Sedangkan Amira tak menghiraukan pertanyaan Wisma. Ia mulai menangis.Wisma yang penasaran dengan isi pesan itu,langsung membuka pesan yang Amira baca. Wisma pun tak kalah kaget melihat isi pesan dari Herman."Ini benar-benar seperti lelucon."cibir Wisma. Ia tak percaya dengan cerita Herman. Ia menyangka kalau Herman hanya mengarang cerita saja."Kau percaya dengan ceritanya Amira?" tanya Wisma. Dia berharap, Amira tidak akan percaya dengan cerita Herman.Amira sendiri masih ragu, ia setengah percaya pada cerita itu. Namun tiba-tiba ia menerima panggilan masuk, yang tak lain dari Andi."Hallo Andi...kemana saja kau, kenapa kau baru menghubungiku?!!"Amira berteriak pada Andi. Namun orang dibalik telepon sana, sama sekali tak menjawabnya."Haloo...Andi, kenapa kau diam saja? apa yang sebenarnya terjadi?Amira terus menjatuhi Andi dengan banyak pertanyaan."Sayang, ini aku..." ucap Herman lirih. Amira yang kaget mendengar suara Herman, langsung menangis. Ia sangat marah dengan suaminya."
Herman merasa Amira menjadi berubah. Ia paham kalai ini semua memang salahnya. Herman ingin segera pulang, namun dia belum diizinkan oleh Dokternya. Melihat kondisi Herman yang masih belum sehat, ia diharuskan dirawat selama 2-3 hari lagi. Dengan sangat terpaksa, ia harus menuruti perintah dokter, karena itu semua demi kebaikannya juga. Herman masih berdiri didepan Andi. Ia tak masih belum mendapat jawaban dari Andi. "Maafkan saya tuan, sebenarnya selama kemarin ponsel anda disekap, Nyonya Amira ada menghubungiku. Dia memberitahu kalau Vino masuk Rumah sakit ,karena dehidrasi. Dia dirawat selama beberapa hari. Mendengar jawaban dari Andi, Herman mengepalkan tangannya erat. Dia menahan amarahnya. Dia tak habis fikir, kenapa Andi bisa sampai tidak memberitahukan hal itu pada Herman. "Apa kau bisa memberitahu alasannya?kenapa kau sampai tak memberitahuku?" Herman mengeraskan rahangnya. Ia merasa benci dengan Andi saat ini. Terlepas semua yang pernah Andi lakukan untuk mel
Entah untuk yang ke berapa kalinya Ia memandangi ponsel miliknya. Yang sepi dari notifikasi. Selama ini, ia hanya berhubungan dengan Herman saja. Ia berusaha selalu tetap dirumah, untuk menjadi istri yang baik ,yang selali mendukung suaminya. Bahkan sekedar berkumpul dengan teman-temannya saja, ia enggan melakukannya. Itu semua karena dia terllu mengabdikan hidupnya untuk Herman. Namun kesetiaannya itu ,dibalas hal menyakitkan oleh Herman. Ia berselingkuh dengan wanita lain, dan yang paling membuatnya sakit, ia pernah lebih memilih wanita itu daripada dirinya. Walaupun sekarang Herman sudah semakin berubah, perasaan menyakitkan itu sewaktu-waktu terus muncul, membuat sakit itu kembali lagi. Dan membuat rasa cinta dihatinya mulai terkikis. " TRIIING"Suara pesan masuk ke ponselnya. Dia menyangka kalau suaminya yang menghubunginya. Namun lagi-lagi ia meraskan kecewa untuk yang ke sekian kalinya. "Aku jemput kau malam ini, kita bertemu di hotel x...by sayangku."Sebuah pesan
"Hai sayang ,kau suka dengan kejutanku?" tanya Wisma, saat Amira telah membuka tali pengikat matanya. Sepertinya, Amira mulai terbiasa dengan perlakuan lembut dan romantis Wisma. Ia bahkan mulai menyukai setiap sentuhan Wisma."Aku bahagia Wisma...." jawab Amira. Kemudian ia memeluk erat tubuh Wisma. Dibawah sinar rembulan, lampu yang samar-samar, dua insan yang sedang jatuh cinta ini, saling menautkan bibirnya satu sama lain. Entah mengapa, Amira berubah menjadi sosok yang mengerikan. Kesetiaan yang selalu terabaikan, kebaikan yang tak pernah dianggap, suatu waktu bisa merubah seseorang itu, dan membuatnya menjauh darimu. Mungkin itulah prinsip yang Amira. Bersama Wisma, ia merasa dibutuhkan. Bersama Wisma ,ia merasa kalau dirinya berarti. Setelah saling melepaskan pagutan tersebut, Wisma memberikan kotak merah kecil, yang berbentuk hati untuk Amira. Dengan menjongkokkan tubuhnya ,dengan bertumpu pada lutut satu kakinya, ia menyerahkan kotak itu. "Ambillah persemba
Tak terkecuali Amira. Ia menjerit sekuatnya ,saat melihat Wisma tersungkur karena pukulan Herman yang membabi buta. Herman tak menghiraukan Amira, yang sedari berteriak ,memintanya berhenti melakukan itu. Dia terus memukuli Wisma. Sampai beberapa saat, datang Parman dan melerai mereka. Wisma terhuyung dan ambruk. Dia tak siap menerima pukulan mendadak dari Herman. Herman yang datang tiba-tiba, dan memukulnya dengan brutal, membuat Wisma kehilangan kesadarannya. "Cukup!! Hentikan Herman....!!" Amira sudah tak tahu ,dengan cara apa ia bisa menghentikan suaminya itu. Parman memeluk Herman dari belakang. Dan menghentikan majikannya itu, yang terlihat seperti orang yang sedang kesurupan. Kepalnya mengucur darah, bekas pukulannya yang sekuat tenaga di wajah Wisma. Wisma yang tergolek lemas, bersimbah darah segar dimhkanya. Karena pelipisnya sobek, akibat pukulan mendadak dari Herman."Hentikan, atau aku panggil polisi!!" Amira berteriak dengan sangat keras. Dan akhirnya berh
Herman mundur beberapa langkah. Tubuhnya bergetar karena menangis dan tertawa."Kau bahkan tak mau mendengarkan alasanku meninggalkanmu waktu itu? lantas kau lebih memilih memukulku karena dia?!!" Telunjuk Herman mengarah pada Wisma yang tergolek tak sadarkan diri. "Aku benci sifat kekanakanmu Herman, kau egois..."Amira menangis."Kau tak peduli dengan kami lagi, bahkan kau sekarang terlihat sangat mengerikan, jadi untuk apa aku mendengarkanmu!!" Amira berbicara sambil terbata. Ia tak dapat menahan lagi Emosi, dan bencinya. Amira benci keadaan seperti saat ini. Dia mengusap lembut wajah Wisma. Kemudian ia menelpon dokter Dhani, dan menyuruhnya untuk datang ke rumahnya dengan segera. "Pak Parman, angkat dia ke kamar tamu." Titah Amira pada Parman. Parman mengangkat tubuh Wisma, dan menidurkannya dikamar tamu. Wisma yang masih belum sadar ,membuat Amira bertambah khawatir. Sedangkan Herman, ia mendudukkan fubuhnya dengan kasar. Ia mengacak-ngacak rambutnya. Dia sangat fr
Kalau boleh tahu, kenapa muka anda bisa sampai berdarah begini?" Dhani terus bertanya, sambil membersihkan luka dimuka Wisma dengan alkohol. Dengan sedikit memberikan obat cair pada lukanya. Bisa sedikit mengurangi rasa linu pada luka bekas pukulan Herman. "Tak perlu banyak tanya dok, obati saja luka saudaraku ini!!. perintah Amira pada Dhani. Lagi-lagi Dhani menjadi sasaran kemarahan pasangan suami istri ini. Dhani akhirnya memeriksa Wisma, dan memberikannya obat. Setelah semuanya selesai, ia lekas keluar dan langsung berpamitan pulang. Suasana rumah sobatnya yang sedang tak bersahabat, membuatnya tak betah lama-lama berada disana. Saat ia menuju kelauar, ditemui pak Parman, Ia meminta maaf dengan sambutan yang diberikan kedua majikannya itu."Terimakasih dok, maaf untuk sambutan yang tak mengenakan dari mereka." ucap Parman, dan membungkukkan badannya."Dhani hanya mengangkat satu jempolnya. Menandakan kalau dia baik-baik saja."Fine...gak apa-apa pak, tenang saja." Balasny
Namun satu sisi, ia merasa berat hati karena Vino. Dia takut akan nasib anaknya dimasa depan. Perasaan berkecamuk menghantui pikirannya. Haruskah ia bertahan?atau pergi meninggalkan? Amira benar-benar bimbang. Setelah meninggalkan Herman tanpa basa-basi. Amira pergi ke kamar Vino, dilihatnya dia sudah tertidur lelap.Tantri masih sibuk membereskan pakaian Vino ke dalam lemari. Amira mendekati Tantri, ia ingin mendapat masukan dari babysister anaknya itu. Yang kini menjadi teman curhatnya. "Mba Tantri belum selesai?" Amira membuka percakapan diantara mereka. Tantri menoleh, dan membalas pertanyaan Amira dengan senyum tipis dibibirnya. "Sedikit lagi nyonya, tinggal memasukkan ke lemari saja, sudah selesai." jawabnya lagi. Amira bingung memulai percakapannya darimana. Dia dibuat salah tingkah. "Mba..aku boleh bertanya satu hal padamu?" Amira mulai memberanikan bertanya. "Iya nyonya, silahkan...ada apa? apa ada masalah lagi?" tanyanya penasaran. Tersirat rag