"kamu kenapa to Yem, tak perhatikan dari tadi kok melamun saja?"
Tanya nyai Saminah kepada mak Siyem."Aku kepikiran sama Sumi nyi.""Kenapa Dia? Bukankah anak itu sekarang sudah bahagia tinggal sama suaminya?""Justru itu nyi, sejak Sumi tinggal bersama Tukiman, Dia itu sering sekali sakit, aku kok kawatir dia disakiti Menik, atau disuruh melakukan semua pekerjaan rumah sendiri? Mungkin Menik cemburu melihat kemesraan Sumini dengan Tukuman, sehingga ketika Tukiman pergi bekerja, Menik akan dengan leluass menyiksa badan dan batin Sumini.""Ah, aku kok sangsi, selama ini aku kenal Menik, anaknya baik kok, wong anak itu nggak tegaan. Nepuk nyamuk aja dia ndak tega, apalagi nyiksa manusia.""Loh, ya bisa saja Lo nyi, siapa tahu dia cemburu, melihat suaminya nempel terus sama Sumi? Sekarang, perempuan mana yang dengan suka rela dimadu sih nyi? Duh malah sekali nasib anakku satu-"Wanita ini harus diarak dan diusir dari desa ini, agar tidak menimbulkan bala untuk kita semua. Karena telah bersekutu dengan setan! Tega-teganya kamu berbuat seperti itu kepada anakku! Kalau kamu tidak suka Sumini tinggal disini, kenapa kamu tidak terus terang saja? Masih bagus Sumini tidak menuntut Tukiman untuk menceraikan kamu, tapi kamu malah setega itu dengan anakku! Dasar kamu ya, kelihatannya saja baik, kenyataannya jahat!"Ujar Mak Siyem dengan lantang. "Sabar dulu Mak, kita dengar dulu penjelasan mbak Menik." ujar salah satu warga menengahi. "Penjelasan apa lagi yang harus kita dengarkan? Semua sudah jelas, kalian semua yang ada disini juga menyaksikan sensiri dia ingin menyantet anakku karena cemburu! Ada media santet yang dia sembunyikan dikamarnya!" Mendengar ada keributan, warga yang lain pun banyak yang berdatangan. Mereka ingin melihat apa yang sedang terjadi. Penasaran, dan kebanyakan mereka hanya
Mereka mengarak Menik dengan tanpa perasaan, Menyeretnya hingga keluar dari desa tanpa perundingan dan berfiki panjang.Bahkan, sebagian dari mereka tak tahu masalahnya, hanya ikut-ikutan dalam keramaian. Tak ingatkah mereka, saat dirumah tak ada yang bisa dimakan, Menik yang datang dengan tangan penuh bahan makanan?Tak ingatkah mereka, saat anaknya sakit. Dengan tanpa perhitungan Menik yang datang dengan uang terselip dalam genggaman. Lalu kini, apa balasan mereka kepada wanita berhati mulai tersebut?Mempercayai fitnah dan tega mengusirnya tanpa pembelaan. Menik berjalan dengan menahan luka perih di sekujur tubuhnya, Dia menyesali apa yang terjadi.Apa salahnya kepada Sumini? Kenapa emak dan anak itu begitu tega kepada dirinya?Kurang apa dia selama ini? Dulu sebelum dirinya mengenal Sumini, hidupnya baik-baik saja. Lalu Menik timbul kasihan meli
Hari masih begitu pagi, namun Sumini sudah sibuk didapur. Dengan sepenuh hati dia memotong sayur, memasukkan daging,serta menambahkan sedikit garam pada masakanya. Aroma masakannya sudah menyebar diseluruh ruangan. Begitu wangi menggugah selera. Hari ini dia begitu menikmati peran barunya sebagai seorang istri, dan ibu seutuhnya dirumah ini. Bahkan sesekali berdendang kecil. Ternyata begini rasanya menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Mungkin sedikit lelah, namun menyenangkan. Aura bahagia terpancar diwajahnya, seolah hari kemarin tidak pernah ada. Sakit ditubuhnya memang masih perih, lukanya masih basah. Namun semua tidak terasa. Tidak sebanding dengan apa yang dia dapatkan sekarang. Sumini mulai meracik kopi, menyeduh susu dan sepiring buah segar yang telah dipotong ditata cantik didalam piring saji. Semua Sumini lakukan dengan sepenuh hati. Berbagai menu sarapan telah terhidang dimeja makan, seolah ada sebu
Ki Harjo sangat murka, ketika mendengar berita yang kini menimpa keluarga Tukiman, anak satu-satunya dari kakaknya yang kini sudah almarhum itu. Dia merasa gagal menjalankan amanat kakaknya untuk menjaga Tukiman, selayaknya anaknya sendiri.Dia panggil Mak Siyem dan beberapa warga yang terlibat dalam pengusiran Menik beberapa waktu yang lalu. Bagaimana mungkin dia bisa tidak tahu? Ki Harjo merasa dilangkahi. Lancang sekali mereka yang berbuat demikian kepada Menik? Menik adalah anak yang dia besarkan sendiri dengan tangannya, Menik dan Tukiman adalah amanah yang dititiokan oleh orang-orang terdekatnya kepada dirinya. Namun nyatanya, beberapa waktu terakhir ini, berbagai hal buruk menimpa mereka, dan dirinya bahkan tidak tahu. "Apa yang sudah kalian lakukan kepada keponakanku?" "Kami hanya melakukan apa yang seharusnya kami lakukan ki. Justru kami tidak ingin desa ini terkena bala karena perbuatan jahat Menik."
Hari itu Mak Siyem sengaja pergi berjalan-jalan untuk membeli sesuatu, tanpa sengaja dia melihat Menik yang sedang masuk kedalam warung tempatnya bekerja.muncul rasa was-was dihati Mak Siyem, bagaimana kalau nanti Menik pulang kembali kedesa Sumber bening? bukan hanya Sumini, namun dirinya juga pasti akan terancam. bBgaimana kalau Ki Harjo tahu semua ini hanya akal-akalan nya saja, kalau sampai dia dan anaknya terusir dari kampung itu, mau kemana mereka pergi? Hancur sudah semua rencana yang sudah matang dia rencanakan sejak awal. Terlebih kehidupanya sudah sangat nyaman saat ini. Dengan tergesa, mak Siyem berjalan menghampiri Menik yang masuk ke dalam warung tersebut.Dia melongok ke dalam warung, mencari keberadaan Menik, namun tak juga ketemu, padahal warung ini tak seberapa besar, kemana perginya? Dia sangat yakin matanya tak salah lihat bahwa melihat Menik masuk kedalam warung ini tadi. Mak Siyem sengaja memutari warung makan tersebut, hin
Tukiman merasa begitu senang, saat melihat bayangan Menik yang membelakanginya di dalam kamarnya yang remang-remang dengan cahaya yang hanya berasal dari rembulan yang mengintip dari balik jendela. Tak sabar dia ingin segera memeluk tubuh istrinya. Lelahnya seharian dengan pekerjaan dan pikirannya seketika hilang. Tukiman begitu rindu, saat melihat istrinya menggunakan baju terusan warna kuning bercorak bunga Krisan. Tukiman masih ingat, baju itu dia yang membelikan dengan diam-diam sebagai hadiah ulangtahun pernikahan mereka. Menik terlihat sangat cantik ketika memakai baju itu. Ketika Tukiman merajuk, Menik selalu menggunakan baju itu untuk menyambutnya pulang, lalu menyiapkan masakan kesukaannya. Lalu Tukiman akan kembali luluh, rasa kesalnya memang tidak pernah bisa bertahan lama bila berhadapan dengan Menik. Wanitanya itu selalu bisa mengambil hatinya. Selalu bisa membuatnya jatuh cinta setiap hari. Sekarang Menik ke
Nyi Saminah mendekap erat tas berwarna merah dipangkuannya, wajahnya terlihat begitu cemas. berkali-kali Dia menyuruh pak kusno mempercepat laju andong yang membawa mereka. Namun sayangnya jalanan begitu licin, tadi malam hujan yang begitu deras disertai badai yang bergemuruh mengguyur desa Sumber bening.Jalanan didesa itu masih berupa tanah liat dengan bebatuan yang mencuat diatasnya, pak Kusno kawatir, jika harus memacu kudanya dengan cepat, maka kudanya bisa saja tergelincir dan mengakibatkan andong mereka terguling.Jika dirinya sensiri yang terjatuh tak masalah, namun dia membawa juragannya. Jika terjadi sesuatu, pastinya masalah yang lebih besar akan menantinya. Sebenarnya hari masih begitu pagi, namun nyi Saminah sudah memintanya untuk segera mengantarkan kerumah Tukiman. Nyi Saminah berkata bahwa dirinya sangat mengkhawatirkan Astutik. Cucunya itu sangat takut dengan petir, biasanya ketika badai petir seperti semala
Menik tidak bisa tidur dengan nyenyak. Didalam kepalanya masih terngiang ucapan mak Siyem tempo hari. "Benarkah suami dan anak-anakku sudah melupakanku? Benarkah mereka sudah hidup bahagia tanpaku? Benarkah posisiku dihati mereka sudah tergeser oleh mbak Sumini? Buktinya benar mereka tidak mencariku hingga kini!" Hatinya terus ragu dan bertanya-tanya. Hatinya bimbang, dia ingin pulang, namun masih takut akan penolakan. Menik masih begitu trauma dengan masyarakat yang terhasut dan mengusirnya. Bagaimana jika nanti warga mengusirnya kembali, bagaimana jika warga masih terhasut oleh Mak Siyem? Bagaimana jika nanti justru keluarganya sendiri yang tak lagi mengharapkan kedatanganya untuk pulang? Bagaimana jika semua itu terjadi ketika dia belum sampai rumah, bukankah usahanya akan sia-sia. Bagaimana dengan Astutik saat ini? Anak bungsunya itu tidak pernah bisa jauh darinya. Anak itu sering kali susah makan, bisakah m
Mursiyem sebenarnya bukanlah orang jahat, dia tidak pernah menyakiti oranglain. Mursiyem hanya membatasi diri dari orang sekitar, dia memang tidak pandai bergaul sejak dulu, namun para tetangganya menyebut dirinya sombong, angkuh, dan tidak tahu diri. Mereka mencibirnya dengan pikiran mereka masing-masing. Mursiyem bukanlah orang jahat, dia hanya korban. Korban dari keegoisan dan juga ketidak adilan. Korban dari keserakahan, dan juga korban dari perasaan dendam yang tak berkesudahan. Dia adalah korban dari perasaannya sendiri. Kini apa yang dia mau sudah berhasil dia dapatkan, Sumini sudah berhasil menghancurkan kebahagiaan keluarga Menik, adik tiri yang tidak pernah Sumini sadari. Misinya sudah berhasil, Mursiyem sudah berhasil membuat Menik menangis setiap malam seperti yang dia rasakan dulu. Suami yang selama ini dia banggakan, kini dengan perlahan mulai membagi perasaanya dengan Sumini, kini cinta lelaki itu tak lagi utuh. Pernah sekali Mursiyem berfikir untuk mengakiri saja se
Mursiyem setengah mati berusaha untuk tidak tertawa puas untuk pagi ini, pagi yang begitu indah dengan udara yang begitu sejuk yang dia rasakan setelah puluhan tahun. Sesak didadanya yang dia rasakan selama ini serasa terobati melihat pemandangan ini. Lelaki lugu itu tampak gemetar ketakutan, dia begitu tampak marah, lelah dan juga putus asa, ketika semua orang yang berada diruangan ini tampak menyudutkannya. Semua tetua datang untuk mengutuk perbuatannya, perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan. Mursiyem ingin bertepuk tangan untuk semua yang ada diruangan ini, betapa hebat ekting mereka. Saminah yang terlihat marah namun masih berusaha menenangkan suaminya, Raharjo yang terlihat begitu terpukul, padahal mungkin saja Raharjo tahu bahwa istrinya sedikit banyak ikut andil dalam hal ini, Raharjo tentu tahu bahwa keponakan tersayangnya itu tidak mungkin melakukan hal sekeji ini. Dan lihat Sumini, Mursiyem ingin memberikan penghargaan tertingginya untuk anak itu, Sumini memang
Pesta itu berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan sangat meriah, semua hiburan rakyat ditampilkan di acara tersebut, makanan yang tersaji juga tak kalah melimpah. Warga yang hadir maupun para undangan orang-orang penting begitu terkagum-kagum, semua memuji atas kebaikan Raharjo dalam memperlakukan anak angkatnya dengan begitu baik lakyaknya anak kandungnya sendiri.Kedua mempelai juga terlihat sangat bahagia, senyum tak pernah lepas dari bibir keduanya, si perempuan pipinya bersemu merah jambu manakala sang pengantin pria membisikkan sesuatu ditelinganya lalu menatapnya dengan jail."Beruntung ya yu, Menik di asuh oleh Ki Harjo, walaupun mereka tidak ada ikatan darah, tapi ki Harjo memperlakukan Menik dengan sangat baik" Terdengar obrolan segerombolan ibu-ibu yang baru saja menghadiri acara tersebut. "Iya ya yu, bahkan ki Harjo mau menikahkan Menik yang sudah yatim piatu itu dengan keponakannya sendiri.""Ya pantes to yu, lawoh Tukiman kan juga sudah yatim piatu sejak kecil. C
Kini semua sudah mulai berjalan dengan semestinya, menjalani hidup dengan porsi masing-masing. Menik sudah mulai bisa menerima kenyataan akan kepergian orangtuanya. Dia hidup layaknya anak seusianya, bermain, belajar, walau tanpa bermanja seperti dahulu. Tapi dia hidup dengan sangat layak disini, segala kebutuhannya tetap terpenuhi, dia tidak dibedakan dengan anak ataupun keponakan dari ki Raharjo, lelaki yang kini menjadi orang yang paling dihormati dan paling berpengaruh karena harta dan pengaruhnya di desa ini. Ya, kini Menik mulai memiliki teman baru, teman untuk membagi kesedihan dan juga kebahagiaanya. Mereka senasib, sama-sama seorang anak yang ditinggal mati kedua orangtuanya dan ditampung keluarga ini. Walaupun begitu, kebersamaan mereka cukup dibatasi, tak baik katanya, seorang anak perempuan terlalu dekat bersama seorang anak lelaki, namun sesekali mereka masih sering terlihat bersama. Sama halnya Menik yang sudah mulai berdamai dengan keadaan, Mursiyem juga menjalani hid
Menik membereskan barang-barangnya dengan diam, satu persatu benda-benda penuh sejarah itu masuk kedalam kopernya. Menik membereskan semua itu dibantu oleh seorang pembantu yang sudah menganggapnya layaknya anaknya cucunya sendiri, mereka sama-sama diam, sama-sama berulangkali yang mengusap matanya yang terus berair. Bukan hanya Menik, wanita itu juga begitu berat meninggalkan rumah ini, sudah begitu lama dia menggantungkan hidupnya dirumah ini, bahkan sejak Admodjo masih didalam perut. Namun sayang, rumah ini akan segera dikosongkan, majikan sudah tiada, putri semata wayangnya pun kini hidup sebatang kara dan dirawat orang lain yang dirasa mampu. Wanita itu memandang Menik yang terus menangis dalam diam, mendekap erat baju terakhir yang akan dimasukkan kedalam sebuah koper besar itu, nafasnya tersengal, bahunya terlihat naik turun, namun gadis itu masih diam. Tak tahan melihat semua itu, wanita tua itupun tanpa sungkan menarik Menik kedalam pelukaanya, lalu mereka sama-sama terisak b
Didalam riuhnya pesta, Menik kebingungan mencari orangtuanya kesana kemari namun tak kunjung ketemu, seorang lelaki yang dia kenal sebagai sahabat bapaknya oun mendekat, berkata bahwa bapaknya ada sedikit keperluan, lelaki itu akan menemaninya menemui tamu-tamu sebagai wakil dari bapaknya. Namun, meskipun sudah dijelaskan, Menik masih merasa bingung dengan apa yang terjadi, kecewa menyusup didadanya. Bagaimana mungkin orangtuanya tiba-tiba menghilang ketika tamu undangan sudah mulai ramai berdatangan, urusan apa yang begitu penting hingga mereka sampai hati meninggalkannya seorang diri? Jam pun akhirnya berganti, seluruh tamu sudah seluruhnya datang, namun acara tak kunjung dimulai, sang tuan rumahpun tak kunjung terlihat. Kini mereka mulai resah dan berbisik. Menik terlihat begitu panik hingga beberapa kali sang paman itu menenangkan bahwa semuanya baik-baik saja, mereka akan menunggu orangtuanya datang sebentat lagi, atau jika mereka tak kunjung datang, acara itu bisa dimulai denga
Admodjo sangat antusias menyiapkan pesta ulangtahun anaknya yang akan dilaksanakan minggu depan. Admodjo memerintahkan para pembantunya untuk menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Dia ingin mwnjamu para tamu dengan sebaik mungkin. Admodjo mengundang semua kenalannya, mulai para pegawai yang bekerja dengan dirinya, sampai dengan para petinggi belanda yang cukup berpengaruh dalam memperlancar bisnisnya. Semakin mendekati hari H, semua tampak sibuk, para pekerja laki-laki ditugasi untuk menata halama sekaligua mendekornya hingga tampka lebih pantas untuk sebuah pesta. Sedangkan para pekerja wanita telah sibuk membuat kue yang akan dihidangkan nanti. Menik dan ibunya pun tak kalah antusias, mereka telah mendapatkan gaun pesta terbaik yang dirancang oleh perancang langganan para nonik belanda. Gaun yang terlihat begitu mewah dan juga anggung ketika sudah digunakan olehnya, begitu serasi dengan wajah ayu juga kulit kuning yang begitu terawat sedari kecil. "Ibu, coba lihat ini"K
Admodjo sedang memangku putri kecilnya sambil memberi makan ikan-ikan hias pada kolam kecil yang sengaja dibangun atas permintaan putri kecilnya tersebut, yang sangat suka melihat ikan-ikan kecil itu berenang seakan sedang menari. Admodjo dengan telaten mendengarkan sang putri bercerita tentang hari-harinya yang menyenangkan, juga tentang teman barunya yang cukup pendiam, lalu tentang makanan apa yang dia tak suka, namun kata sang ibu itu bangus untuk kesehatannya. Juga tentang betapa bersyukurnya dia karena telah terlahir dikeluarga ini, keluarga yang penuh dengan cinta, dan juga orang-orang yang menyenangkan. Admodjo terus mendengarkannya dengan penuh minat dan rasa syukur. Dia begitu mencintai putrinya itu, dan itu adalah kali pertama dia benar-benar mencintai seseorang tanpa syarat dan tetapi. Putrinya itu kini tumbuh menjadi anak yang saangat cantik parasnya, tingkah lakunya pun manis dengan tata krama yang begitu halus, mencerminkan bahwa dia adalah keturunan seorang priyayi, d
Admodjo merasa hidupnya sangat sempurna, dia memiliki harta dan juga keluarga yang bahagia. Ternyata perjodohan yang diatur oleh bapaknya tidak seburuk yang dia bayangkan dulu, dia sama sekali tidak menyesali pilihan orangtuanya, justru dia bersyukur atas itu. Walaupun terus terang ada sedikit rasa bersalah ketika dia harus meninggalkan Mursiyem dalam keadaan yang tidak dia inginkan, Admodjo tahu bahwa dia telah merusak sepenuhnya masa depan Mursiyem dan juga kebahagiaan keluarga perempuan itu, tapi bukankah itu bukan keinginannya? Bukankah dirinya sudah menyuruh Mursiyem untuk menggugurkan anak itu? Bukankah niat awal mereka hanya bersenang-senang? Apakah sepenuhnya dia bersalah? Ah, tentu saja tidak, karena selalu ada harga untuk setiap kesenangan yang kita nikmati, bukankah dulu Mursiyem juga sudah meneguk kesenangan bersama dirinya, mungkin saja iti harga yang harus perempuan itu bayar, walaupun menurut Admodjo terlalu mahal dan berat, namun sekali lagi, itu bukan kesalahannya. Di