-sore? Kalian akan kemalaman pulang nanti." tanyanya kebingungan.Entah itu benar-benar pertanyaan atau hanya sandiwara. Aku tidak mengerti dengan sikap mereka. Aku memutuskan duduk kembali."Iya, Mas. Kami hanya ingin jalan-jalan ke sini, sekalian jenguk Naya. Ibu sudah rindu sama cucunya. Ibu pikir dia masih sakit," jawab Lisa."Naya sudah sehat, kok!" sahut lelaki berambut cepak tersebut dengan santai. Seakan dia sangat tahu
POV AdnanWanita itu kini semakin pandai berbicara dan juga menyela. Dulu, dia tidak seberani sekarang. Tidak pernah mempermasalahkan aku pulang malam atau tidak pulang ke rumah, bahkan berhari-hari. Sekarang semua sudah berubah. Itu karena ulah Raisya yang mengganti kartu telepon seluler milikku. Akhirnya aku kehilangan kontak dan susah menghubungi Jihan. Aghh, semua sudah terjadi!"Mba Jihan, sebaiknya kau berbicara dengan baik kepada kami bukan dengan cara kasar seperti ini. Ibu pun bertanya padamu dengan baik-baik." Tiba-tiba Lisa menyahut dan tidak terima dengan tuduhan Jihan."Bagian mana aku berbicara kasar? Aku hanya menjawab pertanyaan kalian yang terkesan menyudutkanku. Jadi, seperti apalagi aku harus menjawab, Lis?""Lisa, duduk lah dulu!" Ibu melerai dan menarik Lisa untuk duduk kembali."Kalau maksud kedatangan kalian hanya untuk berdebat masalah ini, aku mohon izin ingin istirahat. Aku tidak ingin membuat Naya terbangun hanya karena mendengar keributan.""Bukan itu mak
"Raisya! Dita ...."Aku mencari mereka di dapur dan sekeliling ruangan, tetapi tidak ada mereka. Hingga akhirnya aku memutuskan, menuju kamar dan membuka pintu. Tiba-tiba, aku terpaku sepersekian detik. Wanita itu membenamkan wajahnya di bantal, sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Aku sedikit bingung dengan tingkah Raisya. Aku mendekat dan bertanya, "Kamu kenapa, Sya?""Pokoknya, aku tidak bisa menerima semua ini, Mas." Ia mendongakkan kepalanya, melihat ke arahku dengan suara serak."Ada apa? Apa yang terjadi?" Aku masih tidak mengerti apa maksudnya. Pikiranku masih kalut untuk mencerna ucapannya. "Kau tenang lah dulu dan jelaskan ke Mas dengan baik. Sebenarnya ada apa? Siapa yang sudah menyakitimu?" Matanya sudah sembab. Entah sudah berapa lama dia di dalam kamar dan menangis seperti ini. "Aku tidak akan pernah memaafkannya. Dia sudah menjelek-jelekkanku di depan semua teman alumni, Mas.""Emangnya dia siapa?" tanyaku masih penuh dengan tanda tanya."Siapa la
POV AdnanAku mendorong pintu, tetapi terkunci. Aku mencoba, menggedor-gedor pintu sambil memanggilnya dengan suara keras, tetapi tidak ada jawaban. Seketika, aku terpikir pintu belakang. Pasti belum dikunci. Aku pun berjalan ke belakang untuk mengecek. Aku tak tahu dia masih ada di dalam atau di luar. Atau sengaja bersembunyi di dalam karena mendengar suaraku. Sial! aku kebingungan, tidak tahu pasti dia di dalam atau tidak sama sekali. Pintu jendela! Ya, aku teringat pintu jendela.Aku bergegas berjalan untuk mengecek jendela di belakang, hasilnya tetap nihil. Jendela tengah sampai depan pun sama, tidak bisa dibuka. Rumah ini semuanya terkunci rapat. Bagaimana aku bisa tahu Jihan ada di dalam atau tidak. Aku sudah beberapa kali mengetuk pintu, tetapi tidak ada yang menyahut dari dalam.Aku terdiam sejenak, tidak tahu harus melakukan apa lagi. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal.Jendela kamarnya! Ya, aku baru ingat yang ini.Aku berjalan lagi menuju jendela. Sudah aku coba b
"Apa maksudmu, Mba? Aku tidak merayu siapapun, apa kau salah orang?" Raisya membelalak. "Tidak usah berlagak tidak tahu. Beberapa hari lalu, aku melihatmu berbicara dengan suamiku di depan rumahmu. Dan aku tidak menyangka suamiku ikut masuk ke rumah ini. Apalagi coba kalau bukan kau ajak ... ih, astaghfirullah ...."Raisya berpikir keras untuk mengingat-ingat. Setahunya tidak ada seorang pun yang dia ajak ke rumah. Mana mungkin? Namun kemudian, dia mulai mengingat sesuatu. "Pak Burhan?""Nah, kau mengetahui namanya. Kau pasti sudah lama mengincarnya 'kan?""Mba, aku tidak pernah merayu suamimu atau apapun yang kau tuduhkan. Beberapa hari yang lalu dia memang ke rumahku karena memperbaiki lampu rumah ini.""Apa? Kenapa kau memintanya, bukan meminta yang lain atau teknisi saja?""Sebenarnya, aku menanyainya alamat atau kontak teknisi, tapi suamimu yang menawarkan sendiri. Katanya, dia juga pengalaman memperbaiki lampu yang rusak. Jadi, aku persilakan. Tidak ada yang lain."Erma, wanit
Di sebuah kamar yang cukup luas, kedua insan itu masih terlibat obrolan serius. Mata mereka belum terpejam. Keduanya masih hanyut, membahas kisah mereka yang dulu. Di dalam hati terdalam, masih ada kekaguman Jihan terhadap lelaki di sampingnya. Tidak terkecuali, Arka. Ketabahannya menunggu, tidak diragukan lagi. "Han!""Iya, Mas." Jihan menoleh ke sisi kanannya. Lelaki itu sedang berbaring sambil menatap langit kamar."Aku ingin bercerita, tapi posisimu terlalu jauh. Apakah kau tidak ingin mendekat? Berbaringlah di sisiku!" ucap Arka dengan seringai senang."Mas!" Pipi Jihan seketika merah merona karena godaan suaminya. "Kenapa? Naya sudah tidur 'kan?" Lelaki bermata tajam itu membalikkan badan dan menghadap ke arah Jihan.Wanita di hadapannya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut, karena memang benar putrinya sudah tidur. Arka mendekatkan dan menyandarkan kepala Jihan ke dadanya. Wanita itu hanya patuh dan mengikuti arahan Arka."Mas!" tegur Jihan."Hmm ...."Jihan mendongakkan
Nyonya Assel berbalik. "Siapa yang kau panggil ayah putri kecil? Bukankah Papa ganteng yang berdiri di sampingmu, ayahmu?" tunjuk Nyonya Assel ke Arka."Iya, Nek. Ini Papaku." Alis wanita di depannya seketika tertaut ke atas."Hmmm, aku masih muda, loh. Kok, panggilnya nenek?" ucap Nyonya Assel cemberut. Ia tidak suka dengan panggilan putri kecil di depannya, meskipun itu jujur. Anak sekecil dia mana bisa membedakan usia tua maupun muda. Panggilan itu telah menciderai perawatannya yang sudah ia gelontorkan selama bertahun-tahun. Entah nominalnya sudah tidak bisa dihitung lagi dengan kalkulator, tetapi tiba-tiba dinafikan oleh anak kecil dalam sepersekian detik. "Maaf, Tante.""Nah, gitu dong. Putri kecil yang pintar! Apakah kau mengenal paman ini? Kau memanggilnya apa tadi?""Dia bukan pam- ....""Oh, mungkin anak kecil itu mengira aku seperti papanya. Wajah orang kan hampir banyak yang serupa, tapi tak sama." Sebelum Naya melanjutkan jawabannya, Adnan sudah menyambung, kemudian be
Saat itu, Arka berjalan diapit oleh dua ratu cantik. Di tangan kirinya seorang putri kecil yang sangat menggemaskan, sedangkan di sisi kanannya, wanita anggun yang sedang mengapit lengannya. Mereka terus berjalan beriringan hingga ke singgasana pengantin.Semua mata tertuju ke mereka. Sebuah pemandangan yang sempurna untuk ditonton banyak orang. Mereka tidak menyangka bahwa tamu undangan sudah berdatangan lebih dulu. Padahal acara baru saja dimulai. Lelaki cambang yang duduk bersebelahan dengan Nyonya Assel, seketika membulatkan kedua bola matanya. Ia masih sangsi dengan apa yang dilihatnya. Adnan tidak bisa menafikan bahwa wanita yang berdiri di atas sana ialah mantan istrinya. Ia tidak menyangka Jihan sangat menakjubkan. Jihan sangat cantik bak seorang ratu sehari. Tanpa keraguan dari dasar hatinya. Ia tidak pernah melihat Jihan mengenakan gaun seindah itu. Di mana dia selama ini sehingga belum pernah menyaksikan istri sendiri sangat cantik, bak bidadari? Selama ini, dia hanya
Pagi itu, Adnan bangun dari tidur dan bersiap berangkat ke tempat kerja. Lisa masih bermalas-malasan di kamar karena hari itu bukan jadwalnya bekerja di pagi hari. Jadi, dia masih punya waktu untuk melanjutkan tidur karena semalam menonton serial drama di ponselnya. Sebenarnya, Lisa cukup senang bila kakaknya tinggal bersama di rumah, karena dia sangat takut di rumah sendiri selama sebulan belakangan. Itulah kenapa semalam dia tidak melanjutkan pertanyaannya karena tidak ingin kakaknya berubah pikiran dan kembali ke kosan. "Lisa ... Lis ... Di mana ya, kopi dan gulanya? Sarapan juga tidak ada. Kenapa dapurnya kosong semua?" Adiknya tidak menjawab.Selama sebulan belakangan, Adnan sangat sibuk menyiapkan makanan dan sarapan untuk dirinya sendiri. Padahal dulu, semua sudah tersedia tanpa diminta. Apalagi pakaian, ia harus menyiapkan sendiri segala keperluannya. Bahkan dia harus mencuci sendiri pakaiannya. Adiknya yang diharapkan tidak bisa diandalkan. Terlalu malas. Sudah seminggu,
Setelah dari kantor, Adnan mengendarai motornya menuju rumah kedua orang tuanya. Hampir sekitar sebulan, dia tidak berkunjung ke rumah. Sebelum menuju rumah, dia menyempatkan diri mengunjungi Lisa. Ia memperlambat laju motornya saat mendekati sebuah bangunan dua lantai, kemudian mencari parkiran motor. Setelah menemukan ruang kosong untuk menyimpan motornya, ia bergegas menuju bangunan tersebut. Ia masuk dan menuju lantai atas, tempat di mana para karyawan untuk beristirahat sekaligus berganti pakaian untuk bersiap-siap pulang dan berganti pekerja lain secara shift. Lisa mendapatkan shift pagi. Lantai atas merupakan ruang untuk SPA (Solus Per Aqua), sedangkan lantai bawah untuk Salon. Ya, adiknya bekerja di salon tersebut sebagai cleaning service untuk penebusan utangnya. Selain itu, Lisa tidak punya pilihan untuk bekerja karena Adnan sudah tidak mengirimkan uang lagi padanya. Adnan terus berjalan setelah menaiki tangga terakhir, kemudian berbelok ke kiri. Di ujung jalan ialah ru
"Ya, tau sendiri kan. Dia biang dari semua kegagalan hubungan kalian beberapa tahun silam. Dan kamu tau, gak. Dia juga sangat menyukai Mas Arka. Itulah kenapa dia selalu menghalangimu, pun menjelekkanmu di depan Mas Arka. Bahkan dia pernah memprovokasi Mas Arka. Sekarang dia sedang menerima akibat dari kejahatannya. Dia belum juga menikah sampai sekarang. Dia mengira Mas Arka akan melamarnya. Wanita itu terlalu terobsesi. Seharusnya dia move on dan mulai membuka hati untuk yang lain. Kasian kalau nanti jadi perawan tua.""Mungkin itu sudah jadi pilihannya, Met.""Entahlah! Bagiku, mungkin itu karma.""Mmm ...."Beberapa undangan sudah tersebar, begitu juga untuk keluarga dan kerabat terdekat. Akan tetapi, Jihan tidak tahu kalau undangan untuk alumni sudah disebar juga. Padahal dia sendiri yang berencana akan mengirim ke grup."Han, kita meet up yuk! Udah lama loh, kita tidak mengobrol lagi." Meta menyambung lagi setelah jeda beberapa menit."Okay. Aku juga udah kangen, kita udah lama
Kedua orang dewasa sedang duduk di atas kursi terbuat dari kayu jati minimalis. Mereka berada di dalam ruangan dengan luas sekitar enam belas meter. Di sekitar mereka terdapat meja dan kursi yang sama. Cahaya lampu menyinari sangat lembut dan tidak menyilaukan mata, sehingga membuat pengunjung nyaman. Meskipun di luar sudah pagi, ruangan tersebut tetap menyalakan lampu agar terkesan menyenangkan, sekaligus terlihat elegan dengan cahaya oranye. Wanita yang mereka tunggu pun datang menghampiri mereka, setelah menunggu beberapa menit**Setelah menjelaskan maksud kedatangan mereka, Ibu Anna pulang lebih dulu karena ada beberapa hal yang harus dilakukan. Hal penting baginya bahwa Jihan sudah mengerti dan tidak ada lagi kesalahpahaman. Setidaknya, dia sudah membantu putranya memperbaiki kesalahpahaman yang terjadi kemarin. "Jangan ditunda apalagi diperlambat. Mama tunggu kabar dari kalian secepatnya." Setelah mengatakan itu, wanita tua tersebut beranjak pergi."Baik, Ma."Arka dan Jihan
Ia melihat sekali lagi bangunan di depannya untuk memastikan bahwa pintu rumah yang dia ketuk adalah rumahnya. Ia mencoba, memanggil nama istrinya, Raisya berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. "Ke mana orang di dalam rumah ini?" tanyanya dalam hati.Adnan memutuskan untuk menunggu di teras depan rumah. Mungkin saja, istrinya sedang keluar bersama putrinya. Hampir sekitar tiga jam, orang yang ditunggu-tunggu belum kunjung datang. Matahari sudah sangat terik. Adnan semakin gelisah dan mulai lapar. Tubuhnya semakin lemas. Hingga malam pun tiba, seorang wanita bersama gadis kecil keluar dari dalam mobil dan berjalan memasuki pagar rumah. Ia menghentikan langkahnya saat melihat seorang lelaki di depan rumahnya. "Raisya! Aku menunggu kalian sejak pagi tadi. Kalian dari mana saja?" Lelaki itu mendongakkan wajahnya. Ia seakan tidak kuat lagi untuk berdiri."Untuk apa kau kembali ke sini? Aku pikir kau sudah mati.""Kamu? kamu mendoakan Mas seperti itu? Ini kan rumahku, jadi