Kuperiksa kamar anakku dengan seksama, menyusuri setiap sudutnya setiap inci dari dinding hingga lantainya, takut mereka meletakkan sesuatu yang bisa meledak atau bisa menyetrum anakku. Orang-orang berpikir mudah sekali berurusan dengan seseorang dari dunia militer, sebenarnya tidak, tidak semudah itu.Dari instansi lain pun sama, hanya saja Tuhan menolongku untuk memudahkan aku menumbangkan Suryadi di hadapan majelis persidangan militer, setelahnya kini aku harus menghadapi beberapa tantangan karena beberapa orang yang masih setia kepadanya juga ikut menyimpan dendam, aku tidak bisa pungkiri kenyataan, karena realitasnya memang begitu.Aku membongkar 3 kamar hingga nafasku terengah-engah, namun tidak menemukan apapun. Di dalam pikiranku kemudian berpikir mungkin dia hanya sengaja menunjukkan diri untuk mengerti aku dan membuatku khawatir. Dia ingin menyerang secara psikologi dan membuatku terganggu hingga depresi. Tentu aku tidak akan membiarkan itu terjadi."Setelah kepulangan mas
Sebenarnya malu juga malas untuk datang ke tempat ini, seolah-olah mengulang kembali kejadian beberapa bulan yang lalu di mana Aku sedang berjuang untuk mendapatkan keadilan atas perilaku Mas Suryadi.Semalam aku sudah menelepon ibu Inayah dan meminta kesempatan untuk bisa bertemu dengan Pak Danrem. Meski agak sulit untuk membujuknya, namun akhirnya aku berhasil meyakinkan bahwa ini tidak akan membutuhkan waktu yang lama.Setelah menunggu beberapa saat aku kemudian dipersilahkan untuk masuk ke ruangan pada dan kembali menyapa pria yang pernah berapa kali bertemu dan sekali bersitegang denganku."Selamat pagi Pak," siapapun sambil membungkuk hormat lalu dia memberi isyarat agar aku duduk di kursi depan mejanya."Ada perlu apa datang kemari?""Mohon izin sebelumnya saya ingin membicarakan sesuatu sekaligus meminta sedikit bantuan kecil dari Pak Danrem," ucapku perlahan."Bantuan seperti apa yang Ibu inginkan?""Mohon izin, seperti yang anda tahu berapa bulan yang lalu, saya sempat meng
Tak lama kemudian dua penjaga datang dan langsung membantu kami mengamankan pria itu ke sebuah ruangan di dalam lingkunha Korem tersebut."Mohon maaf, mohon bantuannya untuk segera menghubungi pak Danrem agar kami bisa bicara kepada beliau," pinta Mas Didit kepada salah satu dari penjaga itu."Apel masih berlangsung Pak, kami tidak bisa menjeda kecuali jika apel sudah dibubarkan," jawab pria itu tegas."Baik kalau begitu biarkan kami menunggu disini," lanjut Mas Didit."Mohon maaf sebelumnya pak, sebenarnya ada masalah apa? Sungguh tidak elok menahan anggota kami di lingkungan Korem sendiri, rasanya memalukan Pak," ujar petugas itu."Saya pun tidak ingin melakukan ini Pak, tapi pria ini harus saya bawa ke atasannya karena dia sudah menguntit istri saya," jawab Mas Didit."Baik, siap kalau begitu saya akan menghubungi Pak Danrem dan meminta beliau untuk memberikan waktu kepada bapak dan ibu berdua," jawabnya sambil memberi isyarat hormat lalu menjauh.Setelah 30 menit menunggu akhirny
Senin pagi, dua hari setelah peristiwa membekuk petugas di Korem akhirnya aku mendapatkan kabar jika pria itu sudah ditahan dan menjalani hukuman yang pantas dengan perbuatannya.Dari kabar yang kudengar dari suamiku, bahwa, pria itu telah mengaktifkan kamera pemantau yang diterbangkan tidak jauh dari tempatku, entah sedang aku yang sedang sial atau memang kebetulan dia ternyata melihat kami yang sedang memadu asmara di tempat tidur kami sore itu, mungkin dari celah jendela atau dari mana, aku tidak mengerti, yang pasti dia setelah diselidiki petugas mendapati rekaman tersebut di iPad miliknya."Lalu Apa hukuman untuk pria itu mas?""Karena dia merekamnya dengan tidak sengaja, maksudnya dronenya gak sengaja lewat, maka dia hanya diskorsing beberapa hari saja sambil ditahan, selain itu dia juga pasti mendapatkan pukulan dari beberapa anggota senior," ujar Mas Didit."Nggak mungkin nggak sengaja lewat Mas, buktinya siang itu dia datang ke rumah kita dan menyamar sebagai tukang furnit
Dia hari setelah ditinggal anak-anak pergi berlibur ke kebun, rumah menjadi lengang dan tiba-tiba ada kerinduan yang sulit kujelaskan. Ingin kutelpon mereka pagi-pagi begini, tapi kuyakin mereka belum bangun.Kualihkan perhatian dengan membersihkan rumah lalu menata ulang pot bunga di teras ke atas rak kecil, sambil bersenandung kecil kuambil selang air lalu memutar dan menyiram tanaman hias tersebut. Sesudah menata tanaman aku kembali ke dalam untuk mandi dan menyiapkan sarapan suami, ternyata panggilan di ponsel sudah menumpuk oleh nama anakku.Kutekan ulang nomornya lalu tak lama kemudian dia mengangkatnya."Halo Mama aku ingin mengatakan sesuatu," kata Siska dari seberang sana."Ya, Nak, ada apa?""Entah kenapa aku merasa ada yang aneh, Ma," jawabnya."Aneh kenapa?""Kami semua merasa seolah diawasi beberapa kali sebuah mobil terus mengitari jaan di depan rumah secara berulang ulang, aku takut.""Gimana dengan perasaan teman-temanmu?""Ya, Mereka baik-baik aja hanya saja, ak
Perlahan kubuka mata, berusaha bangkit meski tiba tiba merasa sangat pusing dan mual akibat pukulan pria mengerikan itu. Lamat-lamat penglihatan menyusahkan dengan pencahayaan ruang yang cukup gelap dan lembab ini, kupindai sekeliling, hanya ada satu sebuah pintu, lantai juga setengah basah dan berdebu.Ingin berteriak tapi rupanya mulut ini dilakban juga posisi tangan yag terikat membuatku kesulitan untuk bergerak."Siapa pria yang berani memukul dan menculikku," gumamku dalam hati. Sembari berusaha bangkit aku terus berdoa semoga anak-anak menyadari keterlambatanku dan segera memberitahu ayah tiri mereka. Semoga bantuan segera datang. Dengan menyeret langkah aku berusaha untuk mengintip, suasana di luar sama suramnya, mungkin tempatku saat ini adalah basemen atau ruang bawah tanah, terbukti tembok di sekelilingku gelap dan sama sekali tak ada cahaya matahari masuk kecuali hanya dari bohlam kecil yang pendarnya sudah mulai redup.Jika berteriak aku pasti akan gagal, memberontak ju
Jalan itu menembus ke hutan yang rimbun dan sedikit gelap karena sinar mentari terhalang dedaunan dan tingginya pohon. Suasana sunyi dan aku seolah dikejar seseorang dengan cepat. Tanpa memperdulikan kontur jalanan, aku mempercepat laju mobil dan berusaha kabur dari pria psikopat yang ingin membunuhku."Allah, bantu aku," gumamku yang tiba-tiba menemukan dua percabangan jalan yang keduanya membuatku bingung setengah mati. Tidak ada jejak mobil di jalan setapak itu, hanya semakin setinggi pinggang dan sebuah jalur kecil yang mungkin dulunya kerap di lewati orang.Dari kejauhan lamat-lamat kudengar suara pria itu berteriak mencariku,"Auh ... heiiii ... Argggg ...."Serupa teriakan memanggil tapi sambil meraung kesakitan. Aku merinding bukan main karena tadinya sudah berpikir bahwa pria itu meninggal, atau minimal pingsan. Ternyata dia kebal sekali.Kembali suara itu terdengar, kali ini lebih dekat dan menggema, namun entah dari sebelah mana. Aku masih menajamkan pendengaran sambil
"Tolong ... Mas Didit, bantu aku," teriakku keras sambil berusaha menutup diri dengan selimut, aku rasa pria jahat itu datang kemari untuk menuntaskan hasratnya membunuhku.Dia pasti sedang membawa cangkul atau kapak di tangannya, suasana rumah sakit yang lengang di malam hari membuatnya leluasa untuk menyusuri lorong tanpa dicurigai.Pintu perlahan terbuka, aku makin panik dan tidak tahu harus berlari kemana, jangankan berlari, melangkah saja aku tak sanggup melakukannya.Pria bertubuh tinggi sedang itu masuk dan menggunakan masker warna hijau, ia mendekat dan berusaha menarik lenganku."Jangan ... jangan lakukan itu, aku minta maaf sudah menabrakmu," ujarku sambil meraung menangis."Tenang nyonya, tenang," ujarnya sambil mengeluarkan jarun suntik."Jangan bius aku, saya minta maaf, jangan bawa aku ke gudang itu, tolonglah," jeritku. Tak lama dua orang perawat datang dan mas Didit menyusul di belakangnya, dia datang dan langsung memelukku."Tenang Sakinah, ini rumah sakit, ada aku d
Ketika mereka membalikkan badan, Kartika dan pria itu terkejut, bukan main kaget, sampai salha tingkah, sedang aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan, menyembunyikan rasa terpana yang tidak terkira. Aku tak tahu apa harus marah atau menangis dengan pemandangan miris di depan sana, bersamaan dengan rasa iba pada Mas Yadi."Astaghfirullah, apa-apaan kamu Kartika?!' Mas yadi menggeram, mengepalkan tangan dan mendekat, ia maju dan bersiap memukul pria yang jadi pasangan selingkuh Kartika."Beraninya kau menggoda istriku," ujar Mas Yadi sambil melayangkan pukulan."Kau juga sedang bersama istriku, kau telah mempengaruhinya!" Balas pria yang jijik kusebut suami itu."Keterlaluan kau Didit, apa hubunganmu dengan istriku?""Tidakkah harusnya aku yang bertanya apa hubungan yang kau bangun dengan kantan istrimu?!" Mas Yadi membalikkan badan dan terkejut melihatku di belakangnya."Sakinah .....""Apa kau mau mengelak sekarang?" Pria jahat itu terkekeh sinis."Kartika teganya kamu, buru b
"Jadi kau izinkan aku pergi?""Begini saja, pergilah kau sendiri menemui istrimu aku akan memindahkan anak-anak bersama si Bibi ke perkebunan, anak buah Bendi akan mengawal mereka dan memastikan mereka selamat. Kurasa itu adalah jalan terbaik daripada harus mengikuti kau kesana kemari sementara mereka juga harus menjalani aktivitas belajar dan ujian mereka.""Kurasa masuk akal juga apa yang kau katakan, aku akan pergi kalau begitu," ujar pria itu sambil mengambil tasnya.Sebelum sempat keluar dari kamar, ia mendekat dan tanpa aba-aba dia mendaratkan sebuah kecupan hangat di keningku."Terima kasih masih menyimpan pakaianku," bisiknya lembut.Detik berikutnya, pria itu meninggalkanku begitu saja di dalam kamar ini, kamar yang dulu begitu penuh cinta dan aroma kerinduan. Aku jatuh terduduk di atas ranjang, meremas sprei yang dulu pernah menjadi saksi, betapa kami saling mencintai."Pada akhirnya sebagai suami, dia harus tetap bertanggung jawab kepada wanita yang sudah dia terima nika
Sesampainya di depan rumah berlantai dua milik kami, Bendi memasukkan mobilnya ke garasi dan langsung menurunkan rolling door garasi dengan rapat.Aku dan Mas Didit saling pandang namun tak berani banyak bertanya, dia lalu meminta Imel untuk menarik cat mobil yang merupakan tempelan untuk membantunya sehingga mobil yang tadi berwarna biru gelap sudah berubah menjadi putih.Setelah selesai ia mengganti pakaiannya dan masuk kembali ke mobil."Kamu gak mampir dulu?" tanya Imel."Aku harus pergi, sebelum polisi tahu bahwa kekacauan di tol tadi adalah perbuatanku," balasnya."Kau akan baik-baik saja?" untuk pertama kalinya pria itu terlihat mengkhawatirkan orang."Iya, Pak, saya akan baik baik saja.""Oh, aku lupa kau punya banyak pengawal," balas Mas Yadi.Pria itu hanya menggeleng pelan sambil tersenyum lalu berpamitan denganku dan anak perempuanku."Hati-hati ya," ujar Imel."Kenapa kau tidak menambahkan kata sayang di belakang kalimat hati-hati?" tanya pemuda itu mengulum senyum mem
"Itu Papa!" Seru anakku gembira dia membuka mobil dan langsung berlari ke arah papanya.Anak gadisku begitu gembira dan langsung menghambur memeluk papanya, pria itu juga bahagia dan langsung memeluk putrinya."Akhirnya Papa kelur juga, aku rindu," kata Imel, "tapi kenapa tangan dan kaki papa? Kenapa Papa jalannya pincang?"Tanya Imel yang mengomentari gerakan tubuh Mas Yadi, untungnya dia tak tahu bahwa pria itu habis tertembak dua minggu lalu."Apa kabar, Mas?" Sapaku sambil mengulurkan tangan menyalaminya, tanpa kuduga ia memelukku lalu menepuk belakang punggungku perlahan."Alhamdulillah aku baik sekarang," jawabnya tersenyum, sedang aku terbengong dengan sikapnya."Oh be-begitu ya, ba-baguslah." Sial, aku gugup dan canggung, sementara Bendi dan Imel saling melirik dan tersenyum."Kalo begitu ayo kita pulang," ajak Bendi."Lho, kamu siapa?" tanya Mas Yadi pada Bendi."Dia adalah orang yang sudah menolongku dan Imel dari penyekapan Mas, dia juga sering menjengukku ke rumah sakit d
Setelah mengambil semua surat menyurat yang sudah dibuat ulang dari kantor kuasa hukum kami, aku segera mengajak Bendi untuk pergi menjemput Mas Suryadi ke gerbang Rutan Pondok kopi.Mobil kami meluncur di jalan aspal yang mulus lalu berputar di lingkar Selatan dan menuju pinggir kota dimana pusat lembaga pemasyarakatan itu berada."Kamu yakin bahwa papa akan keluar jam 1 siang?""Iya mah begitu informasi yang aku dengar dari Pak Efendy dan petugas sipir yang menelponku," balasnya."Mudah-mudahan lancar ya," gumamku sembari berharap semoga berita tentang kebebasan Mas Yadi bukan hanya lobi semata antara polisi dan TNI, sementara pada kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi."Apa semuanya akan aman bendi?""Kita harus tetap waspada nyonya, anda pun sekarang berada dalam incaran," balasnya."Apa? Apa maksudnya?""Lihat mobil Chevrolet hitam yang sedang mengikuti di belakang kita? Sejak dari rumah sakit tadi mobil itu terus mengikuti dan mengawasi, aku rasa mereka memang sudah mengi
Kubenahi rambut dan wajahku yang berantakan, aku merutuk karena pria itu menyakiti rahangku, demi Tuhan aku akan bersumpah bahwa dia akan membayarnya.Kini aku harus mencatat daftar panjang orang-orang yang akan aku tuntut dengan pembalasan. Ada William, Didit, Heri, dan sinoembuat masalah Kartika. Mereka bertiga sahabat yang harus dihancurkan.Tiba tiba muncul sesuatu dalam benakku, ide untuk mengadu domba mereka semua dan membuat mereka saling berselisih paham dan saling mencurigai. Perlahan kepercayaan satu sama lain akan tergerus dan hancur tak bersisa, lalu setelahnya, kuhancurkan mereka semua secara hukum juga.Tapi sejujurnya aku pun belum tahu akan memulai dari mana, sulit menentukan mana orang yang benar-benar bisa dipercaya dan mana yang tidak, mana yang tulus dan mana yang hanya modus, mana yang kawan mana yang berpura-pura menjadi kawan lalu menusuk."Aku harus segera menghubungi pengacaraku," batinku sambil meraih ponselku.Tak lama sambungan terhubung, pria yang sudah
Kedatangan orang itu memang mengejutkan, dia yang pernah melayani keluargaku dengan baik dan sempat berkonflik denganku karena membela Suryadi kini sudah berdiri di sini menyapa sopan lalu mengambil tempat duduk."Apa kabar Ibu?""Baik, Hendra, aku tak pernah menyangka kau akan datang, entah harus senang atau heran, tapi aku bersyukur atau kemurahan hatimu," balasku pelan."Saya merasa prihatin atas kabar yang terdengar terakhir kali, terlebih mengetahui bahwa Ibu yang sedang hamil disakiti," jawabnya."Terima kasih atas perhatianmu, bagaimana kabar istri anakmu?" tanyaku."Baik, Nyonya.""Oh, syukurlah."Sesaaat suasana menjadi hening dan kaku, aku dan Hendra sama sama diam, tak tahu harus membahas apa."Bagaimana kabar Letkol Suryadi sekarang?""Dia masih ditahan di kantor polisi," balasku."Bukannya beliau sudah bebas?""Iya, tapi ditahan lagi, itu juga karena aku," jawabku menerawang jauh."Pak Yadi tidaklah jahat, dia hanya salah langka karena menyukai Nyonya Kartika, Tapi saya
"Aku kenal seorang polisi korup, dia cukup dekat dengan Kapolda, jika Nyonya mau, mungkin aku bisa menjaminkan Suryadi dengan menemuinya." Pria itu terlihat memicingkan mata meminta pendapatku."Itu ide bagus, tidakkah mereka curiga kenapa seorang preman mau menjamin Suryadi?""Kenapa tidak, memangnya Anda pikir aku akan menggunakan identitas asli, sebagai seseorang yang kerap menjadi buruan polisi, Aku tidak bisa hidup tanpa menggandakan identitas Nyonya," bisiknya sambil tertawa miring."Kau benar, kadang aku pun ngeri dengan berurusan denganmu, salah langkah atau kurang uang selembar saja resikonya jauh lebih mengerikan daripada penjara," balasku tertawa."Sebetulnya aku melakukan bisnis ini demi uang namun ada beberapa hal yang tidak aku lakukan untuk keuntungan semata," jawabnya sambil mengedarkan pandangan ke segala arah."Jika begitu, lakukan apa yang menurutmu baik," balasku.Tiba tiba dari monitor kamera koridor yang terlihat dari balik panel kaca kamarku, kami dapat mel
"Tante ... aku cariin Tante sejak pertama kali Tante gak pulang, kemana aja," ujarnya sambil menangis."Aku ada masalah dengan Papamu," jawabku."Papa?" Gadis itu langsung menghentikan tangisannya dan nampak amat terkejut."Iya, dia yang sudah membuatku terbaring di sini, nyaris melumpuhkan dan membunuhku," "Ta-tapi kenapa? Bukankah Tante istrinya Papa, lalu kenapa bisa begitu?""Entahlah, hanya dia dan Allah yang tahu.""Aku menyayangi Tante seperti Mamaku, kenapa Papa harus berbuat setega itu?""Memang dia bilang apa denganmu tentangku?""Dia bilang Tante ssakit, tapi aku curiga karena Imel dan Siska ikut menghilang sannpergi dari rumah, balasnya mengusap air mata."Mungkin kita tak bisa serumah lagi, Nak,," ujarku sambil menggenggam tangannya."Kenapa, Tante sama Papa mau cerai?""Iya, dia bahkan hendak memenjarakannaku tanpa alasan andai tidak ada yang turun tangan menegaskan masalah ini, sekali aku minta maaf karena kita tak akan bersama lagi," balasku sambil mengusap wajahnya