Share

Ada yang aneh

last update Last Updated: 2022-10-08 09:29:28

Aku benar-benar keluar dari klinik setelah berdebat alot dengan dokter. Meskipun jarum infus masih menancap ditangan tanpa selang dan cairan infus, aku nekat keluar dari klinik, tekadku sudah bulat, aku harus segera ke kantor polisi meluruskan semuanya. Lemas, tentu saja lemas tanpa cairan infus yang mengaliri tubuhku.

Sampai di kantor polisi, aku dicecar berbagai pertanyaan, tapi semuanya bisa kujawab dengan mudah. Ikutnya Tio mempermudah saat aku diperiksa. Keterangan dari Tio juga gamblang. Usai dari kantor polisi, aku kembali lagi ke klinik karena keadaanku lumayan ngedrop lagi. Selang infus kembali dipasang.

"Arum, gimana ... apa kamu akan dipenjara?"

Aku terkejut mendengar pertanyaan aneh ini. Pertanyaan yang muncul dari ibu mertuaku. Kenapa dia seperti ingin sekali aku masuk penjara?

"Mak, apa maksud Emak bilang begitu? Emak seneng, Arum dipenjara?!" Mas Rahman kelihatan meradang. Bahkan kini suamiku memanggil Emak, bukan Ibu lagi. Padahal selama ini, susah sekali kubujuk s
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Muda Wamah
mosok Meri GK di penjara sih.mau hamil mau GK.knp ceritanya GK adil
goodnovel comment avatar
DheVita Naftaleno
kpan update thor,,, semngat semngat
goodnovel comment avatar
Noviyanti Aisa Prahmana
kak thor kapan nich lanjut ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Datang saat sulit

    Ku dengarkan teriakan itu. Aku kenal suara ini. "Makanlah dulu, biar aku yang keluar menemuinya!" Aku berdiri meninggalkan makananku. Melangkah kedepan dengan hati penasaran. "Tio! Keluar kau! Aku tau kau didalam! Arum! Rahman! Kembalikan Tio padaku!" Lagi suara wanita itu berkoar. Perlahan kuputar kunci yang ada di pintu, lalu kubuka pintu rumah ini. Sosok kurus, kucel dan kusam kelihatan berdiri di halaman rumah. Kasihan sekali kondisi kakak iparku sekarang, wajahnya yang biasa glowing, kini kelihatan jelek. "Ayo masuk, Mbak ... Tio ada didalam." Aku mencoba beramah-tamah padanya. "Hei, nggak usah basa-basi! Kembalikan Tio padaku, sekarang!" bentaknya lantang. Hem, kukira dirinya sudah insyaf, ternyata belum. Masih aja galak. "Kalo itu maumu, baiklah ... akan kupanggil anakmu. Tapi, jangan salahkan aku jika dia enggan bersamamu, dia sudah besar dan punya pemikiran juga penilaian sendiri, mana yang baik ... mana yang buruk," terangku padanya. "Apa maksudmu, hah?!" hardik Mbak

    Last Updated : 2022-10-30
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Gosip Hamil

    "Rum, jangan mengulur waktu! Aku butuh uangnya sekarang!" Mbak Meri memaksa. Aneh, bukan ... dia yang selalu mengaku kaya raya, posisi dan kastanya lebih tinggi dari aku, kini meminta bantuan ku yang sering dia hina Madesu, kamseupay, rakyat jelata, dan entahlah istilah apa lagi aku nggak hafal. "Bukanya kau itu orang kaya, Mbak ... kenapa sekarang malah ngemis uang padaku?" Sengaja kupermainkan dulu kakak iparku ini. Wajah gusar serta gelisah terpancar jelas disini. Iparku itu dalam keadaan susah sekarang. "Arum! Kau ini mau membantuku apa tidak?" sentaknya kini murka. Aku masih santai saja menanggapi Mbak Meri berdiri dengan tenang menatapnya yang kini sudah mulai terbakar api amarah. "Mbak, mintalah dengan sopan jika kau memerlukan bantuan. Orang akan menghargai mu, jika kau juga mau menghargai orang lain." Kalimatku tanpa penekanan, namun kuyakin bisa menembus relung hati. Aku masih bersedekap dada berharap caraku ini bisa sedikit memberi pelajaran bagi Mbak Meri yang sombon

    Last Updated : 2022-10-30
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Senewen

    Saking keponya, aku bahkan hampir saja masuk selokan gara-gara kurang hati-hati saat naik motor ini. Ya Allah, untung aja nggak jengkelit ke parit. Aku ngerem mendadak saat ban motor hampir nyemplung selokan. Huh, kurang hati-hati, aku sendiri hampir celaka. Tapi, mobil itu kok parkir di halaman rumahnya Mbak Meri, bener enggak sih berita itu? Ah, sebaiknya pulang aja deh, daripada nanti tambah kena masalah, motor kulajukan lagi menuju rumah. Ku parkirdi teras belakang. "Dari mana, Dek?" Mas Rahman menyambutku bahkan dia sudah mandi kelihatan baju dan sarungnya udah ganti. "Dari nganterin kue kerumahnya Bu Aisyah dan Mbak Dini. Mas tadi darimana sih? Dicariin nggak ada. Ngilang kaya demit!" Aku masuk ke dapur menyambar gelas lalu mengisinya dengan air dan kuteguk hingga tandas. "Mas, itu ... mobil siapa yang parkir di halaman rumah Kakang? Kijang Inova putih mulus, bagus, apa kerabat Mbak Meri ada yang punya mobil?" Aku pura-pura nggak tahu masalah sebenarnya. Mas Rahman menatapk

    Last Updated : 2022-10-31
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Lihat saja nanti

    "Suruh keluar suamimu! Aku mau ngomong sama dia!" Mbak Meri berapi-api. Kebiasaan banget sih, orang ini ... maksa. "Mbak, suamiku belum selesai sholat. Ada apa sih? Ngomong ke aku 'kan bisa. Nanti ku sampe-in!" Mbak Meri mencebik bibir. Dia malah menerobos masuk kerumahku. "Eeh, yang sopan kalo bertamu!" tegurku pada Mbak Meri. "Rahman! Keluar kamu! Jangan ngumpet kaya pengecut!" koar Mbak Meri. Astagfirullah halazim, bener-bener nggak tau adab orang ini. Masih Maghrib juga malah cari masalah. "Mbak!" Kuraih bahu iparku itu kasar hingga membuatnya menoleh padaku. "Jangan bikin keributan disini. Ini bukan pasar! Atau keluar dari rumahku sekarang juga!" usirku geram. Meri mencebikkan bibirnya. "Kalo aku nggak mau, kau mau apa, hah?!" tantangnya berkacak pinggang. "Ajari suamimu itu sopan santun, jangan ngusik urusan orang. Braninya dia mengusir tamu ku tadi sore. Lancang!" hardik Meri padaku. "Bilang pada suamimu yang bod0h itu, jangan ikut campur masalahku, kalo nggak mau men

    Last Updated : 2022-10-31
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Video bukti

    Aku jadi penasaran apa yang akan terjadi jika beneran Meri sampai di grebek, bisa dikuliti sama warga orang itu. Apa lagi jika sampai penggrebekan itu pada saat mereka berdua sedang beneran berzina, alamat bakalan diusir Meri dari kampung ini. Heeem, jadi kasihan sama Handoyo yang kini dipenjara. Padahal selama ini, Handoyo kakang iparku itu mati-matian nurutin kemauan Meri, eh ... ujungnya, menyedihkan. "Mas Rahman, kami sebagai pamong sebenarnya rikuh mengurusi hal semacam ini, tapi ... sudah menjadi tugas kami untuk menindak tegas perilaku penyimpangan sosial." Pak RT terdengar bimbang. "Iya, Mas Rahman ... kok ya serinya dari keluarga itu lagi. Kemarin suaminya yang berulah menyebar fitnah ke sampean hingga sampean dan istri hampir dibakar massa. Sekarang gantian istrinya yang meresahkan. Sak jane mereka itu gimana, sih? Kalo dibandingkan dengan keluarga sampean, kaya bumi dan langit, jauh banget. Yang satu anteng, yang satu biang kerok," tutur Pak Dayat. Aku geli mendengar ka

    Last Updated : 2022-11-01
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Gejolak rumah tangga

    Gara-gara Meri aku dan suami jadi bersitegang. Emang, ya, racun dari Meri itu selalu bisa menggoyahkan rumah tanggaku yang adem ayem. Heran aja, deh ... masalah internal, jarang sekali ada. Tapi, sumbangan masalah eksternal bejibun, datang silih berganti. Seperti sekarang, ngapain juga Mas Rahman ngoyo mikirin ipar sabl3ng itu. "Dek, mas udah bilang, Meri masih tanggung jawab Mas, Dek. Apa kata ibu dan kakang kalo sampe mereka tau kelakuan Meri saat ini. Jangan lupa, lho, Dek ... kita yang masukin kakang ke penjara. Andai aja kita tarik laporan kita, pasti nggak akan begini," ungkapnya penuh penyesalan. Aku meremas bajuku, jengkel lah, Mas Rahman kok jadi gini, sih? Padahal kemarin udah sepakat Handoyo masuk penjara, kok sekarang kaya nyesel gitu. "Jadi, Mas nyesel udah masukin kakangmu yang hampir saja melenyapkan nyawa kita berdua, Mas?! Nggak inget kejadian itu?!" Dadaku bergemuruh bak gunung berapi yang siap memuntahkan lahar panasnya, meluluh lantakkan apa yang ada. "Kenapa k

    Last Updated : 2022-11-02
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Berdarah-darah

    "Mas, aku kepikiran buat usaha sampingan, Mas ... kayaknya bikin kolam ikan, seru, Mas. Bisa buat hiburan juga, liat ikan mangap-mangap kalo di sawur pelet, lucu, Mas ... apalagi kumis Lele yang panjang nyrongot-nyrongot kae, huuu, gemesin." Aku membayangkan memberi pakan Lele sambil ngoceh pengen punya kolam sendiri, sembari istirahat di gubuk ladang kami. Mas Rahman membuka bekal yang kubawa tadi. "Usulan yang bagus, Dek ... tapi nanti kalo punya kolam ikan, siapa yang mau nderes ladang?" Aku bersandar di tiang gubuk dan kakiku berselonjor. "Ya, diburuhin, juga nggak papa, Mas. Aku tuh pengen kita kerjanya dirumah aja, Mas ... santai tapi menghasilkan, ngono, lho," usulku lagi. "Lho, bukanya kita juga kerjanya nyantai, Dek ... nderes cuma setengah hari aja, sisanya nongkrong dirumah. Iya, sih. Tapi, kok aku pengen banget punya kolam renang kaya punya Mar Parjono tetangga rumah Ibu. Enak kalo mau ikan tinggal nyerok hehehe. "Malah ngelamun! Ayo sarapan, disek!" Mas Rahman mengi

    Last Updated : 2022-11-03
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Genting

    Kabar dari Tio membuat selera makanku lenyap. Dia bilang Meri berdarah-darah, kenapa? Jatuh, kena golok, apa gimana sih? Bener-bener, ya ... ulah Meri itu selalu saja mengusik hidupku. Aku harus tetap menghabiskan makanan ini, biar aja Mas Rahman yang ngurus ipar nggak tau diri itu. Kupaksakan untuk makan makanan ini, sayang aja kalau sampai mubazir. Selera makan yang hilang, membuatku memaksa untuk makan makanan ini. Secepat mungkin ku habiskan mi yang ku masak tadi. Selesai langsung ku cuci mangkuk bekas makanku. "Dek ... bantuin aku bawa Mbak Meri ke bidan Esti, yuk! Dia pendarahan, Dek ... Tio bilang, tadi dia jatuh pas bawa getah karet mau nimbang." Mas Rahman muncul wajahnya khawatir. "Apa, Mas ... Meri pendarahan?" "Iyo, Dek ... ayo cepat kesana!" "Tunggu, Mas!" Kutarik tangan suamiku mencegahnya ke rumah Meri. "Apa lagi, Dek?" Mas Rahman sedikit berontak saat ku cegah ke rumah Meri. "Mas lupa, Meri 'kan bilang, jangan ikut campur urusan dia, kenapa sekarang Mas malah ma

    Last Updated : 2022-11-06

Latest chapter

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ending (TAMAT)

    POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ari bingung

    POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Cobaan berat Arum (ex48)

    POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Kecelakaan

    "Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Rencana meringkus Handoyo (ex 46)

    Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Meri sadar (ex 45)

    Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    kabar dari Hadi (ex44)

    "Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Handoyo berulah lagi (ex43)

    Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Kesedihan Tio

    Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "

DMCA.com Protection Status