Sepulangnya dari persidangan Mas Yadi, aku langsung masuk ke dalam rumah, lalu merebahkan diri di kamar dan melepas penat.Aku menerawang sambil berbaring pada dinding dan langit-langit kamar lantas memindai keadaan ruangan ini yang masih sama seperti dulu, masih ada foto pernikahan kami dan foto ketika mendampinginya sesudah acara kenaikan pangkat.Entah kenapa aku belum menyingkirkan bingkai itu dari dinding, mungkin karena terlalu sibuk atau belum sempat melakukannya namun aku merasa lucu mendapati gambar mengamabadikan momen kebahagiaan usang kami.Kuhela napasku berkali-kali hingga di dalam dada merasa sedikit lebih baik. "Inikah suratan takdir yang Kau gariskan untukku ya Allah. Aku tak menyangka," desahku pelan.Siapa yang mengira pernikahan langgeng dan mesra kami akan berakhir begitu saja oleh orang ketiga. Kupikir kami sudah punya pondasi yang kuat berupa cinta dan kepercayaan satu sama lain tapi ternyata itu semua hanya ilusi semata. Dan pada akhirnya aku harus melepas
Hari Minggu yang cerah ketika sinar mentari berpendar dengan begitu hangatnya.seusai berolahraga dan membantu meringankan tugas si Bibi sejenak, kami lalu menikmati sarapan dan bersantai di taman belakang."Selamat pagi," sapa suara yang familiar kudengar akhir akhir ini."Oh, Kompol Didit selamat pagi," sapaku sambil tersenyum.Kami sekeluarga lantas menyambut Pak Wakapolres bersama putrinya dan mempersilakan ia duduk di kursi yang tersedia."Kelihatannya kalian sedang bersantai," ucapnya ketika sudah di posisi duduk."Iya, nih, kalian dari mana?""Aku dan Bella habis berolahraga dan menikmati udara pagi, karena merasa dekat aku jadi mampir kemari. Jadi bagaimana kabar kalian anak-anak.""Baik, Om. Bella gimana kabarnya?" tanya Imel pada anak Sahabatku itu."Baik, Kak." Gadis itu terlihat pendiam dan agak pemalu."Sebaiknya kamu aja Bella masuk dan kalian bisa mengobrol dengan gembira di depan TV," suruhku."Oh, oke, Ma." Mereka pun bangkit dan pergi mengobrol ke dalam rumah sambil
Saat iringan jenasah di bawah ke tanah pemakaman aku masih melihat sudut mata Mas Yadi sembab. Sejak menyaksikan tubuh ayahnya yang terbaring kaku, tidak ada satu katapun yang mampu terucap dari bibirnya selain hanya diam sembari menyeka air mata dengan kedua ujung jari.Jenazah diturunkan ke liang lahat, kedua anakku berdiri diikuti oleh anak anak mantan mertuaku yang ikut mengantarkan prosesi pemakaman dan menunaikan bakti untuk terakhir kalinya kepada ayah mereka.Taburan bunga, lantunan doa tercurah untuk Mayor Siswanto dan aku turut serta menaburkan bunga sebagai penghormatan terakhir.Ketika membungkuk kerudungku terjatuh dan Kompol Didit membantu membenahinya ke atas kepalaku. Adegan demikian membuat letkol Suryadi amat geram dan mendelik kesal.Mungkin dia berpikir sempat sempatnya aku menunjukkan kedekatan di momen orang lain sedang berduka. Namun, aku tahu persis bahwa niatku tidak begitu.Ketika prosesi selesai dan satu persatu mulai meninggalkan tanah pekuburan, Mas Yadi y
"Kenapa diam aja?""Canggung," jawabku dnegan wajah yang memanas."Hahaha, kau jujur sekali, aku suka," balasnya sambil menjawil kecil pipiku."Sudahlah, nanti aku akan berubah pikiran, ayo jalan."Ia tersenyum dan tanpa banyak bicara lagi ia mengantarku pulang ke rumah.**Sore hari yang damai,Aku duduk di teras belakang menikmati angin sepoi-sepoi, segelas jus dingin sembari menatap cincin yang melingkar cantik di jariku."Tidak kusangka, akan begini," gumamku sambil tersenyum menatap benda itu yah memendarkan cahaya ungu kemerahan itu.Masih dalam ketidak-percayaan bahwa sahabatku melamarku dengan caranya, ia memaksa dan membuatku tak mampu menjawab apa-apa.Bagaimana bisa menolak jika pesona dan kebaikannya sudah menyita perhatianku. Seolah kini dia adalah pusat semesta, tanpa kusadari perlahan tumbuh sebuah rasa untuknya dan ia tanpa sadar juga ia sudah mengalihkan semua pikiranku.Selagi menikmati waktu santaiku, tiba-tiba seseorang berdiri di belakangku, dan langsung mengambil
Sudah berkebaya rapi dengan sanggul Cepol sederhana ditambah sedikit aksesoris membuatku merasa lebih muda ketika berdiri di depan kaca."Mama terlihat cantik," bisik si sulung yang mendekat sambil tersenyum."Terima kasih, tanpa izinmu dan adik, mama tidak akan melangkah sejauh ini," ujarku sembari menggenggam tangannya lembut."Mama akan bahagia setelah ini," ujarnya sambil memelukku."Makasih ya, Sayang."**Pukul sepuluh pagi, acara akad dimulai, aku duduk disandingkan dengan pak polisi berwajah tampan dan punya senyum manis itu. Seulas gambaran tipis tersungging di bibirnya ketika tatapan kami beradu."Kau cantik sekali menggunakan kebaya, " ucapnya setengah berbisik."Terima kasih," balasku."Aku ingin menggenggam tanganmu, tapi aku tahu waktunya tidak tepat," lanjutnya."Acara akan di mulai, berhentilah bicara," ujarku sambil mengisyaratkan kedatangan wali dan penghulu.*"Saya terima nikahnya Sakinah Binti Prayitno dengan Mas Kawin seperangkat alat shalat dan emas seberat se
Lepas kepindahanku ke rumah suami, hari hariku terasa lebih tenang dan bahagia, tiap waktu penuh canda dan kebahagiaan. Mas Didit amat baik, penuh keromantisan, dan kasih sayang, aku amat bahagia memilikinya sebagai suami, tiap pagi ada saja hal baru yang membuatku bahagia bersama dengannya.*"Aku pergi kerja dulu, ya, Sayang," ujarnya sambil mencium keningku."Iya, Mas, hati-hati di jalan." Aku mengantarnya hingga ke depan pintu."Jangan kemana-mana, tunggulah aku di rumah," ujarnya sambil mencium keningku."Iya, Mas.""Oh, ya, aku lupa ...." Ia mendekat lagi setelah tadi hendak membuka pintu mobil."Aku harus mendapatkan sesuatu yang bisa menyemangatiku," bisiknya."Apa Mas?" tanyaku.Dia mendekatkan wajahnya dan mendaratkan ungkapan cinta yang tulus di bibirku lalu tersenyum sambil mengusap lembut pipi ini kemudian segera naik ke mobilnya."Kamu tahu sekali, rasanya membuat seseorang jatuh cinta padamu berkali kali, Mas," bisikku."Iya, mungkin itu sudah keahlian," ujarnya yang
"Mana buku nikah?" tanyanya ketika aku sedang mengatur piring sarapan di meja."Buat apa, Mas?"" Aku lupa kemarin, setelah pernikahan, belum sempat menyerahkan lagi ke Sumda Polres."Aku mengernyit tidak mengerti apa yang dia katakan sehingga hanya memberikan ekspresi heran."Untuk apa?""Untuk didaftarkan secara resmi agar menjadi anggota Bhayangkari, Sayang. Kau tidak tertarik?" godanya."Tertarik, antusias malah," jawabku sambil tertawa."Kupikir kau sudah bosan jadi Ibu-Ibu yang sibuk berorganisasi, apalagi tunjangannya hanya sepuluh persen," gumamnya mengerling manja."Ish ...." Aku menarik sudut bibir dan mencubit lengannya."Sakinah ... terima kasih ya, sudah jadi istriku, terima kasih mau menemaniku meski gajiku tidak sebanyak ...." Ia menggenggam tanganku sedang aku langsung menempelkan ujung jari ke bibirnya, dan menggeleng pelan untuk memotong ucapannya."Jangan bilang begitu, Mas, aku menerimamu dengan hati bahagia.""Gaji pokokku hanya lima juta, akan perlu waktu lam
Lima hari berikutnya.Pagi-pagi ketika aku membuka gerbang dan mengambil koran yang diselipkan, terlihat olehku sebuah amplop putih yang cukup menonjol di antara yang lain.Kuraih dan kubuka, betapa terkejutnya karena di sana sudah ada beberapa fotoku yang diambil dari beberapa hari terakhir. Foto ketika mengantar anak-anak ke sekolah, foto ketika pergi ke pasar,membersihkan pekarangan dan ketika mengantarkan suamiku ke pintu gerbang.Ada juga foto ketika kami berolahraga pagi dan berjalan beriringan di trotoar jalan,yang janggal di sini adalah setiap foto yang tergambar suamiku pasti dicoret dan ditusuk seolah ditusuk dengan pisau.Jujur mendapati hal ini aku cukup gelisah dan merasa bahwa ini adalah teror dan ancaman. Siapa yang akan menjepret lalu melubanginya kemudian mengirimkan kepada si target kembali. Kurasa terlalu buang-buang waktu jika itu dilakukan tanpa alasan."Apa ini perbuatan Mas Yadi lagi?" Rasanya terlalu tidak masuk akal jika aku menuduh Kartika meneror untuk meng