Vania Kartikasari, wanita yang baru setahun lalu aku persunting sebagai istri. Pertemuan pertama kami tidaklah disengaja. Saat itu, aku sedang mengantri di sebuah mini market untuk membayar barang belanjaan. Antrian yang cukup panjang, membuat orang-orang tak sabaran saat gadis yang berdiri tepat di depan meja kasir sedari tadi mengecek tasnya.
"Buruan, Dek! Pegel nih, berdiri!" sahut seorang ibu bertubuh tambun di belakangku. Tangannya menenteng sekeranjang penuh berbagai macam barang. Wajahnya terlihat kesal.
Gadis itu bertambah panik. Kutebak ia lupa membawa uang atau dompetnya ketinggalan. Kulirik sekilas meja kasir, sebotol jus dan sebungkus snack saja yang dibelinya.
"Duh, lama sekali sih!" Sekarang seorang bapak yang berdiri tepat di belakangnya protes.
Aku yang sedari tadi memperhatikan, mulai merasa kasihan. Wajah gadis itu memerah, seperti akan menangis. Tanpa pikir panjang, segera kudekati kasir yang sedari tadi sabar menunggu.
"Berapa semua belanjaannya, Kak?" tanyaku cepat kepada kasir itu.
"Dua puluh delapan ribu, Bang." Segera kuserahkan selembar uang lima puluh ribu. Gadis itu diam menatapku dengan mulutnya yang sedikit menganga, seakan tak percaya.
"Ini, sudah dibayar." Kuserahkan kantung berwarna putih kepadanya. Sedikit ragu ia mengambil kantung itu dari tanganku.
"Ah, te—terima kasih, Bang!" ujarnya tergagap. Aku mengangguk, lalu kembali ke antrian. Orang-orang menatap kami dengan pandangan yang sulit kuartikan.
*
Saat keluar, kulihat gadis tadi sedang duduk meminum jus di bangku luar mini market. Saat melihatku, buru-buru ia bangkit lalu menghampiri.
"Bang, tunggu!" panggilnya saat aku baru hendak mengenakan helm.
"Ada apa?" tanyaku sedikit penasaran. Tiba-tiba tangannya terulur.
"Eh ... perkenalkan, namaku Vania! Nama Abang siapa?" Wajahnya sedikit memerah, entah karena cuaca yang panas atau karena tersipu.
Kusambut uluran tangan kecil itu. Terasa sangat halus dan lembut.
"Nama Abang, Dani," jawabku sambil tersenyum.
"Terima kasih ya Bang, sudah membayar untukku di dalam tadi. Sepertinya dompetku ketinggalan!" katanya sambil menarik tangannya dari genggamanku.
"Sama-sama, tak usah sungkan. Oh ya, mau pulang ke mana? Atau sudah ada yang ditunggu?" selidikku, sesekali menatap wajahnya yang imut dan putih mulus. Rambut hitam panjangnya tergerai, sesekali ditiup angin lalu.
Vania terlihat sedikit bingung.
"Aku pulangnya ke arah Tanah Patah, Bang. Rencananya mau pesan ojek online saja!" Sesekali ia mengecek ponsel dalam genggaman.
"Kebetulan Abang ke arah Lingkar Barat, ayo kalau mau bareng!" ajakku tanpa pikir panjang. Ia tampak bimbang.
"Apa gak merepotkan, Bang?" tanyanya.
"Sudah, gak usah banyak berpikir. Ayo naik!" Kuserahkan helm cadangan padanya.
*
Sepanjang perjalanan, kami hanya diam tanpa kata. Entah karena merasa canggung atau bagaimana. Tak ada di antara kami yang memulai percakapan. Sampai akhirnya, di jalan yang sedikit berlubang aku tiba-tiba mengerem. Lengan Vania yang tadi entah ia posisikan di mana, sekarang melingkar erat di pinggangku. Namun, tak lama kemudian segera dilepaskan lagi.
Jantungku berdegup kencang seakan mau keluar dari tempatnya. Rasanya grogi sekali. Seumur hidup, baru kali ini aku dipeluk oleh seorang gadis meskipun tak sengaja.
Tak lama kemudian, motorku berhenti di depan sebuah rumah kecil berwarna biru muda. Di sanalah Vania tinggal.
"Abang, tidak mampir dulu?" tawarnya sedikit malu-malu.
"Ehm, mungkin lain kali saja, ya! Soalnya Abang sudah janji main futsal dengan teman-teman sore ini," jawabku jujur.
Vania mengangguk mengerti.
"Ya sudah, kalau gitu! Vania boleh minta nomor ponsel Abang?" Matanya berbinar-binar penuh harap. Kujawab dengan anggukan. Dia tersenyum, cantik sekali.
Bukan main senangnya perasaanku!
*
Seiring waktu, hubungan kami semakin dekat. Kuakui sangat menyukai, bahkan jatuh cinta pada sosok Vania. Tampaknya, gayungku bersambut. Vania sangat manja dan menempel padaku. Gadis berusia dua puluh tahun itu terkadang terang-terangan menunjukkan rasa sukanya. Perbedaan umur kami yang sedikit jauh, tidak menyurutkan perasaan masing-masing sedikit pun.
Menunjukkan keseriusan, kubawa ia berkunjung ke rumah kak Fitri, kakak kandungku. Kak Fitri menyambut kami dengan sangat baik. Namun, entah mengapa Vania tampaknya kurang menyukai keponakanku yang masih berusia empat tahun. Berkali-kali Adelia mencoba mendekat, tapi Vania tak menggubrisnya. Padahal, keponakanku itu adalah anak yang sangat manis dan menggemaskan.
Hal itu tentunya menjadi penilaian negatif dari kak Fitri. Mengapa seorang perempuan dewasa seperti Vania, bahkan tak ingin berinteraksi dengan anak kecil sedikit pun? Namun, aku tepis segala prasangka buruk tentangnya. Biarlah, mungkin umurnya yang terbilang masih muda membuat Vania tidak terbiasa dengan anak-anak.
Saat menemui kedua orangtua Vania, papanya adalah orang yang sangat baik dan terbuka. Sedangkan mamanya, menatapku sinis dari ujung kepala sampai ujung kaki. Syarat yang sedikit berat diberikan oleh Mama jika aku ingin menikahi Vania. Salah satunya adalah, harus memberinya uang bulanan. Kak Fitri sempat menentang rencana pernikahan kami yang sedikit tergesa-gesa. Menyuruhku untuk berpikir matang-matang sebelum melanjutkan. Apa lagi mendengar tentang sikap Mama, kak Fitri benar-benar khawatir. Tapi entahlah, sepertinya aku telah dibutakan oleh cinta.
Biaya fantastis bahkan tak segan aku kucurkan untuk melaksanakan pesta pernikahan yang mewah. Tabunganku selama bertahun-tahun, lenyap dalam waktu singkat. Uang yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli rumah atau mobil, kami habiskan dalam sehari saja. Tak masalah, asalkan aku dan Vania bisa bersama.
Awal-awal pernikahan, adalah masa paling manis dan menyenangkan. Aku merasa bagaikan hidup di surga. Vania menjelma menjadi seorang bidadari siang dan malam. Kupercayakan ia untuk mengurus rumah, sedangkan aku bekerja. Hanya tamatan SMA, ia tak memiliki keahlian khusus. Aku tak pernah mempermasalahkan itu, cukuplah aku yang bekerja banting tulang untuk kami berdua.
Sifat boros Vania dan Mama menjadikan kami hidup tanpa tabungan. Uang selalu habis bahkan sebelum akhir bulan tiba. Tutur katanya yang manis dan manja selalu membuatku luluh. Bagiku, asalkan istri bahagia, semuanya akan kuberikan. Saat ia mengeluh soal pekerjaan rumah tangga, aku pun selalu sigap untuk membantu. Ah Vania, betapa aku mencintaimu!
*
Setelah kabar PHK aku sampaikan, Vania sedikit terguncang. Aku tahu, ia pasti belum siap jika harus hidup dengan mengencangkan ikat pinggang. Aku mulai mencari pekerjaan pengganti ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Sementara Vania, berubah menjadi istri pendiam yang malas berbicara denganku. Bahkan, hak sebagai suami yang dulu selalu kudapatkan, kini malas-malasan ia berikan.
Vaniaku, berubah menjadi orang asing. Perlahan-lahan menjauh, tak bisa lagi kuraih dalam dekapan. Makanan hangat dan lezat, entah kapan terakhir kalinya terhidang di meja makan kami. Meski aku tak pernah lupa memberinya sedikit uang sebelum bekerja, Vania tetap berubah. Apakah benar uang telah mengubah segalanya? Kupikir cinta itu tulus, tak memandang keadaan.
Di sisi lain, Mama selalu merongrong tanpa berusaha mengerti keadaan. Sekuat tenaga, aku berusaha memenuhi tuntutannya setiap bulan. Uang pesangon yang seharusnya bisa menjadi cadangan darurat untukku dan Vania, harus kurelakan untuk memenuhi gengsi Mama.
Tapi, kali ini aku tak bisa lagi memaksakan. Seumur pernikahanku dengan Vania, baru kali ini aku menolak permintaan Mama. Sifat asli istri dan mertuaku sedikit demi sedikit terkuak. Aku yang dulu, benar-benar telah dibutakan oleh tipu muslihatnya.
"Suami tak berguna!" Kalimat itu meluncur dari mulut orang yang paling aku sayangi. Vania, kenapa kau tega? Pikiranku seketika berkabut. Tak sadar, tanganku sudah menyentuh wajahnya dengan keras.
***
Plak!Vania terpekik sambil memegang pipinya yang panas memerah. Aku menatapnya nanar dengan tangan yang bergetar, belum sepenuhnya sadar dengan apa yang baru saja terjadi."A—abang, berani tampar aku?!" teriaknya diiringi isakan. Air mata sudah meleleh di kedua pipinya."Suami tak berguna katamu, Vania?" bisikku dengan mata nyalang. Istriku itu tampak sedikit ketakutan. Kuraih kedua pundaknya dan menatap tajam."Di mana rasa hormatmu, Vania? Abang benar-benar kecewa!" Badannya bergetar, sementara aku mencengkram bahu mungil itu dengan kuat."Abang memang tidak berguna! Abang keterlaluan!" jeritnya sambil berusaha melepaskan diri. Kulonggarkan cengkeraman, membiarkannya berlalu."Akan kuadukan pada Mama dan Papa! Lihat saja apa yang akan Mama lakukan!" ancamnya sebelum berlari ke kamar. Suara bantingan pintu, sekali lagi menggema.Badanku luruh ke lantai. Kuusap kasar wajah yang terasa panas. Air mata memaksa keluar sejak tadi, tapi kutahan sekuat tenaga. Suara isakan terdengar lirih.
"Oh, bagus. Menantu tak berguna sudah pulang rupanya!" ketus Mama sambil mendekat. Garang ia menatapku. Sementara Vania duduk di meja makan, tak peduli."Sekarang kamu sudah berani berbuat kasar ya? Berani kamu menampar Vania!" Mama menunjuk-nunjuk mukaku. Tak tahu harus menjawab apa, aku hanya diam. Rupanya istriku benar-benar mengadu. Jantungku berdebar kencang, menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya."Mana suaramu? Jangan cuma berani sama perempuan kamu! Vania itu anak kesayangan Mama. Seumur hidup, tidak pernah seujung jari pun Mama memukulnya!" Wanita paruh baya di depanku berkacak pinggang."Ma—maaf, Ma. Semalam Dani benar-benar khilaf ...." Hanya itu kalimat yang bisa kuucapkan. Tak ada pembelaan lain. Bagaimanapun juga, tindakanku memang salah. Kulirik istriku yang langsung membuang muka."Khilaf, khilaf, katamu! Sudah jadi kere, sekarang malah berani main kasar! Nih, rasakan!" Sebuah tamparan keras dari Mama mendarat di pipiku. Terhuyung, aku merasa penglihatan sedik
Setelah kepergian Mama, aku langsung ke kamar. Badan dan pikiran perlu diistirahatkan. Letih badan mungkin tak seberapa, tapi lelah hati sungguh menyiksa. Rumah yang dulu seperti surga, perlahan terasa seperti neraka.Aku baru saja akan memejamkan mata, saat pintu kamar tersibak. Vania datang setelah mengantarkan kepergian Mama yang pulang dengan taksi online. Kuacuhkan kedatangannya. Dari raut wajahnya yang ditekuk itu, aku tahu dia pasti sangat kesal dengan kejadian tadi. Biarlah, agar mereka mengerti bahwa aku tidak bisa dilemahkan."Abang masih bisa tidur, setelah berucap jahat kepada Mama?" sindir Vania. Aku bergeming. Malas untuk meladeninya."Aku tak menyangka, Abang bisa seperti ini!" geramnya lagi."Terus, maumu Abang tetap diam saat kalian bertingkah seenaknya?" Aku akhirnya buka suara."Seenaknya, Abang bilang? Abang pun sekarang hanya memberiku uang seenaknya!" Vania berkacak pinggang di pinggir ranjang. Uang dan selalu uang yang ia bahas."Kamu tau kan, kondisi kita seda
Wanita berambut pirang dan berbaju ketat di depanku tersenyum."Vanianya, ada?" tanya wanita itu. Aku masih melongo."Eh, i—iya ada. Ada perlu apa?" Aku balik bertanya."Saya mau ketemu aja!" jawabnya tiba-tiba judes."Ok, tunggu. Saya panggilkan!" Aku berlalu ke dalam.Vania terlihat menyeka keringatnya. Menjemur pakaian bukanlah hal berat, tapi ia kelihatan letih sekali. Mungkin karena sudah lama ia tidak melakukan pekerjaan rumah."Ada yang mencarimu di depan," kataku sambil mendekatinya."Siapa?" sahutnya."Abang gak tau. Rambutnya pirang!" Mata Vania langsung berbinar mendengar jawabanku. Diletakkannya keranjang pakaian, lalu langsung berlari ke depan. Aku yang merasa penasaran, diam-diam mengekor."Bella!" teriak Vania girang. Kedua perempuan itu kemudian berpelukan seperti Teletubbies."Apa kabar, Van?" kata wanita yang ternyata bernama Bella."Ayo, duduk dulu. Aku baik-baik aja, Bell. Ya ampun, udah lama banget gak ketemu. Kamu tambah cantik aja!" puji Vania. Aku yang mendenga
Tanganku sedikit bergetar saat melihat story WA Vania. Kuremas geram ponsel di genggaman. Rahangku mengeras."Kamu yang bohong, atau Vania, Dan?" tanya Kak Fitri.Aku tertunduk, masih memandangi foto itu tak percaya."Istrimu Kakak lihat, kok pergaulannya seperti liar begitu? Kamu bilang dia sedang tak enak badan di rumah?" imbuh Kak Fitri lagi.Aku tak bisa berkata-kata. Dalam foto itu, terpampang jelas Vania yang sedang tersenyum hanya menggunakan hot pants dan sport bra di dalam sebuah gym. Lekuk tubuh dan auratnya terlihat jelas. Sementara di sampingnya berdiri Bella dengan penampilan yang sama.Yang menjadi masalah lagi, di kiri dan kanan mereka berdiri dua orang pria bertampang bule yang dengan bangga memamerkan perut sixpack. Salah satunya dengan sangat lancang merangkul pundak Vania! Kurang ajar!Aku mengembuskan napas kasar. Segera kutelpon Vania untuk menyuruhnya cepat pulang. Tak ada jawaban darinya. Sudah pasti ia sengaja tak mengangkat panggilan."Kakak tidak bermaksud ke
Sebuah mobil sudah terparkir di depan rumah. Ternyata Vania sudah pulang, sedang duduk mengobrol dengan Bella di teras. Bagus, sekarang dia sudah mengenakan pakaian sporty yang tadi pagi ia pakai sebelum pergi. Pintar sekali. Sementara, di dalam mobil berkaca hitam itu, sekilas kulihat dua orang pria yang ada dalam foto Vania tadi sedang duduk. Mungkin menunggu Bella.Saat turun dari motor, mereka tak menggubrisku sedikit pun. Vania melirik sekilas tanpa kata. Tak ada sambutan atau apa pun. Bahkan saat kuucap salam, tak ada jawaban. Kumasuki rumah dengan perasaan tak menentu. Vania dan Bella masih mengobrol sambil cekikikan. Duh, cepatlah kau pulang, Bella!Do'aku terkabul. Tak lama kemudian, Bella pamit. Vania masuk ke dalam. Aku yang sudah menunggu sejak tadi, langsung berdiri menghadang."Abang mau bicara, duduk dulu!" titahku tanpa basa-basi."Nanti saja bicaranya, Bang! Aku mau mandi, bau keringat!" ujarnya sambil berlalu.Kucekal tangannya, lalu kududukkan ia ke kursi."Duduk, V
(PoV Vania)Namaku Vania. Saat ini hidupku sedang sangat menderita. Belum setahun aku menikmati manisnya pernikahan, suamiku malah terkena PHK. Hari-hariku yang dulu aku habiskan dengan bersenang-senang dan belanja, kini terasa hampa. Aku banyak menghabiskan waktu di rumah saja, sampai merasa bosan.Suamiku sekarang bekerja sebagai kuli bangunan, yang gajinya tidak seberapa. Bayangkan, dia yang tadinya seorang manager, sekarang menjadi seorang kuli. K-U-L-I. Aku sangat malu dengan profesinya yang baru, tidak bergengsi sama sekali. Bagaimana kalau ada orang yang bertanya apa pekerjaan suamiku?Masa aku jawab kuli! Vania yang terkenal mewah, punya suami kuli. Belum lagi, uang gajinya sangat jauh lebih kecil dibandingkan gajinya yang dulu. Aku tak bisa bebas jajan sana sini. Duh, pokoknya benar-benar sial hidupku!Dulu itu, aku sangat terpesona dengan Bang Dani. Selain wajahnya yang gak terlalu malu-maluin, dia juga sangat royal. Dirayu sedikit saja, dia langsung luluh dan memberikan ap
(PoV Vania)Sayang seribu kali sayang, hanya beberapa bulan saja aku bisa menikmati semua itu. Saat mendengar kabar bahwa Bang Dani terkena PHK, aku sangat terguncang. Aku tidak mau hidup miskin! Bagaimana dengan hobi belanjaku? Mama dan Papa pasti tidak mau memberiku uang lagi. Bang Dani selalu coba menenangkan aku.Berminggu-minggu kulihat ia kesana kemari mencari pekerjaan baru. Namun, hasilnya masih nihil. Aku menjadi sangat ketakutan dan stres. Ujung-ujungnya dia malah jadi kuli. Untung saja aku menuruti kata Mama untuk tidak cepat-cepat hamil! Kalau sudah hamil, mungkin aku akan tambah kebingungan. Mama memang selalu benar.Sekarang, aku jadi malas sekali melihat wajah Bang Dani. Mukanya terlihat lebih tua dan gelap. Tidak bersih dan putih lagi. Mungkin karena terik matahari dan debu. Jangankan bermesra-mesraan seperti dulu, dipegangnya saja aku enggan sekali. Agak jijik rasanya. Aku juga mulai malas berbicara dengannya. Untuk apa?Toh, dia sudah tak bisa membahagiakanku seperti
Kunikmati makan siang kali ini dengan sensasi yang berbeda. Bukan karena menunya yang sangat nikmat, tapi karena kejadian tadi pagi yang selalu terbayang di pelupuk mata.Aku duduk berdampingan dengan Pak Wira yang hampir menghabiskan bekalnya. Sementara aku, menghayati dan menikmati setiap kunyahan dengan sepenuh hati.“Kenapa Mas Dani, makanannya kurang enak? Kok ngunyahnya pelan-pelan gitu?” selidik Pak Wira sambil memandangiku.Aku tersenyum malu. “Eng-enggak kok, Pak. Justru sebaliknya. Ini makanan yang paling nikmat yang pernah saya makan!” jawabku sambil menyendokkan nasi dan potongan ayam bakar.“Halah, masa sih, Mas? Bukannya udah sering makan masakan istri saya?” kata Pak Wira sambil tertawa lebar.Ah, andai Pak Wira tau apa yang aku rasakan. “Iya sih, Pak. Tapi, kali ini ada yang berbeda saja.” Aku melanjutkan makanku.Pak Wira geleng-geleng sambil tersenyum menampakkan deret gigi putihnya yang masih lengkap.“Ngomong-ngomong, makasih ya Mas, sudah mau mampir ke rumah ngamb
“Kak, tolong!” pintaku sambil menyerahkan ponsel ke tangannya.Kak Fitri sedikit gelagapan dengan tindakanku. Dahinya mengkerut seraya membaca nama yang tertera. Sejurus kemudian, ia paham dengan situasi. Tak lama, panggilan ia angkat. Tak lupa ia aktifkan pula pengeras suaranya, agar aku bisa mendengar percakapan.“Halo, Assalamu’alaikum!” ucap Kak Fitri datar. Untuk beberapa saat, tak ada jawaban. Hening.“Halo?” ucap Kak Fitri lagi.“Halo, mana si Dani sialan itu, hah? Dia apakan Vania tadi sore? Kenapa anak saya menangis setelah ketemu dia? Dasar mantan menantu tak tahu diri!” maki Mama tanpa ampun. Ya ampun, untung bukan aku yang menjawab teleponnya tadi.“Lah. Kok, Ibu nyalahin adik saya terus? Salahin anak perempuan Ibu sendiri, dong! Sudah bercerai, kok, masih maksa-maksa minta ketemu! Gak punya malu namanya!” balas Kak Fitri sengit. Aku memperhatikan bibirnya yang maju lima senti. Ternyata kakakku galak juga, bisikku dalam hati.“Halah, alasan saja! Paling si Dani tuh yang ma
“Ah, ma-maaf, Bang! Vania gak sadar kalau air mata sudah meleleh.” Ia menghapus air matanya dengan hati-hati menggunakan tisu yang tersedia di meja.“Kalau sudah tak ada yang dibicarakan lagi, aku pamit pulang.”‘Sebentar Bang, sebentar!” cegahnya.“Apa lagi?” tanyaku sedikit gusar. Sekarang sudah hampir jam enam. Seharusnya aku sudah sampai di rumah sejak tadi. Rasa lelah dan lapar semakin mendera, membuatku mudah terpancing emosi.Vania tampak sedikit ragu-ragu untuk berkata. Wajahnya terlihat sangat gelisah. Apa sih, maunya dia? Aku mulai tak sabaran.“Bang … ayo kita menikah lagi, Bang!” Kalimat itu berhasil lolos dari bibirnya. Aku seakan tak percaya dengan yang baru saja kudengar.“Vania … apa kamu tidak tahu, kalau kita sudah tidak bisa menikah lagi? Kecuali kalau kamu menikah dahulu dengan orang lain, lalu kemudian bercerai?” tanyaku dengan nada tajam.“A-apa iya, Bang? Vania … benar-benar gak tahu!” cicitnya.“Sekarang kamu sudah tahu. Jadi, tak usah bicara aneh-aneh lagi! Ki
Tak terasa, sudah berbulan-bulan aku resmi bercerai dari Vania. Sidang berjalan mulus, meskipun mantanku itu harus hadir dengan kondisi yang masih kurang fit. Kuanggap tak ada lagi kemelut di antara kami berdua.Setelah terakhir kali bersalaman dengannya, Papa, Mama, dan Bang Roby, hatiku benar-benar merasakan kelegaan. Status duda pun sudah resmi kudapatkan.Hari-hari kujalani dengan perasaan optimis. Pekerjaan yang sekarang, benar-benar aku tekuni. Rencananya, aku akan kembali tinggal di rumah warisan yang dulu aku tempati bersama Vania. Tak enak rasanya, sudah terlalu lama merepotkan Bang Tamrin dan Kak Fitri.Niat itu, akan kusampaikan pada mereka malam ini. Kudekati kedua orang yang sedang fokus menonton TV. Mereka berdua duduk berdempetan, seperti sedang berpacaran.“Ehem!” Aku berdehem. Mereka berdua menoleh.“Apa, Dan? Kakak pikir kamu sudah tidur.” Kak Fitri menaikkan alisnya.“Bang, Kak, sepertinya … Dani harus kembali tinggal di rumah lama,” ujarku. Kedua kakakku itu terdia
“Si Roby semalem WA, nyuruh Dani tanggungjawab bayarin biaya rumah sakit Vania. Ditambah ganti rugi, katanya,” aduku kepada Bang Tamrin dan Kak Fitri saat kami sedang menyantap sarapan. Wajah mereka tampak terkejut.“Hah? Gak salah, tuh? Enak banget, minta-minta,” timpal Kak Fitri.“Iya, bener, Kak. Dia bilang begitu. Dani lawan aja. Paling nanti kalau ada rejeki, Dani sisihkan sedikit untuk membantu Papa,” terangku.“Kamu gak ngasih, juga gak apa-apa. Toh, Vania sudah bukan tanggungjawabmu.” Bang Tamrin ikut bersuara.“Iya, Bang. Kalau pun Dani memberi, anggap saja sedekah.”“Nah, itu Kakak setuju. Tak apa kamu membantu, tapi tak ada paksaan juga. Emang dasar sih, keluarga mantanmu itu kok matre!” umpat Kak Fitri. Aku terkekeh.“Tapi ngeri juga ya, si Vania berani nekat gitu,” sambung Bang Tamrin sambil mengelap mulutnya dengan tisu.“Dani juga kaget, Bang. Gak nyangka kalau dia sampai begitu.” Bayangan Vania yang berlari kencang ke arah jalan raya, kembali melintas. Aku memejamkan m
“Bukan main si Dani, Dek!” kelakar Bang Tamrin saat kami sampai di rumah. Senyumnya terus-terusan mengembang sejak tadi.“Kenapa dia, Bang?” tanya Kak Fitri sambil membuka bungkusan sate.“Ituuuuu, sejak dari rumah sakit tadi sering senyum-senyum sendiri! Kayak orang gila!” Wajah jenaka Bang Tamrin serasa ingin kutabok.“Apaan sih, Bang!” protesku sambil pura-pura sibuk menatap layar ponsel.“Lah, kepalanya habis terbentur paling?” sahut Kak Fitri asal.“Iya kayaknya, terbentur sama si Kacamata!” ledek Bang Dani. Dia kemudian tertawa puas sambil meninggalkan ruangan menuju kamar mandi. Awas saja dia. Aku sampai salah tingkah dibuatnya.“Maksud abangmu apa sih, Dan? Kakak gak ngerti!” Kak Fitri dan Adel tanpa basa basi menyantap sate yang tadi kubawa.“Mana Dani tahu. Suami kakak tuh, konslet!” Aku menggendikkan bahu.“Heh, kamu tuh! Ini satenya kok cuma tiga? Kan, kita berempat?” Duh, kakakku ini benar-benar banyak tanya.“Kan, Dani gak makan, Kak,” jawabku.“Lah, kok, malah dibeli?”
“Dan, Dani!” panggil Kak Fitri setengah berteriak saat tak ada jawaban dariku.“I-iya, Kak! Nanti Dani antar Mbak Tyas pulang!” Aku akhirnya menjawab.“Ya sudah, kamu pastikan dia pulang dengan selamat. Antar dia sampai depan pintu rumahnya. Awas ya, kalau kamu lalai!” titah Kak Fitri dibarengi ancaman. Sepertinya Kak Fitri sayang sekali dengan adik tingkatnya itu.Setelah bertukar salam, aku memutuskan panggilan. Tyas tampak sedang mengunyah pelan biskuit yang tadi kubelikan.“Ehem!” Aku sengaja berdehem untuk menarik perhatiannya.“Mas Dani, mau?” Ia mengacungkan bungkus biskuit yang berada di genggamannya.“Nggak, kok. Mbak Tyas habiskan saja. Emm, tadi Mbak Tyas ke sini naik apa?” tanyaku sedikit grogi.Ia menyempatkan untuk meneguk air mineral sebelum menjawab. “Tadi naik ojek online. Motor saya lagi dipinjam sama Ibu. Kalau bawa mobil saya belum berani. Kenapa, Mas?” Alis tebalnya bertaut.“Oh … ya sudah, kalau begitu, Mbak Tyas pulangnya bareng saya dan Bang Dani saja, ya!” aja
“Tanyakan sendiri pada Vania nanti, ketika dia sudah sadar! Kalau tidak, tanya saja pada Mama kebenarannya. Jangan langsung menyalahkanku. Lagi pula, ke mana saja Abang selama ini?” sindirku.Ia tampak tak terima. Kedua tinjunya mengepal erat, mungkin merasa ingin memukul lagi seperti tadi.“Berdoa saja adikku akan bangun dan sehat seperti sedia kala lagi. Kalau tidak, akan kubuat perhitungan denganmu!” ancamnya. Aku menghembuskan napas kasar. Tak ada guna lagi meladeninya.“Ya, sebaiknya berdoa saja dari pada mengoceh tak karuan!” timpalku asal. Kusenderkan punggung ke dinding rumah sakit yang dingin. Waktu terasa berjalan begitu lamban.Mama dan Papa akhirnya keluar dari ruangan itu. Ekspresi mereka sulit untuk ditebak. Aku benar-benar ingin tahu apa yang mereka bicarakan di dalam.“Gimana Ma, Pa?” Bang Roby berdiri menghampiri mereka. Kedua orangtua itu duduk sembari menghembuskan napas berat.“Sukurlah Vania tidak pendarahan dalam otak. Darahnya disebabkan oleh retak tengkorak saj
Aku bangkit lalu mengusap bibirku yang terasa sedikit basah oleh darah.“Hei, apa-apaan kamu!” hardik Bang Tamrin kepada Bang Roby.“Kamu gak usah ikut campur!” desis Bang Roby sambil menunjuk muka Bang Tamrin. Sungguh tak ada akhlaknya mantan Kakak iparku itu. Kemana saja dia selama ini? Kenapa baru datang sekarang seperti pahlawan kesiangan? Sungguh memuakkan.Tanpa ba bi bu, aku mendekat ke arahnya dan memberikan balasan telak. BUK! BUK! Dua bogem juga mendarat mulus di wajahnya yang pongah itu. Bang Roby tampak kehilangan keseimbangan. Beberapa pasien yang sedang berada di ruangan, menjerit melihat yang baru saja terjadi.“Dan, cukup, Dan! Jangan kamu ladeni! Jangan bikin keributan di sini!” Bang Tamrin memegangiku yang sudah siap untuk melancarkan pukulan lagi. Rugi sekali kalau aku tidak membalas.“Kurang ajar kamu!” raung Bang Roby sambil memegangi pipinya yang membengkak. Aku menyeringai ke arahnya.“Kalau kamu mau nyawa adikmu diselamatkan, jangan coba-coba menyentuhku lagi s