Dua hari setelah kejadian, Mas Didit memarahi bella, gadis itu demam, hingga tak bisa keluar dari rumah untuk melakukan kegiatannya. Aku bisa mengawasinya sementara.Hari ini kamu ada kunjungan ke beberapa TK yang dibawahi oleh organisasi Bhayangkari, jadi aku akan pergi ke sana selaku wakil ketua organisasi Ibu ibu polisi untuk memeriksa kelengkapan sarana sekolah dan mencatatnya."Kamu kelihatan cantik, Sayang," bisik suamiku ketika aku sudah rapi lengkap dengan setelan seragam pink, rambut yang disanggul sederhana dan perhiasan mutiara melengkapi penampilan ini."Iya, dong, Mas. Masak istrinya Mas Didit jelek sih?" ucapku sambil mencuil pipinya."Aku hanya takut, orang yang menatap akan terpesona," gumamnya sambil mencium dan memelukku dari belakang."Aku tidak penting dengan penglihatan orang lain, yang penting adalah kamu bisa bahagia melihat istrimu sendiri," jawabku."Kamu yabg terbaik," ucapnya sambil mendekatkan wajah dan mendaratkan ungkapan cintanya.*"Mama harus pergi, ya
Aku kembali ke rumah dengan hati yang sudah kesal adanya. Aku menyesalkan sekali mengapa tak meningkatkan kewaspadaan sebelum ini. Aku lupa bahwa Mas Yadi bisa berbuat apa saja untuk mempermalukan dan membuat hidupku sulit.Dengan menaiki taksi aku meluncur kembali ke rumah,satu tangan memegang ponsel dan satu lagi memegang sepatuku yang sudah hilang sebelahnya karena menyangkut di mobil Suryadi.Turun dari taksi dan masuk ke halaman rumah ternyata suamiku sedang dudu di kursi teras dan terlihat baru sampai di rumah."Kenapa wajahmu? Dan mana sepatumu?" tanyanya heran."Aku lemparkan ke wajah Suryadi," ujarku sambil mendengkus kesal."Hah? yang benar kamu, Sayang?""Benaran?""Ya ampun, terus bagaimana reaksi dia?""Ya, marah," jawabku sambil duduk di bangku di sebelahnya."Untung dia gak berbuat lebih jauh untuk menyakitimu, Sakinah," gummanya pelan."Aku ingin pindah saja, Mas. Aku ingin pergi ke suatu tempat di mana hanya ada kita saja," ajakku pada suamiku yang seketika tersenyum
Ketika aku menyusul, kedua ayah dan anak itu sedang saling pandang dengan ekspresi berkilat dan saling menunjukkan betapa besar ego mereka masing masing."Kamu dari mana? Apa penampilan seperti ini, kau terlihat seperti wanita jalanan, Bella," ujar Mas Didit dengan kesal."Di rumah pun, aku terlihat seperti wanita jalanan yang terlantar, jadi biarkan aku," jawab gadis itu."Kurang ajar kamu! Siapa yang buat kamu begini?!" Mas Didit siap memukulnya.Nampaknya seumur hidup gadis ini belum pernah dipukul atau didiisiplinkan dengan tegas sehingga ia bebas berbuat sesuka hati dan terlihat tidak gentar sama sekali dengan ucapan papanya.Tiba-tiba terlintas sebuah ide cemerlang di kepalaku melihat kejadian ini,"Udahlah, Mas, jangan dipaksa, biarkan aja dia bebas melakukan apapun yang dia mau sebelum pergi dari rumah," selaku dengan nada santai."A-apa maksud Tante?" tanya gadis itu dengan terkejut, semua orang termasuk imel dan Siska yang datang karena mendengar keributan juga ikut menatap
"Apa yang kau inginkan Suryadi, kenapa kau melakukan tindakan keji ini kepada keluargaku?" tanyaku dengan emosi yang sudah memuncak."Tidak ada aku hanya suka saja melihat kalian menderita seperti ini," jawabnya santai sambil menggenggam tangan Bella."Jangan libatkan anakku, lepaskan dia dan biarkan dia kembali kepada keluarganya. Gadis itu tidak punya hubungan sama sekali dengan masalah kita Suryadi.""Kalau begitu memohonlah padaku, memohonlah dengan ratapan yang memilukan agar aku bersedia melepaskannya untukmu.""Bella, sedarlah, Nak, pria itu untuk menghancurkan kita semua," bujukku sambil menangis dan memeluk suamiku yang sedang kesakitan.Gadis itu tetap bergeming di tempatnya dan tidak memberikan respon apapun, seolah-olah dia hanya patung yang tidak punya pikiran sama sekali."Mas Didit, ayo bangun," ucapku sedih sambil mengusap wajahnya dan berusaha membuatnya sadar."Ayo bangunkan suamimu yang sebentar lagi akan mati," ujarnya dengan suara yang membuatku muak kepadanya."
Setelah sepanjang malam menginap di rumah sakit, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah ditambah dokter sudah mengatakan bahwa keadaan kami sudah aman dan bisa pulang.Sesampainya di rumah, kudapati Bella sudah pulang dan dijaga oleh dua petugas. Sesaat aku tertegun sekaligus bersyukur karena gadis ituu tak sampai masuk penjara, tapi ada yang beda dari cara ia menatap kami. Pandangannya kosong dan dia hanya diam tanpa ekspresi, apalagi ketika Mas Didit menyapanya ia hanya diam saja."Bella, aku mau bicara," ujar Papanya tegas."Sebaiknya dibiarkan tenang dulu, Pak," kata seorang anggota yang menjaga Bella, "Karena anak ini masih di bawah umur jadi kami kembalikan kepada walinya untuk dibimbing, saya harap ia tak lagi mengulangi perbuatannya, dan perhatian orang tua sangat diharapkan di sini.""Saya sudah memberikan pelayanan terbaik untuk anak-anak saya tapi apa boleh buat ... meski begitu terima kasih telah mengantarnya ke rumah, saya menghargainya," ucap Mas Didit sambil me
"Duduklah Bella tante akan menuangkan teh manis untukmu," ujarku sambil tersenyum."Baik, Tante," balasnya lirih. Kutuangkan segelas teh sambil melirik kedua anakku yang terlihat juga canggung dan saling melirik satu sama lain. Aku memberi isyarat senyuman kepada mereka agar mulai menyapa saudara tirinya."Bagaimana dengan progres kursus bahasa Inggrismu? Kayaknya kamu udah ketinggalan jauh deh," gumamku sambil menyodorkan cangkir teh kepadanya."Aku, tertinggal," jawabnya lirih."Mulai besok tante sendiri yang akan mengantarmu dan memastikan kamu nyaman berada di pusat pelatihan, nanti akan bicara kepada gurunya untuk memberikan tutor terbaik kepadamu," ujarku."Ya, seperti yang selalu dilakukan Mama kepada kami," ujar Imel yang sukses mengalihkan perhatian mas Didit dan anaknya. Mereka menatapku terpanah sementara aku hanya tersenyum saja."Pokoknya kalau ada apa-apa kalian tinggal bilang aja ke Mama, dan Mama akan mengatasinya untuk kalian.""Baik, Ma," jawab kedua anakku serenta
Kuperiksa kamar anakku dengan seksama, menyusuri setiap sudutnya setiap inci dari dinding hingga lantainya, takut mereka meletakkan sesuatu yang bisa meledak atau bisa menyetrum anakku. Orang-orang berpikir mudah sekali berurusan dengan seseorang dari dunia militer, sebenarnya tidak, tidak semudah itu.Dari instansi lain pun sama, hanya saja Tuhan menolongku untuk memudahkan aku menumbangkan Suryadi di hadapan majelis persidangan militer, setelahnya kini aku harus menghadapi beberapa tantangan karena beberapa orang yang masih setia kepadanya juga ikut menyimpan dendam, aku tidak bisa pungkiri kenyataan, karena realitasnya memang begitu.Aku membongkar 3 kamar hingga nafasku terengah-engah, namun tidak menemukan apapun. Di dalam pikiranku kemudian berpikir mungkin dia hanya sengaja menunjukkan diri untuk mengerti aku dan membuatku khawatir. Dia ingin menyerang secara psikologi dan membuatku terganggu hingga depresi. Tentu aku tidak akan membiarkan itu terjadi."Setelah kepulangan mas
Sebenarnya malu juga malas untuk datang ke tempat ini, seolah-olah mengulang kembali kejadian beberapa bulan yang lalu di mana Aku sedang berjuang untuk mendapatkan keadilan atas perilaku Mas Suryadi.Semalam aku sudah menelepon ibu Inayah dan meminta kesempatan untuk bisa bertemu dengan Pak Danrem. Meski agak sulit untuk membujuknya, namun akhirnya aku berhasil meyakinkan bahwa ini tidak akan membutuhkan waktu yang lama.Setelah menunggu beberapa saat aku kemudian dipersilahkan untuk masuk ke ruangan pada dan kembali menyapa pria yang pernah berapa kali bertemu dan sekali bersitegang denganku."Selamat pagi Pak," siapapun sambil membungkuk hormat lalu dia memberi isyarat agar aku duduk di kursi depan mejanya."Ada perlu apa datang kemari?""Mohon izin sebelumnya saya ingin membicarakan sesuatu sekaligus meminta sedikit bantuan kecil dari Pak Danrem," ucapku perlahan."Bantuan seperti apa yang Ibu inginkan?""Mohon izin, seperti yang anda tahu berapa bulan yang lalu, saya sempat meng