Mampir di sebuah konter dan membeli kartu baru. Alhamdulillah ponsel yang selama aku mendekam di sel tidak pernah diaktifkan, akhirnya bisa kugunakan setelah numpang mengisi baterai di konter tersebut. Nomor pertama yang kuhubungi adalah kontak bernama Reka. Namun naas, sepertinya Reka telah mengganti nomornya karena pesanku hanya centang satu. Tak putus harapan, aku segera login ke salah satu akun media sosial yang sering Reka gunakan dan segera mengirim pesan. Masuk, tapi tidak terbaca. Mungkin dia masih sibuk bekerja hingga tak ada waktu untuk berselancar di media sosial. Beruntung aku masih menyimpan beberapa lembar uang yang diberikan ibu bulan yang lalu ketika beliau berkunjung ke sel. Sambil menunggu balasan dari Reka aku pun istirahat di sebuah warung makan yang tak jauh dari konter tadi. Lupa mengisi perut sejak tadi pagi saking senangnya mendengar kebebasanku. Kupesan satu porsi nasi lengkap dengan lauk dan sayur. Selesai makan, aku terpaksa keluar karena tak ingin mengg
"Ini kontrakan khusus perempuan?" tanyaku ketika memasuki area kontrakan Reka yang tertata rapi, bersih dan nyaman."Ya, ini khusus perempuan.""Lalu Mas tinggal di mana? Semula Mas berniat menumpang tidur di tempatmu." Aku terus celingukan memperhatikan kamar yang berjejer rapi."Nanti aku izin Bu Darma, yang punya kontrakan ini. Mas Riko 'kan kakakku, semoga kita bisa tinggal bareng semalam atau dua malam. Nanti setelah makan aku akan ngomong sama Bu Darma. Sekarang kita makam dulu, Mas Riko tentu sudah lapar.""Terserah kamu saja, yang penting Mas punya tempat untuk berteduh." Aku berhenti ketika Reka berdiri di depan salah satu pintu yang terletak agak tengah di deretan kamar ini.Tadi sewaktu menelpon aku sudah menceritakan tentang kejadian di rumah ibu pada Reka dan tentu saja dia sudah mengerti posisiku saat ini. "Rencananya Mas Riko mau kerja apa?" tanyanya setelah Reka meletakkan dua buah piring, satu di depannya dan satu lagi di depanku. Gadis itu mulai membuka nasi dan lau
Mendengar itu aku ingin marah, karena pria bernama Nathan itu sudah mengambil alih posisiku. Tapi jika dipikir lagi, semua ini memang salahku. Aku yang dulu menjaga jarak dengan keluargaku terutama anak dan istriku. Jadi wajar saja jika ada orang yang lebih memperhatikannya, Kayla sama sekali tidak akan mengingatku. Menyesal pun percuma."Oh ya, Ka. Tadi ibu sempat bilang kalau kamu melihat berita viral tentang Alin di media sosial." Akhirnya aku mengalihkan pembicaraan dan didorong oleh rasa penasaranku pada berita viral itu."Jadi Mas Riko belum tahu?""Di penjara aku tidak tahu tentang apapun yang terjadi di luar. Ponselku juga baru aktif tadi, aku belum sempat berselancar di internet."Reka meraih gelas lalu minum, sebelum ia berbicara lagi."Mbak Alin viral karena ditemukan dalam keadaan hampir tidak berbusana dan mabuk di semak-semak. Sepertinya ia korban pelecehan dan perampokan. Belakangan diketahui pelakunya adalah seorang buron yang sudah banyak menipu. Namanya Dirga tapi le
"Maaf Bu, kalau kehadiran saya sudah mengganggu. Saya tidak tahu kalau ada peraturan seperti itu. Tadi juga saya mau langsung ketemu ibu untuk minta izin singgah sebentar, tapi Reka bilang supaya kami makan dulu." Tidak mau terkesan tidak punya pembelaan, akhirnya aku angkat bicara.Bu Darma hanya meliriku sekilas, ia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. "Sekali lagi, atas nama saya pribadi dan kakak saya, saya minta maaf ya, Bu." Reka pun mempertegas permintaan maafnya setelah melihat Bu Darma seperti itu."Masih untung yang saya suruh pergi cuma pria itu. Kalau saya tidak kasihan sama kamu, sudah saya usir sekalian!" Ya ampun, kenapa Reka betah tinggal di tempat ini? Sementara pemilik kontrakannya sangat judes. Melihat Bu Darma tidak juga beranjak dari tempatnya berdiri, aku cukup tahu diri. Wanita itu menginginkan aku pergi saat ini juga. Astaga, apa dia tidak melihat kalau nasi di piringku masih tersisa banyak? Bergegas aku mencuci tangan ke kamar mandi lalu minum sedikit. S
"Lisa ....""Ya, Mas. Tapi nama saya Otong, bukan Lisa." Aku menoleh ketika Abang tukang bubur tiba-tiba merespon apa yang kuucapkan barusan. "Eum ... saya bukan manggil Abang. " Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. "Oh, kirain manggil saya. Lisa itu pacarnya ya?"Eh, dia malah kepo."Bukan siapa-siapa.""Oh, baru naksir ya. Jangan nunggu lama-lama, nanti keburu diembat orang."Ya ampun, malah keterusan. Melihat pria itu tersenyum penuh arti aku jadi salah tingkah. Bukan karena senyum pria itu, tapi karena teringat Lisa."Saya makan dulu buburnya, Bang.""Ah iya, nanti keburu dingin. Malah gak enak kalau sudah dingin." Sudah tahu seperti itu, malah diajak ngobrol.Dulu sebelum menikah, meski kami pacaran tidak lama, tapi aku sempat mengajak Lisa jalan beberapa kali. Wanita itu tidak banyak permintaan seperti pacar-pacarku terdahulu. Makan di kaki lima pun tidak jadi masalah. Hal itulah yang membuatku memutuskan untuk menikahinya, karena kupikir Lisa bisa diajak hidupnya hemat.
Sebelum memejamkan mata, aku menyempatkan memeriksa ponsel yang sedari tadi tidak kutengok. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Reka karena ponselnya dari tadi disilent.[Mas Riko di mana? Sudah dapat kontrakan belum? Uang yang tadi cukup untuk menyewa kamar 1 bulan. Kalau bisa Mas Riko jangan jauh-jauh mencari kontrakannya, biar kita bisa sering ketemu.]Karena beberapa panggilan tidak sempat kuterima, maka Reka mengirimkan pesan. Akhirnya aku membalas dan menulis kalau saat ini bertemu seseorang yang baik hati, yang akan membantu mencarikan kontrakan besok. [Syukurlah, Mas. Kalau sudah dapat kontrakan, besok kasih tahu aku tempatnya di mana. Sekarang Mas yang sabar, karena harus tidur di emper toko.][Tidak apa apa. Toh selama di penjara Mas biasa seperti ini."Tanganku gemetar ketika menuliskan pesan itu untuk Reka. Mengingat masa-masa pahitku ketika dipenjara. Kukira penderitaan akan berakhir setelah aku keluar dari tempat itu. Tapi rupanya Tuhan masih memberi ujian padaku. L
"Bangun!! Kalian sudah sampai!" Sebuah teriakan terdengar lagi bersamaan dengan guyuran air di tubuhku. Aku membuka mata dan mendapati orang-orang di sekitarku basah kuyup. Jahat sekali mereka membangunkan kami dengan cara menyiram, sungguh sangat tidak berperikemanusiaan.Semalam, awalnya aku berdiri sambil berpegangan pada dinding mobil. Tapi lama-lama pegal juga, akhirnya aku berjongkok. Begitupun yang lainnya. Bau keringat dari orang-orang yang ada di dalam truk ini menusuk penciumanku. Dari tampilan mereka saja sudah dapat dipastikan entah berapa hari atau berapa minggu badannya tidak terkena air atau mungkin sudah bertahun-tahun. Ya Tuhan, kenapa aku harus berada di antara mereka. Belum lagi tingkah aneh beberapa orang yang membuatku tak nyaman.Seandainya saja para petugas satpol PP tidak mengancamku akan melaporkan ke polisi, tentu aku sudah kabur. Atau setidaknya melawan mereka. Tapi aku masih trauma mendengar mereka menyebut nama polisi. Bagaimana kalau aku dijebloskan lagi
Berjalan ke arah matahari terbit di pagi hari membuat mataku silau, tapi itu tidak menyurutkan langkahku karena ingin segera bertemu dengan tempat keramaian. Aku sangat antusias menuju pasar atau terminal atau apapun. Karena yakin di sana akan mendapatkan banyak makanan, atau setidaknya bisa mencari pekerjaan. Memasuki area pemukiman yang tidak terlalu padat, aku berpapasan dengan anak-anak berseragam merah putih yang hendak pergi ke sekolah. Awalnya aku tidak terlalu menghiraukan saat berpapasan. Anak-anak itu pun tidak ada yang berkata sepatah pun, bahkan mereka seperti yang takut melihatku.Namun begitu gerombolan berada di belakangku, terdengar teriakan salah satunya."Orang gila .... " Astaga! Jadi mereka berpikir kalau aku ini orang yang tidak waras."Orang gila!""Orang gila!""Orang gila!"Sampai pada akhirnya mereka saling bersahutan. Aku pun hanya menoleh sekilas dan membuat mereka lari ketakutan. Sebenarnya sakit hati, tapi mau bagaimana lagi. Meskipun ini tidak dibenark
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny