Jarak di Antara Kami
-----
Kembali, ruang tamu menjadi hening. Kuusap kasar wajahku, sementara Rahma sibuk mengotak-atik ponselnya, seperti sedang mencari sesuatu di sana.
"Kak ... Kakak ingat ga, temanku yang satu tempat kerja dengan Bang Asrul?"
Dengan bertopang dagu, Rahma bertanya padaku.
"Hmm, Kakak ingat. Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Kenapa kakak tidak coba bertanya padanya langsung? Walau aku sudah pernah menyampaikan tentang masalah kakak padanya, akan lebih baik jika kakak juga berbicara langsung denganna."
"Begitu ya?"
"Iya, kebetulan hari ini aku ada janji ketemu dengannya. Apa sekalian saja kakak ikut?"
Tanpa berpikir panjang, aku mengiyakan ajakan Rahma.
Rasa penasaran tentang penyebab perubahan sikap Bang Asrul membuatku melupakan rasa sakit hati dan kecewaku padanya.
"Rahma, maukah kamu berjanji satu hal sama kakak?" tanyaku pada Rahma sebelum kami melangkah keluar.
"Berjanji apa, Kak?" Tanyanya.
"Kakak mohon, jangan memberitahukan apa yang sedang menimpa rumah tangga kakak pada orangtuaku atau keluarga yang lain," kataku memohon.
"Kakak jangan takut soal itu, Rahma janji." Rahma berkata sambil memegang tanganku.
Mendengar jawaban Rahma, kuhela napas lega, setidaknya untuk sementara waktu, aku tidak perlu khawatir.
****
Perlahan, mobil yang dikendarai oleh Rahma memasuki tempat parkir sebuah rumah makan tak jauh dari tempat Bang Asrul bekerja.
Setelah mencari beberapa saat, Rahma menunjuk pada sebuah meja yang berada sedikit dipojokan.
Di sana terlihat seorang gadis melambaikan tangan ke arah kami.
"Itu, di sana Kak, teman Rahma."
Sambil berkata, Rahma menarik tanganku ke arah di mana gadis itu duduk.
"Ini pasti Kak Marina, iya kan ....?"
Sambut gadis itu ramah ketika kami sudah berada di depannya.
"Iya, saya Marina." Kuulurkan tanganku sebagai tanda perkenalan.
"Saya Damayanti, tapi biasa dipanggil Yanti." Dia menjawab sambil menyambut uluran tanganku.
"Yanti, masih ingatkan ... dengan apa yang aku minta tempo hari?" Rahma membuka percakapan setalah kami duduk.
"Ingat dong ... ini kan?"
Yanti menjawab sambil menyerahkan ponselnya kepada Rahma. Setelah ponsel Yanti berpindah ketangan Rahma, dengan senyum lebar dia berkata.
"Hebat kamu ...!" Rahma berkata sambil mengangkat jari jempolnya.
"Lihat Kak ...." Rahma menyerahkan ponsel Yanti padaku.
Kulihat di layar ponsel yang menyala, terpampang sebuah profil akun f******k seorang wanita.
Kuperhatikan dengan seksama wajah gadis itu, kemudian kutatap wajah Rahma dan Yanti bergantian.
"Bukankah dia ...?"
"Iya kak ... itu akun media sosial Risa." Dengan cepat Rahma memotong kalimatku.
"Mulai sekarang, kakak bisa memantaunya melalui akun media sosialnya. Aku lihat dia sangat aktif posting apapun disana." Rahma melanjutkan kalimatnya.
Kukeluarkan ponselku, dan mencoba mencari akun dengan nama tersebut.
Setelah ketemu, aku simpan tautannya, untuk mempermudah jika sewaktu-waktu ingin mencarinya.
"Yanti ... kalau ada informasi, apapun itu tentang Bang Asrul, kakak minta dengan sangat, ceritakanlah padaku," pintaku pada Yanti. Sesaat Yanti menatap mataku, sebelum akhirnya dia berbicara.
"Kak ... sebenarnya, Bang Asrul dijebak!" Yanti menjawab ragu.
"A--apa maksudnya dijebak?" tanyaku gugup.
"Menurut kabar yang aku dengar, Bang Asrul dijebak oleh gadis itu, supaya Bang Asrul bersedia menikahinya." Yanti menjelaskan.
"Dijebak bagaimana?" tanyaku lagi, karena aku masih belum bisa mencerna apa yang dikatakan Yanti.
"Bang Asrul di ajak tidur, tak lama setelahnya, mereka di gerebak."
Degh...
Lagi-lagi, aku diberi sebuah kejutan yang membuat jantungku berpacu lebih cepat.
Kejutan yang menentukan nasib dari rumah tangga yang aku coba pertahankan walau selalu dihadapkan oleh fakta yang menyakitkan.
***
Kucerna tiap kalimat yang diucapkan Damayanti.
Ingatanku kembali melayang ke kejadian beberapa tahun silam.
Ketika kami baru pindah ke kota ini.
Keputusan yang kami ambil, karena jarak tempat kerja Bang Asrul dari rumah lumayan jauh.
Karena tidak ingin membiarkan suamiku sendirian di kota ini, kami memutuskan membeli sepetak tanah kosong yang kemudian kami bangun rumah secara bertahap, hingga jadi seperti saat ini.
Dan untuk itu, aku juga tidak tinggal diam.
Kugunakan uang tabunganku untuk membantu membuat rumah kami.
Uang yang aku kumpulkan sejak masih gadis dari pekerjaanku sebagai penjahit.
Jika kini tiba-tiba aku mendapat kabar bahwa Bang Asrul suamiku, mempunyai wanita lain, haruskah aku bertahan?
Sementara aku yang mendampinginya selama bertahun-tahun seolah tak dihargai lagi.
Bahkan aku harus mendengarnya dari orang lain.
"Kak Marina, maaf jika apa yang aku sampaikan ini membuat kakak jadi tak enak hati." Damayanti berkata sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.
"Tidak apa-apa, aku justru harus berterimakasih padamu, karena sudah membantuku mencari informasi tentang Bang Asrul," jawabku.
"Kak ... sebenarnya, Kakak bisa bertanya pada Bang Nizar.
Karena, selain teman kerja, dia adalah teman dekat Bang Asrul, bukan? Bahkan saat terjadi penggerebekan saat itu, dia juga datang untuk menjemput Bang Asrul."
"Bang Nizar ...?"
"Iya, Bang Nizar!" Damayanti menegaskan.
Ah ... rupanya Bang Nizar pun sudah tahu semuanya.
Aku jadi ingat beberapa hari yang lalu sempat menghubunginya untuk menanyakan hal ini.
Namun tak satu informasipun kudapat dari dia.
Mungkin Bang Nizar tidak ingin hubungan persahabatannya dengan Bang Asrul hancur, dengan memilih untuk tidak ikut campur dalam masalah ini.
Atau mungkin ada alasan lain?
****
Setelah makan siang selesai, Rahma mengantarku kembali kerumah.
Sebelum pulang, aku berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Yanti atas segala informasi yang dia berikan.
Aku juga meminta padanya, untuk tetap memberiku informasi, apa saja yang berhubungan dengan Bang Asrul dan Risa.
Sepanjang perjalanan pulang, baik Rahma maupun aku memilih untuk diam.
Tak banyak yang kami bicarakan.
Namun dari sudut mataku, bisa kulihat Rahma berkali-kali menghela nafas dalam, kemudian menghembuskan pelan.
"Kak ... apa tidak sebaiknya masalah kakak dan Bang Asrul dibicarakan dengan dengan orang tua? Siapa tau mereka punya jalan keluar."
Rahma berkata tanpa menoleh padaku, dan tetap fokus mengemudi.
"Tidak Rahma. Aku tidak ingin ada orang lain yang mengetahui masalah yang menimpaku. Ini sebuah aib bagiku, jika sampai ada yang tau perbuatan Bang Asrul."
"Tapi Kak ..."
"Rahma ... Kakak mohon, sekali ini saja. Biarkan Kakak coba untuk menyelesaikan masalah ini sendiri," ucapku memotong kalimat Rahma.
Kulihat ada rasa kecewa di wajahnya. Namun kurasa, ini harus aku lakukan.
Bagaimanapun, perselingkuhan dan kabar penggerebekan Bang Asrul adalah sebuah aib, dan sebisa mungkin aku harus menutupnya rapat-rapat. Bagiku, aib Bang Asrul adalah aibku juga.
****
Di luar rumah, terdengar suara motor berhenti.
Kusibak gorden, terlihat Bang Asrul turun dari motornya.
Baru aku sadar, ternyata Bang Asrul lebih kurus.
Terlihat jelas tulang pipinya sedikit menonjol dengan mata sedikit cekung. Apakah karena masalah yang sedang dia hadapi?
"Sudah pulang, Bang ...?" Sapaku ketika Bang Asrul sudah memasuki rumah.
"Hmmm." jawabnya singkat.
"Abang mau Marina siapkan makan?"
"Tidak usah ... tadi sudah makan di tempat kerja."
Tolak Bang Asrul sambil berjalan menuju kamar. Sementara, aku mengekor di belakangnya.
"Mau Marina buatkan kopi?" tanyaku lagi, sehalus mungkin. Walau masih ada rasa sesak di dada.
"Tidak usah ... Abang mau mandi dan istirahat sebentar," jawab Bang Asrul sambil membalikkan tubuhnya, sehingga kami berdiri berhadap-hadapan.
Dan benar saja, semakin jelas kulihat bahwa Bang Asrul lebih kurus dari sebelumnya. Kutatap lekat wajahnya dengan penuh kerinduan.
Jauh di lubuk hati yang dalam, aku merindukan masa dimana kami bisa bercengkerama membahas apa saja, sambil bersandar di dada bidangnya.
Namun kini, antara aku dan Bang Asrul seolah ada sekat tak terlihat yang menghalangi kami berdua.
****
Ceraikan Aku, Bang!----Bang Asrul melangkah ke kamar mandi dengan hanya berbalut handuk, dia melewatiku yang duduk di tepi ranjang begitu saja, ekspresinya begitu datar. Bahkan tidak terlihat sisa emosi dari pertengkaran kami sebelumnya.Kucoba untuk menatap wajahnya, namun Bang Asrul membuang muka, seolah enggan untuk melihatku, lebih tepatnya, menghindar dari tatapan mataku."Apa sebenarnya yang kamu sembunyikan dariku, Bang?" Tanyaku dalam hati.Masih terdiam di tepi ranjang, sambil menikmati suara air dari guyuran gayung yang menyiram tubuh Bang Asrul.Aku membayangkan saat awal kami menikah dulu. Di mana, kami selalu menghabiskan waktu bersama setiap kali Bang Asrul pulang kerja.Bercerita apa saja, tentang cita-cita dan rencana untuk selalu bersama, sampai ajal memisahkan. Mengingat semua itu, aku hanya mampu menarik napas dalam, karena tiba-tiba dadaku terasa sesak, seperti ada sesuatu yang besar menghimpitnya.Percikan air dari kamar mandi membawa anganku melayang, saat kami
Tidak Ingin Dimadu---“Suami adalah salah satu surga istri. Jika untuk menuju ke sana, aku harus merasakan kesakitan dan penderitaan tak bertepi, maka ijinkan aku untuk memilih mencari jalan surga yang lain”--"Aku tidak akan pernah menceraikanmu!" Bang Asrul menjawab lantang. Bang Asrul juga mengepalkan tangan dengan wajah menegang. Aku tahu, Bang Asrul sedang marah, tidak ... dia tidak marah. Tapi berusaha mempertahankan egonya.Sementara aku, masih dengan posisi semula, duduk di tepi tempat tidur sambil tetap memandang wajah suamiku.Tak kutemui lagi sorot teduh dari matanya, atau senyum lembut yang selalu terukir tiap kali aku merajuk sambil merayu dengan untaian kata-kata manis.Semua itu tak lagi kutemukan pada sosok laki-laki yang sekarang berdiri tepat di hadapanku, yang kulihat hanya sosok lelaki yang terlihat asing yang dipenuhi ego dan amarah."Dengar ... Marina, sampai kapan pun, Abang tidak akan menceraikanmu. Kamu akan tetap menjadi istri Abang, ratu di rumah ini sampa
Kamu Pergi ke Mana?---“Menikah bukan sekedar menyatukan dua hati, tapi juga menerima kekurangan pasangan, dan kekurangan tersebut bukan untuk melemahkan kedudukannya”---Aku memacu motor matik menyusuri jalanan berdebu. Masih belum kutentukan, hendak ke mana kubawa diri ini untuk mengadu. Yang ada dalam pikiran hanyalah, pergi sejauh mungkin agar sesak di dada sedikit berkurang.Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar dan alami beberapa menit yang lalu. Suami yang kudukung dari pertama menikah, saat belum memiliki apa-apa, mengutarakan niat untuk menikah lagi di usia pernikahan yang sudah belasan tahun kami lalui bersama. Menduakan cinta yang sudah kami rajut nertahun-tahun lamanya. Aku sadar, aku bukan wanita yang sempurna. Dan aku tak pantas bertanya tentang kekuranganku pada Bang Asrul.Karena aku tahu, jawaban yang kuterima nantinya pasti akan lebih menyakitkan dari sekedar keinginannya untuk menikah lagi.Aku bukan wanita yang sempurna, aku hanya seorang istr
Suara Wanita di Telepon---"Saya terima nikah dan kawinnya Risa binti fulana dengan mas kawin satu set perhiasan emas dibayar tunai," ucap Bang Asrul sambil menjabat erat tangan penghulu yang duduk di depannya.Sementara itu Risa, yang mengenakan kebaya warna putih dengan rambut yang disanggul berhias bunga, tampak cantik dan anggun.Sesekali Risa menatap ke arahku, sambil melempar senyum dan menampakkan deretan gigi putihnya. Senyum kemenangan.Kuremas ujung baju yang kukenakan, sambil menahan semua gejolak dalam dada.Andai saja hanya ada kami bertiga, mungkin sudah aku porak-porandakan tempat ini hingga rata dengan tanah, namun semua itu hanya sebatas angan-angan saja.Setelah proses ijab kabul, seluruh orang-orang yang hadir mengucap syukur. Mereka saling bersalaman satu dengan yang lain.Sementara Risa mencium punggung tangan Bang Asrul, yang dibalas dengan kecupan di kening Risa.Dan lagi-lagi, Risa menoleh kepadaku, seolah ingin mengatakan "Lihatlah Marina, Bang Asrul sekarang
Kembalikan Aku Pada Orang Tuaku---"Halo ..." Ucapnya lagi.Sementara hatiku bergemuruh, perasaan campur aduk menjadi satu, antara perasaan ragu dan ingin tahu menjadi satu.Setelah aku bisa menguasai dan menenangkan perasaan, kujawab sapaan tersebut. Setelah sebelumnya aku menghela napas dalam beberapa kali."Ha ...." suaraku seketika tercekat tiba-tiba ketika Bang Asrul sudah berdiri di sebelahku."Marina ... mana kopi buat Abang?" tanya Bang Asrul datar.Melihat Bang Asrul yang berdiri di sebelahku, langsung kumatikan ponsel dan menyimpannya dalam kantong celana."Bentar Bang, tadi Rina masih nyari gula. Lupa di mana menyimpan," jawabku memberi alasan, sambil celingak-celinguk mencari sesuatu."Hhh ... bikin kopi saja lama. Tadi kamu telpon siapa? Kok langsung dimatikan?" selidik Bang Asrul."Oh ... itu, Rahma nyanyain kabarku, kangen katanya," jawabku spontan.Lagi, aku menjawab pertanyaan Bang Asrul sekenanya. Karena aku tak punya alasan lain selain itu, dan hanya nama Rahma yan
Bertemu Risa---“Jangan pernah memaksakan diri untuk menerima sesuatu yang tidak kita sukai”---"Abang ingin mengajakku bertemu dengan Risa?" tanyaku pada Bang Asrul, lebih untuk meyakinkan diri sendiri bahwa aku tidak salah dengar."Iya. Dengan begitu, kamu akan bisa mengenal Risa lebih dekat. Dan tentu saja, kamu bisa bertanya apa pun yang selama ini mengganjal hatimu."Bang Asrul berkata, sambil sesekali menyesap kopi yang masih mengepulkan asap tersebut.Entah kenapa, hatiku sedikit tergelitik dengan apa yang baru saja Bang Asrul katakan.Bisa-bisanya dia ingin mengajakku bertemu dengan wanita yang sudah membuat rumah tanggaku diguncang prahara.Namun jika aku menolaknya, maka aku akan kehilangan kesempatan untuk mengetahui wanita seperti apa Risa sebenarnya, sementara di sisi lain, aku merasa gengsi dan sedikit di rendahkan jika harus bertemu dengan pelakor itu.Ya ... pelakor, itulah sebutan yang pantas kusematkan untuk wanita yang telah masuk dalam kehidupan rumah tangga kami
Berubah Pikiran ---“Untuk menentukan seorang pemenang, harus melalui sebuah pertarungan. Dan aku siap untuk melawan”***Entah apa yang ada di dalam pikiran Bang Asrul dan Risa. Di depan mataku, mereka seolah sengaja mengobarkan api peperangan denganku.Tanpa memikirkan bagaimana perasaanku, apakah aku akan terluka ataukah merasa sakit hati?Bang Asrul masih menggenggam erat tangan Risa yang dijulurkan di atas meja, sementara aku menata hatiku untuk tetap tenang dan tidak terpancing amarah ataupun rasa cemburu. Walau jujur, hatiku rasanya sangat sakit sekali melihatnya.Baik Bang Asrul maupun Risa, menganggap seolah tidak ada aku di antara mereka.Untuk menutupi gejolak di dadaku, kukeluarkan ponsel dari dalam tas dan mulai mengetik pesan untuk Rahma."Rahma, kamu melihat juga kan ... apa yang di lakukan Bang Asrul?" Selesai mengetik, kutekan tombol kirim.Tak lama kemudian, sebuah balasan kuterim."Kakak harus tenang, jangan terpancing dengan permainan mereka. Kakak bisa membalik p
Jangan Uji Kesabaranku---Mendengar kalimat yang kuucapkan, Bang Asrul dan Risa menatapku secara bersama.Sekilas kecewa terpancar dari wajah keduanya. Mungkin kecewa karena rencana mereka tidak berjalan sesuai dengan rencana."Bagaimana, Bang? Apakah ada yang salah dengan ucapanku tadi?" tanyaku pada Bang Asrul yang masih tampak sedikit kesal."Haruskah seperti itu, Marina?" tanya Bang Asrul. Sungguh sebuah pertanyaan bodoh yang terlontar dari mulut suamiku."Jadi ... menurut Abang bagaimana? Tetap ingin menikahi perempuan ini, emmm ... maksudku Risa, dalam keadaan hamil?" ucapku sambil mengarahkan telunjukku ke wajah Risa.Sengaja kupilih kalimat yang provokatif untuk memancing emosi Risa.Ternyata benar, wajah wanita yang berada di hadapanku seketika berubah menjadi merah padam."Apa kamu tidak malu dilihat orang banyak, duduk dipelaminan dengan perut buncit bersama pria lain, sementara pria yang menghamilimu hanya menjadi tamu undangan?" lanjutku dengan kalimat pedas untuk menam