Share

Senjata makan tuan

Penulis: Itha Sulfiana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-24 20:32:13

"Kamu ngerti kan, sama apa yang saya instruksikan?" tanya Intan setelah dia memberitahu rencananya kepada pelayan itu.

"Ngerti, Mbak!" angguk pelayan tersebut.

Matanya semakin berbinar cerah ketika Intan langsung memberikan uang satu juta itu ditangannya.

"Saya bakal tambahin lagi kalau kamu benar-benar berhasil membawa lelaki itu ke kamar saya!"

"Beneran, Mbak?"

"Ya," angguk Intan. "Uang bukan masalah untuk saya!" Dia tersenyum jumawa.

"Oke, Mbak! Saya pasti akan melakukan tugas saya dengan baik."

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Sana, lakuin tugas kamu!" titah Intan dengan sombongnya.

"Baik, Mbak!" angguk pelayan itu.

Dia menuju ke belakang untuk mengambil minuman lagi. Dan, pada salah satu gelas minuman itu, dia menambahkan serbuk yang telah diberikan oleh Intan beberapa saat yang lalu.

"Oke, waktunya beraksi!"

*

"Apa kalian mau makan sesuatu?" tanya Deva menawarkan makanan kepada dua wanita yang ikut bersamanya.

"Aku mau buah aja, Mas," jawab Najwa.

"Saya mau kue-kue lucu itu, Mas
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Kabar mengejutkan

    "Mas!"Deva menoleh cepat ketika suara teriakan Najwa terdengar dirungunya. Lelaki itu pun gegas menghampiri sang calon istri untuk memeriksa keadaannya."Pulang sekarang saja, yuk! Baju kamu basah dan pesta sepertinya sudah mulai tidak kondusif.""Ayo, Mas! Aku juga nggak nyaman dengar suara musik keras kayak gini," timpal Najwa setuju.Deva membuka jas hitam yang dia kenakan. Digunakannya benda tersebut untuk menutupi bagian baju Najwa yang terlihat sangat basah."Terimakasih," kata Najwa dengan lirih."Ayo, pulang!"Deva, Najwa dan Bi Iroh pun melangkah pergi meninggalkan pesta ulangtahun Vito yang mulai semakin meriah.Ah, tiba-tiba saja Deva merasa menyesal. Kenapa dia harus mempercayai ucapan Vito yang mengatakan pestanya tak akan ada musik DJ dan juga alcohol. Padahal, Deva sangat hafal bahwa Vito dan kedua hal itu mustahil dapat dipisahkan."Maaf ya, Wa! Pasti kamu nggak nyaman sama apa yang terjadi di pesta itu, kan?" tanya Deva ditengah perjalanan pulang.Di bangku belakang,

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-25
  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Melabrak Najwa

    "Hah!! Akhirnya, aku bisa dapat kerjaan juga," gumam Bian sambil bernapas lega.Pagi-pagi sekali, dia sudah berdandan rapi untuk ke tempat kerjanya. Walaupun hanya menjadi seorang supir, namun Bian bersyukur masih ada yang bersedia memperkerjakan dirinya.Setidaknya, dengan pekerjaan itu, dia bisa membayar hutang-hutangnya kepada rentenir. Bian juga berharap bisa membeli sepeda motor yang baru agar dirinya tidak kesusahan saat hendak bepergian lagi seperti akhir-akhir ini."Kamu, supir baru itu, ya?" tanya seorang perempuan berusia sekitar 40 tahunan yang baru saja muncul dari dalam rumah besar bercat kuning keemasan dibelakang Bian.Bian yang memang sedang menunggu didepan rumah, reflek berbalik. Dia membungkuk sopan seraya memperkenalkan diri."Iya, Bu. Saya Fabian, supir yang ditugaskan untuk mengantar jemput Ibu setiap harinya."Wanita dengan penampilan rapi dan berkelas itu mengangguk mengerti. Tanpa banyak basa-basi, dia pun masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan ole

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-25
  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Kegilaan Bian

    "Mbak, itu siapa, ya? Kok, gedor-gedor pintunya, keras sekali?" tanya Bi Iroh heran sambil menoleh ke arah Najwa yang sedang sibuk membulat-bulatkan adonan donat kentangnya."Itu kayak suaranya Mas Bian, Bi. Tapi, bukannya dia udah dilarang masuk ke komplek sini, ya?"Bi Iroh terlihat kaget. "Kalau begitu, kita nggak usah buka pintunya, Mbak. Biarkan saja dia gedor-gedor sampai capek. Mending, Mbak Najwa telfon Bapak saja supaya cepat pulang. Biar saya yang menghubungi security komplek untuk menciduk laki-laki itu.""Oke, Bi," angguk Najwa setuju.Dia pun langsung mencuci tangannya kemudian berjalan sedikit tergesa-gesa menuju ke kamar. Dia menghubungi nomor sang Ibu dan baru dijawab pada panggilan ketiga.Najwa pun mengutarakan apa yang sedang terjadi di rumah.[Pokoknya, kamu harus tetap didalam rumah saja, Nak! Jangan keluar menemui laki-laki itu jika tak ada Bapak. Mengerti kamu, Wa?] ucap Pak Haris yang terdengar gelisah."Iya, Pak," angguk Najwa.Setelah memutuskan panggilan te

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-26
  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Matilah, Sayang!

    Bian begitu emosi mendengar ucapan Pak Haris. Dengan penuh kesadaran, dia memukul kepala bagian belakang Pak Haris ketika lelaki itu sedang lengah dan berbalik membelakanginya.Bugh!Batu yang sedari tadi dia genggam kini telah mendarat telak di kepala lelaki paruh baya itu. Darah segar perlahan mengalir, lalu tubuh kekar itu perlahan surut dan tumbang di lantai."Bapak?!!" pekik Bu Dahlia histeris.Segera dihampirinya sang suami, kemudian dia peluk dengan begitu erat. Demi Allah! Bu Dahlia sangat takut kehilangan belahan jiwanya itu."Hah! Rasakan!" ucap Bian dengan sangat puas.Tak sedikit pun dia merasa harus menolong mantan calon mertuanya itu.*"Bi, Bibi dengar suara itu, kan? Bukannya, itu suara Ibu?" lirih Najwa terkejut."Iya, Mbak. Itu memang suara Ibu," balas Bi Iroh.Perasaan Najwa mulai terasa tak enak. Tanpa pikir panjang, ia melangkahkan kakinya untuk keluar melihat keadaan."Jangan, Mbak! Kan, kata Bapak, Mbak Najwa harus tetap didalam rumah," peringat Bi Iroh sambil m

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-26
  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Takut

    Napas Najwa perlahan mulai sesak. Mulutnya bahkan harus terbuka demi menghirup udara yang semakin lama semakin terasa sedikit mengisi paru-paru.Batang lehernya juga terasa sangat sakit. Air matanya bahkan sudah meluncur deras, dengan pandangan yang perlahan mulai terasa buram.Samar, Najwa dapat melihat bahwa Bian sedang tersenyum. Rasa sakit yang Najwa rasakan, bagai sebuah penghiburan untuk lelaki itu."Matilah, Sayang! Ayo, mati!" kata Bian dengan tawa yang terdengar menyeramkan."Kkkhhh...," Najwa tak bisa berkata-kata. Jika memang ajalnya sudah tiba, maka biarkan prosesnya berlangsung cepat. Najwa tak tahan untuk terus tersiksa seperti ini."Lepaskan anakku, Bian!!" teriak Bu Dahlia histeris. Dia mendekat pada Bian lalu menggigit lengan mantan menantunya itu kuat-kuat."Arghhh!!!" Bian berteriak kesakitan. Reflek, sepasang tangannya pun melepaskan cekikan dari leher Najwa."Dasar perempuan tua sialan!!" hardik Bian penuh amarah."Uhuk! Uhuk!!" Najwa terbatuk. Dengan sangat rakus

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-27
  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Yang ingin bertemu

    "I-itu... itu bos saya, Pak!" tunjuk Bian saat seorang wanita berjalan anggun menuju ke arahnya. Dia seratus persen yakin bahwa sang atasan pasti akan menjamin kebebasannya. Bukankah, wanita itu masih memerlukan Bian untuk mengantarnya kemana-mana? "Selamat siang, Bapak-bapak!" sapa wanita itu sembari membuka kacamata hitamnya. "Siang, Ibu!" jawab dua orang petugas polisi dengan kompak. "Kalau boleh tahu, apa yang sudah supir saya lakukan sehingga dia bisa berada di tempat ini?" "Saudara Fabian telah melakukan tindak kekerasan terhadap mantan istri dan Ayah mertuanya." "Oh, ya?" Kening wanita itu tampak berkerut. Dia menatap serius ke arah polisi yang sedang menjelaskan tentang kasus Bian. Sesekali, dia melirik Bian sedikit sinis. "Betul, Bu. Akibat tindakan Saudara Bian, mantan Ayah mertua Saudara Bian yang bernama Pak Haris, harus dirawat di rumah sakit." Wanita itu menatap Bian dengan tatapan nyalang. Terkejut, sudah pasti. Padahal, dia sempat berpikir bahwa Bian ora

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-27
  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Mendapatkan pelajaran

    "Kamu?" Bian tampak sedikit terkejut. Ya, dia mengenali wajah itu. Pria yang kini ada dihadapannya adalah pria yang dulu pernah dia pukuli di supermarket. Ya, Bian mengingatnya dengan sangat jelas. "Kenapa? Kaget?" tanya Deva sambil menyeringai sinis. Dia duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Bian. Dibelakangnya, dua orang bodyguard, yang berdiri tegak dengan wajah datar tanpa ekspresi. "Bisa tolong tinggalkan kami?" tanya Deva seraya menoleh ke arah dua petugas polisi yang sedari tadi menjaga Bian dengan baik. "Tentu saja, Pak Deva!" angguk keduanya dengan sopan. ."Terimakasih banyak!" Mereka kemudian pergi dan menutup pintu besi itu rapat-rapat. Meninggalkan Bian yang kini bagai seekor tikus yang terjepit diantara pemangsa-pemangsa liar. "Lo mau apa dari gue, hah?" tanya Bian sinis. Ia mulai memasang sikap waspada. Takut, jika Deva ternyata memiliki maksud yang tidak baik terhadapnya. "Saya?" Deva menunjuk dirinya sendiri. "Mau apa?" Dia kemudian tertawa.

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-29
  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Tak pernah berarti

    "Polisi!! Pak Polisi!! Tolong... saya dikeroyok. Tolong!!!" teriak Bian sekuat tenaga."Percuma Anda berteriak. Para petugas polisi itu tak akan bisa mendengarkan Anda," kata Deva dengan senyum sinis di wajah tampannya."Tolongggg!!! Ada psikopat di sini!! Tolong saya!!" teriak Bian sekali lagi."Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Deva. Sedikitpun, dia tak ingin menyentuh Bian.Biarkan, perbuatan kotor itu, kedua anak buahnya yang lakukan. Dia hanya akan bertindak sebagai penonton."Arghhh!!! Sakit, bangsat!!" teriak Bian menghardik. Baru saja, anak buah Deva malah menendang perutnya dengan keras.Hal itu membuat Deva semakin merasa puas. Manusia seperti Bian, memang harus dikenalkan pada rasa sakit supaya bisa merenungi dampak dari perbuatannya.Jika ingin memukul, maka bersiaplah untuk menerima pukulan juga. Itulah arti dari kehidupan yang keras."Apa Anda mau, tangan Anda sekalian saya patahkan?" tanya Deva. Pria itu tampak melipat kedua tangannya didepan dada."Gila!! Apa melihat ora

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-30

Bab terbaru

  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Extra Part

    "Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru

  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Ending

    Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.

  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Pamit

    "Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh

  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Wanita tua

    Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga

  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Salah didik

    "Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki

  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Menyerah

    "Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva

  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Detik-detik

    "Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men

  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Nasib Galih

    Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S

  • Kau Bisa Apa Tanpaku, Mas?   Terancam

    "Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da

DMCA.com Protection Status