Aku terbangun karena mencium aroma khas rumah sakit, apa saat ini aku memang berada di tempat orang-orangnya yang tidak sehat itu. Ingatanku langsung tertuju sesaat sebelum aku pingsan tadi. Aku mendapatkan gambar yang menampilkan suamiku dan perempuan itu. Mengingat akan hal itu rasa-rasanya aku ingin segera bangkit dari ranjang pasien ini dan kabur meninggalkan mas Abi. Biar saja, biar dia tahu artinya kehilangan, lalu dia akan menyesalinya seperti yang terjadi pada mantan suamiku dulu. Aku hendak bangun dari posisiku, namun tubuhku terasa lemas tak bertulang. Aku hanya bisa membuka mata dan menatap langit-langit kamar ini. Tidak lama setelah aku sadar, terdengar suara pintu dibuka. Segera aku kembali menutup mataku, pasti itu suamiku. Aku tidak ingin melihat ataupun berbicara dengannya saat ini. Begitu lelaki itu sampai di samping ranjangku, aku merasakan genggaman tangannya yang hangat. Genggaman yang sesungguhnya selalu aku rindukan. Sesaat setelahnya, mas Abi terus mengungk
Setelah akreditasi di sekolahan mas Abi selesai dan suamiku itu tidak terlalu sibuk, akhirnya kami memutuskan untuk pergi bersama berdua saja seperti rencana kami saat menginap di rumah sakit. Kami memilih weekend untuk pergi bersama.Qia kami titipkan di rumah neneknya, gadis kecil itu semakin lama semakin mengerti dan bisa di ajak kerjasama. Kali ini aku dan papanya bisa meninggalkannya tanpa banyak drama. "Kita mau kemana mas?" tanyaku sambil masuk ke dalam mobil dan duduk disampingnya. "Kita akan pergi ke luar kota, staycation aja di hotel. Karena kamu sedang hamil, aku tidak ingin kamu kecapekan. Kamu bilang aku tidak sanggup menyewa hotel untuk bercinta, sekarang aku buktikan jika aku sanggup," tuturnya sambil tersenyum menggodaku. "Kita kesana cuma untuk itu mas?" tanyaku dengan muka memberengut."Enggak sayang, cuma bercanda.""Hai sayang, kita akan jalan-jalan. Baik-baik di dalam sana ya." Mas Abi berkata sambil mengelus perutku. Aku merasa terharu dan dihargai saat bersa
Pagi yang cerah dan suasana yang sangat segar membuat hati terasa nyaman. Aku duduk di sisi ranjang sambil menatap pepohonan hijau yang terbentang dibalik kaca jendela. Mas Abi sedang di kamar mandi, lelakiku itu sedang mandi setelah selepas subuh kami melakukan ritual suami isteri lagi. Semalam aku tertidur lebih dahulu karena kelelahan setelah melakukankannya di sofa saat sore hari. Ah, kelakukan kami benar-benar seperti pengantin baru saja. Tidak melakukannya di malam hari kami lakukan dipagi hari. Usia kandunganku yang sudah menginjak trisemester kedua membuat kami tidak khawatir saat bercinta. Ponselku bergetar diatas meja, segera aku meraihnya. Aku pikir, mungkin saja Qia yang menelpon karena dia merindukanku. Panggilan dari nomor Kaira, ada apa temanku ini sepagian ini sudah menelepon. "Bagaimana honeymoonnya," tanyanya begitu sambungan telepon terhubung. "Honeymoon apaan sih, Kai. Mana ada orang honeymoon dalam keadaan berbadan dua," sahutku sambil tertawa. "Memangnya ada
POV DaniaMenjelang Isya, kami sampai di kota ini. Rumah dua lantai yang megah itu menyambut kedatangan kami, seorang wanita yang sudah tidak muda lagi membukakan pintu untuk kami, katanya beliau itu adalah ibu dari lelaki yang bersamaku dan juga istrinya. Hari ini pertama kalinya aku datang ke kota besar ini. Tetanggaku, yang hanya berjarak tiga rumah dariku beberapa waktu lalu pulang kampung dan mencari karyawan yang bisa dipercaya, begitu yang aku dengar kala itu. Aku yang ingin sekali bekerja di kota tentu saja langsung tertarik untuk mendapatkan pekerjaan itu. Apa lagi katanya bukan sebagai pembantu rumah tangga. Rata-rata orang di desaku, jika bekerja ya jadi pembantu dan semacamnya. Anak perempuan di desa kami kebanyakan hanyalah lulusan Sekolah Menengah ataupun SMA, SMK sederajat. Hanya sedikit yang hingga menjadi sarjana. Mbak Safa, dia gadis yatim piatu yang menikah dengan laki-laki desa sebelah lalu pergi merantau ke kota. Siapa sangka mereka akan menjadi orang yang suks
POV DianaHubunganku dengan mas Galih terus berlanjut, apa lagi kami sudah sah menjadi suami istri meskipun pernikahan kami tidak tercatat di pengadilan agama. Sejak menjadi istrinya aku mendapat apapun yang aku inginkan, lelaki itu juga selalu pulang ke rumah yang aku tempati terlebih dahulu sebelum pulang ke rumahnya sendiri. Tentu saja untuk menuntaskan hasratnya, seolah-olah di rumah dia tidak mendapatkan dari mbak Safa. Entahlah aku tidak peduli, yang penting kehidupanku semakin nyaman. Hingga akhirnya terpikirkan olehku untuk menjadikan mas Galih satu-satunya milikku. Jika dia hanya menjadi suamiku maka miliknya akan menjadi milikku juga, tanpa harus berbagi dengan mbak Safa. Apalagi saat aku menginginkan mobil dia menolaknya dengan alasan takut ketahuan istrinya itu. Namun saat aku mengutarakan keinginanku itu, lelaki itu menolaknya. Dia bilang tidak bisa meninggalkan mbak Safa, tidak ada alasan untuk meninggalkan wanita itu. Apalagi wanita itu begitu perhatian pada ibunya y
POV GALIHSuasana ruko tiga lantai ini sudah mulai sepi, karyawan-karyawan sudah pulang ke rumah masing. Hanya tinggal beberapa orang dibagian mesin jahit saja yang masih tinggal dan bekerja. Mungkin mereka sedang menyelesaikan pekerjaan mereka. Aku memang tidak pernah melarang mereka bekerja hingga jam delapan malam. Aku selesai salat Isya saat mendengar teriakkan dari arah bawah. Sepertinya itu suara Dania. Sudah sebulan ini aku mulai rajin lagi beribadah, seperti dulu saat aku masih bersama Safa seorang. Belum ada hal-hal yang menggoda diriku hingga aku sering melalaikan kewajiban pada Sang Pencipta.Bergegas aku melipat sajadah dan hendak turun kebawah, namun ternyata Dania bersama ke-dua orang lelaki sudah sampai di lantai tiga. Tempat dimana aku tinggal saat ini. Salah satu lelaki dengan tubuh kekar itu mendorong tubuh Dania ke arahku. "Jaga istrinya pak, jangan dibiarkan menggoda suami orang. Atau kalau tidak, orang-orang seperti kami yang akan memuaskan nafsunya," ucap lela
Pulang dari staycation, badan dan hatiku terasa ringan. Mungkin kadangkala memang kami harus menyediakan waktu untuk jalan-jalan dan refreshing keluar kota dan mencari suasana baru. Apalagi nanti saat ada dua anak yang harus kami urus, kami harus berlibur meskipun harus mengajak serta mereka. Itu malah akan menambah keseruan. Semenjak perutku semakin membuncit, mas Abi semakin protektif padaku. Kadang kala ke kamar mandipun ingin diantarnya. "Aku ini hanya hamil mas, bukan sakit," keluhku kala dia terlalu berlebihan memperlakukan diriku. "Aku hanya menghawatirkan dirimu dan calon bayi kita." Padahal ini bukan kali pertama lelaki itu akan memiliki seorang anak. Tapi seakan-akan ini pertama kali baginya. Tengah malam aku terbangun karena rasa lapar diperutku, menjadi wanita hamil memang berat cobaannya. Makan sedikit cepat kenyang, tapi cepat lapar juga, bahkan tengah malam seperti ini. Dengan perlahan aku turun dari tempat tidur, tidak mau menganggu istirahat mas Abi. Jika lela
Setibanya di rumah sakit, aku langsung menemui dokter yang biasa memeriksaku. Setelah itu, dibawa ke ruang observasi. Di ruangan tersebut seorang perawat memakaikan padaku sejenis sabuk yang terhubung dengan sebuah alat yang biasa di sebut Electrocardiograph atau CTG. Alat itu berguna untuk memantau denyut jantung dan kontraksi ibu hamil. Ternyata baru terjadi pembukaan satu. Katanya jika anak pertama akan berlangsung lama untuk sampai hingga pembukaan sempurna dan siap melahirkan. "Saya bisa melahirkan normal kan, dokter?" tanyaku pada dokter cantik itu. "Insyaallah bisa Bu. Bu Safa tenangkan diri dan rileks. Pak Abimanyu nya mana? kok malah sendirian saja?" "Nanti saja saya kasih tahunya, dokter. Suami saya selalu mengkhawatirkan saya, jadi saya takut jika mas Abi menemani melewati masa pembukaan malah saya yang mengkhawatirkan dirinya," jawabku sambil tersenyum. "Saya akan menelpon mama saja untuk menemani saya," ujarku lagi. "Jika itu menurut Bu Safa yang terbaik, silahkan
Mobil yang dikendarai Mas Abi bergerak menjauhi rumah kami. Hari ini lelakiku itu mengajakku jalan-jalan tanpa anak-anak bersama kami. Dia ingin mengajakku refreshing, menyenangkan diri, merilekskan tubuh dan otot-otot setelah beberapa waktu yang lalu berjuang melahirkan putra kami. Awalnya aku menolak karena kasian anak-anak, ditambah lagi bayi kami baru dua bulan. Gimana jika nanti rewel kalau ditinggal. Setelah meyakinkan diriku, akhirnya aku mengikuti kemauan Mas Abi. Qia dan Albi pergi ke rumah Omanya. Keduanya di jemput pagi-pagi sekali, sedangkan Azam di rumah dengan pengasuhnya. Aku sudah menyediakan ASIP yang cukup banyak, cukup hingga sore atau bahkan malam nanti. "Kemana kita, Mas?" Tanyaku pada lelaki yang duduk di sampingku.Fokus menyetir kendaraan roda empat yang kami tumpangi. "Bersenang-senang. Mencari hiburan, kamu pasti penat terus berada dirumah. Sejak melahirkan, kamu belum pergi kemanapun." Perkataan Mas Abi memang benar, sejak melahirkan aku menghabiskan ba
Rumah sudah mulai sepi kembali, tinggal Mama dan Papa, juga kedua teman yang selalu ada untukku, Kaira dan Lili.Hari ini kami mengadakan acara aqiqah untuk anak ke tiga kami. Bayi laki-laki yang kami beri nama Khairul Azzam itu, saat ini sudah berusia dua minggu. Kami sengaja melakukan acara aqiqah setelah dua minggu kelahirannya agar keadaanku sudah pulih saat kami mengadakan acara tersebut. Bahkan Kaira dan Lili juga tidak aku izinkan untuk datang menengok saat aku masih dalam keadaan belum sehat. Hari ini adalah hari pertama mereka datang setelah aku melahirkan. Saat itu aku memang benar-benar ingin istirahat total tanpa ada yang menjenguk, hanya Mama dan Papa yang bolak-balik datang ke rumah kami. Kelahiran kali ini begitu sulit, penuh dengan perjuangan, sehingga aku tidak mau segera ditengok oleh siapapun agar bisa banyak beristirahat. Aku, Kaira, dan Lili, saat ini sedang berada di teras rumah. Tadi setelah acara memang keduanya sengaja tidak pulang dan ingin ngobrol dengank
"Apa maksudnya, Suster. Ini sudah sakit sekali bagaimana bisa masih belum," erangku menahan rasa sakit yang kembali datang. "Sabar yaa, Bu." Perawat itu membantuku tidur miring kembali dan mengusap-usap pinggangku.Nyaman terasa saat tangan lembut itu mengusap pinggangku. Tak lama kemudian, Perawat itu kembali berjalan keluar kamar, aku berteriak memanggilnya. "Suster mau kemana, jangan pergi. Aku udah gak tahan lagi," pekikku kencang. "Mas, sakit Mas. Aku nggak mau lagi kalau kayak gini. Aku mau operasi saja." Aku berkata sembari menatap ke arah Mas Abi yang masih berdiri di samping ranjang. Wajahnya tampak khawatir melihatku. Pria itu kembali duduk di atas kursi yang berada di samping ranjangku."Iya udah, ayo gimana baiknya," sahutnya seraya meriah tanganku lagi. Tak lama berselang, masuk lagi dua orang perawat ke dalam kamarku."Mari Bu, ke ruang tindakan," ucap salah satu dari perawat tersebut. "Saya udah gak bisa bangun lagi, Sus." Rasanya aku memang sudah tidak sanggup b
POV SafaWaktu berlalu dengan cepat, tidak terasa usia kehamilanku sudah memasuki trimester ketiga. Setelah trimester kedua tidak ada drama lagi dalam kehamilanku, aku sudah bisa mulai memakan apa saja dan berat badanku serta bayi beserta naik secara signifikan. Pada pemeriksaan terakhir kali beberapa waktu lalu, dokter mengatakan semuanya baik-baik saja. Posisi bayi sudah sempurna, berat badannya cukup, air ketuban cukup, plasenta masih bagus. juga cukup insya Allah kan aku bisa melahirkan secara normal seperti saat aku melahirkan Albi dulu. Aku mulai rajin jalan-jalan begitu usia kandunganku memasuki trimester ketiga, makan buah-buahan yang bagus untuk ibu hamil yang sudah mendekati masa HPL. Diantaranya saja buah nanas.Buah nanas memiliki kandungan bromelain yang mampu membantu melunakkan leher rahim hingga memicu kontraksi pada ibu hamil. Namun buah ini tidak disarankan dikonsumsi secara berlebihan karena menyebabkan diare yang tidak menyamankan ibu hamil saat melahirkan. Ka
POV Abimanyu"Tega sekali kalian," terdengar suara Safa sedang berbicara dengan orang.Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi sangat jelas mendengar suara Safa, kami tadi bergantian ke kamar mandi setelah pulang dari rumah Mama. Meskipun sampai rumah sudah jam setengah sepuluh malam tapi aku memutuskan mandi dengan air hangat. Meskipun sudah jam sepuluh malam, tapi istriku itu tetap melakukan panggilan video dengan temannya. Sepertinya itu dengan Kaira dan juga Lili, mereka berdua memang membantuku untuk membawa Safa keluar dari rumah, sebelum akhirnya aku jemput untuk pergi ke rumah Mama. Pelan kuayunkan langkah mendekat pada istriku yang sedang duduk di depan meja riasnya. Bercermin sambil menelpon teman-temannya. Aku berdiri di sampingnya, bisa melihat layar smartphone milik Safa tapi Lili dan Kaira tidak bisa melihatku."Kalian sengaja membohongiku, kan? Jadi sebenarnya Lili itu mau beli baju beneran atau enggak sih? Atau cuma akal-akalan kamu saja, Li?" tanya sama pada te
POV Abimanyu"Mas, tega kamu melakukan ini padaku. Kamu yang salah, masa aku yang harus kena omelan mama," ucap Safa dengan wajah memelas. Sebenarnya aku tidak tega melakukan ini padanya, tapi ini adalah bagian dari skenario untuk memberinya kejutan. "Ya mau bagaimana lagi, Mama yang minta kamu kesana. Yang penting kita ke sana dulu saja.""Aku nggak mau pokoknya," tolak Safa. matanya mulai berembun.Antara mama dan Safa memang tidak pernah terjadi perseteruan. Hanya sekali waktu pertemuan kami sebelum menikah, dimana saat itu Mama melukai Safa dengan perkataannya. Dan swkali setelah menikah, saat Qia ngambek dan minta diantar ke rumah Omanya, lalu ke kuburan mending Mamanya. Mungkin momen itu begitu membekas di hati Safa hingga dia tidak mau juga mama kembali berkata buruk padanya. "Aku lagi hamil Mas, masa kamu tega melihat istrimu dimarahi oleh mamamu?" kali ini Safa mulai terisak.Hormon kehamilan membuatnya menjadi wanita yang mudah menangis. membuatku malah menjadi khawatir p
Sepeninggalnya Lili, aku dan Kaira kembali ke ruang kerja Kaira. Temanku itu mengajakku untuk berbicara dengan santai di ruang kerjanya. "Aku nggak nyangka kamu bakalan bisa akur dengan istri dari mantan suamimu. Ini sungguh sesuatu yang sangat langkah," ucap Kaira begitu kami sampai di dalam ruangannya."Jika Itu bukan Lili, mungkin aku tidak akan bisa juga akrab dengannya. Apalagi menjalin keakraban dengan segala yang berhubungan dengan mantan suamiku. Ditambah lagi perpisahan kami dulu sangat menyakitkan, tapi semuanya sudah berlalu aku sudah mendapatkan banyak kebahagiaan dan aku juga sudah move on dari segala masa laluku itu.""Termasuk dengan wanita yang menjadi penyebab hancurnya rumah tanggamu?"Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Kaira. "Bagaimana kabar wanita itu? Apa kamu masih mendengar tentangnya? Dia masih satu kampung dengan kamu kan.""Dia sudah mendapatkan balasannya, dan sekarang mungkin dia sudah menjadi orang yang lebih baik. Sudahlah, jangan
"Termasuk apa Lili?" tanyaku penasaran. "Termasuk dia yang dijadikan ibu pengganti. Aku tidak habis pikir dengan hal itu. Itu mungkin pukulan berat yang membuat wanita itu jadi insyaf.""Dia cerita apa lagi?""Tentang itu saja mbak yang bikin aku shock.""Dania cerita juga tentang aku?" Aku mencoba memancing Lili bercerita yang lain. "Enggak Mbak, memangnya Mbak Safa ketemu dengannya juga?""Enggak sih kalau di kota ini, tapi pas aku pulang kampung sempat bertemu dengannya dan seperti padamu, dia juga minta maaf padaku," jawabku apa adanya.Jadi Dania tidak menceritakan tentang aku, syukurlah. Wanita itu memang benar-benar sudah berubah. "Oh iya Mbak, bisa nggak Mbak Safa nemenin aku ke butik Mbak Kaira lagi," ucap lili mengubah topik pembicaraan. "Memangnya kamu mau memesan baju pernikahan?" tanyaku dengan penasaran.Pasalnya kerjasama antara Lili dan Kaira waktu itu tidak jadi. Lili bilang menjual baju pengantin tidak semudah menjual baju yang aku produksi maupun yang diproduksi
"Tadaaa ....," serunya sembari mengangkat sebuah rantang berwarna orange tepat di hadapanku. Aku masih memandangnya dengan tatapan tidak mengerti. Apakah kejutan yang dia maksud adalah dengan memberiku sebuah rantang kejutan, macam apa ini."Ini kejutannya, kamu memberiku rantang?"Ini bukan sekedar rantang, Mbak. Yang paling penting adalah isinya. Kata Mas Abi, kamu menginginkan masakan Ibuku, kan. Nah di dalam rantang ini ada masakan spesial yang Ibuku masakan buat kamu. Selain rantang ini ada juga yang di dalam itu, ucap Lili panjang lebar sambil menunjuk goodie bag. Wah jadi mas Abi benar-benar mengatakan keinginanku pada Lili. Kapan dia mengatakan, ternyata suamiku itu benar-benar memenuhi semua keinginanku bahkan hal ini pun tanpa sungkan ia lakukan."Kapan mas Abi bilang padamu?" Aku bertanya dengan penasaran"Bukan padaku sih, tapi suamimu itu bilang pada Mas Galih, kemudian Mas Galih bilang padaku, terus aku bilang pada ibu deh," tutur Lili jelaskan. Oh ternyata begitu cer