Susan membelalak. “Jaga ucapan kamu, Mas! Kita melakukannya sama-sama sadar ya!” “Iya, memang secara sadar. Tapi, itu juga karena kamu yang godain aku duluan,” sahut Wildan. “Kamu juga dengan sengaja mendekati orang tuaku supaya mereka lebih dukung kamu daripada Bening.” Jujur saja, kalau menginga
Sial, sial, sial. Wildan hanya bisa mengumpat dalam hati. Di saat-saat ia tidak bisa berpikir jernih, dan Susan malah muncul dengan penampilan seperti itu, seolah ia sedang menyuguhkan dirinya sendiri untuk digarap oleh Wildan. “Mas?” “Susan, kamu seharusnya nggak ke sini.” Wildan tiba-tiba men
Bening akhirnya tersadar bahwa ia keceplosan. Kedua matanya seketika membelalak. Ia yang dari tadi terus bicara sekalian menumpahkan kekesalannya mengenai Wildan juga seketika tutup mulut. Wajahnya pucat pasi. “Bening, kamu bilang apa tadi?” Kalingga mengulang pertanyaannya. Bening menelan ludahn
“Aduh, aku enggak bermaksud untuk menyinggung Kapten sama sekali kok. Kapten jangan salah paham dong. Yah, aku jadi bingung sendiri gimana jelasinnya supaya Kapten nggak ngira aku percaya sama rumor jelek itu.” Kalingga diam. Ia memperhatikan wajah Bening yang kelihatan seperti kebingungan dan cema
Sesuai dengan perkataan Kalingga. Bina bisik atau binsik akan dilakukan. Kegiatan itu dimulai ketika masih pagi buta. Matahari bahkan belum benar-benar muncul. Langit masih agak gelap, embun juga masih tebal, membuat hawa pagi hari terasa amat dingin. Dalam kegiatan ini, prajurit dilarang terlamba
“Cepat! Cepat! Tambah kecepatannya! Jangan lambat!” Kalingga berteriak sambil mengayunkan selang itu, memecut prajurit yang ia anggap lelet karena tidak segera berlari menghindar darinya. “Cepat! Ngomongin orang aja cepat, kalian. Giliran disuruh lari lelet kayak siput! Tambah kecepatannya!” teriak
Selama di kamar mandi, Wildan memegangi punggungnya yang terasa panas dan perih. Jelas, bekas pecutan selang tadi mulai membiru. “Brengsek! Aku dibuat kayak pecundang,” keluhnya. Wildan meninju dinding kamar mandi. Giginya bergemeletuk, rahangnya menegang, dan kilatan amarah kelihatan berkobar d
Keadaan ibu Bening sudah membaik sekarang. Ia juga sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Namun, Bening mencegah ibunya untuk beraktivitas terlalu jauh. Kalau biasanya ibu Bening rajin bersih-bersih dan memasak, kali ini Bening melarangnya. Bening biasa menggantikan ibunya, tetapi memang selayaknya
Selesai membaca isinya, Langit langsung membanting pintu lemari itu dan membawa dairy Dahayu bersamanya. Ia turun dengan tergesa-gesa menuruni tangga, meraih kunci mobil, bahkan menabrak Bi Ikah yang baru kembali dari minimarket. Langit membuka mobilnya dan melompat ke bangku sopir. Tanpa repot-rep
“Ibu, jangan ngomong kayak gitu. Kalau sampai Langit denger, Langit bakal sedih, Bu,” kata Dahayu sambil menggenggam tangan pucat ibu Langit dengan erat. Ada banyak emosi yang saat ini melanda hati Dahayu. Namun, Dahayu tahu dirinya tidak boleh menangis. Ibu Langit terlihat lemah dan sakit-sakitan
Dahayu membuang muka dari Kapten Arjuna karena ia tahu ekspresi laki-laki itu akan melemahkan hatinya. Berulang kali Dahayu mengingatkan dirinya bahwa ia sudah menikah dan tak seharusnya ia memiliki percakapan ini dengan sang kapten. “Maaf, Kapten. Tapi, Kapten tahu ‘kan kalau aku sudah menikah,” j
“Dengan keluarga pasien, silakan masuk.” Begitu mendengar suara dokter, Langit langsung beranjak memasuki kamar rawat ibunya. Sementara itu Dahayu tetap berada di luar untuk berbicara dengan sang dokter. Hati Langit seperti diremat-remat ketika melihat penampilan ibunya saat ini. Lemas dan pucat. N
Dahayu melihat Kapten Arjuna menghampiri mereka. Kemunculannya di rumah sakit masih membuatnya kaget. Dahayu mencoba melepaskan genggaman tangannya dari Langit, tapi sepertinya laki-laki itu menolak. Dahayu menghela napas berat. Ia harus bersikap netral di depan sang kapten. “Kapten Arjuna ada kepe
“LANGIT! STOP!” Dahayu berteriak nyaring ketika Langit berjalan memangkas jarak mereka. Mendengar teriakan Dahayu, Langit tidak bisa menahan diri untuk meledakkan tawanya. Langit tertawa terpingkal-pingkal sembari memegangi perutnya. Dahayu menurunkan tangannya dengan ekspresi cengo. Kemudian ia s
Resepsi selesai dua jam kemudian, tapi selama itu pula Dahayu sama sekali tidak bersuara hingga semua acara berakhir. Saat ini Dahayu sedang duduk sendirian di kamarnya. Perias telah meninggalkan rumah setelah menghapus make up dan mengucapkan selamat atas pernikahannya. Dahayu mengembuskan napas.
Satu minggu kemudian, akhirnya Langit dan Dahayu sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Setelah akad, resepsi digelar di sebuah gedung secara besar-besaran dan meriah seperti permintaan Dahayu. Saat ini Dahayu dan Langit tengah duduk di atas pelaminan, memperhatikan suasana resepsi pernikahan m
“Daripada aku nggak bisa jawab? Entar malah ketahuan kalau hubungan kita palsu dan cuma pura-pura. Percuma dong aku ke sini buat ngeyakinin orang tua Dokter,” tutur Langit kemudian memasang helm full-facenya. Ia menaikkan kaca helmnya untuk menatap Dahayu. “Dokter nggak protes pas aku panggil ‘Saya