Kamu Pergi ke Mana?---“Menikah bukan sekedar menyatukan dua hati, tapi juga menerima kekurangan pasangan, dan kekurangan tersebut bukan untuk melemahkan kedudukannya”---Aku memacu motor matik menyusuri jalanan berdebu. Masih belum kutentukan, hendak ke mana kubawa diri ini untuk mengadu. Yang ada dalam pikiran hanyalah, pergi sejauh mungkin agar sesak di dada sedikit berkurang.Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar dan alami beberapa menit yang lalu. Suami yang kudukung dari pertama menikah, saat belum memiliki apa-apa, mengutarakan niat untuk menikah lagi di usia pernikahan yang sudah belasan tahun kami lalui bersama. Menduakan cinta yang sudah kami rajut nertahun-tahun lamanya. Aku sadar, aku bukan wanita yang sempurna. Dan aku tak pantas bertanya tentang kekuranganku pada Bang Asrul.Karena aku tahu, jawaban yang kuterima nantinya pasti akan lebih menyakitkan dari sekedar keinginannya untuk menikah lagi.Aku bukan wanita yang sempurna, aku hanya seorang istr
Suara Wanita di Telepon---"Saya terima nikah dan kawinnya Risa binti fulana dengan mas kawin satu set perhiasan emas dibayar tunai," ucap Bang Asrul sambil menjabat erat tangan penghulu yang duduk di depannya.Sementara itu Risa, yang mengenakan kebaya warna putih dengan rambut yang disanggul berhias bunga, tampak cantik dan anggun.Sesekali Risa menatap ke arahku, sambil melempar senyum dan menampakkan deretan gigi putihnya. Senyum kemenangan.Kuremas ujung baju yang kukenakan, sambil menahan semua gejolak dalam dada.Andai saja hanya ada kami bertiga, mungkin sudah aku porak-porandakan tempat ini hingga rata dengan tanah, namun semua itu hanya sebatas angan-angan saja.Setelah proses ijab kabul, seluruh orang-orang yang hadir mengucap syukur. Mereka saling bersalaman satu dengan yang lain.Sementara Risa mencium punggung tangan Bang Asrul, yang dibalas dengan kecupan di kening Risa.Dan lagi-lagi, Risa menoleh kepadaku, seolah ingin mengatakan "Lihatlah Marina, Bang Asrul sekarang
Kembalikan Aku Pada Orang Tuaku---"Halo ..." Ucapnya lagi.Sementara hatiku bergemuruh, perasaan campur aduk menjadi satu, antara perasaan ragu dan ingin tahu menjadi satu.Setelah aku bisa menguasai dan menenangkan perasaan, kujawab sapaan tersebut. Setelah sebelumnya aku menghela napas dalam beberapa kali."Ha ...." suaraku seketika tercekat tiba-tiba ketika Bang Asrul sudah berdiri di sebelahku."Marina ... mana kopi buat Abang?" tanya Bang Asrul datar.Melihat Bang Asrul yang berdiri di sebelahku, langsung kumatikan ponsel dan menyimpannya dalam kantong celana."Bentar Bang, tadi Rina masih nyari gula. Lupa di mana menyimpan," jawabku memberi alasan, sambil celingak-celinguk mencari sesuatu."Hhh ... bikin kopi saja lama. Tadi kamu telpon siapa? Kok langsung dimatikan?" selidik Bang Asrul."Oh ... itu, Rahma nyanyain kabarku, kangen katanya," jawabku spontan.Lagi, aku menjawab pertanyaan Bang Asrul sekenanya. Karena aku tak punya alasan lain selain itu, dan hanya nama Rahma yan
Bertemu Risa---“Jangan pernah memaksakan diri untuk menerima sesuatu yang tidak kita sukai”---"Abang ingin mengajakku bertemu dengan Risa?" tanyaku pada Bang Asrul, lebih untuk meyakinkan diri sendiri bahwa aku tidak salah dengar."Iya. Dengan begitu, kamu akan bisa mengenal Risa lebih dekat. Dan tentu saja, kamu bisa bertanya apa pun yang selama ini mengganjal hatimu."Bang Asrul berkata, sambil sesekali menyesap kopi yang masih mengepulkan asap tersebut.Entah kenapa, hatiku sedikit tergelitik dengan apa yang baru saja Bang Asrul katakan.Bisa-bisanya dia ingin mengajakku bertemu dengan wanita yang sudah membuat rumah tanggaku diguncang prahara.Namun jika aku menolaknya, maka aku akan kehilangan kesempatan untuk mengetahui wanita seperti apa Risa sebenarnya, sementara di sisi lain, aku merasa gengsi dan sedikit di rendahkan jika harus bertemu dengan pelakor itu.Ya ... pelakor, itulah sebutan yang pantas kusematkan untuk wanita yang telah masuk dalam kehidupan rumah tangga kami
Berubah Pikiran ---“Untuk menentukan seorang pemenang, harus melalui sebuah pertarungan. Dan aku siap untuk melawan”***Entah apa yang ada di dalam pikiran Bang Asrul dan Risa. Di depan mataku, mereka seolah sengaja mengobarkan api peperangan denganku.Tanpa memikirkan bagaimana perasaanku, apakah aku akan terluka ataukah merasa sakit hati?Bang Asrul masih menggenggam erat tangan Risa yang dijulurkan di atas meja, sementara aku menata hatiku untuk tetap tenang dan tidak terpancing amarah ataupun rasa cemburu. Walau jujur, hatiku rasanya sangat sakit sekali melihatnya.Baik Bang Asrul maupun Risa, menganggap seolah tidak ada aku di antara mereka.Untuk menutupi gejolak di dadaku, kukeluarkan ponsel dari dalam tas dan mulai mengetik pesan untuk Rahma."Rahma, kamu melihat juga kan ... apa yang di lakukan Bang Asrul?" Selesai mengetik, kutekan tombol kirim.Tak lama kemudian, sebuah balasan kuterim."Kakak harus tenang, jangan terpancing dengan permainan mereka. Kakak bisa membalik p
Jangan Uji Kesabaranku---Mendengar kalimat yang kuucapkan, Bang Asrul dan Risa menatapku secara bersama.Sekilas kecewa terpancar dari wajah keduanya. Mungkin kecewa karena rencana mereka tidak berjalan sesuai dengan rencana."Bagaimana, Bang? Apakah ada yang salah dengan ucapanku tadi?" tanyaku pada Bang Asrul yang masih tampak sedikit kesal."Haruskah seperti itu, Marina?" tanya Bang Asrul. Sungguh sebuah pertanyaan bodoh yang terlontar dari mulut suamiku."Jadi ... menurut Abang bagaimana? Tetap ingin menikahi perempuan ini, emmm ... maksudku Risa, dalam keadaan hamil?" ucapku sambil mengarahkan telunjukku ke wajah Risa.Sengaja kupilih kalimat yang provokatif untuk memancing emosi Risa.Ternyata benar, wajah wanita yang berada di hadapanku seketika berubah menjadi merah padam."Apa kamu tidak malu dilihat orang banyak, duduk dipelaminan dengan perut buncit bersama pria lain, sementara pria yang menghamilimu hanya menjadi tamu undangan?" lanjutku dengan kalimat pedas untuk menam
Asrul---Hari itu, aku sengaja membawa Marina untuk bertemu Risa.Aku ingin Rina menerina kehadiran Risa, walau aku tahu itu tidak mungkin.Aku mengenal Marina seperti aku mengenal diriku sendiri. Dia wanita dengan pendirian yang kuat.Itulah salah satu alasanku dulu, memilihnya untuk menjadi pendamping hidupku.Aku tahu, aku sudah melakukan kesalahan besar terhadap Marina, dengan bermain api. Sehingga api itu kini membakar rumah tanggaku.Tapi, aku sungguh tak dapat menolak atau menghindarinya.Aku tidak menyalahkan Marina saat dia marah terhadapku saat pertama mengetahui hubunganku dengan Risa.Tapi sungguh ... aku benar-benar tidak bisa mengihindarinya.****Risa adalah karyawan baru di tempatku bekerja. Tak ada yang istimewa dari dirinya, ketika pertama kali aku melihatnya.Dia sering terlihat diantar jemput oleh pemuda, yang belakangan kukutahui dari teman-teman sebagai kekasihnya. Namun akhir-akhir ini, aku jarang melihat dia diantar atau pun dijemput oleh pemuda itu.Hingga su
Rencana Marina -----"Kak ... cepetan kasih tahu Rahma dong, rencana yang bakal kakak mainkan nanti," rengek Rahma sesaat setelah dia duduk di sofa ruang tamu."Sabar dikit napa sih...." jawabku cuek dan tetap memainkan game yang ada di ponsel."Tapi, kok sepertinya ada yang lain deh sama Kak Marina."Rahma berkata sambil mendekat kearahku dan mengamati dari ujung rambut sampai ujung kaki."Ih ... apaan sih."Kudorong Rahma untuk kembali ke tempat duduknya semula. Namun, Rahma tetap memandangku dengan tatapan penuh selidik."Rahma ... pliiiss deh, jangan buat kakak jadi takut." Bukannya menjawab, Rahma malah tertawa ngakak."Hahahaha ... Kakak sejak kapan pake make up seperti orang mau ke kondangan gitu?" ucap Rahma masih dengan tawanya."A--ada yang salah ya dengan make up ku?" tanyaku sambil meraba wajah."Bukan aneh sih sebenarnya. Tapi sebuah kemajuan kalau menurut Rahma. Karena kakak mau merias diri lagi. Fight!"Rahma berkata sambil mengepalkan tangan ke udara."Ga jelas kamu,"