Hari ini aku berangkat bekerja seperti biasa. Aku berangkat lebih pagi dari biasanya. Semenjak aku diangkat menjadi manajer, Fida jadi tidak pernah menjemputku. Bukan karena iri atau apa, tapi karena ruangan kami sekarang jauh, tidak seperti dulu.[Udah lama gak berangkat bareng. Aku jemput ya] Pesan masuk dari Fida. [Aku dirumah Ibu. Kamu gak tau rumah Ibuku. Besok aja kalau mau jemput pas aku berangkat dari rumah] Balasan pesan dariku.Aku segera berangkat. Tidak lupa berpamitan pada Ibu dan Bapak. Diki hari ini libur kuliah, dia tidak ingin keluar katanya."Kamu anterin kakak kamu sana! Kasian dia berangkat sendiri!" Tutur Bapak."Kata Kak Reina gak udah dianter kok." Jawab Diki."Iya, gak usah dianter. Reina berangkat sendiri aja Pak." Karena tidak ingin telambat aku segera mencium tangan Ibu dan Bapak."Hati hati kamu. Jangan lupa nanti telpon, kabarin tentang Reza.""Baik Bu." Kataku seraya berjalan meninggalkan mereka.Aku menunggu taksi di persimpangan jalan. Ketika aku masi
Aku begitu penasaran dengan apa yang sebenarnya ingin Diki katakan. Kenapa dia harus menyuruhku datang. Tidak bisakah dia membicarakannya ditelepon?"Makasih Da. Besuk gak usah jemput. Palingan aku tidur sini, lagian Reza juga gak ada." Kataku seraya turun dari mobil Fida."Oke Re.""Gak masuk dulu?""Egak. Udah sore nih. Kasian anak anak pasti udah pada nunggu.""Oke deh. Hati hati ya."Fida kemudian pergi meninggalkanku. Aku segera masuk kedalam rumah, Namun tidak kulihat Ibu disana. Kemana dia? Gak biasanya dia pergi.Tanpa berpikir lama aku segera menuju kamar Diki. Kulihat dia sedang sibuk memainkan ponselnya."Ada apa Dik? Apa yang ingin kamu bicarakan?"Diki tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia memberikan ponselnya padaku.Disana terlihat pesan percakapan Diki dan Ratna. Ku baca pesan demi pesan, sampai akhirnya aku terkejut ketika kulihat Ratna mengirim sebuah foto. Foto tespack."Ini maksudnya apa?" Tanyaku sengaja. "Kakak pasti paham kan?" dia balik bertanya."Sekaran
Pagi itu Fida meneleponku. Dia menanyakan keberadaanku. Dia berniat menjemput jika aku sudah berada dirumah."Ya udah. Aku jemput ya!" Katanya dari ujung telepon.Aku segera berkemas untuk berangkat ke kantor. Tak lupa ku bangunkan Reza juga. Dia akan naik mobil jemputan mulai hari ini.Fida terdengar bersemangat banget tadi waktu menelepon. Hal apa sebenarnya yang membuatnya begitu bersemangat?Tak perlu waktu lama menunggu, Mobil Fida sudah terdengar sampai. Aku segera keluar menghampirinya."Kelihatannya kamu seneng banget. Ada apa Da?""Ini kabar bagus buatmu Re.""Apa??" Tanyaku penasaran. "Ada ruko yang letaknya sangat stragegis dijual. Katanya sih orangnya lagi butuh uang, jadi dia mau jual murah aja." Fida menjelaskan."Beneran??! Cepet banget kamu menenukannya?""Iya Re. Aku sengaja menyuruh Mas Sofyan juga mencari. Aku pikir akan lebih cepat jika dibantu laki laki.""Bener juga sih. Oh ya, Nanti aku cek dulu ya lokasinya. Kalau cocok langsung Aku bayarin." Lanjutku."Kamu p
Setengah jam kami menunggu namun Rendi belum juga datang. Reza hampir putus asa dalam menunggunya."Apa mungkin Om Rendi gak jadi kesini Ma?""Kalau gak jadi kesini pasti Om Rendi ngabarin kita Za." Jawabku membuatnya sedikit lega."Kenapa lama banget gak nyampe nyampe?""Sabar, kan rumah om Rendi jauh." Jawabku lagi.Dia hanya mangut mangut dan masih sedikit bete.Selang berapa menit, Rendi terlihat berjalan ke arah kami."Itu Om Rendi Ma.""Iya sayang." Jawabku.Reza segera berlari menghampiri Rendi. Dia terlihat begitu bahagia melihat kedatangan Rendi.Aku sengaja menghampiri mereka karena tidak ingin berlama lama lagi berada di kafe ini. Sudah hampir satu jam aku berada disini, dari saat menemui pemilik ruko sampai setengah jam lebih nungguin Rendi."Maaf telat Re, kejebak macet." Ujarnya."Iya gak papa. Langsung berangkat aja yuk! Kamu udah makan kan?""Udah kok. Jadi mau kemana ini?""Nanti kita bicarakan di mobil aja, Aku juga belum tau soalnya mau ngajak Reza kemana."Akhirnya
Setelah mendapat pesan yang menyangkut tentang mantan suamiku itu, aku penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Bukannya aku peduli dengan Mas Yogi, tapi aku tak bisa mencegah rasa keingin tahuanku ini.Ku telepon Diki kemudian untuk mendapat informasi yang lebih detail. Tak perlu menunggu lama, Diki segera menjawab teleponku."Iya kak. Kenapa?""Kakak masih penasaran soal pesan yang kamu kirim. Kenapa kamu gak bales pesan Kakak.""Oh iya maaf kak. Aku lupa, tadi waktu aku ngirim pesan aku sedang berada di apartemen Ratna.""Apartemen?? Memangnya Ratna punya apartemen?" Tanyaku penasaran."Iya gak tau juga sebenarnya. Dia bilang sih itu apartemennya." Jawab Diki."Trus apa yang membuatmu berpikir bahwa Mas Yogi hampir tau tentang perselingkuhannya denganmu?"Diki mulai menceritakan kejadian di apartemen siang itu. Dia mengatakan bahwa Ratna mengajaknya ke sana. Ketika mereka sedang duduk duduk santai tiba tiba terdengar langkah kaki seseorang. "Trus Gimana? Siapa yang datang?"
Aku masih menerka nerka tentang apartemen yang Yogi katakan. Apa benar dia punya apartemen baru setelah bercerai dariku? Atau mungkin dia sudah mempunyainya sejak lama? Dalam keadaanku yang masih memikirkan dan menerka nerka soal apartemen, Reza datang menghampiriku. Dia memintaku untuk mengajari mengerjakan PR."Yang ini Ma." Tunjuk Reza. Aku menjelaskan sebisaku, karena pelajaran sekarang pasti berbeda dengan pelajaran dahulu. Usai mengerjakan PR Reza beranjak pergi. Namun sebelum dia keluar dari kamarku, aku segera menghentikannya."Za. Ada yang mau Mama tanyakan." Tuturku."Ada apa Ma?""Apa kamu pernah pergi ke rumah yang bagus yang tidak punya halaman? em maksud Mama rumah didalam gedung seperti hotel gitu Za?""Pernah Ma. Papa sering ngajak Reza ke tempat seperti itu Kalau Reza nginep." Terangnya."Apa disana kamu tinggal bareng tante Ratna?" "Tidak Ma. Reza cuma sama Papa. Tapi kalau siang biasanya tante Ratna nyamperin Papa." Lanjutnya.Mendengar perkataan Reza tersebut m
Hari ini aku berangkat kerja seperti biasa. Aku menunggu taksi ditempat biasa. Fida tidak menjemputku pagi ini. Entah ada apa sebenarnya, dia tidak memberiku kabar. Aku sempat mencoba mengiriminya pesan namun tidak terkirim. Sepertinya nomernya sedang tidak aktif.Ketika sebuah taksi berhenti didepanku aku melihat mobil Fida melewatiku. Ternyata dia berangkat kerja juga, namun kenapa dia tidak menjemputku seperti biasa?? Aku segera masuk ke dalam taksi lalu mengikuti mobil Fida, tentu saja mobilnya menuju kantor kami. Sesampai di depan kantor aku turun lalu menunggu Fida untuk masuk bersama, juga untuk sekedar bertanya kenapa dia tidak menjemputku seperti biasa. Mungkinkah dia marah padaku??? Tapi apa salahku???Aku menunggu hingga Fida muncul. Tak lama setelah itu kulihat dia berjalan ke arahku."Hai Da. Selamat pagi." Sapaku."Hai Re, Pagi." Jawabnya cuek. Dia terus berjalan meninggalkanku yang sedari tadi menunggunya. Aku segera membuntutinya."Oh ya Da tadi aku melihat mobilmu
Malam ini aku masih memikirkan tentang sikap aneh fida hari ini. Apa sebenarnya yang menyebabkan dia marah dan bersikap seperti itu padaku. Aku segera mencari nomer teleponnya lalu ku panggil nomer itu. Satu kali ku coba telepon namun tidak mendapat jawaban darinya. "Mungkin dia lagi sibuk. Akan ku telepon lagi dalam sepuluh menit." Gumamku.Aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Jika memang dia tidak mau menjemput atau memberiku tebengan itu tidak jadi masalah buatku, toh banyak taksi yang bisa mengantarku kerja maupun pulang. Namun dari tingkahnya, aku tau jika dia tidak marah karena hal itu. Pasti ada sesuatu yang membuatnya bersikap seperti ini.Setelah sepuluh menit ku coba meneleponnya lagi. Dan kali ini Fida mengangkat teleponku."Halo Da?""Iya. Ada apa?" Tanya Fida terdengar cuek."Apa kamu marah sama aku? Kenapa kamu bertingkah aneh hari ini.""Apa itu penting bagi seorang menajer?" Kataya membuatku terkejut."Maksudmu apa? Kenapa ngomong seperti itu??""Emang aku sa
Beberapa bulan setelah itu buku ketiga mas Candra pun terbit. Buku yang menjadi inspirasi banyak orang ternyata. Kisah seorang ayah yang rela berkorban melakukan apapun itu demi pengobatan anaknya yang menderita gagal ginjal. "Selamat atas realisnya buku ketigamu, Mas. Semoga semakin sukses untuk ke depannya," kataku pada mas Candra. "Terimakasih juga, Sayang. Semua ini terjadi juga karena adanya kamu. Aku percaya jika aku bisa seperti ini karena dukungan penuh darimu. Terimakasih sekali lagi sudah mau menjadi pendamping hidupku yang selalu mendukung apapun keputusanku," kata mas Candra. "Aku bangga padamu, Mas," balasku. Mas Candra kemudian naik ke panggung setelah pembawa acara mempersilahkannya. "Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktunya. Hari ini secara resmi, buku ketiga saya telah diterbitkan. Buku ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang ayah. Kalian mungkin bertanya-tanya, siapakah sosok dibalik tokoh yang menjadi inspirasi saya da
"Ndra," terdengar suara seorang perempuan memanggil nama suamiku saat kita sedang berjalan menuju ke mobil."Oliv?" kataku saat melihat ternyata dia yang memanggil mas Candra tadi."Ada apa?" tanya mas Candra kemudian."Aku mau bicara sama kamu, bisa?" kata Oliv kemudian.Mas Candra malah menoleh ke arahku tanpa menjawab perkataan Oliv. "Iya silahkan bicara di sini saja," kata mas Candra. Sepertinya dia ingin menjaga perasaanku."Aku mau bicara empat mata saja. Bisakah?" tambah Oliv."Kenapa nggak di sini saja? Sama saja kan?" kata mas Candra lagi."Boleh aku pinjam Candranya sebentar, Re. Janji deh hanya lima menitan saja," kata Oliv padaku setelah itu."Oh iya, silahkan bawa saja," jawabku.Mas Candra pun kemudian mengikuti kemana Oliv pergi. Dari jauh aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka terlihat membicarakan hal yanh serius berdua.Lima menit kemudian mas Candra kembali menghampiriku begitu juga dengan Oliv."Makasih ya, Re. Ini aku kembalikan lagi Candra untukmu," kata O
Mas Candra akhirnya menjadikan pak Sapto sebagai sosok inspirasi untuk buku ke tiganya. Dia juga mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan pada pak Sapto.Ternyata pak kepala desa yang mengetahui kebaikan mas Candra kepada pak Sapto menceritakannya pada bapak wali kota. Secepat ini balasan yang Allah berikan kepada orang yang ikhlas membantu orang lain ternyata. "Jadi hari ini berangkat jam berapa, Mas?" tannyaku pada mas Candra. Hari ini dia akan datang ke acara launching buku salah satu teman penulisnya."Sebentar lagi. Kamu ikut kan?" tanya mas Candra. "Raiqa bagaimana?" tanyaku."Ajak aja Raiqa. Dia pasti seneng kan diajak jalan-jalan naik mobil," balas mas Candra. "Kamu yakin? Di sana pasti banyak orang kan?" "Nggak papa, Sayang. Raiqa pasti senang," kata mas Candra kemudian. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu dan tanpa terasa kini putri kecilku sudah berusia tiga bulan. "Ya sudah deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu," kataku.Saat aku sedang bersiap tiba-tiba s
"Ini hadiah buat Mela. Mela semangat ya. Tidak boleh malas jika di suruh melakukan HD," kataku saat kita sudah sampai di rumah sakit lagi. "Asyik, makasih ya, Tante.""Sama-sama, Sayang. Kalau begitu Tante keluar ya. Mela ditungguin Ibu sekarang," lanjutku."Iya, Tante. Makasih ya. Mela akan selalu semangat menjalani HD agar cepat sembuh," jawab Mela.Aku segera memeluk Mela. Tak terasa air mata ini pun jatuh begitu saja."Tante kenapa menangis?" tanya anak kecil itu."Nggak papa, Sayang. Tante cuma bangga saja padamu," jawabku seraya menyeka air mataku yang baru saja tumpah."Aku hebat ya?""Iya, kamu anak yang hebat. Teruslah seperti ini ya, Sayang," tambahku.Setelah hampir setengah jam aku di dalam bersama dengan Mela, akhirnya aku pun keluar. Mela meneruskan melakukan cuci darahnya. "Sudah?" tanya mas Candra yang saat ini sedang menggendong Raiqa."Sudah, Mas.""Pergi sekarang?""Semua sudah kamu selesaikan?""Sudah, Sayang," jawab mas Candra. "Ya sudah kalau begitu. Ayo pulan
"Mulai hari ini setiap kamu mau HD, kamu perginya ke sini ya, Mel. Tidak perlu ke rumah sakit yang di luar kota," kata mas Candra."Kenapa di sini, Om? Mela kan udah betah dan nyaman HD di rumah sakit yang kemarin. Perawatnya juga baik-baik banget pada Mela," jawab Mela. "Mela mau cepet sembuh kan? Rumah sakit ini lebih baik dari rumah sakit sebelumnya. Jadi di rumah sakit ini juga nantinya Mela bakalan dapat perawatan dan pengobatan yang baik. Mela mau sembuh kan?" kata mas Candra selanjutnya. "Mela ingin sekali sembuh, Om. Tapi kata ibu, Mela ini anak istimewa. Jadi sewaktu-waktu kalau Tuhan udah sayang sama Mela, Mela harus siap untuk dipanggil Tuhan," jawab Mela. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Aku langsung pergi sebentar agar Mela tidak melihat air mataku keluar."Re," kata mas Candra yang tiba-tiba menyusulku. "Mas," ujarku yang kemudian langsung memeluknya."Nggak papa. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua. Kita akan membantunya. Kita
"Di mana pak Sapto?" taya bapak kepala desa pada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu bersama seorang anak perempuan."Pak Lurah, tolong suami saya, Pak. Dia sedang di interogasi di dalam," kata perempuan tadi."Bagaimana ini, Mbak? Apa kita harus masuk?" tanya bapak kepala desa padaku. "Sebentar, Pak. Saya telepon suami saya dulu," sambungku.Aku menghubungi mas Candra setelah itu. Dia pasti bisa memberi pengertian kepada polisi agar polisi membebaskan pak Sapto."Jadi kamu di kantor polisi sekarang, Re?""Iya, Mas. Mas Candra bisa datang sekarang nggak? Sudah selesai belum di sana?" tanyaku."Iya aku akan langsung ke kantor polisi setelah ini. Urusanku di sini juga sudah selesai," kata mas Candra kemudian."Buruan ya, Mas. Aku bingung harus bagaimana ini," ucapku."Iya, Re. Aku segera datang."Setelah menghubungi mas Candra, aku kemudian mendekati istri pak Sapto dan anaknya. Aku yakin jika anak yang dimaksud pak Sapto adalah anak ini."Bu," sapaku."Iya, Mbak. Apakah mbakn
Ponsel mas Candra berdering saat kita sedang sarapan bersama. Dia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung melihat siapa yang meneleponnya. "Halo," ujar mas Candra."Oh iya, Pak. Apa sudah sampai di rumah sekarang?" tanya mas Candra kemudian."Baik, Pak. Hari ini saya ke rumah ya. Saya hubungi dulu teman saya di rumah sakit," sambung mas Candra."Sama-sama, Pak. Tunggu saya datang. Sebentar lagi saya ke sana," lanjut mas Candra.Setelah mas Candra mengakhiri panggilannya dia lalu bergegas bangkit dari meja makan."Mau berangkat sekarang? Pak Sapto sudah sampai di rumah ya, Mas?" tanyaku yang tahu jika itu panggilan dari pak Sapto."Iya, Sayang. Aku langsung ke sana sekarang ya. Kamu mau ikut nggak?" tanya mas Candra kemudian."Aku di rumah saja ya, Mas. Kasihan Raiqa," jawabku."Ya sudah kalau begitu. Aku sendiri saja nggak papa. Aku siap-siap dulu ya," kata mas Candra selanjutnya. "Iya, Mas. Oh iya, Mas. Bukankah hari ini kamu ada janji ketemuan sama produ
"Jadi begitu ceritanya? Kasihan banget pak Sapto itu. Dia rela melakukan penipuan seperti itu demi membiayai pengobatan anaknya," kata Ibu saat aku dan mas Candra menceritakan soal kejujuran pak Sapto. "Iya benar, Bu. Sebuah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya," balasku. "Ya begitulah, Re. Jadi kalian berniat untuk membantunya?""Iya, Bu. Mas Candra mau membantu pengobatan anak pak Sapto," ujarku."Benar begitu, nak Candra?""Iya, Bu. Aku merasa harus membantu bapak ini. Rejeki yang selama ini aku dapat sebenarnya juga rejeki pak Sapto ini. Diki menabraknya juga bukan sebuah kebetulan semata. Semua ini sudah kehendak Allah.""Nak Candra benar. Dalam rejeki kita ada rejeki orang lain juga. Semoga rejeki kalian makin berkah kedepannya," lanjut Ibu."Amin," balasku dan Mas Candra secara bersamaan. "Dan untuk Diki, ibu minta maaf. Ibu tidak pernah berniat atau pun bermaksud untuk membuatmu sakit hati. Ibu hanya berusaha menasehati mu. Ibu menghawatirkanmu," sambung Ibu."Maafkan Dik
"Iya begitulah, Mbak," jawab pak Sapto. Aku tahu jika saat ini dia sedang berkata jujur. "Kenapa bapak memilih untuk melakukan pekerjaan ini?" tanya mas Candra."Saya terpaksa, Mas. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa mendapatkan uang dengan cepat pasti saya akan melakukannya. Apapun itu pekerjaannya. Saya pernah mau menjual ginjal saya juga untuk pengobatan anak saya, tapi istri melarang saya. Saya tidak ada pilihan lain, Mas." "Apakah istri dan anak bapak tahu akan hal ini?" tanya mas Candra lagi."Istri tahu, anak yang tidak tahu. Jadi setiap kali saya di tangkap dan masuk polisi istri selalu bilang jika saya lagi bekerja keluar kota. Berusaha untuk membuat anak saya percaya," jawab pak Sapto sembari menyeka air matanya."Apa polisi tidak pernah menanyakan alasan bapak melakukan ini semua? Bukankah sudah hampir tiap kali di tangkap pasti melakukan hal yang sama?" tanyaku."Tidak ada yang peduli, Mas. Polisi juga yang penting memenjarakan saya. Mereka tidak pernah bertanya ken