Semua yang hadir diruangan ini bertepuk tangan riuh ketika nama Astutik dipanggil untuk maju memberi sambutan kedepan sebagai lulusan cumlaude tahun ini. Sedangkan Menik tak kuasa menahan air mata harunya menyaksikan anak bungsunya berjalan kedepan dengan angun dan gagah sebagai lulusan terbaik diantara ribuan mahasiswa yang lain, dia begitu bangga karena akhirnya bisa mengantarkan anaknya meraih cita-citanya yang mulia. Dia begitu bersyukur dengan semua ini, kesakitan yang dia alami dulu, akhirnya bisa berbuah manis kini.Seandainya dulu dia hanya terpuruk dalam dukanya sendiri, mungkin dia tidak akan pernah sampai seperti ini. Dia bersyukur bahwa dulu tekadnya untuk berhasil lebih kuat, dengan menahan 10tahun kesakitan yang menanggung rindu kepada sang buah hati. Kini hasilnya bisa dia nikmati.Masa tuanya terjamin, tugasnya untuk menghantar anak-anaknya sudah dia laksanakan. Terlebih kini ada lelaki yang sedari tadi menggenggam erat tangannya, yang seolah-olah membuat dia menja
Hari ini akan menjadi hari yang sibuk sekaligus hari bahagia untuk semua orang, kecuali yang hatinya di penuhi dengan dengki. Hari ini adalah hari dimana terpautnya dua janji sakral anak manusia di hadapan Tuhannya. Janji yang akan terus mengasihi, menjaga dan percaya.Menik dirias dengan riasan khas adat Jawa, begitu cantik layaknya sangat ratu. Paes yang sarat akan makna dan doa tak lupa terlukis cantik dikeningnya, dengan gajahan yang berarti harapan agar kelak dia ditinggikan derajatnya Dan dihormati oleh sang suami. Pengapet, agar dapat berjalan lurus ke depan sehingga tidak ada rintangan berat dalam menjalani kehidupan pernikahan.Penitis agar apapun yang kelak mereka lakukan memiliki tujuan. Serta godek agar Menik dan Rudi dapat bertindak secara bijaksana dan selalu introspeksi diri.Tak lupa chitak agar Menik kelak sebagai istri bisa fokus dan setia hanya kepada Rudi. Baju bludru berwarna hitam sudah melekat begitu pas ditubuh nya yang masih begitu ramping walau us
Sumini menatap pilu kepada Menik yang berjalan dengan dengan anggun menuju lelaki yang baru saja mengucap ijab kabul untuknya, semua menatap kagum kearah Menik dan tak seorangpun menghiraukan kehadirannya. Menik terlihat begitu bahagia hari ini, sangat berbanding terbalik dengan suasana hatinya kini. Dia merasa begitu kesepian diantara riuhnya undangan yang datang. Semua datang dengan rona bahagia bersama keluarga masing-masing, sedangkan dirinya hanya sendiri. Bahkan kehadiranya seolah tak ada yang menyadari. Sungguh dia menyesali keputusannya untuk datang ke acara ini, untuk apa? Hanya untuk menertawakan kemalanganya? Untuk menjadi saksi mereka yang sedang berusaha memamerkan kebahagiaan? Menik adalah manusia munafik baginya, semua orang menggaung-gaungkan kesetiaan yang dimiliki seorang menik, nyatanya apa? Kini dia lebih memilih untuk berbahagia bersama lelaki lain. Lelaki yang dulu begitu di cemburui suaminya, nyatanya benar, kini mereka bersatu dalam ikatan pernikahan bukan?
Seperti janji Tuhan, semua akan menuai sesuai apa yang sudah mereka tanam. Yang baik akan mendapat karma baik, sedangkan yang jahat akan mendapat karma buruk pula. Persis seperti yang tengah Menik dan Sumini alami saat ini.Hidup menik kini penuh dengan limpahan kebahagiaan, dia kini hidup bahagia, bersama orang yang mencintainya dan juga dia cintai. Lelaki yang hanya memandang dirinya sebagai satu-satunya wanita yang dipilih sebagai pendamping hidup, teman berbagi segala hal, dan juga lelaki yang benar-benar menjadikanya seorang Ratu. Anak-anak nya telah sukses dalam meniti karir dan Asmara. Wijaya Sukses mengembangkan perkebunan dibawah bimbingan Rudi. Jika sejak dulu kopi-kopi itu dijual begitu saja, kini Wijaya sudah memiliki sebuah pabrik yang mengolah kopi-kopi itu menjadi kopi bubuk yang siap seduh dan sudah memiliki brand. Kian hari usahanya itu kian berkembang pesat. Wijaya juga menikah dengan seorang wanita sholeha. Wanita sederhana bertutur lembut, yang mampu memikat hat
Jika boleh memilih, Sumini pasti akan memilih terlahir dikeluarga yang normal. Memiliki seorang bapak dan ibu, tak perlu hidup kaya rasa, sederhana pun tak mengapa asal cukup. Bisa bermain bersama bapaknya setiap saat, adalah impian terbesarnya ketika masih kecil. Mengadu bila ada teman yang usil, tempat berlindung dari omelan sang ibu. Dia penasaran bagaimana rasanya belanja bersama ibunya, lalu masak barsama dan menunggu seorang bapak pulang ke rumah dengan sambutan penuh cinta dan syukur. Namun nyatanya semua itu hanya hayalan. Nyatanya, seumur hidup dia tak pernah merasakan kasih sayang tulus dari seorang lelaki, entah itu ayah, kakek atau bahkan seorang suami. Dia tak pernah mengenal bagaimana rasanya memiliki seorang bapak. Hanya rasa iri setiap kali melihat tetangganya bermain bersama orangtua mereka, mengadu ketika dimarahi sangat ibu. Nyatanya sekalipun Sumini tak pernah dimarahi ibunya, karena Sumini selalu menjawab iya setiap apapun perintah sang ibu. Namun disaat kini
"Dimana aku?""Alhamdulillah mak, njenengan sudah sadar. Kita ada dirumah sakit mak, sekarang njenengan sedang diperiksa dokter."Sekar mengelus tanganya yang sudah keriput dengan lembut, seolah berusaha memberi kekuatan lebih kepada Sumini, tatapan matanya seolah menjelaskan bahwa dia tak lagi sendiri kini, wanita itu akan bersedia merawat nya. Namun ketika perasaan itu menghangatkan hatinya, justru rasa sakit luar biasa kembali menyerang kakinya. Baru dia sadari bahwa badannya kembali menggigil saking kuatnya menahan sakit luar biasa pada kakinya. Dia meringis merintih mengaduh kepada sang dokter. "Lutut saya sakit sekali dok, rasanya kaki saya juga sangat lemah, saya ini sakit apa to dok?"Sang dokter dan para perawat pun menatapnya dengan tatapan iba. Membuat hati Sumini dilanda kawatir dengan apa yang akan disampaikan sang dokter. Hatinya berdegup dengan kencang. Dia yakin Tuhan tak mungkin sejahat itu kepadanya, semua akan baik-baik saja. Dia tak memiliki siapapun, dia harus
Hari Raya idul fitri adalah hari dimana yang dikota kembali ke desa, yang merantau pulang kepada keluarga, para anak berduyun-duyun mengunjungi orang tua. Bahkan pemakaman pun ramai oleh peziarah dengan bunga setaman yang mereka taburkan diatas gundunkan tanah. Namun berbeda dengan Sumini, hari Raya idul fitri justru menambah sesak didadanya menahan nelangsa yang tak berkesudahan. Siapa yang dia nanti? siapa yang dia tunggu? Satu-satunya keluarga yang masih mau peduli terhadapnya adalah Wijaya dan Sekar, namun hari Raya seperti ini yang pada umumnya mereka yang dikota kembali ke desa untuk merayakan bersama keluarga. beda hal dengan Wijaya dan Sekar, mereka justru memilih merayakan dikota, karena semua keluarga mereka ada disana, menyisakan dirinya yang terkungkung sepi, sendiri. Sumini sudah mandi dan berganti dengan busana terbaiknya sedari pagi. Meski dengan keterbatasan, namun dia masih bisa melakukan semua kegiatan seperti biasa diatas kursi roda. Sumini bahkan nyaris tidak mem
Pov Alina. "Jadi seperti itu bu masa lalu mbah Sum? Jahat juga ya, pantas saja masa tuanya seperti itu!"Aku tak menyangka mbah Sum dimasa lalu adalah seorang wanita yang begitu jahat, sehingga mampu menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisinya. Ibu tersenyum mendengar pernyataanku, dan aku justru bingung."Bararti kamu tak bisa menangkap maksut dalam cerita ibu tadi, fikiran kamu terpusat pada siapa dicerita ibu tadi?""Mbah Menik""Bukankah awalnya kamu ingin tahu tentang mbah Sum? Apa yang kamu tangkap tentang cerita mbah Sum? " Seorang perebut suami orang yang berhati jahat, yang menghalalkan segala cara demi tercapainya sebuah ambisi!" Jawabku berapu-api. "Benar, tapi bukan itu maksut yang ingin ibu sampaikan dalam cerita barusan. Mbah Sum itu pada dasarnya orang baik nduk, dia berbuat jahat itu karena memang tidak pernah diarahkan kearah yang benar oleh orangtuanya. Bahkan, justru sang ibu lah yang menjadikan mbah Sum sebagai boneka untuk mencapai tujuanya, namun mbah S
Mursiyem sebenarnya bukanlah orang jahat, dia tidak pernah menyakiti oranglain. Mursiyem hanya membatasi diri dari orang sekitar, dia memang tidak pandai bergaul sejak dulu, namun para tetangganya menyebut dirinya sombong, angkuh, dan tidak tahu diri. Mereka mencibirnya dengan pikiran mereka masing-masing. Mursiyem bukanlah orang jahat, dia hanya korban. Korban dari keegoisan dan juga ketidak adilan. Korban dari keserakahan, dan juga korban dari perasaan dendam yang tak berkesudahan. Dia adalah korban dari perasaannya sendiri. Kini apa yang dia mau sudah berhasil dia dapatkan, Sumini sudah berhasil menghancurkan kebahagiaan keluarga Menik, adik tiri yang tidak pernah Sumini sadari. Misinya sudah berhasil, Mursiyem sudah berhasil membuat Menik menangis setiap malam seperti yang dia rasakan dulu. Suami yang selama ini dia banggakan, kini dengan perlahan mulai membagi perasaanya dengan Sumini, kini cinta lelaki itu tak lagi utuh. Pernah sekali Mursiyem berfikir untuk mengakiri saja se
Mursiyem setengah mati berusaha untuk tidak tertawa puas untuk pagi ini, pagi yang begitu indah dengan udara yang begitu sejuk yang dia rasakan setelah puluhan tahun. Sesak didadanya yang dia rasakan selama ini serasa terobati melihat pemandangan ini. Lelaki lugu itu tampak gemetar ketakutan, dia begitu tampak marah, lelah dan juga putus asa, ketika semua orang yang berada diruangan ini tampak menyudutkannya. Semua tetua datang untuk mengutuk perbuatannya, perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan. Mursiyem ingin bertepuk tangan untuk semua yang ada diruangan ini, betapa hebat ekting mereka. Saminah yang terlihat marah namun masih berusaha menenangkan suaminya, Raharjo yang terlihat begitu terpukul, padahal mungkin saja Raharjo tahu bahwa istrinya sedikit banyak ikut andil dalam hal ini, Raharjo tentu tahu bahwa keponakan tersayangnya itu tidak mungkin melakukan hal sekeji ini. Dan lihat Sumini, Mursiyem ingin memberikan penghargaan tertingginya untuk anak itu, Sumini memang
Pesta itu berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan sangat meriah, semua hiburan rakyat ditampilkan di acara tersebut, makanan yang tersaji juga tak kalah melimpah. Warga yang hadir maupun para undangan orang-orang penting begitu terkagum-kagum, semua memuji atas kebaikan Raharjo dalam memperlakukan anak angkatnya dengan begitu baik lakyaknya anak kandungnya sendiri.Kedua mempelai juga terlihat sangat bahagia, senyum tak pernah lepas dari bibir keduanya, si perempuan pipinya bersemu merah jambu manakala sang pengantin pria membisikkan sesuatu ditelinganya lalu menatapnya dengan jail."Beruntung ya yu, Menik di asuh oleh Ki Harjo, walaupun mereka tidak ada ikatan darah, tapi ki Harjo memperlakukan Menik dengan sangat baik" Terdengar obrolan segerombolan ibu-ibu yang baru saja menghadiri acara tersebut. "Iya ya yu, bahkan ki Harjo mau menikahkan Menik yang sudah yatim piatu itu dengan keponakannya sendiri.""Ya pantes to yu, lawoh Tukiman kan juga sudah yatim piatu sejak kecil. C
Kini semua sudah mulai berjalan dengan semestinya, menjalani hidup dengan porsi masing-masing. Menik sudah mulai bisa menerima kenyataan akan kepergian orangtuanya. Dia hidup layaknya anak seusianya, bermain, belajar, walau tanpa bermanja seperti dahulu. Tapi dia hidup dengan sangat layak disini, segala kebutuhannya tetap terpenuhi, dia tidak dibedakan dengan anak ataupun keponakan dari ki Raharjo, lelaki yang kini menjadi orang yang paling dihormati dan paling berpengaruh karena harta dan pengaruhnya di desa ini. Ya, kini Menik mulai memiliki teman baru, teman untuk membagi kesedihan dan juga kebahagiaanya. Mereka senasib, sama-sama seorang anak yang ditinggal mati kedua orangtuanya dan ditampung keluarga ini. Walaupun begitu, kebersamaan mereka cukup dibatasi, tak baik katanya, seorang anak perempuan terlalu dekat bersama seorang anak lelaki, namun sesekali mereka masih sering terlihat bersama. Sama halnya Menik yang sudah mulai berdamai dengan keadaan, Mursiyem juga menjalani hid
Menik membereskan barang-barangnya dengan diam, satu persatu benda-benda penuh sejarah itu masuk kedalam kopernya. Menik membereskan semua itu dibantu oleh seorang pembantu yang sudah menganggapnya layaknya anaknya cucunya sendiri, mereka sama-sama diam, sama-sama berulangkali yang mengusap matanya yang terus berair. Bukan hanya Menik, wanita itu juga begitu berat meninggalkan rumah ini, sudah begitu lama dia menggantungkan hidupnya dirumah ini, bahkan sejak Admodjo masih didalam perut. Namun sayang, rumah ini akan segera dikosongkan, majikan sudah tiada, putri semata wayangnya pun kini hidup sebatang kara dan dirawat orang lain yang dirasa mampu. Wanita itu memandang Menik yang terus menangis dalam diam, mendekap erat baju terakhir yang akan dimasukkan kedalam sebuah koper besar itu, nafasnya tersengal, bahunya terlihat naik turun, namun gadis itu masih diam. Tak tahan melihat semua itu, wanita tua itupun tanpa sungkan menarik Menik kedalam pelukaanya, lalu mereka sama-sama terisak b
Didalam riuhnya pesta, Menik kebingungan mencari orangtuanya kesana kemari namun tak kunjung ketemu, seorang lelaki yang dia kenal sebagai sahabat bapaknya oun mendekat, berkata bahwa bapaknya ada sedikit keperluan, lelaki itu akan menemaninya menemui tamu-tamu sebagai wakil dari bapaknya. Namun, meskipun sudah dijelaskan, Menik masih merasa bingung dengan apa yang terjadi, kecewa menyusup didadanya. Bagaimana mungkin orangtuanya tiba-tiba menghilang ketika tamu undangan sudah mulai ramai berdatangan, urusan apa yang begitu penting hingga mereka sampai hati meninggalkannya seorang diri? Jam pun akhirnya berganti, seluruh tamu sudah seluruhnya datang, namun acara tak kunjung dimulai, sang tuan rumahpun tak kunjung terlihat. Kini mereka mulai resah dan berbisik. Menik terlihat begitu panik hingga beberapa kali sang paman itu menenangkan bahwa semuanya baik-baik saja, mereka akan menunggu orangtuanya datang sebentat lagi, atau jika mereka tak kunjung datang, acara itu bisa dimulai denga
Admodjo sangat antusias menyiapkan pesta ulangtahun anaknya yang akan dilaksanakan minggu depan. Admodjo memerintahkan para pembantunya untuk menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Dia ingin mwnjamu para tamu dengan sebaik mungkin. Admodjo mengundang semua kenalannya, mulai para pegawai yang bekerja dengan dirinya, sampai dengan para petinggi belanda yang cukup berpengaruh dalam memperlancar bisnisnya. Semakin mendekati hari H, semua tampak sibuk, para pekerja laki-laki ditugasi untuk menata halama sekaligua mendekornya hingga tampka lebih pantas untuk sebuah pesta. Sedangkan para pekerja wanita telah sibuk membuat kue yang akan dihidangkan nanti. Menik dan ibunya pun tak kalah antusias, mereka telah mendapatkan gaun pesta terbaik yang dirancang oleh perancang langganan para nonik belanda. Gaun yang terlihat begitu mewah dan juga anggung ketika sudah digunakan olehnya, begitu serasi dengan wajah ayu juga kulit kuning yang begitu terawat sedari kecil. "Ibu, coba lihat ini"K
Admodjo sedang memangku putri kecilnya sambil memberi makan ikan-ikan hias pada kolam kecil yang sengaja dibangun atas permintaan putri kecilnya tersebut, yang sangat suka melihat ikan-ikan kecil itu berenang seakan sedang menari. Admodjo dengan telaten mendengarkan sang putri bercerita tentang hari-harinya yang menyenangkan, juga tentang teman barunya yang cukup pendiam, lalu tentang makanan apa yang dia tak suka, namun kata sang ibu itu bangus untuk kesehatannya. Juga tentang betapa bersyukurnya dia karena telah terlahir dikeluarga ini, keluarga yang penuh dengan cinta, dan juga orang-orang yang menyenangkan. Admodjo terus mendengarkannya dengan penuh minat dan rasa syukur. Dia begitu mencintai putrinya itu, dan itu adalah kali pertama dia benar-benar mencintai seseorang tanpa syarat dan tetapi. Putrinya itu kini tumbuh menjadi anak yang saangat cantik parasnya, tingkah lakunya pun manis dengan tata krama yang begitu halus, mencerminkan bahwa dia adalah keturunan seorang priyayi, d
Admodjo merasa hidupnya sangat sempurna, dia memiliki harta dan juga keluarga yang bahagia. Ternyata perjodohan yang diatur oleh bapaknya tidak seburuk yang dia bayangkan dulu, dia sama sekali tidak menyesali pilihan orangtuanya, justru dia bersyukur atas itu. Walaupun terus terang ada sedikit rasa bersalah ketika dia harus meninggalkan Mursiyem dalam keadaan yang tidak dia inginkan, Admodjo tahu bahwa dia telah merusak sepenuhnya masa depan Mursiyem dan juga kebahagiaan keluarga perempuan itu, tapi bukankah itu bukan keinginannya? Bukankah dirinya sudah menyuruh Mursiyem untuk menggugurkan anak itu? Bukankah niat awal mereka hanya bersenang-senang? Apakah sepenuhnya dia bersalah? Ah, tentu saja tidak, karena selalu ada harga untuk setiap kesenangan yang kita nikmati, bukankah dulu Mursiyem juga sudah meneguk kesenangan bersama dirinya, mungkin saja iti harga yang harus perempuan itu bayar, walaupun menurut Admodjo terlalu mahal dan berat, namun sekali lagi, itu bukan kesalahannya. Di