Saking keponya, aku bahkan hampir saja masuk selokan gara-gara kurang hati-hati saat naik motor ini. Ya Allah, untung aja nggak jengkelit ke parit. Aku ngerem mendadak saat ban motor hampir nyemplung selokan. Huh, kurang hati-hati, aku sendiri hampir celaka. Tapi, mobil itu kok parkir di halaman rumahnya Mbak Meri, bener enggak sih berita itu? Ah, sebaiknya pulang aja deh, daripada nanti tambah kena masalah, motor kulajukan lagi menuju rumah. Ku parkirdi teras belakang. "Dari mana, Dek?" Mas Rahman menyambutku bahkan dia sudah mandi kelihatan baju dan sarungnya udah ganti. "Dari nganterin kue kerumahnya Bu Aisyah dan Mbak Dini. Mas tadi darimana sih? Dicariin nggak ada. Ngilang kaya demit!" Aku masuk ke dapur menyambar gelas lalu mengisinya dengan air dan kuteguk hingga tandas. "Mas, itu ... mobil siapa yang parkir di halaman rumah Kakang? Kijang Inova putih mulus, bagus, apa kerabat Mbak Meri ada yang punya mobil?" Aku pura-pura nggak tahu masalah sebenarnya. Mas Rahman menatapk
"Suruh keluar suamimu! Aku mau ngomong sama dia!" Mbak Meri berapi-api. Kebiasaan banget sih, orang ini ... maksa. "Mbak, suamiku belum selesai sholat. Ada apa sih? Ngomong ke aku 'kan bisa. Nanti ku sampe-in!" Mbak Meri mencebik bibir. Dia malah menerobos masuk kerumahku. "Eeh, yang sopan kalo bertamu!" tegurku pada Mbak Meri. "Rahman! Keluar kamu! Jangan ngumpet kaya pengecut!" koar Mbak Meri. Astagfirullah halazim, bener-bener nggak tau adab orang ini. Masih Maghrib juga malah cari masalah. "Mbak!" Kuraih bahu iparku itu kasar hingga membuatnya menoleh padaku. "Jangan bikin keributan disini. Ini bukan pasar! Atau keluar dari rumahku sekarang juga!" usirku geram. Meri mencebikkan bibirnya. "Kalo aku nggak mau, kau mau apa, hah?!" tantangnya berkacak pinggang. "Ajari suamimu itu sopan santun, jangan ngusik urusan orang. Braninya dia mengusir tamu ku tadi sore. Lancang!" hardik Meri padaku. "Bilang pada suamimu yang bod0h itu, jangan ikut campur masalahku, kalo nggak mau men
Aku jadi penasaran apa yang akan terjadi jika beneran Meri sampai di grebek, bisa dikuliti sama warga orang itu. Apa lagi jika sampai penggrebekan itu pada saat mereka berdua sedang beneran berzina, alamat bakalan diusir Meri dari kampung ini. Heeem, jadi kasihan sama Handoyo yang kini dipenjara. Padahal selama ini, Handoyo kakang iparku itu mati-matian nurutin kemauan Meri, eh ... ujungnya, menyedihkan. "Mas Rahman, kami sebagai pamong sebenarnya rikuh mengurusi hal semacam ini, tapi ... sudah menjadi tugas kami untuk menindak tegas perilaku penyimpangan sosial." Pak RT terdengar bimbang. "Iya, Mas Rahman ... kok ya serinya dari keluarga itu lagi. Kemarin suaminya yang berulah menyebar fitnah ke sampean hingga sampean dan istri hampir dibakar massa. Sekarang gantian istrinya yang meresahkan. Sak jane mereka itu gimana, sih? Kalo dibandingkan dengan keluarga sampean, kaya bumi dan langit, jauh banget. Yang satu anteng, yang satu biang kerok," tutur Pak Dayat. Aku geli mendengar ka
Gara-gara Meri aku dan suami jadi bersitegang. Emang, ya, racun dari Meri itu selalu bisa menggoyahkan rumah tanggaku yang adem ayem. Heran aja, deh ... masalah internal, jarang sekali ada. Tapi, sumbangan masalah eksternal bejibun, datang silih berganti. Seperti sekarang, ngapain juga Mas Rahman ngoyo mikirin ipar sabl3ng itu. "Dek, mas udah bilang, Meri masih tanggung jawab Mas, Dek. Apa kata ibu dan kakang kalo sampe mereka tau kelakuan Meri saat ini. Jangan lupa, lho, Dek ... kita yang masukin kakang ke penjara. Andai aja kita tarik laporan kita, pasti nggak akan begini," ungkapnya penuh penyesalan. Aku meremas bajuku, jengkel lah, Mas Rahman kok jadi gini, sih? Padahal kemarin udah sepakat Handoyo masuk penjara, kok sekarang kaya nyesel gitu. "Jadi, Mas nyesel udah masukin kakangmu yang hampir saja melenyapkan nyawa kita berdua, Mas?! Nggak inget kejadian itu?!" Dadaku bergemuruh bak gunung berapi yang siap memuntahkan lahar panasnya, meluluh lantakkan apa yang ada. "Kenapa k
"Mas, aku kepikiran buat usaha sampingan, Mas ... kayaknya bikin kolam ikan, seru, Mas. Bisa buat hiburan juga, liat ikan mangap-mangap kalo di sawur pelet, lucu, Mas ... apalagi kumis Lele yang panjang nyrongot-nyrongot kae, huuu, gemesin." Aku membayangkan memberi pakan Lele sambil ngoceh pengen punya kolam sendiri, sembari istirahat di gubuk ladang kami. Mas Rahman membuka bekal yang kubawa tadi. "Usulan yang bagus, Dek ... tapi nanti kalo punya kolam ikan, siapa yang mau nderes ladang?" Aku bersandar di tiang gubuk dan kakiku berselonjor. "Ya, diburuhin, juga nggak papa, Mas. Aku tuh pengen kita kerjanya dirumah aja, Mas ... santai tapi menghasilkan, ngono, lho," usulku lagi. "Lho, bukanya kita juga kerjanya nyantai, Dek ... nderes cuma setengah hari aja, sisanya nongkrong dirumah. Iya, sih. Tapi, kok aku pengen banget punya kolam renang kaya punya Mar Parjono tetangga rumah Ibu. Enak kalo mau ikan tinggal nyerok hehehe. "Malah ngelamun! Ayo sarapan, disek!" Mas Rahman mengi
Kabar dari Tio membuat selera makanku lenyap. Dia bilang Meri berdarah-darah, kenapa? Jatuh, kena golok, apa gimana sih? Bener-bener, ya ... ulah Meri itu selalu saja mengusik hidupku. Aku harus tetap menghabiskan makanan ini, biar aja Mas Rahman yang ngurus ipar nggak tau diri itu. Kupaksakan untuk makan makanan ini, sayang aja kalau sampai mubazir. Selera makan yang hilang, membuatku memaksa untuk makan makanan ini. Secepat mungkin ku habiskan mi yang ku masak tadi. Selesai langsung ku cuci mangkuk bekas makanku. "Dek ... bantuin aku bawa Mbak Meri ke bidan Esti, yuk! Dia pendarahan, Dek ... Tio bilang, tadi dia jatuh pas bawa getah karet mau nimbang." Mas Rahman muncul wajahnya khawatir. "Apa, Mas ... Meri pendarahan?" "Iyo, Dek ... ayo cepat kesana!" "Tunggu, Mas!" Kutarik tangan suamiku mencegahnya ke rumah Meri. "Apa lagi, Dek?" Mas Rahman sedikit berontak saat ku cegah ke rumah Meri. "Mas lupa, Meri 'kan bilang, jangan ikut campur urusan dia, kenapa sekarang Mas malah ma
Sampai di rumah sakit, Meri segera ditangani. Aku diminta menandatangani surat pernyataan dari rumah sakit. Tanpa pikir panjang langsung ku bubuhkan tanda tangan di kertas bermaterai itu, lalu mengurus ruangan yang akan digunakan untuk perawatan Meri. Menunggu dengan ketar-ketir, aku mondar-mandir di lorong rumah sakit. "Keluarga ibu Meri!" Aku berjingkat saat nama itu disebut. Merinding bulu kuduk ini, aku mendekati perawat yang memanggilku. "Iya, saya, Sus." Perasaan gugup, takut, dan entahlah ... badanku juga gemetar. "Bu, tolong ... segera cari donor darah, golongan darah pasien O, kalo bisa secepatnya, Bu ... pasien pendarahan." Deg Pendarahan, kalau bisa secepatnya ... duh, mana disini sendirian lagi. "Baik, Sus ... akan saya usahakan." Tanpa pikir panjang langsung ku sanggupi permintaan suster ini. Aku langsung mencari informasi alamat PMI niatnya hendak kesana untuk mengambil darah. "Mbak, butuh donor darah, ya?" Seorang pengunjung rumah sakit menyapaku. "Eh ... iya
"Mas, cari Tio, Mas ... aku takut dia ilang!" lirihku sembari memijat kepala yang nyut-nyutan. Mas Rahman memberikan amplop dari Pak Hari, "Simpan ini! Ku cari Tio dulu!" Suamiku berlalu keluar kamar. Ku tatap nanar amplop tebal ini. Lalu beralih ke wajah Mbak Meri yang masih belum sadarkan diri. Kau gila Mbak, harusnya ini semua tak kau lakukan. Suamimu itu pasti nggak akan terima di duakan. Gimana kalau dia sampai tahu? Sedang pada adiknya saja, dia tega melukai dan hampir menghilangkan nyawa, apa lagi ini orang lain yang telah mengusik kehidupan pribadinya? Duh, Mbak ... kamu konyol banget, sih! Wajah itu masih pucat, sudah hampir habis darah dari kantong ini, masih belum sadar juga. Ku hembus napas berat. Gimana status pernikahan Mbak Meri dan Pak Hari? Masa' iya, seorang perempuan punya dua suami? Aku garuk-garuk kepala, pusing. "Permisi!" Aku menoleh, melihat kearah pintu. Oh, rupanya seorang perawat yang datang. Ditangannya ada sebuah nampan berisi alat suntik dan botol in
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "