Saat tersadar, tubuhnya sudah ada ditepi sungai, dengan banyak orang yang mengelilinginya. Terdengar ucapan syukur dari mereka saat matanya mulai terbuka. Suara saling berbisik terdengan saling bersahutan.
Ternyata dia masih hidup, padahal dia sudah tak berharap akan keselamatanya saat itu, ataukah Tuhan memang punya rencana lain dengan hidupnya?"Untung le, kamu selamat. Tadi waktu saya lagi Memet nyari ikan, saya melihat tubuhmu terseret arus."Jelas salah satu warga yang mengelilinginya."Matursuwun pak.""Rumahmu mana le? biar dianterkan saja, tubuhmu masih sangat lemah untuk pulang sendiri. Apa mau istirahat dulu dirumah bapak? kebetulan rumah saya tidak jauh dari sini."Tukiman menolak dengan halus.Dia merasa raganya baik-baik saja, namun jiwanyalah yang justru sedang hancur-hancurnya.Tukiman menyebutkan alamat rumahnya setelah terus didesak warga untuk segAda perasaan bahagia, namun juga sedih yang membayangi Sumini.Bahagia karena sebentar lagi dia akan menikah dengan lelaki yang dia inginkan, sebentar lagi dia akan memiliki status baru. Akhirnya, akan ada sosok lelaki dalam keluarganya. Namun Sumini juga sedih, karena lelaki yang dia cintai, tidak menginginkan pernikahan ini. "Westalah nduk, tresno iku jalaran Soko kulino. Kalau saat ini Tukiman tidak mencintaimu, benih-benih cinta itu akan tumbuh dengan seiring berjalanya waktu!" "Tapi, bagaimana dengan Menik Mak?" "Mikirin kok orang lain, apa kamu cukup selamanya hanya berteman dengan Menik? Nangis terus tiap kali melihat kemesraan mereka? Justru karena kalian sudah dekat, akan mudah bagi Menik untuk menerima kamu, sudahlah tidak perlu memikirkan hal itu, yang paling penting sekarang sandang pangan mu akan terjamin dengan menikahi Tukiman, bagaimanapun kelak dia harus adil! Sebantar lagi status sosia
Akhirnya, hari besar itu datang juga.Acara akan dilakukan dirumah pihak laki-laki. Semua ini permintaan Menik, karena sesuai janjinya, dia sendiri yang akan menyiapkan pernikahan untuk sahabat dan suaminya itu. Menik mempersiapkan semua ini dengan sebaik mungkin, walaupun dengan hati hancur. Menik hanya berusaha untuk menerima ini sebagai takdir tuhan. Memang sudah jalannya untuk seperti ini. Rumahpun dia pilih untuk didekorasi dengan hiasan yang meriah, bahkan Menik sendiri jugalah yang menyiapkan baju untuk suaminya, Tukiman.Dia belikan kemeja dan jas terbaik untuk dikenakan hari ini, seolah ini adalah pernikahan yang memang sudah direncanakan dengan matang. Seolah pernikahan ini adalah pernikahan yang diharapkan. Semua aneka makanan yang terbilang mewah juga sudah tersedia dimeja. Menik tidak ingin mempermalukan keluarga mereka dengan tampilan dan suguhan yang apa adanya, karena Dimata masyarakat, k
Acara sudah selesai, Sumini dan ibunya juga sudah diantar pulang. Menik berjalan memasuki kamar AStutik, dia ingin berganti baju sekaligus istirahat disana. Hari ini, dia sungguh merasa sangat lelah, bukan hanya badannya, namun juga hati dan fikirannya. Setegar apapun dia dimata orang lain, seolah ribuan belati menyayat hatinya ketika suaminya mengucap ijab kabuk untuk perempuan lain. Malam ini menik akan tidur dikamar anak perempuannya itu, namun baru saja dia hendak memejamkan mata, terdengar pintu kamar yang terbuka. "Dek, kenapa malah tidur disini? Seharian kamu belum sempat makan, aku dan anak-anak sudah menunggu kamu dari tadi dimeja makan. Ayo kita makan dulu, aku nggak mau kamu sakit." "Aku belum lapar mas" "jangan seperti itu. Kamu belum makan, bagaimana mungkin tidak lapar?" "Perempuan mana mas, yang bisa makan dengan lahap setelah melihat suaminya mengucapkan ijab kabul u
Semula, Sumini memang tidak ada niatan untuk menyakiti Menik. Dia hanya meminta sedikit kebahagiaan dari sahabatnya itu.Semula, dia memang tidak berniat untuk merebut Tukiman dari Menik. Selama ini, Menik sudah memiliki hampir semua yang diinginkan oleh seorang wanita, wajah yang cantik, kulit yang putih bersih, anak-anak yang pintar, harta yang melimpah, disegani masyarakat, juga keluarga yang terpandang.Lalu, salahkah dia bila meminta sedikit saja kebahagiaan itu? Rasanya begitu tamak jika Menik ingin menikmati semua itu sendiri. Bukankah didunia ini tidak ada yang sempurna? Sejak kecil, Sumini hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Tempat tinggalnya pun tak tentu, seringkali berpindah karena tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Sejak kecil, Sumini sudah harus bekerja membantu ibunya agar tetap bisa makan untuk hari esok. Bahkan Sumini tidak tahu bagaimana rasanya bermain dengan kawan seusianya. Tidak ada waktu untuk bersenang-senang, tidak
"Masak apa nik?" "Astagfirullah, mbak Sumi, kaget aku mbak. Masuk rumah kok nggak ada suaranya sih?" "Hehe... iya maaf, habis kamu sibuk sampai gak denger aku masuk. Tadi sudah ketok-ketok malah nggak nyaut, yasudah aku langsung masuk saja." "Iya mbak, aku kesiangan bangun ini tadi, semalam nemenin Tutik belajar sampai larut malam, sekarang takut sarapannya gak keburu." "Aku bantuin ya, ini kopi buat bapaknya anak-anak ya? Sejak menikah, kami belum pernah makan dan berbincang, saling bertukar cerita dimeja makan, seperti suami istri pada umumnya Nik." Ucap Sumini lirih dengan senyum tipis penuh kehampaan, atau tepatnya bicara dengan diri sendiri. Mendengar penuturan Sumini, muncul rasa iba menyusup dihati Menik, atau justru lebih tepatnya rasa bersalah? Egoiskah dirinya? Karena memang, bahkan setelah suaminya menikah lagi, pria itu tak pernah sekalipun
Setelah Tukiman dan Menik berunding, akhirnya dengan berat hati Tukiman mengijinkan Sumini tinggal dirumah itu untuk sementara waktu. Sebenarnya Menik pun juga masih ragu, akankah keputusanya ini sudah benar. Apakah hatinya sudah siap? Namun ketika mengingat Sumini yang mengiba, muncul pertentangan dalam hatinya. Antara tak tega dan juga tak rela. Batinnya berperang, satu menghakimi dirinya bahwa betapa egoisnya dia selama ini, satu lagi berkata bahwa dia sudah benar. Tidak ada kewajiban dirinya untuk terus mengalah. Namun akhirnya Menik mengijinkan Sumini untuk tinggal seatap dengannya. Menik berfikir bahwa dia tidak bisa selamanya sembunyi dari kenyataan. Apapun yang terjadi nanti, Menik sudah siap. Sumini merasa senang, akhirnya keinginannya untuk tinggal dirumah itu bisa terwujud dengan mudah. Dia sangat tahu kelamahan Menik, dan Dia juga sangat tahu, Menik adalah kelemahan Tukiman. Tukiman akan menuruti apapun keinginan Menik,
"kamu kenapa to Yem, tak perhatikan dari tadi kok melamun saja?"Tanya nyai Saminah kepada mak Siyem. "Aku kepikiran sama Sumi nyi." "Kenapa Dia? Bukankah anak itu sekarang sudah bahagia tinggal sama suaminya?" "Justru itu nyi, sejak Sumi tinggal bersama Tukiman, Dia itu sering sekali sakit, aku kok kawatir dia disakiti Menik, atau disuruh melakukan semua pekerjaan rumah sendiri? Mungkin Menik cemburu melihat kemesraan Sumini dengan Tukuman, sehingga ketika Tukiman pergi bekerja, Menik akan dengan leluass menyiksa badan dan batin Sumini." "Ah, aku kok sangsi, selama ini aku kenal Menik, anaknya baik kok, wong anak itu nggak tegaan. Nepuk nyamuk aja dia ndak tega, apalagi nyiksa manusia." "Loh, ya bisa saja Lo nyi, siapa tahu dia cemburu, melihat suaminya nempel terus sama Sumi? Sekarang, perempuan mana yang dengan suka rela dimadu sih nyi? Duh malah sekali nasib anakku satu-
"Wanita ini harus diarak dan diusir dari desa ini, agar tidak menimbulkan bala untuk kita semua. Karena telah bersekutu dengan setan! Tega-teganya kamu berbuat seperti itu kepada anakku! Kalau kamu tidak suka Sumini tinggal disini, kenapa kamu tidak terus terang saja? Masih bagus Sumini tidak menuntut Tukiman untuk menceraikan kamu, tapi kamu malah setega itu dengan anakku! Dasar kamu ya, kelihatannya saja baik, kenyataannya jahat!"Ujar Mak Siyem dengan lantang. "Sabar dulu Mak, kita dengar dulu penjelasan mbak Menik." ujar salah satu warga menengahi. "Penjelasan apa lagi yang harus kita dengarkan? Semua sudah jelas, kalian semua yang ada disini juga menyaksikan sensiri dia ingin menyantet anakku karena cemburu! Ada media santet yang dia sembunyikan dikamarnya!" Mendengar ada keributan, warga yang lain pun banyak yang berdatangan. Mereka ingin melihat apa yang sedang terjadi. Penasaran, dan kebanyakan mereka hanya
Mursiyem sebenarnya bukanlah orang jahat, dia tidak pernah menyakiti oranglain. Mursiyem hanya membatasi diri dari orang sekitar, dia memang tidak pandai bergaul sejak dulu, namun para tetangganya menyebut dirinya sombong, angkuh, dan tidak tahu diri. Mereka mencibirnya dengan pikiran mereka masing-masing. Mursiyem bukanlah orang jahat, dia hanya korban. Korban dari keegoisan dan juga ketidak adilan. Korban dari keserakahan, dan juga korban dari perasaan dendam yang tak berkesudahan. Dia adalah korban dari perasaannya sendiri. Kini apa yang dia mau sudah berhasil dia dapatkan, Sumini sudah berhasil menghancurkan kebahagiaan keluarga Menik, adik tiri yang tidak pernah Sumini sadari. Misinya sudah berhasil, Mursiyem sudah berhasil membuat Menik menangis setiap malam seperti yang dia rasakan dulu. Suami yang selama ini dia banggakan, kini dengan perlahan mulai membagi perasaanya dengan Sumini, kini cinta lelaki itu tak lagi utuh. Pernah sekali Mursiyem berfikir untuk mengakiri saja se
Mursiyem setengah mati berusaha untuk tidak tertawa puas untuk pagi ini, pagi yang begitu indah dengan udara yang begitu sejuk yang dia rasakan setelah puluhan tahun. Sesak didadanya yang dia rasakan selama ini serasa terobati melihat pemandangan ini. Lelaki lugu itu tampak gemetar ketakutan, dia begitu tampak marah, lelah dan juga putus asa, ketika semua orang yang berada diruangan ini tampak menyudutkannya. Semua tetua datang untuk mengutuk perbuatannya, perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan. Mursiyem ingin bertepuk tangan untuk semua yang ada diruangan ini, betapa hebat ekting mereka. Saminah yang terlihat marah namun masih berusaha menenangkan suaminya, Raharjo yang terlihat begitu terpukul, padahal mungkin saja Raharjo tahu bahwa istrinya sedikit banyak ikut andil dalam hal ini, Raharjo tentu tahu bahwa keponakan tersayangnya itu tidak mungkin melakukan hal sekeji ini. Dan lihat Sumini, Mursiyem ingin memberikan penghargaan tertingginya untuk anak itu, Sumini memang
Pesta itu berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan sangat meriah, semua hiburan rakyat ditampilkan di acara tersebut, makanan yang tersaji juga tak kalah melimpah. Warga yang hadir maupun para undangan orang-orang penting begitu terkagum-kagum, semua memuji atas kebaikan Raharjo dalam memperlakukan anak angkatnya dengan begitu baik lakyaknya anak kandungnya sendiri.Kedua mempelai juga terlihat sangat bahagia, senyum tak pernah lepas dari bibir keduanya, si perempuan pipinya bersemu merah jambu manakala sang pengantin pria membisikkan sesuatu ditelinganya lalu menatapnya dengan jail."Beruntung ya yu, Menik di asuh oleh Ki Harjo, walaupun mereka tidak ada ikatan darah, tapi ki Harjo memperlakukan Menik dengan sangat baik" Terdengar obrolan segerombolan ibu-ibu yang baru saja menghadiri acara tersebut. "Iya ya yu, bahkan ki Harjo mau menikahkan Menik yang sudah yatim piatu itu dengan keponakannya sendiri.""Ya pantes to yu, lawoh Tukiman kan juga sudah yatim piatu sejak kecil. C
Kini semua sudah mulai berjalan dengan semestinya, menjalani hidup dengan porsi masing-masing. Menik sudah mulai bisa menerima kenyataan akan kepergian orangtuanya. Dia hidup layaknya anak seusianya, bermain, belajar, walau tanpa bermanja seperti dahulu. Tapi dia hidup dengan sangat layak disini, segala kebutuhannya tetap terpenuhi, dia tidak dibedakan dengan anak ataupun keponakan dari ki Raharjo, lelaki yang kini menjadi orang yang paling dihormati dan paling berpengaruh karena harta dan pengaruhnya di desa ini. Ya, kini Menik mulai memiliki teman baru, teman untuk membagi kesedihan dan juga kebahagiaanya. Mereka senasib, sama-sama seorang anak yang ditinggal mati kedua orangtuanya dan ditampung keluarga ini. Walaupun begitu, kebersamaan mereka cukup dibatasi, tak baik katanya, seorang anak perempuan terlalu dekat bersama seorang anak lelaki, namun sesekali mereka masih sering terlihat bersama. Sama halnya Menik yang sudah mulai berdamai dengan keadaan, Mursiyem juga menjalani hid
Menik membereskan barang-barangnya dengan diam, satu persatu benda-benda penuh sejarah itu masuk kedalam kopernya. Menik membereskan semua itu dibantu oleh seorang pembantu yang sudah menganggapnya layaknya anaknya cucunya sendiri, mereka sama-sama diam, sama-sama berulangkali yang mengusap matanya yang terus berair. Bukan hanya Menik, wanita itu juga begitu berat meninggalkan rumah ini, sudah begitu lama dia menggantungkan hidupnya dirumah ini, bahkan sejak Admodjo masih didalam perut. Namun sayang, rumah ini akan segera dikosongkan, majikan sudah tiada, putri semata wayangnya pun kini hidup sebatang kara dan dirawat orang lain yang dirasa mampu. Wanita itu memandang Menik yang terus menangis dalam diam, mendekap erat baju terakhir yang akan dimasukkan kedalam sebuah koper besar itu, nafasnya tersengal, bahunya terlihat naik turun, namun gadis itu masih diam. Tak tahan melihat semua itu, wanita tua itupun tanpa sungkan menarik Menik kedalam pelukaanya, lalu mereka sama-sama terisak b
Didalam riuhnya pesta, Menik kebingungan mencari orangtuanya kesana kemari namun tak kunjung ketemu, seorang lelaki yang dia kenal sebagai sahabat bapaknya oun mendekat, berkata bahwa bapaknya ada sedikit keperluan, lelaki itu akan menemaninya menemui tamu-tamu sebagai wakil dari bapaknya. Namun, meskipun sudah dijelaskan, Menik masih merasa bingung dengan apa yang terjadi, kecewa menyusup didadanya. Bagaimana mungkin orangtuanya tiba-tiba menghilang ketika tamu undangan sudah mulai ramai berdatangan, urusan apa yang begitu penting hingga mereka sampai hati meninggalkannya seorang diri? Jam pun akhirnya berganti, seluruh tamu sudah seluruhnya datang, namun acara tak kunjung dimulai, sang tuan rumahpun tak kunjung terlihat. Kini mereka mulai resah dan berbisik. Menik terlihat begitu panik hingga beberapa kali sang paman itu menenangkan bahwa semuanya baik-baik saja, mereka akan menunggu orangtuanya datang sebentat lagi, atau jika mereka tak kunjung datang, acara itu bisa dimulai denga
Admodjo sangat antusias menyiapkan pesta ulangtahun anaknya yang akan dilaksanakan minggu depan. Admodjo memerintahkan para pembantunya untuk menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Dia ingin mwnjamu para tamu dengan sebaik mungkin. Admodjo mengundang semua kenalannya, mulai para pegawai yang bekerja dengan dirinya, sampai dengan para petinggi belanda yang cukup berpengaruh dalam memperlancar bisnisnya. Semakin mendekati hari H, semua tampak sibuk, para pekerja laki-laki ditugasi untuk menata halama sekaligua mendekornya hingga tampka lebih pantas untuk sebuah pesta. Sedangkan para pekerja wanita telah sibuk membuat kue yang akan dihidangkan nanti. Menik dan ibunya pun tak kalah antusias, mereka telah mendapatkan gaun pesta terbaik yang dirancang oleh perancang langganan para nonik belanda. Gaun yang terlihat begitu mewah dan juga anggung ketika sudah digunakan olehnya, begitu serasi dengan wajah ayu juga kulit kuning yang begitu terawat sedari kecil. "Ibu, coba lihat ini"K
Admodjo sedang memangku putri kecilnya sambil memberi makan ikan-ikan hias pada kolam kecil yang sengaja dibangun atas permintaan putri kecilnya tersebut, yang sangat suka melihat ikan-ikan kecil itu berenang seakan sedang menari. Admodjo dengan telaten mendengarkan sang putri bercerita tentang hari-harinya yang menyenangkan, juga tentang teman barunya yang cukup pendiam, lalu tentang makanan apa yang dia tak suka, namun kata sang ibu itu bangus untuk kesehatannya. Juga tentang betapa bersyukurnya dia karena telah terlahir dikeluarga ini, keluarga yang penuh dengan cinta, dan juga orang-orang yang menyenangkan. Admodjo terus mendengarkannya dengan penuh minat dan rasa syukur. Dia begitu mencintai putrinya itu, dan itu adalah kali pertama dia benar-benar mencintai seseorang tanpa syarat dan tetapi. Putrinya itu kini tumbuh menjadi anak yang saangat cantik parasnya, tingkah lakunya pun manis dengan tata krama yang begitu halus, mencerminkan bahwa dia adalah keturunan seorang priyayi, d
Admodjo merasa hidupnya sangat sempurna, dia memiliki harta dan juga keluarga yang bahagia. Ternyata perjodohan yang diatur oleh bapaknya tidak seburuk yang dia bayangkan dulu, dia sama sekali tidak menyesali pilihan orangtuanya, justru dia bersyukur atas itu. Walaupun terus terang ada sedikit rasa bersalah ketika dia harus meninggalkan Mursiyem dalam keadaan yang tidak dia inginkan, Admodjo tahu bahwa dia telah merusak sepenuhnya masa depan Mursiyem dan juga kebahagiaan keluarga perempuan itu, tapi bukankah itu bukan keinginannya? Bukankah dirinya sudah menyuruh Mursiyem untuk menggugurkan anak itu? Bukankah niat awal mereka hanya bersenang-senang? Apakah sepenuhnya dia bersalah? Ah, tentu saja tidak, karena selalu ada harga untuk setiap kesenangan yang kita nikmati, bukankah dulu Mursiyem juga sudah meneguk kesenangan bersama dirinya, mungkin saja iti harga yang harus perempuan itu bayar, walaupun menurut Admodjo terlalu mahal dan berat, namun sekali lagi, itu bukan kesalahannya. Di