"I-itu... itu bos saya, Pak!" tunjuk Bian saat seorang wanita berjalan anggun menuju ke arahnya. Dia seratus persen yakin bahwa sang atasan pasti akan menjamin kebebasannya. Bukankah, wanita itu masih memerlukan Bian untuk mengantarnya kemana-mana? "Selamat siang, Bapak-bapak!" sapa wanita itu sembari membuka kacamata hitamnya. "Siang, Ibu!" jawab dua orang petugas polisi dengan kompak. "Kalau boleh tahu, apa yang sudah supir saya lakukan sehingga dia bisa berada di tempat ini?" "Saudara Fabian telah melakukan tindak kekerasan terhadap mantan istri dan Ayah mertuanya." "Oh, ya?" Kening wanita itu tampak berkerut. Dia menatap serius ke arah polisi yang sedang menjelaskan tentang kasus Bian. Sesekali, dia melirik Bian sedikit sinis. "Betul, Bu. Akibat tindakan Saudara Bian, mantan Ayah mertua Saudara Bian yang bernama Pak Haris, harus dirawat di rumah sakit." Wanita itu menatap Bian dengan tatapan nyalang. Terkejut, sudah pasti. Padahal, dia sempat berpikir bahwa Bian ora
"Kamu?" Bian tampak sedikit terkejut. Ya, dia mengenali wajah itu. Pria yang kini ada dihadapannya adalah pria yang dulu pernah dia pukuli di supermarket. Ya, Bian mengingatnya dengan sangat jelas. "Kenapa? Kaget?" tanya Deva sambil menyeringai sinis. Dia duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Bian. Dibelakangnya, dua orang bodyguard, yang berdiri tegak dengan wajah datar tanpa ekspresi. "Bisa tolong tinggalkan kami?" tanya Deva seraya menoleh ke arah dua petugas polisi yang sedari tadi menjaga Bian dengan baik. "Tentu saja, Pak Deva!" angguk keduanya dengan sopan. ."Terimakasih banyak!" Mereka kemudian pergi dan menutup pintu besi itu rapat-rapat. Meninggalkan Bian yang kini bagai seekor tikus yang terjepit diantara pemangsa-pemangsa liar. "Lo mau apa dari gue, hah?" tanya Bian sinis. Ia mulai memasang sikap waspada. Takut, jika Deva ternyata memiliki maksud yang tidak baik terhadapnya. "Saya?" Deva menunjuk dirinya sendiri. "Mau apa?" Dia kemudian tertawa.
"Polisi!! Pak Polisi!! Tolong... saya dikeroyok. Tolong!!!" teriak Bian sekuat tenaga."Percuma Anda berteriak. Para petugas polisi itu tak akan bisa mendengarkan Anda," kata Deva dengan senyum sinis di wajah tampannya."Tolongggg!!! Ada psikopat di sini!! Tolong saya!!" teriak Bian sekali lagi."Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Deva. Sedikitpun, dia tak ingin menyentuh Bian.Biarkan, perbuatan kotor itu, kedua anak buahnya yang lakukan. Dia hanya akan bertindak sebagai penonton."Arghhh!!! Sakit, bangsat!!" teriak Bian menghardik. Baru saja, anak buah Deva malah menendang perutnya dengan keras.Hal itu membuat Deva semakin merasa puas. Manusia seperti Bian, memang harus dikenalkan pada rasa sakit supaya bisa merenungi dampak dari perbuatannya.Jika ingin memukul, maka bersiaplah untuk menerima pukulan juga. Itulah arti dari kehidupan yang keras."Apa Anda mau, tangan Anda sekalian saya patahkan?" tanya Deva. Pria itu tampak melipat kedua tangannya didepan dada."Gila!! Apa melihat ora
Hari itu, Intan terbangun saat matahari mulai meninggi. Dengan badan yang terasa remuk redam, dia pun perlahan beringsut turun dari tempat tidur. Rasa sakit menjalar mengaliri area intimnya. Intan meringis tertahan, sambil berusaha meraih apapun untuk menutupi tubuh polosnya. "Udah bangun?" Intan terkejut bukan main. Tiba-tiba, sosok Vito muncul dari balik pintu dengan raut wajah yang terlihat sangat santai.Tatapan Intan pun beralih ke arah tempat tidur. Dia baru tersadar jika Owen sudah tak ada disampingnya lagi."Ngapain Lo ke sini?" tanya Intan sinis pada Vito."Santai dong, Ntan! Gue kan cuma mau bersikap baik sama Lo. Jangan sinis gitu, dong!""Cih! Gue nggak butuh sikap ramah dari pria brengsek macam Lo, Vit!" timpal Intan ketus.Dia semakin mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Intan takut, jika Vito akan meminta 'jatah' juga darinya.Saat ini, tubuh Intan terasa benar-benar sangat sakit. Tulang-tulangnya seolah remuk akibat perbuatan brutal Owen tadi malam."Lo
"Pergilah, Intan!" usir Deva dengan suara tertahan. Matanya dipenuhi kilat amarah."Mas...," panggil Najwa. Perempuan itu sudah berdiri dibelakang Deva.Seketika, Deva merasa panik. Dia takut, Intan akan nekat melakukan sesuatu. Barangkali, wanita itu dendam akan penolakan Deva beberapa saat yang lalu kemudian hendak membalasnya dengan menghasut dan mempengaruhi Najwa."Mbak Intan, silakan masuk!" ajak Najwa ramah.Intan tetaplah seorang tamu yang harus dia hormati kedatangannya."Minggir, Dev! Aku mau masuk," ucap Intan.Mau tak mau, Deva harus mengalah. Dia dengan terpaksa menyingkir dari depan pintu."Bagaimana kabar Pak Haris? Apa sudah baikan, Mbak Najwa?" tanya Intan."Ya, Alhamdulillah. Mbak Intan tahu darimana kalau Bapak saya masuk rumah sakit?" balas Najwa."Dari Deva. Tadi, kami nggak sengaja ketemu di lobi rumah sakit. Iya kan, Dev?"Pria itu malah memalingkan muka ke arah lain."Aku nggak pernah bilang soal Bapak ke dia, Wa!" kata Deva pada Najwa."Deva!" Intan menggeram
Hari yang dinanti-nanti oleh semua orang akhirnya tiba. Hari ini, peristiwa besar itu akhirnya datang. Najwa telah siap dengan mengenakan kebaya putih yang tampak begitu anggun dan elegan di tubuh idealnya.Gugup menggelayuti hati. Perempuan itu menghela napas berulangkali demi menenangkan gejolak yang sedari tadi terus menghantam jantung hingga menimbulkan ritme yang semakin cepat."Jangan gugup, Nak!" ucap Bu Dahlia yang paham betul akan keresahan hati Najwa."Iya, Bu," jawab Najwa sembari tersenyum kecil."Baca sholawat, biar hati kamu bisa sedikit lebih tenang!" Bu Dahlia memberikan saran.Najwa mengangguk patuh. Ia membaca shalawat didalam hati sambil terus berusaha menetralkan ritme jantung yang berdegup dua kali lebih cepat dibandingkan biasanya itu.Pernikahan ini memang bukan yang pertama untuk Najwa. Namun, entah kenapa, Najwa tetap saja merasa begitu deg-degan."Wa, calon suami kamu hampir tiba," pekik seorang tetangga yang jauh-jauh datang dari kampung hanya demi menghadir
Najwa terus berusaha untuk beristighfar dalam hati. Apa yang disangkakan oleh Bi Tin benar-benar membuatnya tak habis pikir.Bagaimana mungkin, wanita tua ini ngotot bahwa Najwa dan Galih pernah berpacaran? Sementara, sedari tadi, Najwa terus menyangkal dan tak mengakui tentang adanya hubungan tersebut."Sepertinya, Galih sudah banyak mengatakan kebohongan terhadap Bibi," ucap Najwa pada akhirnya.Sebisa mungkin dia menahan emosinya agar tak sampai terpancing. "Apa maksud kamu?" Najwa tersenyum kecil. "Saya dan Galih sungguh tidak pernah berpacaran, Bi. Sejak saya bercerai, hanya calon suami saya, satu-satunya pria yang saya izinkan untuk dekat dengan saya." "Jangan bohong," sergah Bi Tin. "Terserah kalau Bibi tidak percaya. Bibi bisa tanyakan lagi kepada Galih, kenapa dia bisa sampai di pecat dari kantor." Degh! Jantung Bi Tin seketika berdegup cepat. Matanya melebar karena kaget. "Apa kamu bilang? Di-dipecat?" "Iya, Bi," angguk Najwa. "Galih sudah dipecat sejak lama dari per
"Apa-apaan ini? Apa Najwa dan Deva akan menikah hari ini?"Intan begitu terkejut ketika melihat banyak papan ucapan selamat menikah yang ditujukan untuk Najwa dan Deva yang berjejer disepanjang pagar rumah Najwa. Hari ini dia baru pulang dari rumah orangtuanya karena belakangan ini ia sedang merasa tak enak badan.Intan tak pernah menyangka, jika kepulangannya justru disambut dengan sebuah kabar mengejutkan. Hari ini, lelaki pujaannya akan benar-benar dimiliki oleh wanita lain."Aku harus gagalkan pernikahan mereka. Harus!" ungkap Intan dengan jantung yang berdegup cepat. "Deva hanya milikku. Nggak ada perempuan lain yang boleh merebut dia dari aku."Dengan langkah cepat, Intan berjalan masuk dan menerobos semua tamu yang hadir. Matanya terbelalak lebar saat melihat Deva dan Najwa yang telah diperbolehkan untuk saling bersentuhan.Najwa mencium punggung tangan Deva sementara Deva mengecup kening perempuan cantik itu.Emosi Intan seketika memuncak. Rasa cemburu sukses membakar seluruh
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da