"Dev, mau kemana?" tegur Pak Syahid saat melihat putranya tampak terburu-buru."Mau jemput Najwa, Pa. Hari ini, Deva janji mau traktir dia makan siang," jawab Deva yang menghentikan sejenak langkahnya untuk menjawab pertanyaan sang Ayah."Kalau begitu, hati-hati! Sampaikan juga salam Papa untuk Najwa!!""Iya, Pa. Deva berangkat, ya! Assalamualaikum!" pamit Deva pada sang Ayah."Waalaikumsalam. Jangan ngebut-ngebut, Dev!"Deva berbalik sejenak lalu menaikkan kedua jempolnya. Sang Ayah hanya bisa geleng-geleng kepala seraya tertawa kecil.Belum pernah Pak Syahid melihat putranya seriang itu.Saat lift tiba di lantai bawah, Deva lekas menghambur keluar. Senyum tak lekang terpatri di wajah tampannya. Hal yang membuat beberapa pegawai terlihat kaget karena belum pernah melihat sang wakil direktur tersenyum sesumringah itu."Apa jangan-jangan... gosip soal Pak Devandra yang sudah tunangan itu, benar, ya?" bisik seorang karyawan pada teman disampingnya."Iya, kali. Apalagi, akhir-akhir ini,
Aroma nikotin tercium begitu menyengat saat Intan memasuki sebuah ruangan VIP disebuah klub malam terkenal di kota itu. Matanya tampak sedikit menyipit saat lampu sorot tak sengaja megenai matanya.Ia sama sekali tak merasa terganggu dengan suara bising musik yang berbunyi keras dan malah dengan santainya menghampiri seorang pria yang sedang diapit oleh dua wanita cantik di tengah ruangan."Minggir!!" usir Intan pada dua wanita yang semula dirangkul oleh seorang pria dengan jambang tipis di rahangnya itu.Dua wanita berpakaian seksi tersebut langsung bangkit dari tempat duduk mereka saat si pria memberi mereka kode agar menurut pada perintah Intan. Ya, meskipun dengan ekspresi yang terlihat kesal, tentunya.Mereka keluar dari ruangan itu. Membiarkan Intan hanya berdua saja dengan lelaki yang mereka temani tadi."Lo nggak berubah, Vit! Masih aja suka hambur-hamburin duit kayak begini," tutur Intan sambil duduk di sebelah lelaki yang bernama Vito itu."Dan, Lo juga nggak berubah, Ntan!
"Maaf, menganggu sebentar, Pak! Didepan, ada Pak Vito yang ingin bertemu dengan Anda," lapor Teddy kepada Deva.Lelaki yang sedang fokus mengetik pada laptopnya itu tampak menoleh lalu membuka kacamatanya. Tak berselang lama, laptop itu pun ia tutup."Persilakan dia untuk masuk!" titah Deva."Baik!" angguk Teddy.Sang asisten pribadi kembali keluar dari ruangan Deva. Lalu, selang beberapa menit, seorang pria dengan jambang tipis serta tindik diujung keningnya masuk ke dalam ruangan sambil tersenyum lebar."Halo, Brother!!! Long time no see," sapa Vito."Masih hidup lu, Vit?" seloroh Deva.Dia berdiri. Memeluk Vito sebentar lalu mempersilakan salah satu teman kuliahnya itu untuk duduk di sofa panjang berwarna hitam yang ada didalam ruangan tersebut."Ya, iyalah!! Gue kan nggak gampang mati, Men! Nyawa gue banyak," timpal Vito."Jangan sombong!" seru Deva mengingatkan."Bercanda doang, Bro!" Vito menepuk bahu Deva sambil tertawa."Tumben Lo datang ke sini, Vit?" tanya Deva heran. Pasaln
"Mbak Intan?" lirih Najwa terkejut.Wanita itu benar-benar lancang. Tanpa mengucap salam ataupun permisi, Intan masuk begitu saja seolah-olah rumah Najwa adalah rumahnya.Dimana adab perempuan itu? Apakah Intan tak pernah diajarkan oleh orangtuanya sedari kecil?"Kamu ngapain di sini, Ntan?" tanya Deva pada perempuan itu.Intan menampakkan senyum termanisnya. Tanpa rasa malu apalagi sungkan, dia langsung duduk di samping Najwa."Tadi, aku nggak sengaja lihat mobil kamu parkir didepan. Makanya, aku langsung samperin ke sini," jawab Intan."Jadi, kamu nguping pembicaraan kami dari tadi?""Iya," angguk Intan. "Bukan nguping sih, tapi nggak sengaja dengar," lanjutnya sembari mengoreksi jawaban pertamanya."Kamu diundang juga sama si Vito?""Ya iyalah," angguk Intan. "Aku kan sama Vito dekat banget. Oh ya, Dev! Kamu nanti mau pakai baju warna apa? Janjian yuk, biar kita couple-an. Kita prank teman-teman kita supaya mereka nyangkanya kalau kita beneran pacaran." Intan tertawa senang.Semen
"Kita berangkat bareng dia juga, Mas?" tanya Najwa.Kalau sampai Deva membolehkan Intan untuk ikut, maka Najwa memutuskan tak akan jadi pergi."Terserah kamu," jawab Deva. Ia memberikan keputusan di tangan Najwa sepenuhnya.Najwa menarik napas panjang. Ditatapnya Intan yang masih setia berdiri didepan gerbang."Aku nggak mau berangkat sama dia, Mas! Aku nggak suka," tolak Najwa."Ya sudah. Dia nggak akan ikut kita," sahut Deva."Tapi, kalau dia tetap memaksa mau ikut, bagaimana?""Aku akan bilang, kalau calon istriku tak suka jika ada perempuan lain yang menumpang di mobil calon suaminya." Deva menutup kalimatnya dengan senyuman."Mbak Najwa sama Mas Deva tenang saja! Biar Bibi yang menghadang perempuan itu!" celetuk Bi Iroh dengan tampang sangarnya."Terimakasih, Bi.""Sama-sama, Mas!" angguk Bi Iroh seraya tersenyum manis kepada Deva.Mendadak, dia berubah menjadi anak kucing jika berinteraksi dengan Deva. Bi Iroh sangat mengagumi sosok Deva yang tak hanya tampan, tapi juga berasal
Intan sangat terkejut saat mendengar semua orang heboh karena mendengar kabar pertunangan Deva. Amarahnya semakin memuncak. Sepasang matanya tampak memerah dengan gigi yang mulai bergemelatuk."Sini!!" Vito tiba-tiba muncul dan menyeret Intan pergi dari sana.Tak ada yang memperhatikan keduanya karena semua orang sedang fokus memberi selamat kepada Deva dan juga Najwa."Lepas, Vit!" ujar Intan memberontak.Namun, Vito sama sekali tak mengendurkan cekalan tangannya. Pria itu membawa Intan masuk ke salah satu kamar yang ada di lantai dua."Rencana kita kacau, Ntan!" kata Vito. Ia mengusap wajahnya kasar setelah melepaskan pergelangan tangan Intan."Kacau? Kacau, gimana? Emangnya, Lo udah ngasih obat itu ke Deva?" tanya Intan sambil mengusap pergelangan tangannya yang terasa agak sakit akibat cekalan Vito tadi."Gue nggak berani, Ntan! Ada tunangan Deva yang ternyata ikut juga. Terlalu beresiko kalau kita eksekusi rencana kita hari ini."Intan mendengkus kasar. Ia melipat kedua tangannya
"Kamu ngerti kan, sama apa yang saya instruksikan?" tanya Intan setelah dia memberitahu rencananya kepada pelayan itu."Ngerti, Mbak!" angguk pelayan tersebut.Matanya semakin berbinar cerah ketika Intan langsung memberikan uang satu juta itu ditangannya."Saya bakal tambahin lagi kalau kamu benar-benar berhasil membawa lelaki itu ke kamar saya!""Beneran, Mbak?""Ya," angguk Intan. "Uang bukan masalah untuk saya!" Dia tersenyum jumawa."Oke, Mbak! Saya pasti akan melakukan tugas saya dengan baik.""Kalau begitu, tunggu apa lagi? Sana, lakuin tugas kamu!" titah Intan dengan sombongnya."Baik, Mbak!" angguk pelayan itu.Dia menuju ke belakang untuk mengambil minuman lagi. Dan, pada salah satu gelas minuman itu, dia menambahkan serbuk yang telah diberikan oleh Intan beberapa saat yang lalu."Oke, waktunya beraksi!"*"Apa kalian mau makan sesuatu?" tanya Deva menawarkan makanan kepada dua wanita yang ikut bersamanya."Aku mau buah aja, Mas," jawab Najwa."Saya mau kue-kue lucu itu, Mas
"Mas!"Deva menoleh cepat ketika suara teriakan Najwa terdengar dirungunya. Lelaki itu pun gegas menghampiri sang calon istri untuk memeriksa keadaannya."Pulang sekarang saja, yuk! Baju kamu basah dan pesta sepertinya sudah mulai tidak kondusif.""Ayo, Mas! Aku juga nggak nyaman dengar suara musik keras kayak gini," timpal Najwa setuju.Deva membuka jas hitam yang dia kenakan. Digunakannya benda tersebut untuk menutupi bagian baju Najwa yang terlihat sangat basah."Terimakasih," kata Najwa dengan lirih."Ayo, pulang!"Deva, Najwa dan Bi Iroh pun melangkah pergi meninggalkan pesta ulangtahun Vito yang mulai semakin meriah.Ah, tiba-tiba saja Deva merasa menyesal. Kenapa dia harus mempercayai ucapan Vito yang mengatakan pestanya tak akan ada musik DJ dan juga alcohol. Padahal, Deva sangat hafal bahwa Vito dan kedua hal itu mustahil dapat dipisahkan."Maaf ya, Wa! Pasti kamu nggak nyaman sama apa yang terjadi di pesta itu, kan?" tanya Deva ditengah perjalanan pulang.Di bangku belakang,
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da