Samar-sama kudengar Vania berbicara lirih di telepon. Sekali-kali ia tertawa manja. Kalau tidak salah dengar, dia memanggil 'Sayang'? Saat melihatku berdiri di pintu belakang, dia tampak sangat terkejut. Hampir saja ponsel itu lolos dari genggamannya. Dengan tiba-tiba, panggilan dia putuskan."E–eh, Abang! Su–sudah lama berdiri di situ, Bang?" cicitnya, tergagap-gagap.Aku tak lantas menjawab. "Memangnya kenapa?" tanyaku sambil menatapnya."Gak apa-apa, sih. Tadi Bella yang telepon," ucapnya, tanpa kutanya. Ponselnya ia genggam erat, lalu dimasukkan ke kantung baju sweater."Oooh, Bella .... Sama Bella, panggilnya sayang-sayangan?" sindirku.Wajah Vania terlihat sedikit kaget, tapi segera ditutupinya. Ia lalu tertawa sumbang, padahal tak ada yang lucu. Sangat mencurigakan."Hehehe, iya Bang! Sama Bella, panggilnya sayang-sayang. Oh ya, Abang kan, sudah telat!" Vania lantas masuk ke ruang tengah.Aku langsung tersadar. Kalau saja waktunya sedang tidak mepet, pasti sudah kuperiksa ponse
Kuputuskan saja panggilan dari Mama. Kepalaku berdenyut-denyut mendengar omelannya. Kutelan ludah yang terasa kental. Dadaku berdebar-debar kencang. Seharusnya tak usah kuangkat saja tadi. Kalau sudah berurusan dengan Mama, pasti ujung-ujungnya uang.Ponselku kembali bergetar. Biarlah, kuabaikan saja. Kulanjutkan mengambil wudhu yang sempat tertunda. Waktu ishoma sebentar lagi habis.Setelah zuhur, kukeluarkan ponsel untuk mengecek. Di sana tertera 15 panggilan tak terjawab dari Mama. Pantas saja, selama aku salat ponselku tak henti bergetar. Belum lagi pesannya yang memaki-maki di aplikasi berwarna hijau. Tak lupa Mama membuat status bertuliskan 'Menantu Tak Berguna' di story-nya.Kuembuskan napas kasar. Cepat atau lambat, pasti akan ada masalah lagi. Entah sampai kapan keadaan akan terus begini. Mama yang selalu menuntut, dan istri yang kurang pengertian membuatku pusing bukan kepalang. Hanya bisa berdo'a, semoga roda cepat berputar kembali ke atas.🌷Sebelum pulang ke rumah, kuse
Sudah hampir jam setengah sembilan. Hujan bertambah deras. Kuputuskan untuk mencari Vania. Setelah mengenakan mantel plastik yang sudah sedikit robek, aku nekat menerobos hujan dengan motor. Kususuri jalan dengan pelan. Siapa tau Vania sedang berteduh di suatu tempat. Sesekali kuperhatikan juga mobil yang lewat. Yang kuingat, mobil Bella berwarna putih dengan tempelan stiker bertuliskan Baby Bella.Tak lupa aku selalu berhenti di tempat-tempat yang dulu senang ia kunjungi. Tujuan pertamaku adalah restoran seafood langganan kami dulu. Setelah turun dari motor, aku bergegas masuk. Suasana di dalam sangat ramai. Pemilik restoran yang mengenaliku, langsung menyapa. Pria yang kupanggil Koko itu lantas mendekat."Lho, Bang Dani? Sudah lama gak mampir. Mau pesan apa, Bang?" tanyanya, terlihat senang melihatku. Karena dulu aku selalu royal saat makan di sana."Bukan mau makan, Ko. Saya lagi cari Vania. Tadi ada mampir di sini tidak?" jawabku sedikit malu-malu."Ohhh Vania! Tidak ada. Seingatk
Brak!Kakiku melayang tanpa sadar, menendang pintu kamar mandi dengan kuat."Vania!" teriakku menggelegar.Dua insan yang tadinya saling berdekapan, langsung melepaskan diri. Wajah Vania pucat, sementara si lelaki terlihat kebingungan."Ba–bang Dani?!" cicitnya dengan suara yang sedikit tertahan. Wajahnya pias, seperti kehilangan darah.Kudekati mereka berdua dengan tatapan nyalang. Tanpa ba bi bu, langsung kutarik kerah baju lelaki yang masih berdiri di samping Vania.Bukk! Bukk!Tinjuku melayang membabi buta. Vania langsung berteriak histeris. Lelaki itu mencoba melawan dan melepaskan diri. Entah dari mana asalnya tenagaku, tapi ia tak bisa berkutik sama sekali. Badannya terhuyung, jatuh ke lantai granit yang dingin."Berhenti! Berhenti, Bang! Berhenti!" teriak Vania sambil mencoba menarik tanganku. Kutepis tangannya hingga tubuhnya terdorong lalu terjengkang. Lelaki di bawahku menggeliat, mencoba untuk melepaskan diri. Aku masih menghujaninya dengan bogem."Tolongg! Tolong! Toloooo
Perlahan kubuka mata. Seluruh badan terasa remuk dan sakit. Sejak kapan aku tertidur di lantai dapur? Kuangkat kepala yang rasanya berat, lalu duduk bersandar di dinding. Ternyata sudah pukul tujuh pagi. Sudah terlalu terlambat untuk berangkat kerja. Aku mendesah. Aku akan meminta izin kepada Pak Wira nanti.Kenapa hidupku jadi kacau begini? Teringat kembali peristiwa semalam, rasa sesak kembali hadir di dada. Sesakit inikah rasanya dikhianati? Dulu aku menganggap orang-orang yang patah hati terlalu berlebihan. Namun kini, aku sangat paham seperti apa rasanya.Sedikit terhuyung aku beranjak, lantas berlalu ke kamar. Kubuka pintu pelan, takut akan membangunkan Vania. Ia pasti masih terlelap sekarang. Namun alangkah terkejutnya, saat tak kudapati sosoknya di sana. Kudapati kamar mandi dan seluruh ruangan dalam keadaan kosong."Vania!" panggilku lantang. Bahkan di halaman belakang pun tak kutemukan sosoknya.Kucek pintu depan yang sudah dalam keadaan tak terkunci. Vania pergi? Sejak kapa
Ruang tamu berukuran 3x4 itu menjadi hening seketika. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar."Da-Dani ... kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan, Dan?" bisik Papa dengan wajah memucat.Aku menghela napas."InsyaAllah, Dani sadar, Pa. Maaf, selama ini belum bisa membimbing Vania dengan baik," ujarku sambil memandang Vania yang tampak meremas ujung bajunya."Ya, baguslah! Berarti Vania segera akan bebas darimu! Kamu senang kan, Sayang?" Mama mengusap-usap kepala putrinya yang sedari tadi tertunduk."Papa tak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Salah Papa juga, dulu tidak mendidik Vania dengan tegas!" Papa mengusap wajahnya kasar. Matanya tampak memerah."Papa apa-apaan sih! Harusnya kita justru senang. Lagi pula, kalau keadaan mereka terus-terusan begini, kasihan Vania! Nafkahnya tidak tercukupi. Kalau pun Dani tidak mentalak Vania, Mama akan suruh dia menggugat cerai!"Wajah Papa tampak memerah."Vania akan menjadi janda, dan Mama malah senang? Mama tau makhluk apa yang tert
Kadang, bagian terberat dari perpisahan bukanlah melepaskan ... tapi, melupakan semua kenangan yang tercipta dari setiap detik yang dilalui bersama.Berapa banyak orang yang gagal untuk melupa? Berapa banyak yang tetap mencintai dalam diam, meski raga sudah tak lagi bersama? Jawabannya, banyak, ada banyak. Mereka, tetap setia dengan ingatan-ingatan indah tentang orang-orang yang dikasihi.Aku, sepertinya akan menjadi salah satu yang gagal dan menolak untuk lupa. Meskipun kata perpisahan itu keluar dari mulutku, tapi rasa cinta yang besar tak berkurang barang setitik pun. Vania, mungkin aku terlalu mencintainya. Salahkah? Kalian anggap aku lemah? Tidak apa-apa. Masalah perasaan, bukanlah hal sepele. Bahkan, seorang Napoleon pun bisa patah hati.Mataku terpejam sesaat, tanpa menyadari bahwa aku sedang berada di atas motor menyusuri jalanan yang padat. Sepertinya, aku terlalu lelah. Tubuhku terasa seperti melayang. Ringan, seperti kapas. Ah, nyaman sekali. Biarlah kupejamkan saja mata.K
Wajah Vania pucat pasi. Sedangkan Mama salah tingkah dan tampak gelisah. Aku dan Kak Fitri menghalangi pintu kamar. Jangan sampai mereka coba-coba kabur. Beberapa detik kemudian, Mama menyembunyikan tangan di belakang badannya yang tambun."Apa yang kalian ambil?" tanyaku sambil memandang kedua orang itu tajam."A–apa? Vania cuma ambil baju, kok!" jawab Vania berkilah. Dia pikir aku bodoh. Kak Fitri tergelak."Baju? lantas apa yang disembunyikan Mama di tangannya?" Aku mendekat. Mama dengan cepat mundur, merapatkan badannya ke dinding."Ti–tidak ada apa-apa! Jangan mendekat kamu, Dani!" usir Mama. Aku tak menggubris."Kalau tidak mau diapa-apakan, cepat serahkan apa yang sudah Mama ambil!" titahku. Vania melirik Mama, lalu mengangguk. Wajahnya mengisyaratkan sesuatu."Tidak, tidak akan kuserahkan!" tolaknya."Oh, begitu? Mau kupaksa, Ma?" kataku sambil terus mendekat."Jangan kurang ajar kamu, Dani! Awas kalau berani menyentuhku, akan kulaporkan ke polisi!" ancam Mama.Aku seketika te
Kunikmati makan siang kali ini dengan sensasi yang berbeda. Bukan karena menunya yang sangat nikmat, tapi karena kejadian tadi pagi yang selalu terbayang di pelupuk mata.Aku duduk berdampingan dengan Pak Wira yang hampir menghabiskan bekalnya. Sementara aku, menghayati dan menikmati setiap kunyahan dengan sepenuh hati.“Kenapa Mas Dani, makanannya kurang enak? Kok ngunyahnya pelan-pelan gitu?” selidik Pak Wira sambil memandangiku.Aku tersenyum malu. “Eng-enggak kok, Pak. Justru sebaliknya. Ini makanan yang paling nikmat yang pernah saya makan!” jawabku sambil menyendokkan nasi dan potongan ayam bakar.“Halah, masa sih, Mas? Bukannya udah sering makan masakan istri saya?” kata Pak Wira sambil tertawa lebar.Ah, andai Pak Wira tau apa yang aku rasakan. “Iya sih, Pak. Tapi, kali ini ada yang berbeda saja.” Aku melanjutkan makanku.Pak Wira geleng-geleng sambil tersenyum menampakkan deret gigi putihnya yang masih lengkap.“Ngomong-ngomong, makasih ya Mas, sudah mau mampir ke rumah ngamb
“Kak, tolong!” pintaku sambil menyerahkan ponsel ke tangannya.Kak Fitri sedikit gelagapan dengan tindakanku. Dahinya mengkerut seraya membaca nama yang tertera. Sejurus kemudian, ia paham dengan situasi. Tak lama, panggilan ia angkat. Tak lupa ia aktifkan pula pengeras suaranya, agar aku bisa mendengar percakapan.“Halo, Assalamu’alaikum!” ucap Kak Fitri datar. Untuk beberapa saat, tak ada jawaban. Hening.“Halo?” ucap Kak Fitri lagi.“Halo, mana si Dani sialan itu, hah? Dia apakan Vania tadi sore? Kenapa anak saya menangis setelah ketemu dia? Dasar mantan menantu tak tahu diri!” maki Mama tanpa ampun. Ya ampun, untung bukan aku yang menjawab teleponnya tadi.“Lah. Kok, Ibu nyalahin adik saya terus? Salahin anak perempuan Ibu sendiri, dong! Sudah bercerai, kok, masih maksa-maksa minta ketemu! Gak punya malu namanya!” balas Kak Fitri sengit. Aku memperhatikan bibirnya yang maju lima senti. Ternyata kakakku galak juga, bisikku dalam hati.“Halah, alasan saja! Paling si Dani tuh yang ma
“Ah, ma-maaf, Bang! Vania gak sadar kalau air mata sudah meleleh.” Ia menghapus air matanya dengan hati-hati menggunakan tisu yang tersedia di meja.“Kalau sudah tak ada yang dibicarakan lagi, aku pamit pulang.”‘Sebentar Bang, sebentar!” cegahnya.“Apa lagi?” tanyaku sedikit gusar. Sekarang sudah hampir jam enam. Seharusnya aku sudah sampai di rumah sejak tadi. Rasa lelah dan lapar semakin mendera, membuatku mudah terpancing emosi.Vania tampak sedikit ragu-ragu untuk berkata. Wajahnya terlihat sangat gelisah. Apa sih, maunya dia? Aku mulai tak sabaran.“Bang … ayo kita menikah lagi, Bang!” Kalimat itu berhasil lolos dari bibirnya. Aku seakan tak percaya dengan yang baru saja kudengar.“Vania … apa kamu tidak tahu, kalau kita sudah tidak bisa menikah lagi? Kecuali kalau kamu menikah dahulu dengan orang lain, lalu kemudian bercerai?” tanyaku dengan nada tajam.“A-apa iya, Bang? Vania … benar-benar gak tahu!” cicitnya.“Sekarang kamu sudah tahu. Jadi, tak usah bicara aneh-aneh lagi! Ki
Tak terasa, sudah berbulan-bulan aku resmi bercerai dari Vania. Sidang berjalan mulus, meskipun mantanku itu harus hadir dengan kondisi yang masih kurang fit. Kuanggap tak ada lagi kemelut di antara kami berdua.Setelah terakhir kali bersalaman dengannya, Papa, Mama, dan Bang Roby, hatiku benar-benar merasakan kelegaan. Status duda pun sudah resmi kudapatkan.Hari-hari kujalani dengan perasaan optimis. Pekerjaan yang sekarang, benar-benar aku tekuni. Rencananya, aku akan kembali tinggal di rumah warisan yang dulu aku tempati bersama Vania. Tak enak rasanya, sudah terlalu lama merepotkan Bang Tamrin dan Kak Fitri.Niat itu, akan kusampaikan pada mereka malam ini. Kudekati kedua orang yang sedang fokus menonton TV. Mereka berdua duduk berdempetan, seperti sedang berpacaran.“Ehem!” Aku berdehem. Mereka berdua menoleh.“Apa, Dan? Kakak pikir kamu sudah tidur.” Kak Fitri menaikkan alisnya.“Bang, Kak, sepertinya … Dani harus kembali tinggal di rumah lama,” ujarku. Kedua kakakku itu terdia
“Si Roby semalem WA, nyuruh Dani tanggungjawab bayarin biaya rumah sakit Vania. Ditambah ganti rugi, katanya,” aduku kepada Bang Tamrin dan Kak Fitri saat kami sedang menyantap sarapan. Wajah mereka tampak terkejut.“Hah? Gak salah, tuh? Enak banget, minta-minta,” timpal Kak Fitri.“Iya, bener, Kak. Dia bilang begitu. Dani lawan aja. Paling nanti kalau ada rejeki, Dani sisihkan sedikit untuk membantu Papa,” terangku.“Kamu gak ngasih, juga gak apa-apa. Toh, Vania sudah bukan tanggungjawabmu.” Bang Tamrin ikut bersuara.“Iya, Bang. Kalau pun Dani memberi, anggap saja sedekah.”“Nah, itu Kakak setuju. Tak apa kamu membantu, tapi tak ada paksaan juga. Emang dasar sih, keluarga mantanmu itu kok matre!” umpat Kak Fitri. Aku terkekeh.“Tapi ngeri juga ya, si Vania berani nekat gitu,” sambung Bang Tamrin sambil mengelap mulutnya dengan tisu.“Dani juga kaget, Bang. Gak nyangka kalau dia sampai begitu.” Bayangan Vania yang berlari kencang ke arah jalan raya, kembali melintas. Aku memejamkan m
“Bukan main si Dani, Dek!” kelakar Bang Tamrin saat kami sampai di rumah. Senyumnya terus-terusan mengembang sejak tadi.“Kenapa dia, Bang?” tanya Kak Fitri sambil membuka bungkusan sate.“Ituuuuu, sejak dari rumah sakit tadi sering senyum-senyum sendiri! Kayak orang gila!” Wajah jenaka Bang Tamrin serasa ingin kutabok.“Apaan sih, Bang!” protesku sambil pura-pura sibuk menatap layar ponsel.“Lah, kepalanya habis terbentur paling?” sahut Kak Fitri asal.“Iya kayaknya, terbentur sama si Kacamata!” ledek Bang Dani. Dia kemudian tertawa puas sambil meninggalkan ruangan menuju kamar mandi. Awas saja dia. Aku sampai salah tingkah dibuatnya.“Maksud abangmu apa sih, Dan? Kakak gak ngerti!” Kak Fitri dan Adel tanpa basa basi menyantap sate yang tadi kubawa.“Mana Dani tahu. Suami kakak tuh, konslet!” Aku menggendikkan bahu.“Heh, kamu tuh! Ini satenya kok cuma tiga? Kan, kita berempat?” Duh, kakakku ini benar-benar banyak tanya.“Kan, Dani gak makan, Kak,” jawabku.“Lah, kok, malah dibeli?”
“Dan, Dani!” panggil Kak Fitri setengah berteriak saat tak ada jawaban dariku.“I-iya, Kak! Nanti Dani antar Mbak Tyas pulang!” Aku akhirnya menjawab.“Ya sudah, kamu pastikan dia pulang dengan selamat. Antar dia sampai depan pintu rumahnya. Awas ya, kalau kamu lalai!” titah Kak Fitri dibarengi ancaman. Sepertinya Kak Fitri sayang sekali dengan adik tingkatnya itu.Setelah bertukar salam, aku memutuskan panggilan. Tyas tampak sedang mengunyah pelan biskuit yang tadi kubelikan.“Ehem!” Aku sengaja berdehem untuk menarik perhatiannya.“Mas Dani, mau?” Ia mengacungkan bungkus biskuit yang berada di genggamannya.“Nggak, kok. Mbak Tyas habiskan saja. Emm, tadi Mbak Tyas ke sini naik apa?” tanyaku sedikit grogi.Ia menyempatkan untuk meneguk air mineral sebelum menjawab. “Tadi naik ojek online. Motor saya lagi dipinjam sama Ibu. Kalau bawa mobil saya belum berani. Kenapa, Mas?” Alis tebalnya bertaut.“Oh … ya sudah, kalau begitu, Mbak Tyas pulangnya bareng saya dan Bang Dani saja, ya!” aja
“Tanyakan sendiri pada Vania nanti, ketika dia sudah sadar! Kalau tidak, tanya saja pada Mama kebenarannya. Jangan langsung menyalahkanku. Lagi pula, ke mana saja Abang selama ini?” sindirku.Ia tampak tak terima. Kedua tinjunya mengepal erat, mungkin merasa ingin memukul lagi seperti tadi.“Berdoa saja adikku akan bangun dan sehat seperti sedia kala lagi. Kalau tidak, akan kubuat perhitungan denganmu!” ancamnya. Aku menghembuskan napas kasar. Tak ada guna lagi meladeninya.“Ya, sebaiknya berdoa saja dari pada mengoceh tak karuan!” timpalku asal. Kusenderkan punggung ke dinding rumah sakit yang dingin. Waktu terasa berjalan begitu lamban.Mama dan Papa akhirnya keluar dari ruangan itu. Ekspresi mereka sulit untuk ditebak. Aku benar-benar ingin tahu apa yang mereka bicarakan di dalam.“Gimana Ma, Pa?” Bang Roby berdiri menghampiri mereka. Kedua orangtua itu duduk sembari menghembuskan napas berat.“Sukurlah Vania tidak pendarahan dalam otak. Darahnya disebabkan oleh retak tengkorak saj
Aku bangkit lalu mengusap bibirku yang terasa sedikit basah oleh darah.“Hei, apa-apaan kamu!” hardik Bang Tamrin kepada Bang Roby.“Kamu gak usah ikut campur!” desis Bang Roby sambil menunjuk muka Bang Tamrin. Sungguh tak ada akhlaknya mantan Kakak iparku itu. Kemana saja dia selama ini? Kenapa baru datang sekarang seperti pahlawan kesiangan? Sungguh memuakkan.Tanpa ba bi bu, aku mendekat ke arahnya dan memberikan balasan telak. BUK! BUK! Dua bogem juga mendarat mulus di wajahnya yang pongah itu. Bang Roby tampak kehilangan keseimbangan. Beberapa pasien yang sedang berada di ruangan, menjerit melihat yang baru saja terjadi.“Dan, cukup, Dan! Jangan kamu ladeni! Jangan bikin keributan di sini!” Bang Tamrin memegangiku yang sudah siap untuk melancarkan pukulan lagi. Rugi sekali kalau aku tidak membalas.“Kurang ajar kamu!” raung Bang Roby sambil memegangi pipinya yang membengkak. Aku menyeringai ke arahnya.“Kalau kamu mau nyawa adikmu diselamatkan, jangan coba-coba menyentuhku lagi s