Bening akhirnya tersadar bahwa ia keceplosan. Kedua matanya seketika membelalak. Ia yang dari tadi terus bicara sekalian menumpahkan kekesalannya mengenai Wildan juga seketika tutup mulut. Wajahnya pucat pasi. “Bening, kamu bilang apa tadi?” Kalingga mengulang pertanyaannya.Bening menelan ludahnya sendiri dengan susah payah. Ah, sial. Bisa-bisanya ia kelepasan mengatakan tentang hal itu di depan Kalingga sendiri. Ya sebenarnya tidak masalah. Maksudnya, bukan salah Bening juga kalau misalnya Kalingga tahu. Namun, melihat ekspresi Kalingga yang mendadak menggelap itu membuat Bening jadi ketar-ketir.“Maaf, Kapten. Anu… itu… eng…” Sialnya, Bening bingung sendiri harus beralasan apa. Sebenarnya, meskipun ia mau beralasan salah bicara juga kesannya bohong sekali. Bening sudah secara jelas menyebut gossip tentang Kalingga yang belok, memangnya mau pakai alasan apa lagi untuk hal itu?“Dia bilang begitu? Pratu Wildan bilang kalau saya belok? Saya h0m0, begitu?” Bening jadi salah tingkah d
Sesuai dengan perkataan Kalingga. Bina bisik atau binsik akan dilakukan. Kegiatan itu dimulai ketika masih pagi buta. Matahari bahkan belum benar-benar muncul. Langit masih agak gelap, embun juga masih tebal, membuat hawa pagi hari terasa amat dingin. Dalam kegiatan ini, prajurit dilarang terlambat atau akan dihukum dengan push up 50 kali tanpa rest. Kalingga sudah siap menggenggam selang kasih sayang miliknya. Tangannya juga sudah ia ayun-ayunkan sejak tadi, seolah sedang persiapan untuk menghantam mereka semua dengan selang itu. Kalau nanti ada prajurit yang latihannya tidak maksimal atau kurang semangat, maka siap-siap saja menerima pecutan kasih sayang dari selang keramat itu. Satu per satu prajurit datang dan berbaris. Mata Kalingga mengedar, memperhatikan para anggotanya yang datang dengan napas agak tersengal-sengal. Mereka pasti berlari tergesa-gesa kemari, berusaha menyelamatkan diri sendiri dan tak peduli apakah ada rekannya yang masih ketinggalan atau tidak. “Lima detik!
Keadaan ibu Bening sudah membaik sekarang. Ia juga sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Namun, Bening mencegah ibunya untuk beraktivitas terlalu jauh. Kalau biasanya ibu Bening rajin bersih-bersih dan memasak, kali ini Bening melarangnya. Bening biasa menggantikan ibunya, tetapi memang selayaknya ibu-ibu pada umumnya, mereka seperti tidak puas kalau bukan dikerjakan sendiri. Pagi ini, ibu Bening sudah berkutat di dapur mengupas bawang. Katanya, tiba-tiba saja ingin makan nasi goreng. Bening yang tadi masih di kamar melipat baju-baju kering langsung menghampiri sang ibu.“Ibu mau ngapain?” tanya Bening.“Mau bikin nasi goreng. Ini lagi kupas bawang.”Bening mengernyit. Ia mendekati ibunya. Di wadah plastik kecil sudah ada beberapa butir bawang yang terkupas. “Sini biar Bening aja yang bikinin. Ibu lupa ya sama yang dibilangin sama dokternya? Nggak boleh capek-capek, nanti jantungnya bermasalah lagi.”Ibunya Bening menghela napas panjang. “Cuma bikin nasi goreng aja ya masa capek, N
Kalingga baru saja selesai mandi ketika pesan dari Bening masuk. Ia keluar dari kamar mandi dengan melingkarkan handuk di pingganya, sementara rambutnya masih basah. Layar ponselnya menyala begitu pesan itu masuk. Kalingga segera mendekati ponselnya dan mengecek siapa yang mengirim pesan.Kernyitan segera tercipta di kening Kalingga saat mengetahui bahwa pesan itu berasal dari Bening. Yang lebih membuat Kalingga heran sebenarnya karena isi pesan tersebut tampak serius. “Hal penting? Memangnya hal penting apa yang mau dia bicarakan?” gumam Kalingga.Karena penasaran dan tampaknya serius, Kalingga segera menghubungi nomor Bening. Benar saja, hanya sesaat setelah nada panggil berbunyi, Bening langsung menerima panggilannya. “Halo, assallammuallaikum,” ucap Bening“Waallaikumsalam,” jawab Kalingga. Ia terdiam. Entah mengapa, Kalingga merasa ada yang berbeda dari suara Bening. “Kapten Kalingga, aku, mm…”“Ada apa? Tolong bicara yang jelas supaya saya paham.”Biasanya, kalau Kalingga mul
Bening tersadar. Ketika ia membuka matanya, pemandangan yang ia lihat bukan kafe di gang yang sepi itu lagi, tetapi sebuah ruangan yang ia sinyalir sebagai kamar hotel. Bening sontak bangkit duduk dari posisinya. Kepalanya masih terasa begitu pusing, membuat ia meringis kesakitan karena tiba-tiba langsung duduk.“Ugh…” Bening meremas kepalanya sendiri. Saat itulah, selimut yang sejak tadi menutupi tubuh Bening turun, menampilkan kondisi tubuh Bening yang polos tanpa memakai apapun.Bening membelalak kaget. Ia sontak panik dan menarik selimut hotel itu kembali untuk menutupi badannya. “A-Apa yang terjadi? Kenapa aku…”Bening mulai berusaha menelaah apa saja yang sudah terjadi sebelumnya hingga dirinya bisa sampai pada posisi ini. Sebelumnya, Wildan memaksa Bening untuk bertemu, yang katanya sebagai pertemuan terakhir agar perpisahan mereka tidak meninggalkan kesan buruk satu sama lain. Lalu, Wildan mengirimkan sebuah alamat kafe, di sebuah gang kecil yang lumayan sepi. Wildan datang
Pagi itu, Bening terbangun seperti biasa dan bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi. Semalaman ia menangis sampai kelelahan dan tertidur sendiri. Bening benar-benar meratapi hidupnya. Setelah menerima panggilan dari Kalingga, Bening semakin merasa sedih. Ia bisa mendengar dengan jelas suara Kalingga yang kecewa. Ia juga merasa bersalah. Jujur saja, Bening ingin sekali bertemu dengan pria itu, tetapi dengan kondisinya yang sudah seperti ini, Bening merasa malu. Ia bahkan merasa tidak mau bertemu dengan siapapun dulu sekarang. Ia merasa jadi manusia paling kotor. Untuk mengalihkan perhatiannya agar tidak teringat dengan kejadian di hotel saat itu, Bening menggunakan waktunya untuk bersih-bersih rumah. Ia biasanya memang bersih-bersih rumah juga karena ibunya tidak boleh terlalu lelah, tetapi kali ini berbeda. Ia membersihkan rumahnya seolah tidak akan ada lagi hari esok. Ketika ibunya keluar dan bersiap hendak pergi ke rumah tetangga, beliau menatap Bening dengan ekspresi bingung
"Bening?!" Kalingga masih berusaha menuntut jawaban. Apa sebenarnya yang disembunyikan oleh Bening hingga ia kesulitan mengatakan alasannya."Aku sudah dijodohkan sama ibu dengan laki-laki lain, karena itulah aku nggak bisa nerima pernikahan dengan Kapten Kalingga," jelas Bening pada akhirnya. Kalingga membelalak kaget. Apa katanya tadi? Perjodohan? Apakah ia tidak salah dengar? Bening yang baru saja patah hati gara-gara dikhianati Wildan tiba-tiba akan menikah dengan orang lain karena dijodohkan? Ini benar-benar di luar nalar."Kamu jangan bohong, Bening!" seru Kalingga. Bening memalingkan wajahnya lagi. Rasanya berat sekali menatap mata Kalingga ."Aku enggak bohong.""Ini terlalu tiba-tiba. Nggak mungkin kamu tiba-tiba aja dijodohkan. Ini hanya alibimu saja 'kan?"Bening menggeleng. "Itu memang benar kok. Aku enggak bohong. Ya kemarin sebenarnya aku ngajak ketemuan sama Kapten buat ngomongin soal perjodohan ini, tapi dipikir-pikir lagi, rasanya itu juga bukan hal yang penting. Ng
Kalingga gelagapan ketika mendengar pertanyaan ibunya Bening. Ia tidak sadar ketika menyebut nama Bening, padahal jelas ibunya belum tahu wajah Kalingga. "Oh itu... saya hanya ingat dengan nama teman saya yang kebetulan juga namanya Bening," jawab Kalingga seraya tersenyum tipis.Ibunya Bening mangut-mangut, tidak ada kecurigaan sama sekali mendengar jawaban Kalingga. "Oh, apa mungkin itu anak Ibu ya?"Ibunya Bening terkekeh pelan. "Ya mungkin saja. Nak, boleh Ibu minta tolong antarkan pulang?"Kalingga mengangguk. "Bisa, Bu." Ia pun dengan sigap membantu wanita paruh baya itu untuk turun dari ranjang rumah sakit.Sebenarnya, tidak ada kondisi berbahaya yang sedang dihadapi ibunya Bening saat ini. Untunglah ia bisa dibawa ke rumah sakit dengan cepat, jadi penanganannya pun bisa cepat dilakukan. Ibunya Bening hanya mengalami syok saja karena terlalu emosi saat berhadapan dengan Susan tadi. Keluar dari ruangan rumah sakit, Kalingga yang mengurus seluruh administrasi secara penuh. Pem
Vina diam saja setelah mendengar jawaban Bening mengenai barang-barang yang ia beli untuk calon menantunya itu. Ia terus mengekori Irene dan Bening yang sedang berdiskusi, tetapi pikirannya benar-benar sudah melayang entah ke mana. Ia berusaha biasa saja, padahal hatinya menjerit frustrasi. Selesai berbelanja, Vina membantu mengepak semua item yang dibeli oleh Bening ke dalam kotak-kotak dengan ukuran beragam kemudian memasukkannya ke paper bag. Belanjaan Bening lumayan banyak, dan wanita itu tampak agak kesusahan membawanya sendirian. “Biar saya bantu bawakan sampai ke mobil, Tante,” kata Vina.Bening mengangguk. “Terima kasih ya, Vin.”Kebetulan, Bening datang ke butik itu hanya bersama dengan supir, dan biasanya supir Bening hanya menunggu di dalam mobil kalau tidak disuruh oleh Bening untuk mengawal. Makanya, Vina berinisiatif membantu membawakan semua paper bag belanjaan itu sampai ke mobilnya. Ketika sudah keluar dari butik, Bening langsung teringat dengan permasalahan yang d
Vina tidak kuat melihat kedekatan Bening dengan Raisa. Jujur saja, ia iri. Mungkin, Vina hanya merasa diistimewakan saat itu. Ia terlalu percaya diri karena Bening baik padanya, padahal Bening memang baik kepada semua orang. Dari awal, karakter Bening memang orang baik dan lemah lembut. Perlakuan baik Bening kepada Vina juga merupakan hal yang biasa, Vina saja yang menanggapinya berbeda seolah-olah ia sangat penting untuk Bening. “Harusnya aku nggak ke-PD-an pas Tante Bening baik sama aku. Tante Bening ‘kan emang selalu baik ke semua orang,” gumam Vina getir. Tujuannya ke sana untuk membicarakan masalah Garuda berdasarkan keterangan Raya, tetapi melihat Raisa di sana, Vina mengurungkan niat itu. Hatinya tak sanggup. Vina pun berbalik dan hendak pergi, tetapi ketika ia memutar badannya, malah ada Yudha di sana. Vina sontak menghentikan langkahnya karena terkejut. “Mau apa kamu ke sini?” tanya Yudha dingin. Vina menggeleng. Ia berusaha bersikap biasa saja meski hatinya berdebar ta
Vina seketika berwajah datar. Mengapa pula ia harus bertemu Raya di sini? Ia sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa sekarang. Hubungan Vina dan Raya sebelumnya baik-baik saja. Raya juga ramah padanya karena tahu kalau Vina adalah pacar kakaknya. Namun, kali ini karena Vina sudah tidak pacaran dengan Reyhan, sikap Raya juga kelihatan sekali berubah. Vina yang tadinya sedang memilih-milih lotion badan langsung mengambil secara random yang ada di depan matanya. Ia memandang Raya sekilas, tak ada niatan sama sekali untuk berinteraksi lebih lama dengan gadis itu."Maaf, aku lagi sibuk. Lain kali aja," kata Vina. Ia segera berbalik dan hendak pergi ke kasir. Namun, Raya lebih dulu menarik bahunya dari belakang."Nggak bisa lain kali. Kita harus bicara sekarang," tegas Raya.Vina mengernyit. "Apa sih, Ray? Kan aku udah bilang kalau aku sibuk. Lain kali sajalah."Raya tetap bersikeras. Ia yang tadinya mencengkeram bahu Vina beralih menahan lengan gadis itu. "Nggak mau. Pokoknya harus sekaran
Selesai wawancara di butik tadi, Vina tidak langsung pulang ke rumah melainkan pergi ke rumah sakit untuk menemui orang tuanya. Suasana hati Vina membaik setelah ia berhasil mendapatkan kerja. Ia pergi ke rumah sakit dengan memesan ojek.Sesampainya di sana, Vina malah melihat ibunya sedang melipat semua pakaian yang dibawa untuk bapaknya.“Assallammuallaikum,” ucap Vina.“Waallaikumsalam. Kamu habis keluar, Vin?” tanya ibunya.Vina mengangguk. “Iya, Bu. Cari kerja. Alhamdulillah Vina tadi udah tanda tangan kontrak kerja.”Ibunya Vina senang mendengar hal itu. “Beneran? Kerja di mana, Vin?”“Di butik, Bu. Tadi udah sekalian wawancara terus diterima, makanya langsung tanda tangan kontrak kerja. Besok udah mulai kerja di sana.”“Alhamdulillah… Ibu turut senang, Vin. Semoga perkerjaannya berkah dan bisa membawa rezeki yang halal.”Vina mengangguk. “Iya, Bu. Aamiin. Oh iya, Ibu kok udah ngeringkes semua pakaian Bapak?”“Tadi pas dokter meriksa Bapak, katanya kondisi bapak sudah sangat mem
Yudha hanya bisa membeku selama beberapa saat usai mendengar perkataan Vina. "Tunggu sebentar, kamu ngomong apa sih Vin?" tanya Yudha. "Ya itu, Om. Aku yakin Om paham."Yudha menggeleng. "Maksud kamu apa tiba-tiba ngomong gitu?"Vina menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap mata Yudha. Ia takut, kalau ia menatap mata pria itu, maka pendiriannya akan goyah. Hatinya hancur, tetapi ia harus tetap tegar dan kelihatan biasa saja di depan Yudha supaya pria itu mau untuk mengakhiri hubungan mereka. "Maksud aku sesuai dengan apa yang aku katakan. Pokoknya gitulah. Aku minta maaf karena udah nyusahin Om Yudha. Aku janji ini yang terakhir," kata Vina. Yudha heran. Ini terlalu mendadak. Vina kelihatan baik-baik saja sebelumnya. Mereka berdua datang ke acara di rumah Kalingga dan Bening juga dalam situasi yang bahagia. Namun, mengapa tiba-tiba jadi seperti ini?"Sebenarnya ada apa sih, Vin? Apa saya melakukan kesalahan sama kamu? Jangan bikin saya bingung.""Apa kurang jelas yang aku omo
Yudha masih terus berusaha mencari keberadaan Vina. Ia berkeliling ke seluruh rumah, bahkan sampai ke halaman samping rumah keluarganya hanya untuk mencari tahu di mana keberadaan Vina. Namun, meskipun ia sudah berkeliling sampai ke area yang seharusnya tidak didatangi Vina pun, keberadaan gadis itu nihil. Yudha sudah berkali-kali menghubungi nomor Vina. Dan semua panggilannya tidak ada jawaban. Yudha semakin khawatir. Ini memang bukan pertama kalinya Vina datang ke rumah keluarga Yudha, tetapi ini adalah pertama kalinya Vina datang dalam acara yang dihelat oleh keluarganya. Yudha takut kalau Vina merasa tidak nyaman atau bagaimana sehingga tiba-tiba pergi.Yudha langsung menggeleng. "Nggak mungkin Vina kayak gitu. Dia pasti ngomong kalau memang nggak nyaman," gumam Yudha. Setelah menelusuri hampir seluruh penjuru rumah keluarganya, Yudha kembali ke depan. Acara akan segera dimulai beberapa menit lagi, tapi keberadaan Vina tidak juga ditemukan. Bening yang sedang menyapa tamu-tamu y
Setelah menjenguk orang tua Vina di rumah sakit, Yudha harus segera pamit. Ia keluar sudah lumayan lama tadi, jadi harus segera kembali. Vina mengantarkan Yudha keluar dari ruang rawat inap bapaknya, barulah Yudha pamitan kepada Vina.“Saya harus kembali,” kata Yudha.Vina mengangguk. “Iya, Om.”“Siap-siap untuk besok malam minggu ya, jangan sampai lupa. Saya jemput kamu ke rumah.”Vina mengangguk lagi. “Oke, Om. Makasih ya Om untuk hari ini, dan untuk semuanya.”Yudha tersenyum tipis. “Ya sama-sama. Kalau gitu, saya pergi dulu. Assalammualaikum.”Bukannya menjawab salam dari Yudha, Vina malah menahan pergelangan tangan pria itu. Yudha yang belum sempat melangkah langsung memutar lehernya menghadap Vina.“Kenapa?” tanya Yudha heran.“Mm… H-hati-hati di jalan ya, Om.” Vina mengucapkannya sambil menunduk, dengan suara yang amat pelan dan nyaris berbisik. Untung saja posisi mereka berdekatan, jadi Yudha masih bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh gadis itu. Yudha tersenyum
Vina berdebar dan tremor parah. Bahkan telapak tangannya sekarang terasa sangat berkeringat gara-gara mendengar Yudha menyebut bahwa dirinyalah calon istri pria itu. Padahal, tadi ia sedang kesal luar biasa. Bisa-bisanya sekarang ia berubah berdebar-debar dan grogi parah hanya karena satu kalimat yang diucapkan oleh Yudha. Jujur saja, Vina ingin teriak sekarang, tetapi tentu saja ia tidak mungkin melakukan itu. Yang ada, ia malah akan mempermalukan dirinya sendiri. Sementara itu, Yudha sendiri tidak mau melepaskan pandangannya dari Vina. Ia terus-menerus menatap gadis itu.“Vina, kamu nggak boleh nolak.”Vina semakin membuang muka. Ia tidak berani beradu tatap dengan pria itu. Melihat gelagat malu Vina, entah mengapa malah membuat Yudha antusias. Ekspresi malu-malu dan jaga imej ala Vina itu malah tampak menggemaskan di mata Yudha. “Kenapa sih dari tadi buang muka terus?” tanya Yudha. “Bukannya kalau bicara sama orang itu harus saling tatap muka ya?”Vina merengut. “Terus maunya ak
Yudha menghabiskan beberapa jam berkeliling dengan Raisa. Ia sendiri sudah mengakui sejak awal kalau dirinya bukan tipikal yang suka pergi jalan-jalan, jadi ia tidak terlalu tahu harus ke mana. Namun, Raisa menerima saja. Setelah dari kafe itu, mereka berkeliling lagi ke area dekat-dekat saja baru kemudian pulang. Selesai mengantar Raisa ke tempat Pak Danyon, Yudha langsung bergegas kembali ke rumah dinas. Baru saja ia menginjakkan kakinya ke dalam rumah dinas, ponsel Yudha bergetar, ada panggilan dari mamanya.“Halo, Ma?” “Sagara, Mama tadi kirim pesan ke kamu, kok enggak dibaca?” tanya Bening.Yudha langsung memeriksa ponselnya. “Oh iya, Sagara belum buka hape dari tadi, Ma.”“Memangnya dari mana, Ga? Kok sampai nggak buka hape sama sekali?”“Oh itu, tadi dimintai tolong sama Pak Danyon.” Yudha tidak menjelaskan detail kalau permintaan tolong Pak Danyon adalah untuk mengajak keponakan perempuannya jalan-jalan. Yudha hanya tidak mau mamanya nanti salah paham, sebab keluarga Yudha s