Selama berada di butik, konsentrasiku terganggu oleh kejadian semalam dan tadi pagi sebelum berangkat ke sini. Yesi sudah menampakkan jati dirinya yang sebenarnya, bahkan bukan tidak mungkin wanita itu akan makin berani dan terang-terangan mengambil mas Nathan dariku. Meskipun aku percaya Mas Tatan telah memilihku dan akan mempertahankan aku, tapi dengan dukungan mbak Nadia, Yesi pasti punya kekuatan lebih.Lelakiku berkali-kali menghubungiku, mungkin dia khawatir mood-ku terganggu oleh sikap Yesi. Meskipun benar, tapi aku tidak mau mengadukan hal ini lewat telepon, Mas Nathan juga harus konsentrasi bekerja. Biar saja nanti setelah kami berada di rumah, aku akan bicara baik-baik. Pulang dari butik aku mendapati mbak Nadia sudah ada di rumah Mas Nathan. Jadi benar, Yesi mengadukan hal ini pada kakaknya Mas Nathan dan wanita itu saking sayangnya pada Yesi langsung datang ke sini."Mbak Nadia kapan datang? Apa kabar?" Untuk basa-basi, aku tetap bersikap manis pada kakak iparku ini. Kuta
Di dalam kamar Mbak Nadia yang luas, ternyata sudah ada Yesi. Aku tidak begitu mengerti kenapa Mbak Nadia mengajak kami bicara di kamarnya, bukan di ruang tengah saja yang leluasa. Timbul curiga kalau ini dia lakukan karena takut ketahuan Mama atau tidak ingin melibatkan wanita itu."Langsung saja Nathan, sebenarnya mbak lagi sibuk. Tapi menyempatkan diri datang ke sini karena tadi pagi Yesi menghubungi Mbak. Istri tercintamu ini sudah mengusir Yesi dari rumahmu. Kamu tahu 'kan konsekuensinya?" Mbak Nadia melangkah mendekati kami.Ternyata benar kalau Yesi mengadukan kejadian tadi pagi pada Mbak Nadia. Pengecut."Mbak aku tidak merasa mengusirnya. Hanya memberi pilihan, kalau dia tidak betah di sini dia boleh pergi.""Lalu apa hakmu berkata seperti itu? Kamu juga di sini numpang sama Nathan. Jika sekarang aku menyuruhnya untuk menceraikanmu, kamu bisa apa?""Mbak Nadia tolong, masalah ini jangan diperpanjang apalagi dibesar-besarkan. Bukannya aku membela Lisa, tapi mungkin Lisa juga
Besoknya Mas Nathan pergi ke kantor seperti biasa, sementara hari ini aku di rumah karena jadwalku butik hanya seminggu dua kali. Itu kesepakatan yang kami buat supaya aku tidak terlalu capek dan hanya memantau bisnis dari rumah. Mbak Nadia belum pulang hari ini. Yesi pergi kuliah dengan taksi online. Dua orang itu pagi ini tidak menyapa kami di meja makan dan mama seperti biasa, wanita itu seakan tidak mau tahu apa yang terjadi di antara anak-anaknya. Aku tidak terbiasa berdiam diri, dulu sewaktu masih menjadi istri mas Riko, sehari-hari di rumah akan mengerjakan semua pekerjaan rumah sambil menjaga Kayla. Setelah kami resmi bercerai, aku menyibukkan diri di butik. Dah sekarang ketika aku harus berdiam diri di rumah, maka sasaranku adalah tanaman. Aku punya beberapa koleksi tanaman hias yang bisa membantuku menghilangkan kejenuhan. Mama sendiri sepertinya kurang suka lantaran dulu beliau seorang wanita karir yang tentu saja tidak sempat beraktivitas di rumah. "Sepertinya aku menyer
"Itu .... memangnya itu apa?" tanya Yesi ragu."Ini surat pemberitahuan, bahwa selama semester genap ini kamu lebih banyak bolos daripada masuknya. Bahkan ada laporan dari beberapa dosen yang mengatakan bahwa kamu sama sekali tidak masuk di mata kuliah mereka.""Tapi 'kan, Mbak .... ""Tapi apa? Kenapa sengaja mempermalukan kami?" Mbak Nadia melempar kertas itu ke arah wajah Yesi. 2anita itu nampak marah sekali pada gadis kesayangannya.Aku mundur sedikit supaya mereka tidak melihat kehadiranku. Bukan berniat menguping, hanya saja aku penasaran apa yang sebenarnya terjadi."Sudah banyak uang yang aku keluarkan untuk kuliahmu ini. Aku hanya ingin kamu masuk kuliah, soal nilai nggak usah dipikirkan!"Jadi, Yesi kuliah itu dibiayai oleh mbak Nadia. Bukan keinginan Yesi sendiri dengan biaya hasil dari jual tanah Bapaknya. Satu fakta terungkap."Dari awal aku sudah tidak minat kuliah. Selain ribet juga membosankan." Jawaban dari Yesi semakin menguatkan dugaan bahwa mbak Nadia adakah otakny
Alin"Alin! Jaketku yang kotak-kotak, kamu simpan di mana?!" Teriak Dika dari arah kamar tidur kami. Pria itu baru selesai mandi dan sepertinya sedang berpakaian. Pekerjaan Dika sekarang adalah menjadi tukang ojek di pasar sambil menyambi jadi tukang parkir, atau apa saja. Aku membelikan dia motor bekas namun masih layak pakai, bahkan terbilang bagus. Aku pernah menyarankan supaya dia membantu orang tuaku di sawah dan kebun. Kebetulan mereka mempunyai sawah yang cukup luas yang sebagian dibeli dari hasil keringatku sewaktu bekerja di kota dulu. Tapi Dika tidak mau, katanya, ia tidak pandai bertani. Padahal jika mau belajar, pasti lama-lama juga akan bisa. Biasanya aku yang menyiapkan pakaiannya, tapi bulan lalu aku melahirkan seorang bayi laki-laki. Jadi otomatis tidak bisa beraktivitas seperti biasa. Aku mengurus bayiku sendiri, karena ibu sibuk ke sawah. Beruntung aku bisa melahirkan secara normal di Puskesmas desa. "Alin, kamu tuli, ya?!"teriaknya lagi dengan suara yang lebih ke
Aku mundur beberapa langkah ketika Mas Dika bergerak mendekat. "Salahmu juga, kenapa di saat aku pulang, kamu terlihat segar dan cantik seperti ini. Aku tak tahan melihat rambut basahmu juga wangi tubuhmu." Setelah berada hampir tanpa jarak di dekatku, Dika meraih rambutku yang masih basah, lalu ia menghirup aroma sampo sambil terpejam. "Mas, bagaimana kalau bapak dan ibu pulang dari sawah?" Aku memberikan alasan."Memang sejak kapan orang tuamu pulang jam segini? Biasanya juga mereka pulang saat matahari sudah tenggelam," jawabnya sambil terus mendekat. Memang ada benarnya, Bapak dan Ibu tidak pernah pulang tengah hari, mereka pulang saat hari sudah sore."Tapi ... Dendra .... " Aku terus mencari alasan dengan cara melirik Dendra yang tertidur pulas. Berharap Dika mengurungkan niatnya karena takut mengganggu anak itu."Anak itu tidak akan bangun kalau kamu tidak berisik!" Lanjutnya sambil mendorong tubuhku hingga aku jatuh ke atas kasur.***"Cepat Alin! Aku sudah lapar!" Terdengar
RikoAkhirnya aku bisa menghirup udara bebas. Meski bingung harus ke mana, tapi aku sangat antusias ketika diberitahu kalau hari ini masa tahananku berakhir. Untuk saat ini, tujuanku adalah rumah ibu. Sebejat yang sejelek apapun masa lalu anaknya, aku yakin seorang ibu tidak akan menolak kehadiran anaknya. Bukankah Ibu lautan maaf bagi anak-anaknya. Aku tahu di masa lalu kurang perhatian pada ibu, bahkan beliau lebih dekat pada Lisa, menantunya, daripada pada anaknya sendiri. Dulu Aku sangat benci keadaan itu, tapi sekarang aku sadar karena Lisa lebih memperhatikan beliau.Sebenarnya aku ingin mencari kabar Alin, meski tahu dia bukan istriku lagi. Siapa tahu Alin tidak jadi menikah dengan Dodi, itu artinya aku masih punya kesempatan untuk kembali padanya meskipun tidak yakin sepenuhnya. Rencananya setelah menemui Ibu, aku akan mencari Alin. Semoga ibu mengetahui kabar mengenai wanita itu. Aku pun harus siap dengan reaksi para tetanggaku, yang bukan tidak mungkin mereka pasti sudah m
Aku berpikir sejenak, kira-kira apa yang membuat Alin sampai viral. Apa mungkin Alin berhasil menikah dengan Dodi dan ketahuan oleh istrinya. Tapi apakah hal itu akan membuat wanita itu sampai viral, bukanlah hal yang sama juga dulu kami lakukan dan beritanya tidak sampai heboh. Akan tetapi, itu bisa saja terjadi lantaran Lisa dan istrinya Dodi berbeda. Jika Lisa dulu memilih diam dan pergi dariku, mungkin istrinya Dodi berbuat lebih dari itu."Kamu tentu capek. Kalau belum mau makan, istirahat saja dulu. Biar nanti Ibu siapkan untuk makan siang," ucap ibu setelah kami saling diam beberapa saat."Ya Bu, aku sudah rindu kasur." Aku tersenyum kecil mengingat selama di penjara tak pernah bertemu dengan benda empuk itu."Tidurlah, kamarmu selalu Ibu bersihkan. Sesekali Ibu juga tidur di sana, kalau tidak tidur di kamar Reka. Supaya ruangan itu bau manusia, jadi ibu tidur berkeliling."Ibu pasti kesepian, di rumah yang lumayan luas ini tinggal sendirian.Aku bangkit lalu membungkuk hendak
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny