“Bu, ini masih terlalu pagi. Nggak sopan dong telepon atasan di pagi buta begini.” “Semalam nggak sopan, sekarang pagi nggak sopan, terus sopannya kapan, Vin?” tanya ibunya. Vina menggaruk tengkuknya, grogi karena ibunya kelihatan agak kesal dengan alasan yang dibuat-buat oleh Vina. “Y-Ya minima
Ibu dan bapaknya Vina tersenyum melihat Vina membelalak dan menganga karena terkejut. Yang datang adalah Yudha beserta Bening dan Kalingga. Mereka juga berdandan rapi, benar-benar seperti sudah mempersiapkan segalanya demi acara ini. Vina yang masih kebingungan menatap bapak dan ibunya. Pandanganny
Wulan dan bapaknya saling berpandangan pasca menyebut nama Vina. Bapak Wulan mengernyit, ia tidak paham apa maksudnya. “Maksud kamu apa bawa-bawa anak miskin itu?” Wulan sebenarnya tidak ada niatan sama sekali membawa-bawa nama Vina. Lidahnya terselip dan nama Vina malah yang pertama kali ia sebu
“Jebak gimana?” tanya bapaknya. “Bapak dan Ibu tau, nggak? Beberapa waktu lalu Bapaknya Vina itu sakit sampai opname.” Ibunya Wulan mengernyit. “Opname? Dapat uang dari mana mereka?” “Katanya sih dibayarin sama pacarnya si Vina itu. Mantan aku.” Bapaknya Vina kaget. “Mantan kamu? Tentara pangkat
Yudha dan Vina diantar oleh pelayan dari toko Amethys itu ke belakang. Ada sebuah etalase kaca bening yang tampak mewah. Di dalamnya, terdapat berbagai bentuk cincin pernikahan yang menarik dan pastinya elegan. Tidak ada label harga dari perhiasan itu, tetapi Vina sudah bisa membayangkan kalau harga
“Mau mampir ke rumah makan dulu sebelum saya antar pulang?” tanya Yudha. “Eh?” “Sekalian nanti beli untuk orang tua kamu,” imbuh Yudha. Vina menggeleng. “Aduh, enggak usah, Om. Repot-repot banget.” “Saya nggak merasa repot kok. Apa salahnya membelikan makanan untuk calon mertua.” Wajah Vina sek
Vina menatap bapak Wulan dengan ekspresi penuh tanya. Imbalan? Imbalan semacam apa sebenarnya yang dimaksud oleh omnya itu? “Maksudnya imbalan apa ya Om? Vina harus kerja sama orang itu kah?” Bapak Wulan melirik ibunya Vina yang duduk di kursi tunggu sambil menangis. Ia tidak bisa bicara di depan
“Tenang aja, Om ‘kan juga sebelumnya nggak pernah kerja sama Pak Harjo, tapi tetap dibantu. Pak Harjo itu murah hati, dia minta imbalan bukannya pamrih, tapi mau lihat tanggung jawab orang yang dibantunya saja supaya tidak seenaknya menyalahgunakan bantuan. Jadi, Pak Harjo pasti minta imbalan yang s
Setelah semua urusan selesai, Langit dan Dahayu akhirnya pulang ke rumah. Karena Dahayu mengendarai mobilnya sendiri, Langit mengikutinya dari belakang dan memastikan wanita itu tidak menghilang dari pengawasannya. Langit langsung menarik Dahayu masuk ke kamar begitu mereka sampai. Dahayu pasrah-p
Sudah dua jam berlalu sejak Langit keluar dari rumah. Dahayu mulai khawatir. Pasalnya, laki-laki itu sama sekali tidak menghubunginya. Pikiran Dahayu mulai tertuju kepada klub malam. Namun, dengan segera dia mengenyahkan kemungkinan itu. “Langit udah berubah. Dia nggak bakalan pergi ke klub malam l
“Ya Allah, beneran, Yu?” Bening sampai tidak percaya mendengarnya. Semua orang di meja makan terlihat tersenyum, terutama ibu Langit yang akhirnya mendapatkan cucu pertamanya. Dahayu malah malu sendiri karena menjadi pusat perhatian. Bening berdiri dari kursinya dan menghampiri Dahayu, memeluk putr
Bibir mereka tidak menempel lama. Karena tiba-tiba Dahayu mendorong Langit dan beringsut menjauh. Wajahnya memerah padam dan jantungnya berdebar tak karuan, tetapi dia justru menolak bertautan dengan Langit. Langit menatap Dahayu dengan kecewa. “Kenapa, Yu? Apa aku salah cium kamu? Aku ‘kan suami k
Buket bunga yang Langit bawa cukup besar. Dahayu sampai kesulitan membawanya dan hampir tidak bisa melihat apa pun. Sementara itu Langit tersenyum kecil melihat Dahayu kewalahan membawa buket itu. Dia mengikuti istrinya memasuki rumah singgah. Ini bukanlah kunjungan pertama Langit ke rumah ini, teta
“Kamu... hamil?” Dahayu mengangguk pelan. Tanpa sadar tangannya berdiam di perutnya sendiri. “Iya, aku hamil. Karena itu, aku mutusin kasih kamu kesempatan. Aku nggak ingin anak ini terlahir tanpa seorang ayah,” ujarnya lirih. Langit menelan ludah, masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
Akhirnya, Dahayu berbicara dengan Langit di ruang tunggu rumah sakit. Tidak banyak orang yang berlalu lalang di sekitar sana sehingga mereka bisa berbicara dengan lebih leluasa. Akan tetapi, kehadiran Sagara di antara pasangan suami-istri itu membuat suasana menjadi tegang. Sagara terus memperhatika
Setelah mengetahui dirinya hamil, Dahayu tidak bisa berhenti menangis. Tangannya gemetaran memegangi testpack yang memperlihatkan dua garis biru. Dahayu bingung apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Haruskan Dahayu menyimpan semua ini sendirian ataukah memberiahukannya pada Langit? “Assalamualaik
Begitu tahu ibunya tak sadarkan diri, Langit langsung melarikan ibunya ke rumah sakit. Langit meminta tolong Bi Ikah untuk memegangi ibunya di bangku penumpang belakang. Kepalanya sedang berkecamuk, tetapi Langit harus bisa fokus pada jalanan di depannya demi menghindari kecelakaan. Mobil mewah Lan