Share

5. Ancaman Mama

Author: Puspa Pebrianti
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Oh, bagus. Menantu tak berguna sudah pulang rupanya!" ketus Mama sambil mendekat. Garang ia menatapku. Sementara Vania duduk di meja makan, tak peduli.

"Sekarang kamu sudah berani berbuat kasar ya? Berani kamu menampar Vania!" Mama menunjuk-nunjuk mukaku. Tak tahu harus menjawab apa, aku hanya diam. Rupanya istriku benar-benar mengadu. Jantungku berdebar kencang, menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Mana suaramu? Jangan cuma berani sama perempuan kamu! Vania itu anak kesayangan Mama. Seumur hidup, tidak pernah seujung jari pun Mama memukulnya!" Wanita paruh baya di depanku berkacak pinggang.

"Ma—maaf, Ma. Semalam Dani benar-benar khilaf ...." Hanya itu kalimat yang bisa kuucapkan. Tak ada pembelaan lain. Bagaimanapun juga, tindakanku memang salah. Kulirik istriku yang langsung membuang muka.

"Khilaf, khilaf, katamu! Sudah jadi kere, sekarang malah berani main kasar! Nih, rasakan!" Sebuah tamparan keras dari Mama mendarat di pipiku. Terhuyung, aku merasa penglihatan sedikit berkunang. Dalam hati aku terus beristighfar.

Mama berlalu sambil menyeringai puas.  Senyum kecil juga terlihat di wajah Vania.

"Bagaimana, enak Dan, rasanya ditampar?" tanya Mama sambil membuka bungkusan di atas meja. Mengeluarkan ayam-ayam goreng yang aromanya menerbitkan air liur.

Kuusap pipi yang terasa panas. Sakit ini, tak seberapa dengan pedihnya di dalam hati. Harga diriku sebagai seorang lelaki dan suami, benar-benar diinjak. Kalau saja Mama adalah lelaki, mungkin sudah mendarat bogem di wajahnya.

Maka mulai detik itu juga, aku berjanji akan mengikuti permainan mereka. Jika mereka bisa berubah jahat, maka aku pun sama.

"Dani memang pantas mendapatkannya, Ma. Tapi Vania pun juga sama. Ia sudah keterlaluan. Mungkin Mama juga harus mendidik putri Mama lagi dengan baik," jawabku dengan tenang.

"Apa maksudmu, Bang?" Vania bangkit dari duduknya dengan mata membulat.

"Tunggu, Dani! Mau ke mana kamu!" teriak Mama lantang.

Tak kupedulikan kedua wanita itu. Dengan langkah tergesa, aku ke kamar mandi untuk membersihkan badan.

*

Saat keluar dari kamar mandi, kutemui mereka sedang menyantap hidangan di atas meja makan. Tak ada sedikit pun mereka menawariku. Aku tersenyum kecut, kembali teringat masa lalu. Setiap minggu, biasanya aku mengajak Vania, Mama dan Papa untuk makan malam di restoran atau kafe. Kini, keadaan sungguh terbalik. Saat aku terpuruk, mereka tak memikirkanku sedikit pun.

"Vania sudah kenyang, Ma," kata istriku, lalu bersendawa.

"Tapi ini ayam gorengnya masih ada. Kamu habiskan saja, tak usah bersisa. Lagi pula kan, belinya pakai uang Mama!" Mertuaku sengaja berkata dengan suara lantang.

"Duh ... udah gak muat Ma, di perut Vania!" rengeknya manja seperti anak kecil.

"Hmm, ya sudah! Mama saja yang habiskan. Nanti kalau tidak habis, malah digondol kucing garong!" Aku tahu itu adalah sindiran untukku. Biarlah. Habiskan saja, Ma. Habiskan! Biar perut bergelambir itu tambah berlemak.

Untung saja sewaktu pulang tadi aku berinisitif membeli beberapa  butir telur dan sekilo beras. Dugaanku benar, uang lima puluh ribu yang kutinggalkan sudah lenyap. Namun, tak ada nasi maupun lauk yang disediakan Vania untukku.

Tanpa mengindahkan mereka, dengan cekatan kutanak nasi. Menggoreng telurnya nanti saja, kalau nasi sudah matang.

*

Aku sedang asyik menggoreng telur, saat tiba-tiba Mama sudah berdiri di dapur dengan tangan terlipat di dada.

"Dani, mana uang arisan Mama?" tanyanya tanpa babibu. Aku menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke wajan. Kukira wanita tua itu sudah tak membutuhkanku.

"Maaf, Ma. Belum ada," jawabku singkat. Sebenarnya, setiap hari Sabtu pak Wira memberikan gaji kami. Di dalam tas, aku sudah memegang uang sembilan ratus ribu, upahku bekerja selama enam hari. Uang arisan Mama yang lima ratus ribu, bisa saja kuberikan.

"Ya terus, gimana? Gak mungkin kan, Mama gak bayar? Malu-maluin aja!" katanya sambil mengibas rambut yang mulai memutih.

Kupandangi ia sejenak. Seingatku, dulu Mama tidak semenyebalkan ini. Entah kenapa, kini aku baru menyadarinya. Mungkin dulu uang betul-betul membungkam sikap buruknya itu terhadapku.

"Mama jual saja itu, gelang yang berderet di lengan Mama." Aku menyendokkan nasi ke piring yang sudah berisi telur goreng.

"Apa? Mama tidak salah dengar? Sudah gila kamu ya, Dani!" Teriakannya menggema. Aku yakin tetangga kami mendengar. Kutinggalkan ia sendiri di dapur, menuju ke meja makan. Remah-remah sisa ayam goreng masih berserakan di sana. Sejak kapan Vania jadi sejorok ini? Dulu dia senang berberes dan bersih-bersih. Apakah itu hanya pura-pura juga? Ah, entahlah.

Kunikmati makan malam dengan nikmat. Rasa lapar menjadi lauk terenak. Tak kutawari Mama ataupun istriku. Toh, mereka sudah makan tanpa menawariku juga. Vania duduk di depan TV. Sesekali melirik ke arahku dan Mama.

"Pokoknya Mama gak mau tau, sebelum hari Senin uangnya sudah harus ada!"

Kuselesaikan makan dengan cepat. Malas kalau harus berlama-lama meladeni wanita yang kupanggil Mama itu.

"Ma, gelang itu dulu juga Dani yang beli, kan? Mama jual saja dulu, untuk bayar arisan. Masalah selesai. Kalau Mama mau uang dari Dani, entah kapan adanya."

Wajah Mama merah padam. Mungkin tak menyangka aku bisa menjawab seperti itu. Sementara Vania menatapku tajam.

"Kamu sekarang benar-benar gak berguna, Bang! Bisa-bisanya menyuruh Mama menjual perhiasan. Di mana rasa tanggung jawabmu?" desis Vania.

"Ya terserah! Kalau kamu dan Mama saja tidak memikirkan Abang, kenapa Abang harus susah payah memikirkan kalian?" Aku menggendikkan bahu.

Vania dan Mama saling pandang dengan mulut menganga.

"Se—sejak kapan Abang berubah begini?" Rasa terkejut sepertinya tak bisa disembunyikan istriku. Oh, dia benar-benar ingin tahu?

"Sejak kamu juga berubah! Coba lihat dirimu yang sekarang, Vania. Rasa hormat kepadaku sudah hilang tak bersisa. Tengok juga sekelilingmu. Rumah tidak terurus. Entah apa yang kau kerjakan seharian! Pakaian kotor menumpuk. Cucian piring seperti gunung. Lantai berdebu! Ingat-ingatlah lagi seperti apa dirimu yang dulu!" Aku berhenti untuk mengambil napas yang sedikit ngos-ngosan.

"Belum lagi Mama yang hanya minta uang, uang, dan uang! Tanpa mengurangi rasa hormat, aku katakan Mama memang mata duitan! Sama saja dengan anaknya! Sebelas dua belas. Kalian pikir, aku ini mesin ATM?"

Kuluapkan semua, apa yang terasa mengganjal di dada. Biarlah, jika mereka akan semakin membenciku.

"Kurang ajar kamu, Dani!" jerit Mama. Dilemparnya sebuah gelas ke arahku. Dengan cepat aku mengelak, hingga gelas menghantam dinding lalu jatuh berderai. Vania terlihat syok, tak bisa berkata-kata.

"Kurang ajar, kamu! Kurang ajar!" Mama terus meracau sambil melempariku dengan barang apa pun yang ada di dekatnya.

"Cukup, Ma! Kalau Mama tidak berhenti, Dani terpaksa menyeret Mama keluar!" Aku tersulut emosi. Gerakan Mama terhenti. Dadanya naik turun dengan napas tidak teratur.

Vania langsung berlari memeluk wanita yang sudah melahirkannya itu.

"Sudah, Ma. Sudah! Nanti darah tinggi Mama kumat. Vania akan buat perhitungan dengan Bang Dani nanti!" katanya sambil mengelus pundak Mama.

Mama masih menatapku tajam.  Badannya terlihat gemetar karena menahan amarah. Salahnya sendiri, tak bisa menjaga sikap.

"Kalau kamu masih kurang ajar lagi, akan kusuruh Vania bercerai darimu!" Ancaman itu keluar begitu saja dari mulutnya. Aku tak membalas, takut salah berucap. Istriku pun tampak tak kalah terkejutnya.

Semarah apa pun aku sekarang, tak pernah terlintas untuk menceraikan Vania. Rasa cintaku masih sangatlah besar. Masih berharap bahwa ia akan berubah lagi menjadi istri yang baik.

"Mama pulang, Van! Cerai saja dari suamimu yang sudah kere itu, jika ia masih kurang ajar!"

***

Related chapters

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   6. Menikahiku Karena Uang?

    Setelah kepergian Mama, aku langsung ke kamar. Badan dan pikiran perlu diistirahatkan. Letih badan mungkin tak seberapa, tapi lelah hati sungguh menyiksa. Rumah yang dulu seperti surga, perlahan terasa seperti neraka.Aku baru saja akan memejamkan mata, saat pintu kamar tersibak. Vania datang setelah mengantarkan kepergian Mama yang pulang dengan taksi online. Kuacuhkan kedatangannya. Dari raut wajahnya yang ditekuk itu, aku tahu dia pasti sangat kesal dengan kejadian tadi. Biarlah, agar mereka mengerti bahwa aku tidak bisa dilemahkan."Abang masih bisa tidur, setelah berucap jahat kepada Mama?" sindir Vania. Aku bergeming. Malas untuk meladeninya."Aku tak menyangka, Abang bisa seperti ini!" geramnya lagi."Terus, maumu Abang tetap diam saat kalian bertingkah seenaknya?" Aku akhirnya buka suara."Seenaknya, Abang bilang? Abang pun sekarang hanya memberiku uang seenaknya!" Vania berkacak pinggang di pinggir ranjang. Uang dan selalu uang yang ia bahas."Kamu tau kan, kondisi kita seda

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   7. Pengaruh Buruk (1)

    Wanita berambut pirang dan berbaju ketat di depanku tersenyum."Vanianya, ada?" tanya wanita itu. Aku masih melongo."Eh, i—iya ada. Ada perlu apa?" Aku balik bertanya."Saya mau ketemu aja!" jawabnya tiba-tiba judes."Ok, tunggu. Saya panggilkan!" Aku berlalu ke dalam.Vania terlihat menyeka keringatnya. Menjemur pakaian bukanlah hal berat, tapi ia kelihatan letih sekali. Mungkin karena sudah lama ia tidak melakukan pekerjaan rumah."Ada yang mencarimu di depan," kataku sambil mendekatinya."Siapa?" sahutnya."Abang gak tau. Rambutnya pirang!" Mata Vania langsung berbinar mendengar jawabanku. Diletakkannya keranjang pakaian, lalu langsung berlari ke depan. Aku yang merasa penasaran, diam-diam mengekor."Bella!" teriak Vania girang. Kedua perempuan itu kemudian berpelukan seperti Teletubbies."Apa kabar, Van?" kata wanita yang ternyata bernama Bella."Ayo, duduk dulu. Aku baik-baik aja, Bell. Ya ampun, udah lama banget gak ketemu. Kamu tambah cantik aja!" puji Vania. Aku yang mendenga

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   8. Pengaruh Buruk (2)

    Tanganku sedikit bergetar saat melihat story WA Vania. Kuremas geram ponsel di genggaman. Rahangku mengeras."Kamu yang bohong, atau Vania, Dan?" tanya Kak Fitri.Aku tertunduk, masih memandangi foto itu tak percaya."Istrimu Kakak lihat, kok pergaulannya seperti liar begitu? Kamu bilang dia sedang tak enak badan di rumah?" imbuh Kak Fitri lagi.Aku tak bisa berkata-kata. Dalam foto itu, terpampang jelas Vania yang sedang tersenyum hanya menggunakan hot pants dan sport bra di dalam sebuah gym. Lekuk tubuh dan auratnya terlihat jelas. Sementara di sampingnya berdiri Bella dengan penampilan yang sama.Yang menjadi masalah lagi, di kiri dan kanan mereka berdiri dua orang pria bertampang bule yang dengan bangga memamerkan perut sixpack. Salah satunya dengan sangat lancang merangkul pundak Vania! Kurang ajar!Aku mengembuskan napas kasar. Segera kutelpon Vania untuk menyuruhnya cepat pulang. Tak ada jawaban darinya. Sudah pasti ia sengaja tak mengangkat panggilan."Kakak tidak bermaksud ke

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   9. Tulang Rusuk yang Bengkok

    Sebuah mobil sudah terparkir di depan rumah. Ternyata Vania sudah pulang, sedang duduk mengobrol dengan Bella di teras. Bagus, sekarang dia sudah mengenakan pakaian sporty yang tadi pagi ia pakai sebelum pergi. Pintar sekali. Sementara, di dalam mobil berkaca hitam itu, sekilas kulihat dua orang pria yang ada dalam foto Vania tadi sedang duduk. Mungkin menunggu Bella.Saat turun dari motor, mereka tak menggubrisku sedikit pun. Vania melirik sekilas tanpa kata. Tak ada sambutan atau apa pun. Bahkan saat kuucap salam, tak ada jawaban. Kumasuki rumah dengan perasaan tak menentu. Vania dan Bella masih mengobrol sambil cekikikan. Duh, cepatlah kau pulang, Bella!Do'aku terkabul. Tak lama kemudian, Bella pamit. Vania masuk ke dalam. Aku yang sudah menunggu sejak tadi, langsung berdiri menghadang."Abang mau bicara, duduk dulu!" titahku tanpa basa-basi."Nanti saja bicaranya, Bang! Aku mau mandi, bau keringat!" ujarnya sambil berlalu.Kucekal tangannya, lalu kududukkan ia ke kursi."Duduk, V

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   10. Deritaku

    (PoV Vania)Namaku Vania. Saat ini hidupku sedang sangat menderita. Belum setahun aku menikmati manisnya pernikahan, suamiku malah terkena PHK. Hari-hariku yang dulu aku habiskan dengan bersenang-senang dan belanja, kini terasa hampa. Aku banyak menghabiskan waktu di rumah saja, sampai merasa bosan.Suamiku sekarang bekerja sebagai kuli bangunan, yang gajinya tidak seberapa. Bayangkan, dia yang tadinya seorang manager, sekarang menjadi seorang kuli. K-U-L-I. Aku sangat malu dengan profesinya yang baru, tidak bergengsi sama sekali. Bagaimana kalau ada orang yang bertanya apa pekerjaan suamiku?Masa aku jawab kuli! Vania yang terkenal mewah, punya suami kuli. Belum lagi, uang gajinya sangat jauh lebih kecil dibandingkan gajinya yang dulu. Aku tak bisa bebas jajan sana sini. Duh, pokoknya benar-benar sial hidupku!Dulu itu, aku sangat terpesona dengan Bang Dani. Selain wajahnya yang gak terlalu malu-maluin, dia juga sangat royal. Dirayu sedikit saja, dia langsung luluh dan memberikan ap

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   11. Deritaku (2)

    (PoV Vania)Sayang seribu kali sayang, hanya beberapa bulan saja aku bisa menikmati semua itu. Saat mendengar kabar bahwa Bang Dani terkena PHK, aku sangat terguncang. Aku tidak mau hidup miskin! Bagaimana dengan hobi belanjaku? Mama dan Papa pasti tidak mau memberiku uang lagi. Bang Dani selalu coba menenangkan aku.Berminggu-minggu kulihat ia kesana kemari mencari pekerjaan baru. Namun, hasilnya masih nihil. Aku menjadi sangat ketakutan dan stres. Ujung-ujungnya dia malah jadi kuli. Untung saja aku menuruti kata Mama untuk tidak cepat-cepat hamil! Kalau sudah hamil, mungkin aku akan tambah kebingungan. Mama memang selalu benar.Sekarang, aku jadi malas sekali melihat wajah Bang Dani. Mukanya terlihat lebih tua dan gelap. Tidak bersih dan putih lagi. Mungkin karena terik matahari dan debu. Jangankan bermesra-mesraan seperti dulu, dipegangnya saja aku enggan sekali. Agak jijik rasanya. Aku juga mulai malas berbicara dengannya. Untuk apa?Toh, dia sudah tak bisa membahagiakanku seperti

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   12. Telepon Mama

    Samar-sama kudengar Vania berbicara lirih di telepon. Sekali-kali ia tertawa manja. Kalau tidak salah dengar, dia memanggil 'Sayang'? Saat melihatku berdiri di pintu belakang, dia tampak sangat terkejut. Hampir saja ponsel itu lolos dari genggamannya. Dengan tiba-tiba, panggilan dia putuskan."E–eh, Abang! Su–sudah lama berdiri di situ, Bang?" cicitnya, tergagap-gagap.Aku tak lantas menjawab. "Memangnya kenapa?" tanyaku sambil menatapnya."Gak apa-apa, sih. Tadi Bella yang telepon," ucapnya, tanpa kutanya. Ponselnya ia genggam erat, lalu dimasukkan ke kantung baju sweater."Oooh, Bella .... Sama Bella, panggilnya sayang-sayangan?" sindirku.Wajah Vania terlihat sedikit kaget, tapi segera ditutupinya. Ia lalu tertawa sumbang, padahal tak ada yang lucu. Sangat mencurigakan."Hehehe, iya Bang! Sama Bella, panggilnya sayang-sayang. Oh ya, Abang kan, sudah telat!" Vania lantas masuk ke ruang tengah.Aku langsung tersadar. Kalau saja waktunya sedang tidak mepet, pasti sudah kuperiksa ponse

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   13. Di Mana Vania?

    Kuputuskan saja panggilan dari Mama. Kepalaku berdenyut-denyut mendengar omelannya. Kutelan ludah yang terasa kental. Dadaku berdebar-debar kencang. Seharusnya tak usah kuangkat saja tadi. Kalau sudah berurusan dengan Mama, pasti ujung-ujungnya uang.Ponselku kembali bergetar. Biarlah, kuabaikan saja. Kulanjutkan mengambil wudhu yang sempat tertunda. Waktu ishoma sebentar lagi habis.Setelah zuhur, kukeluarkan ponsel untuk mengecek. Di sana tertera 15 panggilan tak terjawab dari Mama. Pantas saja, selama aku salat ponselku tak henti bergetar. Belum lagi pesannya yang memaki-maki di aplikasi berwarna hijau. Tak lupa Mama membuat status bertuliskan 'Menantu Tak Berguna' di story-nya.Kuembuskan napas kasar. Cepat atau lambat, pasti akan ada masalah lagi. Entah sampai kapan keadaan akan terus begini. Mama yang selalu menuntut, dan istri yang kurang pengertian membuatku pusing bukan kepalang. Hanya bisa berdo'a, semoga roda cepat berputar kembali ke atas.🌷Sebelum pulang ke rumah, kuse

Latest chapter

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   42. Permintaan Pak Wira

    Kunikmati makan siang kali ini dengan sensasi yang berbeda. Bukan karena menunya yang sangat nikmat, tapi karena kejadian tadi pagi yang selalu terbayang di pelupuk mata.Aku duduk berdampingan dengan Pak Wira yang hampir menghabiskan bekalnya. Sementara aku, menghayati dan menikmati setiap kunyahan dengan sepenuh hati.“Kenapa Mas Dani, makanannya kurang enak? Kok ngunyahnya pelan-pelan gitu?” selidik Pak Wira sambil memandangiku.Aku tersenyum malu. “Eng-enggak kok, Pak. Justru sebaliknya. Ini makanan yang paling nikmat yang pernah saya makan!” jawabku sambil menyendokkan nasi dan potongan ayam bakar.“Halah, masa sih, Mas? Bukannya udah sering makan masakan istri saya?” kata Pak Wira sambil tertawa lebar.Ah, andai Pak Wira tau apa yang aku rasakan. “Iya sih, Pak. Tapi, kali ini ada yang berbeda saja.” Aku melanjutkan makanku.Pak Wira geleng-geleng sambil tersenyum menampakkan deret gigi putihnya yang masih lengkap.“Ngomong-ngomong, makasih ya Mas, sudah mau mampir ke rumah ngamb

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   41. Calon Istri?

    “Kak, tolong!” pintaku sambil menyerahkan ponsel ke tangannya.Kak Fitri sedikit gelagapan dengan tindakanku. Dahinya mengkerut seraya membaca nama yang tertera. Sejurus kemudian, ia paham dengan situasi. Tak lama, panggilan ia angkat. Tak lupa ia aktifkan pula pengeras suaranya, agar aku bisa mendengar percakapan.“Halo, Assalamu’alaikum!” ucap Kak Fitri datar. Untuk beberapa saat, tak ada jawaban. Hening.“Halo?” ucap Kak Fitri lagi.“Halo, mana si Dani sialan itu, hah? Dia apakan Vania tadi sore? Kenapa anak saya menangis setelah ketemu dia? Dasar mantan menantu tak tahu diri!” maki Mama tanpa ampun. Ya ampun, untung bukan aku yang menjawab teleponnya tadi.“Lah. Kok, Ibu nyalahin adik saya terus? Salahin anak perempuan Ibu sendiri, dong! Sudah bercerai, kok, masih maksa-maksa minta ketemu! Gak punya malu namanya!” balas Kak Fitri sengit. Aku memperhatikan bibirnya yang maju lima senti. Ternyata kakakku galak juga, bisikku dalam hati.“Halah, alasan saja! Paling si Dani tuh yang ma

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   40. Wanita Gila

    “Ah, ma-maaf, Bang! Vania gak sadar kalau air mata sudah meleleh.” Ia menghapus air matanya dengan hati-hati menggunakan tisu yang tersedia di meja.“Kalau sudah tak ada yang dibicarakan lagi, aku pamit pulang.”‘Sebentar Bang, sebentar!” cegahnya.“Apa lagi?” tanyaku sedikit gusar. Sekarang sudah hampir jam enam. Seharusnya aku sudah sampai di rumah sejak tadi. Rasa lelah dan lapar semakin mendera, membuatku mudah terpancing emosi.Vania tampak sedikit ragu-ragu untuk berkata. Wajahnya terlihat sangat gelisah. Apa sih, maunya dia? Aku mulai tak sabaran.“Bang … ayo kita menikah lagi, Bang!” Kalimat itu berhasil lolos dari bibirnya. Aku seakan tak percaya dengan yang baru saja kudengar.“Vania … apa kamu tidak tahu, kalau kita sudah tidak bisa menikah lagi? Kecuali kalau kamu menikah dahulu dengan orang lain, lalu kemudian bercerai?” tanyaku dengan nada tajam.“A-apa iya, Bang? Vania … benar-benar gak tahu!” cicitnya.“Sekarang kamu sudah tahu. Jadi, tak usah bicara aneh-aneh lagi! Ki

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   39. Pengakuan Vania

    Tak terasa, sudah berbulan-bulan aku resmi bercerai dari Vania. Sidang berjalan mulus, meskipun mantanku itu harus hadir dengan kondisi yang masih kurang fit. Kuanggap tak ada lagi kemelut di antara kami berdua.Setelah terakhir kali bersalaman dengannya, Papa, Mama, dan Bang Roby, hatiku benar-benar merasakan kelegaan. Status duda pun sudah resmi kudapatkan.Hari-hari kujalani dengan perasaan optimis. Pekerjaan yang sekarang, benar-benar aku tekuni. Rencananya, aku akan kembali tinggal di rumah warisan yang dulu aku tempati bersama Vania. Tak enak rasanya, sudah terlalu lama merepotkan Bang Tamrin dan Kak Fitri.Niat itu, akan kusampaikan pada mereka malam ini. Kudekati kedua orang yang sedang fokus menonton TV. Mereka berdua duduk berdempetan, seperti sedang berpacaran.“Ehem!” Aku berdehem. Mereka berdua menoleh.“Apa, Dan? Kakak pikir kamu sudah tidur.” Kak Fitri menaikkan alisnya.“Bang, Kak, sepertinya … Dani harus kembali tinggal di rumah lama,” ujarku. Kedua kakakku itu terdia

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   38. Keanehan Pak Wira

    “Si Roby semalem WA, nyuruh Dani tanggungjawab bayarin biaya rumah sakit Vania. Ditambah ganti rugi, katanya,” aduku kepada Bang Tamrin dan Kak Fitri saat kami sedang menyantap sarapan. Wajah mereka tampak terkejut.“Hah? Gak salah, tuh? Enak banget, minta-minta,” timpal Kak Fitri.“Iya, bener, Kak. Dia bilang begitu. Dani lawan aja. Paling nanti kalau ada rejeki, Dani sisihkan sedikit untuk membantu Papa,” terangku.“Kamu gak ngasih, juga gak apa-apa. Toh, Vania sudah bukan tanggungjawabmu.” Bang Tamrin ikut bersuara.“Iya, Bang. Kalau pun Dani memberi, anggap saja sedekah.”“Nah, itu Kakak setuju. Tak apa kamu membantu, tapi tak ada paksaan juga. Emang dasar sih, keluarga mantanmu itu kok matre!” umpat Kak Fitri. Aku terkekeh.“Tapi ngeri juga ya, si Vania berani nekat gitu,” sambung Bang Tamrin sambil mengelap mulutnya dengan tisu.“Dani juga kaget, Bang. Gak nyangka kalau dia sampai begitu.” Bayangan Vania yang berlari kencang ke arah jalan raya, kembali melintas. Aku memejamkan m

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   37. WA Bang Roby

    “Bukan main si Dani, Dek!” kelakar Bang Tamrin saat kami sampai di rumah. Senyumnya terus-terusan mengembang sejak tadi.“Kenapa dia, Bang?” tanya Kak Fitri sambil membuka bungkusan sate.“Ituuuuu, sejak dari rumah sakit tadi sering senyum-senyum sendiri! Kayak orang gila!” Wajah jenaka Bang Tamrin serasa ingin kutabok.“Apaan sih, Bang!” protesku sambil pura-pura sibuk menatap layar ponsel.“Lah, kepalanya habis terbentur paling?” sahut Kak Fitri asal.“Iya kayaknya, terbentur sama si Kacamata!” ledek Bang Dani. Dia kemudian tertawa puas sambil meninggalkan ruangan menuju kamar mandi. Awas saja dia. Aku sampai salah tingkah dibuatnya.“Maksud abangmu apa sih, Dan? Kakak gak ngerti!” Kak Fitri dan Adel tanpa basa basi menyantap sate yang tadi kubawa.“Mana Dani tahu. Suami kakak tuh, konslet!” Aku menggendikkan bahu.“Heh, kamu tuh! Ini satenya kok cuma tiga? Kan, kita berempat?” Duh, kakakku ini benar-benar banyak tanya.“Kan, Dani gak makan, Kak,” jawabku.“Lah, kok, malah dibeli?”

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   36. Debaran Aneh

    “Dan, Dani!” panggil Kak Fitri setengah berteriak saat tak ada jawaban dariku.“I-iya, Kak! Nanti Dani antar Mbak Tyas pulang!” Aku akhirnya menjawab.“Ya sudah, kamu pastikan dia pulang dengan selamat. Antar dia sampai depan pintu rumahnya. Awas ya, kalau kamu lalai!” titah Kak Fitri dibarengi ancaman. Sepertinya Kak Fitri sayang sekali dengan adik tingkatnya itu.Setelah bertukar salam, aku memutuskan panggilan. Tyas tampak sedang mengunyah pelan biskuit yang tadi kubelikan.“Ehem!” Aku sengaja berdehem untuk menarik perhatiannya.“Mas Dani, mau?” Ia mengacungkan bungkus biskuit yang berada di genggamannya.“Nggak, kok. Mbak Tyas habiskan saja. Emm, tadi Mbak Tyas ke sini naik apa?” tanyaku sedikit grogi.Ia menyempatkan untuk meneguk air mineral sebelum menjawab. “Tadi naik ojek online. Motor saya lagi dipinjam sama Ibu. Kalau bawa mobil saya belum berani. Kenapa, Mas?” Alis tebalnya bertaut.“Oh … ya sudah, kalau begitu, Mbak Tyas pulangnya bareng saya dan Bang Dani saja, ya!” aja

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   35. Perintah Kak Fitri

    “Tanyakan sendiri pada Vania nanti, ketika dia sudah sadar! Kalau tidak, tanya saja pada Mama kebenarannya. Jangan langsung menyalahkanku. Lagi pula, ke mana saja Abang selama ini?” sindirku.Ia tampak tak terima. Kedua tinjunya mengepal erat, mungkin merasa ingin memukul lagi seperti tadi.“Berdoa saja adikku akan bangun dan sehat seperti sedia kala lagi. Kalau tidak, akan kubuat perhitungan denganmu!” ancamnya. Aku menghembuskan napas kasar. Tak ada guna lagi meladeninya.“Ya, sebaiknya berdoa saja dari pada mengoceh tak karuan!” timpalku asal. Kusenderkan punggung ke dinding rumah sakit yang dingin. Waktu terasa berjalan begitu lamban.Mama dan Papa akhirnya keluar dari ruangan itu. Ekspresi mereka sulit untuk ditebak. Aku benar-benar ingin tahu apa yang mereka bicarakan di dalam.“Gimana Ma, Pa?” Bang Roby berdiri menghampiri mereka. Kedua orangtua itu duduk sembari menghembuskan napas berat.“Sukurlah Vania tidak pendarahan dalam otak. Darahnya disebabkan oleh retak tengkorak saj

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   34. Selalu Disalahkan

    Aku bangkit lalu mengusap bibirku yang terasa sedikit basah oleh darah.“Hei, apa-apaan kamu!” hardik Bang Tamrin kepada Bang Roby.“Kamu gak usah ikut campur!” desis Bang Roby sambil menunjuk muka Bang Tamrin. Sungguh tak ada akhlaknya mantan Kakak iparku itu. Kemana saja dia selama ini? Kenapa baru datang sekarang seperti pahlawan kesiangan? Sungguh memuakkan.Tanpa ba bi bu, aku mendekat ke arahnya dan memberikan balasan telak. BUK! BUK! Dua bogem juga mendarat mulus di wajahnya yang pongah itu. Bang Roby tampak kehilangan keseimbangan. Beberapa pasien yang sedang berada di ruangan, menjerit melihat yang baru saja terjadi.“Dan, cukup, Dan! Jangan kamu ladeni! Jangan bikin keributan di sini!” Bang Tamrin memegangiku yang sudah siap untuk melancarkan pukulan lagi. Rugi sekali kalau aku tidak membalas.“Kurang ajar kamu!” raung Bang Roby sambil memegangi pipinya yang membengkak. Aku menyeringai ke arahnya.“Kalau kamu mau nyawa adikmu diselamatkan, jangan coba-coba menyentuhku lagi s

DMCA.com Protection Status