"Besok lagi kamu gak boleh kabur kaburan gitu Za. Gak baik. Kamu masih kecil, ntar kebiasaan sampai gede juga kabur kaburan kalau marah." Ujarku ketika kami sedang makan malam."Iya Ma. Reza kan cuma pengen pulang. Pengen sama Mama aja. Reza gak akan kabur lagi sekarang. Reza kan udah sama Mama." Tutur anak itu.Reza kemudian mulai berani menceritakan apa yang dilakukan Ratna padanya."Tante Ratna jahat! Dia selalu memarahiku jika Papa gak ada. Tapi giliran Papa ada dia baik banget." Lanjutnya."Papa juga sering nitipin Reza ke tante Ratna, Reza udah bilang kalau Reza gak mau Ma, tapi Tante jahat itu selalu berusaha membuat Papa percaya padanya.""Dasar Ratna, kenapa kamu jahat sekali!!!!" Gumamku kesal."Aku pernah dipukul sama dia Ma." katanya sambil sedikit terisak.Dipukul?? Apa dia sudah gak waras?? Aku aja sebagai Ibunya belum pernah sekalipun memukul anakku ini."Dasar ularr!!! Nanti kita bicarakan semua ini pada Papamu." Kataku."Percuma. Papa gak akan percaya, aku udah bebera
Sebentar lagi jam menunjukkan pukul sepuluh. Aku segera bersiap siap untuk bertemu Direktur dari perusahaan lain itu dengan Pak Hisyam. "Bu Reina, sudah ditunggu pak Hisyam dilobi." Tiba tiba Lusi sekretarisku sudah berada diruanganku."Baik Lus, Saya segera turun." Jawabku.Tanpa berpikir panjang aku segera berjalan menuju lobi, menghampiri Pak Hisyam disana."Mohon tanda tangani dokumen ini sebentar Bu." Kata Lusi ketika melihatku berjalan terburu buru.Aku yang sedang terburu buru segera menandatanganinya tanpa ku periksa terlebih dahulu dokumen itu."Makasih Bu." Katanya kemudian pergi. Aku merasa ada sedikit ke janggalan dalam dokumen tadi. Tapi apa boleh buat, aku sedang terburu buru sekarang. Pasti dokumen yang Lusi bawa itu sudah benar, pikirku.Aku menemui Pak Hisyam yang memang sudah menungguku. Dia kemudian menyambutku seperti akulah atasannya."Maaf membuat Bapak menunggu." "Tidak Masalah, ayo!" Katanya.Dalam perjalanan aku masih terus memikirkan soal berkas yang baru
Malam ini aku sengaja tidak masak karena rencana makan malam dengan Rendi. Reza belum mengetahui soal rencana makan malam ini."Za, kamu siap siap ya. Kita akan makan malam diluar." "Yes asik. Udah lama Reza gak diajak makan diluar. Kita makan sama siapa Ma? Nenek?""Egak Za. Sama Om Rendi."Dia terlihat senang mendengar perkataanku. Tampaknya dia menyukai Rendi lebih dari Papanya."Asikkkk makan bareng Om Rendi. Om Rendi baik ya Ma." Katanya menilai, padahal dia baru pertama kali bertemu dengan Rendi."Iya dia Baik." Jawabku.Reza segera berhambur ke kamarnya untuk bersiap siap. Tak berapa lama bel rumah berbunyi. "Pasti Rendi." Gumamku."Biar aku saja yang buka Ma!" Teriak Reza yang tiba tiba keluar dari kamarnya."Baiklah. Tolong bilang Om Rendi suruh nunggu sebentar ya, Mama ganti baju dulu!" Kataku seraya berjalan ke kamar untuk berganti pakaian. Ku buka lemari pakaian kemudian ku pilih beberapa baju yang akan ku coba. "Aduh kenapa aku terlihat gendut memakai ini." Gerutuku k
Semenjak pertemuan pertama itu aku semakin dekat dengannya. Ratna, dia pacarku. Dia harta juga bagiku. Walaupun umur kami berbeda jauh tapi itu tidak masalah bagiku. Dia mencintaiku dengan tulus. Ratna bekerja disebuah perusahaan ternama. Oleh karenanya gaji yang diterimanya juga lumayan. Dia sangat loyal denganku, apapun yang aku minta selalu diberi olehnya. Karena sifatnya yang loyal, aku rela untuk membolos kuliah hanya untuk sekedar bertemu dengannya. Laki laki mana yang tidak mau diperlakukan seperti ini.Suatu hari Ratna memintaku menemuinya disebuah hotel. Dia memberikan alamat hotel serta nomer kamarnya. Dimalam itu, dihotel itu pada jam itu akhirnya kami melakukan hubungan layaknya suami istri. Ku relakan keperjakaanku direnggut olehnya. Ketika hasrat kami sedang bergejolak di kamar hotel, tiba tiba ponselku berbunyi. Ternyata kakakku yang menelepon."Iya sebentar lagi, lima menit lagi kak nanggung." Jawabku kemudian menutup teleponnya.Ratna tidak peduli siapa yang menel
Hari ini sidang ke dua akan dilakukan. Aku sengaja meminta cuti pada pak Hisyam. Pak Hisyam ternyata memperbolehkanku untuk cuti. Dia hanya meminta agar besuk semua berkas harus sudah ditanda tangani. Dan aku sudah selesaikan itu semua kemarin.Hari ini Rendi akan menemaniku. Dia sengaja akan berangkat siang. [Aku jemput jam berapa] isi pesan dari nomer baru yang masuk. Kupikir pasti itu Rendi, karena dia kemarin sempat meminta nomer teleponku ketika kami sedang makan malam.[Jam sembilan aja. Takut kelamaan nunggu kalau terlalu pagi] balasan pesan dariku.Aku segera bersiap siap untuk mengantar Reza berangkat ke sekolah terlebih dahulu, baru setelah itu aku akan pulang dan bersiap siap untuk pergi ke pengadilan."Ayo Za." Kataku pada anak semata wayangku itu"Iya Ma. Sebentar." Jawab Reza yang masih sibuk dalam kamarnya."Udah siang. Keburu macet." "Iya." Teriaknya sambil berlari menghampiriku."Nanti pulangnya Mama jemput ya." Kataku."Tumben Mama jemput. Mama gak kerja?""Egak s
Dialah wanita yang kupilih untuk menjadi istriku. Wanita cantik nan sempurna. Dia cerdas, baik dan tipe wanita idaman setiap pria.Aku akhirnya berani menikahinya setelah dua tahun berpacaran. Sempat orang tuanya tidak merestui hubungan kami. Karena Reina terlahir dari keluarga yang bisa dibilang lebih kaya dibanding keluargaku.Namun karena Reina juga mencintaiku dia berhasil mengubah persepsi orang tuanya. Dia berhasil membuat orang tuanya bisa menerimaku.Sebelum menikah denganku, Reina sempat bekerja disebuah perusahaan. Perusahaan negara yang menangani tentang perpajakan. Sesuai dengan jurusan yang diambilnya semasa kuliah.Setelah menikah denganku, aku menyuruhnya berhenti bekerja. Aku tidak ingin dianggap pria yang tidak bertanggung jawab jika membiarkan istriku tetap bekerja. Bagiku saat itu, aku hanya ingin membuktikan jika aku layak mendapatkan Reina karena aku laki laki bertanggung jawab.Karena tidak bekerja dan hanya mengurus rumah, kulihat Reina semakin hari semakin tida
Keluar dari gedung sekolah aku segera mencari taksi. Aku berniat untuk pergi ke rumah Yogi. Tapi karena aku tidak mengetahui dimana alamatnya akhirnya ku putuskan untuk meneleponnya.ku buka ponselku, ternyata ada sebuah pesan disana. [Biarkan Reza bersamaku untuk semalam. Besuk kamu boleh mengambilnya] isi pesan dari Yogi.Aku tetap tidak percaya dengan Yogi. Ini pasti hanya taktik dia agar Reza mau bersamanya kelak.Ku panggil nomer Yogi namun tidak mendapatkan jawaban. Aku binggung harus kemana sekarang. "Kemana Kita Bu?" tanya Sopir taksi ditengah kebingunganku.Akhirnya kuberikan alamat rumah Ibu. Aku butuh tempat cerita kali ini. Dan aku memilih Ibu sebagai tempatku bercerita sekarang.Setelah hampir sampai di rumah Ibu tiba tiba sebuah panggilan masuk ke ponselke."Halo?? kamu bawa Reza kemana?!!" Seru ku ketika mengetahui bahwa Yogi yang menelepon."Kamu gak usah khawatir. Reza aman sama aku. Biarkan dia disini dulu.""Jika terjadi apa apa lagi sama Reza, awas kamu Mas!!!""
Hari ini aku berangkat bekerja seperti biasa. Aku berangkat lebih pagi dari biasanya. Semenjak aku diangkat menjadi manajer, Fida jadi tidak pernah menjemputku. Bukan karena iri atau apa, tapi karena ruangan kami sekarang jauh, tidak seperti dulu.[Udah lama gak berangkat bareng. Aku jemput ya] Pesan masuk dari Fida. [Aku dirumah Ibu. Kamu gak tau rumah Ibuku. Besok aja kalau mau jemput pas aku berangkat dari rumah] Balasan pesan dariku.Aku segera berangkat. Tidak lupa berpamitan pada Ibu dan Bapak. Diki hari ini libur kuliah, dia tidak ingin keluar katanya."Kamu anterin kakak kamu sana! Kasian dia berangkat sendiri!" Tutur Bapak."Kata Kak Reina gak udah dianter kok." Jawab Diki."Iya, gak usah dianter. Reina berangkat sendiri aja Pak." Karena tidak ingin telambat aku segera mencium tangan Ibu dan Bapak."Hati hati kamu. Jangan lupa nanti telpon, kabarin tentang Reza.""Baik Bu." Kataku seraya berjalan meninggalkan mereka.Aku menunggu taksi di persimpangan jalan. Ketika aku masi
Beberapa bulan setelah itu buku ketiga mas Candra pun terbit. Buku yang menjadi inspirasi banyak orang ternyata. Kisah seorang ayah yang rela berkorban melakukan apapun itu demi pengobatan anaknya yang menderita gagal ginjal. "Selamat atas realisnya buku ketigamu, Mas. Semoga semakin sukses untuk ke depannya," kataku pada mas Candra. "Terimakasih juga, Sayang. Semua ini terjadi juga karena adanya kamu. Aku percaya jika aku bisa seperti ini karena dukungan penuh darimu. Terimakasih sekali lagi sudah mau menjadi pendamping hidupku yang selalu mendukung apapun keputusanku," kata mas Candra. "Aku bangga padamu, Mas," balasku. Mas Candra kemudian naik ke panggung setelah pembawa acara mempersilahkannya. "Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktunya. Hari ini secara resmi, buku ketiga saya telah diterbitkan. Buku ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang ayah. Kalian mungkin bertanya-tanya, siapakah sosok dibalik tokoh yang menjadi inspirasi saya da
"Ndra," terdengar suara seorang perempuan memanggil nama suamiku saat kita sedang berjalan menuju ke mobil."Oliv?" kataku saat melihat ternyata dia yang memanggil mas Candra tadi."Ada apa?" tanya mas Candra kemudian."Aku mau bicara sama kamu, bisa?" kata Oliv kemudian.Mas Candra malah menoleh ke arahku tanpa menjawab perkataan Oliv. "Iya silahkan bicara di sini saja," kata mas Candra. Sepertinya dia ingin menjaga perasaanku."Aku mau bicara empat mata saja. Bisakah?" tambah Oliv."Kenapa nggak di sini saja? Sama saja kan?" kata mas Candra lagi."Boleh aku pinjam Candranya sebentar, Re. Janji deh hanya lima menitan saja," kata Oliv padaku setelah itu."Oh iya, silahkan bawa saja," jawabku.Mas Candra pun kemudian mengikuti kemana Oliv pergi. Dari jauh aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka terlihat membicarakan hal yanh serius berdua.Lima menit kemudian mas Candra kembali menghampiriku begitu juga dengan Oliv."Makasih ya, Re. Ini aku kembalikan lagi Candra untukmu," kata O
Mas Candra akhirnya menjadikan pak Sapto sebagai sosok inspirasi untuk buku ke tiganya. Dia juga mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan pada pak Sapto.Ternyata pak kepala desa yang mengetahui kebaikan mas Candra kepada pak Sapto menceritakannya pada bapak wali kota. Secepat ini balasan yang Allah berikan kepada orang yang ikhlas membantu orang lain ternyata. "Jadi hari ini berangkat jam berapa, Mas?" tannyaku pada mas Candra. Hari ini dia akan datang ke acara launching buku salah satu teman penulisnya."Sebentar lagi. Kamu ikut kan?" tanya mas Candra. "Raiqa bagaimana?" tanyaku."Ajak aja Raiqa. Dia pasti seneng kan diajak jalan-jalan naik mobil," balas mas Candra. "Kamu yakin? Di sana pasti banyak orang kan?" "Nggak papa, Sayang. Raiqa pasti senang," kata mas Candra kemudian. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu dan tanpa terasa kini putri kecilku sudah berusia tiga bulan. "Ya sudah deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu," kataku.Saat aku sedang bersiap tiba-tiba s
"Ini hadiah buat Mela. Mela semangat ya. Tidak boleh malas jika di suruh melakukan HD," kataku saat kita sudah sampai di rumah sakit lagi. "Asyik, makasih ya, Tante.""Sama-sama, Sayang. Kalau begitu Tante keluar ya. Mela ditungguin Ibu sekarang," lanjutku."Iya, Tante. Makasih ya. Mela akan selalu semangat menjalani HD agar cepat sembuh," jawab Mela.Aku segera memeluk Mela. Tak terasa air mata ini pun jatuh begitu saja."Tante kenapa menangis?" tanya anak kecil itu."Nggak papa, Sayang. Tante cuma bangga saja padamu," jawabku seraya menyeka air mataku yang baru saja tumpah."Aku hebat ya?""Iya, kamu anak yang hebat. Teruslah seperti ini ya, Sayang," tambahku.Setelah hampir setengah jam aku di dalam bersama dengan Mela, akhirnya aku pun keluar. Mela meneruskan melakukan cuci darahnya. "Sudah?" tanya mas Candra yang saat ini sedang menggendong Raiqa."Sudah, Mas.""Pergi sekarang?""Semua sudah kamu selesaikan?""Sudah, Sayang," jawab mas Candra. "Ya sudah kalau begitu. Ayo pulan
"Mulai hari ini setiap kamu mau HD, kamu perginya ke sini ya, Mel. Tidak perlu ke rumah sakit yang di luar kota," kata mas Candra."Kenapa di sini, Om? Mela kan udah betah dan nyaman HD di rumah sakit yang kemarin. Perawatnya juga baik-baik banget pada Mela," jawab Mela. "Mela mau cepet sembuh kan? Rumah sakit ini lebih baik dari rumah sakit sebelumnya. Jadi di rumah sakit ini juga nantinya Mela bakalan dapat perawatan dan pengobatan yang baik. Mela mau sembuh kan?" kata mas Candra selanjutnya. "Mela ingin sekali sembuh, Om. Tapi kata ibu, Mela ini anak istimewa. Jadi sewaktu-waktu kalau Tuhan udah sayang sama Mela, Mela harus siap untuk dipanggil Tuhan," jawab Mela. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Aku langsung pergi sebentar agar Mela tidak melihat air mataku keluar."Re," kata mas Candra yang tiba-tiba menyusulku. "Mas," ujarku yang kemudian langsung memeluknya."Nggak papa. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua. Kita akan membantunya. Kita
"Di mana pak Sapto?" taya bapak kepala desa pada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu bersama seorang anak perempuan."Pak Lurah, tolong suami saya, Pak. Dia sedang di interogasi di dalam," kata perempuan tadi."Bagaimana ini, Mbak? Apa kita harus masuk?" tanya bapak kepala desa padaku. "Sebentar, Pak. Saya telepon suami saya dulu," sambungku.Aku menghubungi mas Candra setelah itu. Dia pasti bisa memberi pengertian kepada polisi agar polisi membebaskan pak Sapto."Jadi kamu di kantor polisi sekarang, Re?""Iya, Mas. Mas Candra bisa datang sekarang nggak? Sudah selesai belum di sana?" tanyaku."Iya aku akan langsung ke kantor polisi setelah ini. Urusanku di sini juga sudah selesai," kata mas Candra kemudian."Buruan ya, Mas. Aku bingung harus bagaimana ini," ucapku."Iya, Re. Aku segera datang."Setelah menghubungi mas Candra, aku kemudian mendekati istri pak Sapto dan anaknya. Aku yakin jika anak yang dimaksud pak Sapto adalah anak ini."Bu," sapaku."Iya, Mbak. Apakah mbakn
Ponsel mas Candra berdering saat kita sedang sarapan bersama. Dia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung melihat siapa yang meneleponnya. "Halo," ujar mas Candra."Oh iya, Pak. Apa sudah sampai di rumah sekarang?" tanya mas Candra kemudian."Baik, Pak. Hari ini saya ke rumah ya. Saya hubungi dulu teman saya di rumah sakit," sambung mas Candra."Sama-sama, Pak. Tunggu saya datang. Sebentar lagi saya ke sana," lanjut mas Candra.Setelah mas Candra mengakhiri panggilannya dia lalu bergegas bangkit dari meja makan."Mau berangkat sekarang? Pak Sapto sudah sampai di rumah ya, Mas?" tanyaku yang tahu jika itu panggilan dari pak Sapto."Iya, Sayang. Aku langsung ke sana sekarang ya. Kamu mau ikut nggak?" tanya mas Candra kemudian."Aku di rumah saja ya, Mas. Kasihan Raiqa," jawabku."Ya sudah kalau begitu. Aku sendiri saja nggak papa. Aku siap-siap dulu ya," kata mas Candra selanjutnya. "Iya, Mas. Oh iya, Mas. Bukankah hari ini kamu ada janji ketemuan sama produ
"Jadi begitu ceritanya? Kasihan banget pak Sapto itu. Dia rela melakukan penipuan seperti itu demi membiayai pengobatan anaknya," kata Ibu saat aku dan mas Candra menceritakan soal kejujuran pak Sapto. "Iya benar, Bu. Sebuah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya," balasku. "Ya begitulah, Re. Jadi kalian berniat untuk membantunya?""Iya, Bu. Mas Candra mau membantu pengobatan anak pak Sapto," ujarku."Benar begitu, nak Candra?""Iya, Bu. Aku merasa harus membantu bapak ini. Rejeki yang selama ini aku dapat sebenarnya juga rejeki pak Sapto ini. Diki menabraknya juga bukan sebuah kebetulan semata. Semua ini sudah kehendak Allah.""Nak Candra benar. Dalam rejeki kita ada rejeki orang lain juga. Semoga rejeki kalian makin berkah kedepannya," lanjut Ibu."Amin," balasku dan Mas Candra secara bersamaan. "Dan untuk Diki, ibu minta maaf. Ibu tidak pernah berniat atau pun bermaksud untuk membuatmu sakit hati. Ibu hanya berusaha menasehati mu. Ibu menghawatirkanmu," sambung Ibu."Maafkan Dik
"Iya begitulah, Mbak," jawab pak Sapto. Aku tahu jika saat ini dia sedang berkata jujur. "Kenapa bapak memilih untuk melakukan pekerjaan ini?" tanya mas Candra."Saya terpaksa, Mas. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa mendapatkan uang dengan cepat pasti saya akan melakukannya. Apapun itu pekerjaannya. Saya pernah mau menjual ginjal saya juga untuk pengobatan anak saya, tapi istri melarang saya. Saya tidak ada pilihan lain, Mas." "Apakah istri dan anak bapak tahu akan hal ini?" tanya mas Candra lagi."Istri tahu, anak yang tidak tahu. Jadi setiap kali saya di tangkap dan masuk polisi istri selalu bilang jika saya lagi bekerja keluar kota. Berusaha untuk membuat anak saya percaya," jawab pak Sapto sembari menyeka air matanya."Apa polisi tidak pernah menanyakan alasan bapak melakukan ini semua? Bukankah sudah hampir tiap kali di tangkap pasti melakukan hal yang sama?" tanyaku."Tidak ada yang peduli, Mas. Polisi juga yang penting memenjarakan saya. Mereka tidak pernah bertanya ken