"Papa ... Papa," suara dari Qia membuatku urung menjawab perkataan mas Abi. Aku segera menoleh dan menatap ke arah bocah yang tengah berada di tangga paling atas rumahku. Aku bangkit dan menghampirinya sampai berteriak."Qia awas jangan lari-larian berbahaya berlari menuruni tangga," ucapku. Bocah kecil itu mendengarkan ucapanku dan akhirnya berjalan perlahan menuruni tangga, sedangkan aku tetap menunggunya di ujung tangga paling bawah. "Papa datang menjemputku?" ucapnya kegirangan. "Iya Papa menjemputmu," jawab mas Abi sambil berjalan menghampiri kami."Ya sudah ayo kita pulang sudah sore, kasihan tante banyak kerjaan sepertinya," ajak Qia pada papanya."Qia pergi ke mobil dulu ya tungguin papa di sana. Papa mau bicara sebentar dengan tante Safa," titah mas Abi pada sang putri.Bocah manis itu menuruti perkataan papanya. Qia lantas berpamitan padaku, mencium tanganku, dan pergi berlalu menuju mobil papanya yang terparkir di halaman rumahku."Aku menunggu jawabanmu, Safa. Apa kam
"Apa kamu akan pergi keluar?" tanya wanita yang terlihat berkelas itu sambil berdiri menatapku dari tempatnya. Untuk beberapa saat, aku sempat terpaku berdiri tidak jauh dari ruang tamu. Mendengar sapaan darinya, bergegas aku berjalan menghampiri mama dari mas Abi tersebut. "Tidak, Bu. Kebetulan saya sedang rapi saja hari ini," jawabku sambil berusaha tersenyum. "Silahkan duduk," ucapku lagi, mempersilahkan wanita tersebut duduk kembali. Aku terdiam menunggu apa yang hendak dikatakan oleh tamuku itu padaku, rasanya tidak elok jika aku menanyakan tujuannya datang ke rumahku saat ini. "Apa Qia sering datang ke sini?" tanyanya membuka percakapan. "Iya kadang-kadang, mungkin sekitar tiga sampai empat kali dalam seminggu. Biasanya Qia akan di antar jemput oleh supir dan pengasuhnya."Aku sengaja memberitahu siapa yang mengantar dan menjemput bocah itu agar nenek dari Qia ini tidak berpikir jika putranya selalu datang ke rumahku. "Apa kamu menyayangi Qia?" tanyanya lagi. "Siapa yang
POV Abimanyu_______________Siang itu adalah hari yang membahagiakan buatku, akhirnya Safa menerima lamaranku. Beruntung mama datang bukan untuk membuat Safa terluka lagi, tapi datang untuk memintanya menjadi mama Qia sekaligus istriku. Kami meneruskan obrolan setelah makan siang bersama, membahas tentang pernikahan kami. Aku ingin segera menikahi wanita ini, jika kami menikah dan tinggal bersama, maka Qia dan aku tidak perlu bolak-balik ke rumah ini untuk bertemu dengannya. Saat tengah asyik berbincang, tiba-tiba mantan suami Safa lagi-lagi datang ke rumah ini. Aku tidak tahu apa maunya pria itu masih saja mendatangi mantan istrinya. Begitu masuk kedalam rumah, dia langsung memarahi calon istriku hanya karena Safa berniat untuk menjual rumahnya. Mungkin saja Safa sudah mengiklankan rumah ini atau memakai jasa seseorang untuk menjualnya kemudian pria ini mengetahuinya. Pria arogan itu dengan seenaknya merendahkan mantan istrinya, hal itu tentu saja memancing kemarahanku. Bagaiman
Aku menjerit kaget melihat mas Abi masuk kedalam kamar kami tanpa baju. Meskipun tadi pagi dia sudah sah menjadi suamiku, tapi situasi ini terasa sangat canggung. Bagaimana bisa tau-tau dia masuk ke kamar dengan bertelanjang dada seperti itu. "Maaf, aku pikir kamu masih dikamar Qia," ucapnya terbata. Kenapa dia malah minta maaf, ini kan memang kamarnya terserah padanya mau masuk kamar tanpa permisi ataupun dengan bertelanjang dada seperti itu. Aku bangkit dari ranjang dan menghampirinya sambil menunduk tanpa berani menatap badannya. "Kamu perlu sesuatu mas, apa teman-temanmu sudah pulang?" tanyaku berbasa-basi untuk menghilangkan kecanggungan diantara kami. "Safa, aku tahu kamu lelah dan ini masih sangat awal bagi kita, tapi aku ... Aku," ucap mas Abi terbata-bata.Aku menatap wajahnya, kenapa dia terlihat seperti menahan sesuatu. Mas Abi menyeka keringat di dahinya, apa dia kegerahan sehingga membuka bajunya seperti itu. "Mas, kamu berkeringat. Kamu sakit?" tanyaku khawatir. Ak
"Kenapa kamu tidak ingin aku hamil mas, apa kamu tidak serius ingin menjadikanku pendampingmu. Apa kamu tidak bener-benar tulus mencintaiku?" "Justru karena aku mencintaimu dan tidak ingin kehilangan dirimu makanya aku tidak ingin kamu hamil. Aku tidak mau kehilangan lagi, Safa." Lelaki di hadapanku itu menatap kearahku dengan tatapan sendu. "Aku pernah kehilangan karena proses melahirkan, dan aku tidak ingin itu terjadi lagi. Aku tidak masalah jika hanya memiliki Qia dan dirimu saja."Aku menghela nafas panjang dan meletakkan obat yang diberikan padaku di atas meja rias yang ada di dalam kamar kami. Perlahan aku mendekati suamiku itu dan meraih tangannya."Kematian itu pasti mas, tidak harus dengan jalan melahirkan. Memang sudah jalannya mama Qia harus menghadap pada sang kuasa dengan jalan itu. Dia sudah tenang di alam sana. Dan tentang aku, tidak perlu kamu menyuruhku meminum obat itu. Toh selama lima tahun aku menikah, aku tidak memiliki anak. Mungkin aku bukan wanita yang subu
Sudah satu minggu aku menjadi istrinya mas Abi. Aku pun mulai lagi bekerja mengurusi usahaku. Untuk saat ini aku tidak membuat pola-pola baru terlebih dahulu karena belum memiliki ruang kerja sendiri disini. Suamiku itu sedang membuatkan sebuah bangunan baru di samping rumah ini untuk tempatku bekerja nantinya. Urusan pekerjaan rumah dan memasak dikerjakan oleh asisten rumah tangga, untuk mengantar jemput Qia tetap dilakukan oleh pengasuh dan juga sopir. Dalam satu minggu, mas abi hanya memperbolehkanku mengantar dan menjemput Qia dua kali saja. Mas Abi memberi pengertian pada Qia, jika mamanya, yaitu aku juga memiliki pekerjaan dan kesibukan sendiri. Jadi tidak bisa setiap hari mengantarkannya pergi ke sekolah. Meskipun aku mengatakan tidak apa-apa jika aku pergi ke sekolah Qia, namun pria yang sudah menjadi suamiku itu mengatakan padaku untuk tidak mengambil job pengasuh Qia. Atau pengasuhnya akan kehilangan pekerjaan, mas Abi mengatakan itu sambil tertawa. Setidaknya biarkan pe
"Baiklah, mbak berdua bisa langsung bekerja di tempat saya mulai besok yaa. Nanti saya telpon orang kepercayaan saya untuk menempatkan kalian berdua di mesin sebelah mana," ujarku pada kedua wanita yang duduk di hadapanku. Aku tidak ingin larut memikirkan mantan suamiku dan istrinya. Biarlah mereka mau terpuruk atau sukses, aku tidak peduli, yang penting mereka tidak menganggu kehidupanku lagi.Setelah kepergian ke-dua orang yang melamar pekerjaan padaku, aku melihat jam yang ada di smartphone milikku. Aku rasa hari sudah siang, mas Abi lebih sering pulang untuk makan siang. Tidak hanya makan siang biasa, tapi makan siang plus-plus jika sang putri belum sampai dirumah. Pernah suatu kali Qia pulang dan melihat papanya yang sudah di rumah. Kami bersama-sama keluar dari kamar, lalu gadis kecil itu melihat papanya yang rambutnya basah dan bertanya kenapa siang-siang pulang dan mandi. Kemudian dengan pandainya mas Abi berkata jika dia kegerahan lalu pulang untuk mandi. Qia si anak pint
Aku mengabaikan apa yang terjadi barusan, mau bertemu dengan mas Galih maupun Dania, aku tidak akan peduli lagi. Kami hidup di dalam satu kota yang sama, hal-hal seperti ini pasti akan terus terjadi. Begitu aku sampai di lantai yang aku tuju, segera kuayunkan langkah menuju tokoku. Seperti biasanya karyawan akan menyapaku dengan ramah. Aku segera melihat pembukuan dan mengecek semua stok barang, selain itu juga bertanya apa yang mungkin sedang trend dan dicari oleh customer. Selain membuat berdasarkan ide sendiri, aku juga memodifikasi model-model yang sedang di cari dan ngetrend saat ini untuk mengisi stok tokoku sendiri. Biasanya aku bertanya kepada karyawanku, dan mulai sekarang aku juga lebih banyak belajar menggunakan media sosial untuk berjualan maupun melihat sesuatu yang sedang viral lewat sana. Sekarang waktu luangku begitu banyak, aku hanya mengurus usahaku, bermain dengan Qia dan melayani mas Abi. Aku tidak pernah lagi mengurus urusan pekerjaan rumah maupun memasak. Wakt