Adinda kembali ke kamar Herman, dengan membawa ponsel Andi. Diserahkannya pada Herman. Herman segera membuka ponselnya, dan langsung menghubungi Amira.Dia sudah tak sabar ingin mendengar suara Amira. Namun saat Herman menghubunginya, tak ada jawaban dari Amira. Jangankan jawaban, nomornya saja tidak aktif. Ia mulai gelisah kemabali. Akhirnya ia tinggalkan pesan untuk Amira."Sayang, maaf karena baru memberimu kabar...aku akan cepat pulang, akan ku ceritakan tentang hal sebenarnya yang terjadi. Jangan marah yaa...!!" terakhir kalimat ia selipkan emot love untuk istrinya itu. Ia sangat merindukannya. Walaupun sekarang disampingnya ada Adinda, namun rasa rindu untuk Amira masih sangat kuat ia rasakan. Apalagi saat ini, ada Vino, yang membuat rindunya semakin menjadi.Dia tanggalkan ponselnya disampingnya. Wajahnya ditekuk kembali. Harapannya untuk mendengar suara istrinya, tak tercapai."Kenapa mas? kok tak jadi menghubungi Amira?" tanya Adinda. "Nomornya tak aktif." jawabnya lemah.
Sedangkan Amira tak menghiraukan pertanyaan Wisma. Ia mulai menangis.Wisma yang penasaran dengan isi pesan itu,langsung membuka pesan yang Amira baca. Wisma pun tak kalah kaget melihat isi pesan dari Herman."Ini benar-benar seperti lelucon."cibir Wisma. Ia tak percaya dengan cerita Herman. Ia menyangka kalau Herman hanya mengarang cerita saja."Kau percaya dengan ceritanya Amira?" tanya Wisma. Dia berharap, Amira tidak akan percaya dengan cerita Herman.Amira sendiri masih ragu, ia setengah percaya pada cerita itu. Namun tiba-tiba ia menerima panggilan masuk, yang tak lain dari Andi."Hallo Andi...kemana saja kau, kenapa kau baru menghubungiku?!!"Amira berteriak pada Andi. Namun orang dibalik telepon sana, sama sekali tak menjawabnya."Haloo...Andi, kenapa kau diam saja? apa yang sebenarnya terjadi?Amira terus menjatuhi Andi dengan banyak pertanyaan."Sayang, ini aku..." ucap Herman lirih. Amira yang kaget mendengar suara Herman, langsung menangis. Ia sangat marah dengan suaminya."
Herman merasa Amira menjadi berubah. Ia paham kalai ini semua memang salahnya. Herman ingin segera pulang, namun dia belum diizinkan oleh Dokternya. Melihat kondisi Herman yang masih belum sehat, ia diharuskan dirawat selama 2-3 hari lagi. Dengan sangat terpaksa, ia harus menuruti perintah dokter, karena itu semua demi kebaikannya juga. Herman masih berdiri didepan Andi. Ia tak masih belum mendapat jawaban dari Andi. "Maafkan saya tuan, sebenarnya selama kemarin ponsel anda disekap, Nyonya Amira ada menghubungiku. Dia memberitahu kalau Vino masuk Rumah sakit ,karena dehidrasi. Dia dirawat selama beberapa hari. Mendengar jawaban dari Andi, Herman mengepalkan tangannya erat. Dia menahan amarahnya. Dia tak habis fikir, kenapa Andi bisa sampai tidak memberitahukan hal itu pada Herman. "Apa kau bisa memberitahu alasannya?kenapa kau sampai tak memberitahuku?" Herman mengeraskan rahangnya. Ia merasa benci dengan Andi saat ini. Terlepas semua yang pernah Andi lakukan untuk mel
Entah untuk yang ke berapa kalinya Ia memandangi ponsel miliknya. Yang sepi dari notifikasi. Selama ini, ia hanya berhubungan dengan Herman saja. Ia berusaha selalu tetap dirumah, untuk menjadi istri yang baik ,yang selali mendukung suaminya. Bahkan sekedar berkumpul dengan teman-temannya saja, ia enggan melakukannya. Itu semua karena dia terllu mengabdikan hidupnya untuk Herman. Namun kesetiaannya itu ,dibalas hal menyakitkan oleh Herman. Ia berselingkuh dengan wanita lain, dan yang paling membuatnya sakit, ia pernah lebih memilih wanita itu daripada dirinya. Walaupun sekarang Herman sudah semakin berubah, perasaan menyakitkan itu sewaktu-waktu terus muncul, membuat sakit itu kembali lagi. Dan membuat rasa cinta dihatinya mulai terkikis. " TRIIING"Suara pesan masuk ke ponselnya. Dia menyangka kalau suaminya yang menghubunginya. Namun lagi-lagi ia meraskan kecewa untuk yang ke sekian kalinya. "Aku jemput kau malam ini, kita bertemu di hotel x...by sayangku."Sebuah pesan
"Hai sayang ,kau suka dengan kejutanku?" tanya Wisma, saat Amira telah membuka tali pengikat matanya. Sepertinya, Amira mulai terbiasa dengan perlakuan lembut dan romantis Wisma. Ia bahkan mulai menyukai setiap sentuhan Wisma."Aku bahagia Wisma...." jawab Amira. Kemudian ia memeluk erat tubuh Wisma. Dibawah sinar rembulan, lampu yang samar-samar, dua insan yang sedang jatuh cinta ini, saling menautkan bibirnya satu sama lain. Entah mengapa, Amira berubah menjadi sosok yang mengerikan. Kesetiaan yang selalu terabaikan, kebaikan yang tak pernah dianggap, suatu waktu bisa merubah seseorang itu, dan membuatnya menjauh darimu. Mungkin itulah prinsip yang Amira. Bersama Wisma, ia merasa dibutuhkan. Bersama Wisma ,ia merasa kalau dirinya berarti. Setelah saling melepaskan pagutan tersebut, Wisma memberikan kotak merah kecil, yang berbentuk hati untuk Amira. Dengan menjongkokkan tubuhnya ,dengan bertumpu pada lutut satu kakinya, ia menyerahkan kotak itu. "Ambillah persemba
Tak terkecuali Amira. Ia menjerit sekuatnya ,saat melihat Wisma tersungkur karena pukulan Herman yang membabi buta. Herman tak menghiraukan Amira, yang sedari berteriak ,memintanya berhenti melakukan itu. Dia terus memukuli Wisma. Sampai beberapa saat, datang Parman dan melerai mereka. Wisma terhuyung dan ambruk. Dia tak siap menerima pukulan mendadak dari Herman. Herman yang datang tiba-tiba, dan memukulnya dengan brutal, membuat Wisma kehilangan kesadarannya. "Cukup!! Hentikan Herman....!!" Amira sudah tak tahu ,dengan cara apa ia bisa menghentikan suaminya itu. Parman memeluk Herman dari belakang. Dan menghentikan majikannya itu, yang terlihat seperti orang yang sedang kesurupan. Kepalnya mengucur darah, bekas pukulannya yang sekuat tenaga di wajah Wisma. Wisma yang tergolek lemas, bersimbah darah segar dimhkanya. Karena pelipisnya sobek, akibat pukulan mendadak dari Herman."Hentikan, atau aku panggil polisi!!" Amira berteriak dengan sangat keras. Dan akhirnya berh
Herman mundur beberapa langkah. Tubuhnya bergetar karena menangis dan tertawa."Kau bahkan tak mau mendengarkan alasanku meninggalkanmu waktu itu? lantas kau lebih memilih memukulku karena dia?!!" Telunjuk Herman mengarah pada Wisma yang tergolek tak sadarkan diri. "Aku benci sifat kekanakanmu Herman, kau egois..."Amira menangis."Kau tak peduli dengan kami lagi, bahkan kau sekarang terlihat sangat mengerikan, jadi untuk apa aku mendengarkanmu!!" Amira berbicara sambil terbata. Ia tak dapat menahan lagi Emosi, dan bencinya. Amira benci keadaan seperti saat ini. Dia mengusap lembut wajah Wisma. Kemudian ia menelpon dokter Dhani, dan menyuruhnya untuk datang ke rumahnya dengan segera. "Pak Parman, angkat dia ke kamar tamu." Titah Amira pada Parman. Parman mengangkat tubuh Wisma, dan menidurkannya dikamar tamu. Wisma yang masih belum sadar ,membuat Amira bertambah khawatir. Sedangkan Herman, ia mendudukkan fubuhnya dengan kasar. Ia mengacak-ngacak rambutnya. Dia sangat fr
Kalau boleh tahu, kenapa muka anda bisa sampai berdarah begini?" Dhani terus bertanya, sambil membersihkan luka dimuka Wisma dengan alkohol. Dengan sedikit memberikan obat cair pada lukanya. Bisa sedikit mengurangi rasa linu pada luka bekas pukulan Herman. "Tak perlu banyak tanya dok, obati saja luka saudaraku ini!!. perintah Amira pada Dhani. Lagi-lagi Dhani menjadi sasaran kemarahan pasangan suami istri ini. Dhani akhirnya memeriksa Wisma, dan memberikannya obat. Setelah semuanya selesai, ia lekas keluar dan langsung berpamitan pulang. Suasana rumah sobatnya yang sedang tak bersahabat, membuatnya tak betah lama-lama berada disana. Saat ia menuju kelauar, ditemui pak Parman, Ia meminta maaf dengan sambutan yang diberikan kedua majikannya itu."Terimakasih dok, maaf untuk sambutan yang tak mengenakan dari mereka." ucap Parman, dan membungkukkan badannya."Dhani hanya mengangkat satu jempolnya. Menandakan kalau dia baik-baik saja."Fine...gak apa-apa pak, tenang saja." Balasny
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang