“Bang, Vania mau ikut!” Suara teriakannya yang sedikit parau masih terdengar jelas. Aku tak menoleh, terus mantap melangkah maju menuju mobil. Alih-alih merasa senang, aku malah was-was dengan perubahan sikapnya itu.“Vania kenapa, kok nangis-nangis gitu?” tanya Kak Fitri ketika aku sudah duduk di bangku depan, di samping Bang Tamrin. Kak Fitri duduk di bangku belakang, memangku kepala Adelia. Keponakanku itu tampak tertidur pulas.“Gak tau, Kak. Tiba-tiba pengen ikut Dani pulang katanya. Sampe peluk-peluk segala. Dani jadi sedikit risih,” jawabku sambil memasang seat belt.“Terus, keputusanmu gimana?” Kak Fitri tak henti bertanya. Aku memandang keluar jendela. Kendaraan yang lalu lalang tampak berebutan ingin saling mendahului.“Dani minta waktu dua hari, Kak.” Terdengar helaan napas lega Kak Fitri. Sementara Bang Tamrin hanya diam, pandangannya fokus ke jalanan yang sedikit ramai.“Apa yang akan kamu lakukan, Dan?”“Dani ingin memastikan sesuatu dulu, Kak. Semoga ada titik terangn
Aku bersembunyi di balik gorden, tak ingin Vania melihat bayanganku dari balik jendela kaca. Dia berjalan dengan tenang memasuki halaman rumah. Sejenak langkahnya terhenti, saat melihat motorku terparkir di dekat teras. Ah, si*l! Sekarang dia tau kalau aku ada di rumah. Kenapa tadi aku tidak langsung masukkan saja kuda besi itu?Jantungku berdetak lebih kencang, debarannya bertalu-talu seperti genderang yang ditabuh. Entah kenapa, aku menjadi takut untuk bertemu Vania. Seperti ada yang tidak beres dengannya. Sekarang dia sudah berdiri tepat di depan pintu. Aku menahan napas, jangan sampai suaraku terdengar sedikit pun olehnya. Beberapa detik kemudian, suara ketukan mulai terdengar.“Bang, Bang Dani! Buka pintu Bang! Ini Vania!” teriaknya tanpa mengucap salam. Aku menutup mulut dengan telapak tangan. Suara ketukan di pintu terdengar berulang-ulang tanpa jeda.“Abang, ini Vania, Bang! Vania mau bicara sama Abang!” Suaranya semakin ditinggikan.Kuintip sekilas, Vania mulai merogoh tasnya
“Gak sopan kamu! Kalau Dani ingin bertemu, dia pasti sudah mencarimu. Pulanglah! Jangan bertingkah seperti wanita murahan yang mengejar laki-laki!” tegas Kak Fitri, tangannya sibuk membelai kepala Adelia. Keponakanku itu terlihat gelisah. Mungkin tidak nyaman dengan suasana di sekitarnya.“Akan aku tunggu sampai ketemu Bang Dani!” Vania menghentakkan kaki, kemudian kembali duduk di kursi teras. Astaga, benar-benar urat malunya sudah putus.“Kalau kamu masih bersikeras, akan saya panggilkan Pak RT dan tetangga sekitar untuk mengusir! Kamu sudah mulai meresahkan!” ancam Kak Fitri dengan nada serius.“A-apa? Berani-beraninya!” Vania seketika berdiri. Matanya menatap garang ke arah Kak Fitri, dengan tangan mengepal erat.“Silakan pilih. Pulang sendiri, atau diusir dengan tidak hormat?” Kak Fitri balas menatapnya tajam, intonasi suaranya mematikan.Tampaknya pilihan itu membuat nyali Vania menciut. Ia segera mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja, kemudian segera berlalu.“Ingat bai
(PoV Vania)“Sudah, kamu gak usah sedih gitu. Kalau ditalak Dani, ya sukur. Lagi pula dia sekarang sudah jadi orang kere, kok. Mama malah yang jadi sedih kalau lihat kamu menderita. Masa sehari cuma dikasih uang lima puluh ribu. Kan kelewatan, dia!” ucap Mama yang terus menghiburku setelah Bang Dani mengucapkan talak satu.“Ta-tapi, Ma. Vania masih muda. Masa sudah menjadi janda!” rengekku sambil menahan isakan.“Ya justru itu! Mumpung masih muda, kamu bisa cari ganti yang lebih pantas. Cari yang berduit dan bisa memanjakan kamu! Sayang wajahmu yang cantik itu, kalau tidak digunakan.” Mama menyemangati.Meski demikian, dalam hatiku terbit sedikit rasa sedih. Ya, walaupun Bang Dani sekarang tidak seperti dulu lagi, aku masih punya sedikit rasa cinta untuknya. Kemarahan Bang Dani terjadi karena aku telah khilaf dan tergoda oleh pesona Nathan.Hari itu, aku pergi ke gym setelah ditelepon oleh lelaki berambut pirang dan berwajah tampan itu. Hati rasanya melayang-layang karena ucapannya y
(PoV Vania)Suara musik kencang seketika memenuhi rongga telinga. Bau asap rokok pun terasa menyesakkan. Kalau begini, tidak mungkin Nathan sakit, kan? Kupercepat langkah menuju ruang utama tempat tidurnya.Terdengar suara-suara aneh di sana. Erangan-erangan dari suara parau yang mengundang tanda tanya. Apa yang sedang Nathan lakukan, kenapa suaranya ramai sekali?Aku terpaku, menyaksikan pemandangan di depan mata. Di atas ranjang king size yang sering kali kutiduri, terbaring seorang wanita belia tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Wanita itu diam, tak bergerak sedikit pun dengan mata terpejam.Sepertinya ia tak sadarkan diri. Sementara itu, di sekelilingnya tiga orang pria tanpa busana menjamah tubuh kecil itu tanpa ragu. Kepalaku berputar-putar, perut seketika mual dan pandangan mulai mengabur.Nathan, ada di antara ketiga lelaki bejat yang dengan buas merobek-robek mangsa di atas benda empuk yang luas itu. Salah satunya bahkan memegang kamera sambil tertawa-tawa.Apakah mu
“Lepas, Van. Kita sudah bukan mahram lagi! Melakukan hal seperti ini hanya akan menambah dosa.” Aku berusaha mengurai lengannya yang erat memeluk kedua kakiku. Tangisannya terdengar semakin kencang saja. Bang Tamrin melengos, melihat tingkah mantan istriku itu.“Lepaskan dia, Vania. Dia bukan suamimu lagi!” perintah Papa yang sudah menyusul putrinya. Ah, masih bolehkan ia kusebut Papa?Vania akhirnya mengalah. Direnggangkannya pelukan, kepalanya mendongak melihatku.“Abang benar-benar tak sayang lagi denganku? Abang membuangku?” isaknya. Membuang? Itu bukan kata yang tepat untuk mendefinisikan apa yang sudah terjadi. Aku menceraikannya dengan baik-baik.“Abang tidak pernah membuangmu, Van. Justru Abang mengembalikanmu kepada Papa dengan baik-baik,” jawabku dengan tenang sembari menjauh sedikit darinya.“Gak! Itu sama saja dengan membuang Vania! Abang jahat!” jeritnya sekuat tenaga. Beberapa orang yang lalu, menoleh penasaran. Aku memperhatikan keadaan sekeliling. Kalau begini terus, b
Sedetik rasanya seperti setahun. Jarum jam terasa berputar amat lambat. Beberapa tenaga medis tampak masih menangani kondisi Vania.“Keluarga Ibu Vania!” panggil seseorang berseragam putih-putih yang keluar dari ruang UGD. Kami semua sontak berdiri.“Saya Papanya!” sahut Papa cepat.“Bapak, kami membutuhkan 3 kantong darah bergolongan AB+ untuk berjaga-jaga. Stok darah kita untuk golongan AB+ sedang kosong untuk saat ini. Ibu Vania terus mengalami pendarahan dari kepala bagian kiri. Kita akan lakukan CT scan dan USG segera untuk mengetahui kondisi bagian dalam.“Ba-baik, Dok! Akan kami sediakan!” jawab Papa terbata-bata dalam kekalutan.Aku dan Bang Tamrin hanya diam tak bisa berkata apa-apa. Golongan darah yang sama dengan Vania hanyalah milik Mama. Mereka segera berlalu mengikuti perawat yang ditunjuk untuk membawa mereka ke ruang PMI. Saat melewati kami, Mama menatapku dengan sorot matanya yang tajam. Aku membuang muka, salah tingkah. “Gimana, Dan? Masih mau di sini atau pulang?”
Aku bangkit lalu mengusap bibirku yang terasa sedikit basah oleh darah.“Hei, apa-apaan kamu!” hardik Bang Tamrin kepada Bang Roby.“Kamu gak usah ikut campur!” desis Bang Roby sambil menunjuk muka Bang Tamrin. Sungguh tak ada akhlaknya mantan Kakak iparku itu. Kemana saja dia selama ini? Kenapa baru datang sekarang seperti pahlawan kesiangan? Sungguh memuakkan.Tanpa ba bi bu, aku mendekat ke arahnya dan memberikan balasan telak. BUK! BUK! Dua bogem juga mendarat mulus di wajahnya yang pongah itu. Bang Roby tampak kehilangan keseimbangan. Beberapa pasien yang sedang berada di ruangan, menjerit melihat yang baru saja terjadi.“Dan, cukup, Dan! Jangan kamu ladeni! Jangan bikin keributan di sini!” Bang Tamrin memegangiku yang sudah siap untuk melancarkan pukulan lagi. Rugi sekali kalau aku tidak membalas.“Kurang ajar kamu!” raung Bang Roby sambil memegangi pipinya yang membengkak. Aku menyeringai ke arahnya.“Kalau kamu mau nyawa adikmu diselamatkan, jangan coba-coba menyentuhku lagi s
Kunikmati makan siang kali ini dengan sensasi yang berbeda. Bukan karena menunya yang sangat nikmat, tapi karena kejadian tadi pagi yang selalu terbayang di pelupuk mata.Aku duduk berdampingan dengan Pak Wira yang hampir menghabiskan bekalnya. Sementara aku, menghayati dan menikmati setiap kunyahan dengan sepenuh hati.“Kenapa Mas Dani, makanannya kurang enak? Kok ngunyahnya pelan-pelan gitu?” selidik Pak Wira sambil memandangiku.Aku tersenyum malu. “Eng-enggak kok, Pak. Justru sebaliknya. Ini makanan yang paling nikmat yang pernah saya makan!” jawabku sambil menyendokkan nasi dan potongan ayam bakar.“Halah, masa sih, Mas? Bukannya udah sering makan masakan istri saya?” kata Pak Wira sambil tertawa lebar.Ah, andai Pak Wira tau apa yang aku rasakan. “Iya sih, Pak. Tapi, kali ini ada yang berbeda saja.” Aku melanjutkan makanku.Pak Wira geleng-geleng sambil tersenyum menampakkan deret gigi putihnya yang masih lengkap.“Ngomong-ngomong, makasih ya Mas, sudah mau mampir ke rumah ngamb
“Kak, tolong!” pintaku sambil menyerahkan ponsel ke tangannya.Kak Fitri sedikit gelagapan dengan tindakanku. Dahinya mengkerut seraya membaca nama yang tertera. Sejurus kemudian, ia paham dengan situasi. Tak lama, panggilan ia angkat. Tak lupa ia aktifkan pula pengeras suaranya, agar aku bisa mendengar percakapan.“Halo, Assalamu’alaikum!” ucap Kak Fitri datar. Untuk beberapa saat, tak ada jawaban. Hening.“Halo?” ucap Kak Fitri lagi.“Halo, mana si Dani sialan itu, hah? Dia apakan Vania tadi sore? Kenapa anak saya menangis setelah ketemu dia? Dasar mantan menantu tak tahu diri!” maki Mama tanpa ampun. Ya ampun, untung bukan aku yang menjawab teleponnya tadi.“Lah. Kok, Ibu nyalahin adik saya terus? Salahin anak perempuan Ibu sendiri, dong! Sudah bercerai, kok, masih maksa-maksa minta ketemu! Gak punya malu namanya!” balas Kak Fitri sengit. Aku memperhatikan bibirnya yang maju lima senti. Ternyata kakakku galak juga, bisikku dalam hati.“Halah, alasan saja! Paling si Dani tuh yang ma
“Ah, ma-maaf, Bang! Vania gak sadar kalau air mata sudah meleleh.” Ia menghapus air matanya dengan hati-hati menggunakan tisu yang tersedia di meja.“Kalau sudah tak ada yang dibicarakan lagi, aku pamit pulang.”‘Sebentar Bang, sebentar!” cegahnya.“Apa lagi?” tanyaku sedikit gusar. Sekarang sudah hampir jam enam. Seharusnya aku sudah sampai di rumah sejak tadi. Rasa lelah dan lapar semakin mendera, membuatku mudah terpancing emosi.Vania tampak sedikit ragu-ragu untuk berkata. Wajahnya terlihat sangat gelisah. Apa sih, maunya dia? Aku mulai tak sabaran.“Bang … ayo kita menikah lagi, Bang!” Kalimat itu berhasil lolos dari bibirnya. Aku seakan tak percaya dengan yang baru saja kudengar.“Vania … apa kamu tidak tahu, kalau kita sudah tidak bisa menikah lagi? Kecuali kalau kamu menikah dahulu dengan orang lain, lalu kemudian bercerai?” tanyaku dengan nada tajam.“A-apa iya, Bang? Vania … benar-benar gak tahu!” cicitnya.“Sekarang kamu sudah tahu. Jadi, tak usah bicara aneh-aneh lagi! Ki
Tak terasa, sudah berbulan-bulan aku resmi bercerai dari Vania. Sidang berjalan mulus, meskipun mantanku itu harus hadir dengan kondisi yang masih kurang fit. Kuanggap tak ada lagi kemelut di antara kami berdua.Setelah terakhir kali bersalaman dengannya, Papa, Mama, dan Bang Roby, hatiku benar-benar merasakan kelegaan. Status duda pun sudah resmi kudapatkan.Hari-hari kujalani dengan perasaan optimis. Pekerjaan yang sekarang, benar-benar aku tekuni. Rencananya, aku akan kembali tinggal di rumah warisan yang dulu aku tempati bersama Vania. Tak enak rasanya, sudah terlalu lama merepotkan Bang Tamrin dan Kak Fitri.Niat itu, akan kusampaikan pada mereka malam ini. Kudekati kedua orang yang sedang fokus menonton TV. Mereka berdua duduk berdempetan, seperti sedang berpacaran.“Ehem!” Aku berdehem. Mereka berdua menoleh.“Apa, Dan? Kakak pikir kamu sudah tidur.” Kak Fitri menaikkan alisnya.“Bang, Kak, sepertinya … Dani harus kembali tinggal di rumah lama,” ujarku. Kedua kakakku itu terdia
“Si Roby semalem WA, nyuruh Dani tanggungjawab bayarin biaya rumah sakit Vania. Ditambah ganti rugi, katanya,” aduku kepada Bang Tamrin dan Kak Fitri saat kami sedang menyantap sarapan. Wajah mereka tampak terkejut.“Hah? Gak salah, tuh? Enak banget, minta-minta,” timpal Kak Fitri.“Iya, bener, Kak. Dia bilang begitu. Dani lawan aja. Paling nanti kalau ada rejeki, Dani sisihkan sedikit untuk membantu Papa,” terangku.“Kamu gak ngasih, juga gak apa-apa. Toh, Vania sudah bukan tanggungjawabmu.” Bang Tamrin ikut bersuara.“Iya, Bang. Kalau pun Dani memberi, anggap saja sedekah.”“Nah, itu Kakak setuju. Tak apa kamu membantu, tapi tak ada paksaan juga. Emang dasar sih, keluarga mantanmu itu kok matre!” umpat Kak Fitri. Aku terkekeh.“Tapi ngeri juga ya, si Vania berani nekat gitu,” sambung Bang Tamrin sambil mengelap mulutnya dengan tisu.“Dani juga kaget, Bang. Gak nyangka kalau dia sampai begitu.” Bayangan Vania yang berlari kencang ke arah jalan raya, kembali melintas. Aku memejamkan m
“Bukan main si Dani, Dek!” kelakar Bang Tamrin saat kami sampai di rumah. Senyumnya terus-terusan mengembang sejak tadi.“Kenapa dia, Bang?” tanya Kak Fitri sambil membuka bungkusan sate.“Ituuuuu, sejak dari rumah sakit tadi sering senyum-senyum sendiri! Kayak orang gila!” Wajah jenaka Bang Tamrin serasa ingin kutabok.“Apaan sih, Bang!” protesku sambil pura-pura sibuk menatap layar ponsel.“Lah, kepalanya habis terbentur paling?” sahut Kak Fitri asal.“Iya kayaknya, terbentur sama si Kacamata!” ledek Bang Dani. Dia kemudian tertawa puas sambil meninggalkan ruangan menuju kamar mandi. Awas saja dia. Aku sampai salah tingkah dibuatnya.“Maksud abangmu apa sih, Dan? Kakak gak ngerti!” Kak Fitri dan Adel tanpa basa basi menyantap sate yang tadi kubawa.“Mana Dani tahu. Suami kakak tuh, konslet!” Aku menggendikkan bahu.“Heh, kamu tuh! Ini satenya kok cuma tiga? Kan, kita berempat?” Duh, kakakku ini benar-benar banyak tanya.“Kan, Dani gak makan, Kak,” jawabku.“Lah, kok, malah dibeli?”
“Dan, Dani!” panggil Kak Fitri setengah berteriak saat tak ada jawaban dariku.“I-iya, Kak! Nanti Dani antar Mbak Tyas pulang!” Aku akhirnya menjawab.“Ya sudah, kamu pastikan dia pulang dengan selamat. Antar dia sampai depan pintu rumahnya. Awas ya, kalau kamu lalai!” titah Kak Fitri dibarengi ancaman. Sepertinya Kak Fitri sayang sekali dengan adik tingkatnya itu.Setelah bertukar salam, aku memutuskan panggilan. Tyas tampak sedang mengunyah pelan biskuit yang tadi kubelikan.“Ehem!” Aku sengaja berdehem untuk menarik perhatiannya.“Mas Dani, mau?” Ia mengacungkan bungkus biskuit yang berada di genggamannya.“Nggak, kok. Mbak Tyas habiskan saja. Emm, tadi Mbak Tyas ke sini naik apa?” tanyaku sedikit grogi.Ia menyempatkan untuk meneguk air mineral sebelum menjawab. “Tadi naik ojek online. Motor saya lagi dipinjam sama Ibu. Kalau bawa mobil saya belum berani. Kenapa, Mas?” Alis tebalnya bertaut.“Oh … ya sudah, kalau begitu, Mbak Tyas pulangnya bareng saya dan Bang Dani saja, ya!” aja
“Tanyakan sendiri pada Vania nanti, ketika dia sudah sadar! Kalau tidak, tanya saja pada Mama kebenarannya. Jangan langsung menyalahkanku. Lagi pula, ke mana saja Abang selama ini?” sindirku.Ia tampak tak terima. Kedua tinjunya mengepal erat, mungkin merasa ingin memukul lagi seperti tadi.“Berdoa saja adikku akan bangun dan sehat seperti sedia kala lagi. Kalau tidak, akan kubuat perhitungan denganmu!” ancamnya. Aku menghembuskan napas kasar. Tak ada guna lagi meladeninya.“Ya, sebaiknya berdoa saja dari pada mengoceh tak karuan!” timpalku asal. Kusenderkan punggung ke dinding rumah sakit yang dingin. Waktu terasa berjalan begitu lamban.Mama dan Papa akhirnya keluar dari ruangan itu. Ekspresi mereka sulit untuk ditebak. Aku benar-benar ingin tahu apa yang mereka bicarakan di dalam.“Gimana Ma, Pa?” Bang Roby berdiri menghampiri mereka. Kedua orangtua itu duduk sembari menghembuskan napas berat.“Sukurlah Vania tidak pendarahan dalam otak. Darahnya disebabkan oleh retak tengkorak saj
Aku bangkit lalu mengusap bibirku yang terasa sedikit basah oleh darah.“Hei, apa-apaan kamu!” hardik Bang Tamrin kepada Bang Roby.“Kamu gak usah ikut campur!” desis Bang Roby sambil menunjuk muka Bang Tamrin. Sungguh tak ada akhlaknya mantan Kakak iparku itu. Kemana saja dia selama ini? Kenapa baru datang sekarang seperti pahlawan kesiangan? Sungguh memuakkan.Tanpa ba bi bu, aku mendekat ke arahnya dan memberikan balasan telak. BUK! BUK! Dua bogem juga mendarat mulus di wajahnya yang pongah itu. Bang Roby tampak kehilangan keseimbangan. Beberapa pasien yang sedang berada di ruangan, menjerit melihat yang baru saja terjadi.“Dan, cukup, Dan! Jangan kamu ladeni! Jangan bikin keributan di sini!” Bang Tamrin memegangiku yang sudah siap untuk melancarkan pukulan lagi. Rugi sekali kalau aku tidak membalas.“Kurang ajar kamu!” raung Bang Roby sambil memegangi pipinya yang membengkak. Aku menyeringai ke arahnya.“Kalau kamu mau nyawa adikmu diselamatkan, jangan coba-coba menyentuhku lagi s