Hari ini aku berangkat kerja seperti biasa. Aku menunggu taksi ditempat biasa. Fida tidak menjemputku pagi ini. Entah ada apa sebenarnya, dia tidak memberiku kabar. Aku sempat mencoba mengiriminya pesan namun tidak terkirim. Sepertinya nomernya sedang tidak aktif.Ketika sebuah taksi berhenti didepanku aku melihat mobil Fida melewatiku. Ternyata dia berangkat kerja juga, namun kenapa dia tidak menjemputku seperti biasa?? Aku segera masuk ke dalam taksi lalu mengikuti mobil Fida, tentu saja mobilnya menuju kantor kami. Sesampai di depan kantor aku turun lalu menunggu Fida untuk masuk bersama, juga untuk sekedar bertanya kenapa dia tidak menjemputku seperti biasa. Mungkinkah dia marah padaku??? Tapi apa salahku???Aku menunggu hingga Fida muncul. Tak lama setelah itu kulihat dia berjalan ke arahku."Hai Da. Selamat pagi." Sapaku."Hai Re, Pagi." Jawabnya cuek. Dia terus berjalan meninggalkanku yang sedari tadi menunggunya. Aku segera membuntutinya."Oh ya Da tadi aku melihat mobilmu
Malam ini aku masih memikirkan tentang sikap aneh fida hari ini. Apa sebenarnya yang menyebabkan dia marah dan bersikap seperti itu padaku. Aku segera mencari nomer teleponnya lalu ku panggil nomer itu. Satu kali ku coba telepon namun tidak mendapat jawaban darinya. "Mungkin dia lagi sibuk. Akan ku telepon lagi dalam sepuluh menit." Gumamku.Aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Jika memang dia tidak mau menjemput atau memberiku tebengan itu tidak jadi masalah buatku, toh banyak taksi yang bisa mengantarku kerja maupun pulang. Namun dari tingkahnya, aku tau jika dia tidak marah karena hal itu. Pasti ada sesuatu yang membuatnya bersikap seperti ini.Setelah sepuluh menit ku coba meneleponnya lagi. Dan kali ini Fida mengangkat teleponku."Halo Da?""Iya. Ada apa?" Tanya Fida terdengar cuek."Apa kamu marah sama aku? Kenapa kamu bertingkah aneh hari ini.""Apa itu penting bagi seorang menajer?" Kataya membuatku terkejut."Maksudmu apa? Kenapa ngomong seperti itu??""Emang aku sa
Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Reza. Sejak dia sadar tadi, dia bilang dia takut. Dia tidak mau tidur sendiri dan tidak mau ditinggal sendiri di kamar itu walaupun sebentar.Akhirnya aku menelepon salah satu karyawan yang kemarin sudah sempat ku terima buat kerja di butik. Aku serahkan semuanya pada karyawanku itu."Halo Bu Reina. Selamat pagi." Suara Dewi salah satu karyawanku."Ini Dewi ya?" Tanyaku meyakinkan."Iya Bu. Ada apa Bu?""Maaf saya gak bisa menghadiri pembukaan butik baru hari ini, karena tiba tiba anak saya sakit. Saya percayakan sama kamu ya Wi. Wakili saya untuk memotong pitanya juga."Oh baik Bu. Bagaimana keadaan putra Ibu sekarang?" Tanya Dewi kemudian."Dia sudah mendingan karena langsung saya bawa ke rumah sakit. Oh ya tolong semua karyawan diminta kerja samanya ya Wi karena saya gak ada.""Iya Bu tenang saja. Saya akan urus semuanya." Kata Dewi.Setelah menelepon aku merasa lega karena sekarang hanya fokus pada Reza. Dokter datang lalu memeriksa
Ketika aku masih terduduk dikursi depan kamar rawat Reza, kulihat Ibu berjalan bersama Diki. Dia terlihat khawatir. Melihatku duduk seorang diri, Ibu segera berlari menghampiriku."Re, Bagaimana keadaan Reza?" Tanyaa Ibu."Reza sudah membaik Bu.""Kenapa kamu tinggalin dia sendirian??" Kata Ibu kemudian berjalan masuk."Ada Mas Yogi Bu." Kataku.Ibu menghentikan langkahnya. "Yogi disini?" Tanya Ibu kemudian."Iya. Aku meneleponnya tadi karena khawatir." Jawabku jujur. Ibu kemudian meneruskan langkahnya. Sepertinya dia tidak menghiraukan keberadaan Mas Yogi."Kak, Maaf tadi aku sedang dikampus.""Iya gak papa Dik, Oh ya Dik ada yang mau kakak bicarakan sama kamu.""Soal apa kak?" Tanya Diki.Karena tidak ingin terdengar oleh Ibu maupun Mas Yogi akhirnya ku ajak Yogi untuk mencari tempat bicara yang agak jauh."Ada apa Kak?""Begini Dik. Aku mau kamu jadi mata mata." Kataku membuat Diki penasaran."Mata mata? Maksudnya?"Akhirnya ku ceritakan semua yang di alami Reza. Diki merasa tida
Sesampai di rumah kami segera membawa Reza ke kamarnya. Membiarkannya melanjutkan istirahat dirumah."Ma. Katanya hari ini peresmian butik baru Mama? Mama gak ke sana?" Tanya Reza."Tidak Za. Mama disini saja temenin Reza." Jawabku."Kamu buka butik Re?" Tanya Ibu yang memang belum mengetahui tentang butik itu."Iya Bu. Sebenarnya aku ingin buat kejutan juga untuk Ibu. Akan ku jemput Ibu mendadak tadi. Tapi karena Reza tiba tiba demam jadi ku batalkan. Ku suruh karyawanku yang mengurusnya." Terangku."Apa sekarang sudah selesai Re? Jika belum selesai, pergi aja sana ada Ibu juga." Kata Ibu.Karena membahas masalah butik, aku kemudian teringat pada Dewi. Apa dia sudah mengurus semuanya dengan baik. Apa semuanya berjalan lancar?"Sebentar Bu, aku telepon karyawanku dulu, siapa tau peresmiannya sudah selesai." Kataku.Aku segera keluar dari kamar Reza, meninggalkan Ibu serta Reza yang sudah berbaring di kasur."Halo Wi, bagaimana disana? Apa semua lancar?" Tanyaku."Alhamdulillah lancar
Aku akan selalu waspada sekarang. Tidak noleh lengah sedetikpun. Ratna benar benar musuhku sekarang. Sebenarnya selama ini aku masih diam jika dia hanya mengusik kehidupanku. Dia menghancurkan rumah tanggaku itu masih bisa ku maafkan sebenarnya, karena bukan hanya dia yang salah, tapi laki laki brengsek itu juga ikut andil didalamnya. Seandainya mantan suamiku itu tidak merespon dan meladeni Ratna, mungkin perselingkuhan itu tak akan pernah terjadi. Disini berarti dua orang yang bersalah. Jadi aku tidak terlalu menyalahkannya, walaupun memang dia duluan yang memulai. Namun, beda halnya jika dia sudah berani mengganggu kehidupan anakku. Aku sudah tidak bisa diam sekarang. Aku akan membalas semuanya.Sebuah pesan masuk ke ponselku. Ternyata pesan dari Rendi.[Bagaimana peresmian Butik? Lancar?] Isi pesan dari Rendi. Dia belum mengetahui jika Reza sakit. [Aku tidak jadi menghadiri peresmian itu. Reza tiba tiba sakit] Balasku.Setelah membaca pesanku, Rendi lalu meneleponku."Bagaima
Seperti yang semalam di katakan oleh Rendi, aku mulai menyuruh Diki untuk menjebak Ratna. Karena rasa cinta yang besar terhadap Diki, aku yakin dia akan menuruti bahkan akan merasa senang jika Diki mengajaknya ke hotel.Benar saja dugaanku. Diki berhasil merayu Ratna. Mereka membuat janji ketemuan di hotel."Besuk kami akan ke hotel Kak. Kira kira jam lima sore. Apakah Mas Yogi bisa pergi jam segitu?" Tanya Diki yang baru saja tiba dirumahku."Bagus. Aku akan cari alasan agar Mas Yogi bisa meluangkan waktu jam lima. Satu satunya alasan yang membuatnya selalu siaga adalah Reza." Kataku yakin."Benar Kak. Reza adalah umpan yang tepat. Mas Yogi tidak pernah bisa untuk mengabaikan Reza." Jawabku.Akhirnya aku memutuskan untuk mengajak Reza menginap dihotel sekali kali. Ini juga ada maksud tertentu sebenarnya. Reza tidak bisa berbohong jika aku tidak benar benar mengajaknya ke hotel.Setelah Diki pamit, aku segera menghampiri Reza yang berada dikamarnya ditemani Ibu. "Za, Besuk kita ngin
"Ratnaaaaaa!!!!!!!!" Suara keras Mas Yogi. Dia terlihat sangat marah.Diki segera keluar meninggalkan kami. Sedangkan Ratna masih terduduk lemas di ranjangnya. "Apa apaan kamu?!!!!! Kenapa kamu tega selingkuhi aku???!!!!" Bentak Mas Yogi."Mas. Maafkan aku, Aku salah Mas." Kata Ratna. Aku masih terdiam ditempat. Masih ingin melihat kelanjutan ceritanya."Aku sudah mengorbankan keluargaku demi kamu, tapi apa balasanmu hemmm?!!! Ku kira kamu tulus, ku kira kamu akan menjadi istri yang baik, tapi kenyataannya seperti ini yang ku dapat. Untung kita belum resmi menikah." Sambung Mas Yogi.Sekarang kamu merasakan sakit hati yang pernah ku rasakan Mas. Seperti itu rasanya saat kamu tiba tiba pergi dari rumah waktu itu. "Mulai sekarang, kita putus!!!!" Kata Mas Yogi. Ratna malah tertawa setelah mendengar perkataan Mas Yogi. Dia semakin terbahak bahak."Kamu pikir aku benar benar mencintaimu??? Kamu itu bodoh atau tolol sih??? Hahahahahaha." Kata Ratna sambil tertawa."Apa maksudmu????!!!
Beberapa bulan setelah itu buku ketiga mas Candra pun terbit. Buku yang menjadi inspirasi banyak orang ternyata. Kisah seorang ayah yang rela berkorban melakukan apapun itu demi pengobatan anaknya yang menderita gagal ginjal. "Selamat atas realisnya buku ketigamu, Mas. Semoga semakin sukses untuk ke depannya," kataku pada mas Candra. "Terimakasih juga, Sayang. Semua ini terjadi juga karena adanya kamu. Aku percaya jika aku bisa seperti ini karena dukungan penuh darimu. Terimakasih sekali lagi sudah mau menjadi pendamping hidupku yang selalu mendukung apapun keputusanku," kata mas Candra. "Aku bangga padamu, Mas," balasku. Mas Candra kemudian naik ke panggung setelah pembawa acara mempersilahkannya. "Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktunya. Hari ini secara resmi, buku ketiga saya telah diterbitkan. Buku ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang ayah. Kalian mungkin bertanya-tanya, siapakah sosok dibalik tokoh yang menjadi inspirasi saya da
"Ndra," terdengar suara seorang perempuan memanggil nama suamiku saat kita sedang berjalan menuju ke mobil."Oliv?" kataku saat melihat ternyata dia yang memanggil mas Candra tadi."Ada apa?" tanya mas Candra kemudian."Aku mau bicara sama kamu, bisa?" kata Oliv kemudian.Mas Candra malah menoleh ke arahku tanpa menjawab perkataan Oliv. "Iya silahkan bicara di sini saja," kata mas Candra. Sepertinya dia ingin menjaga perasaanku."Aku mau bicara empat mata saja. Bisakah?" tambah Oliv."Kenapa nggak di sini saja? Sama saja kan?" kata mas Candra lagi."Boleh aku pinjam Candranya sebentar, Re. Janji deh hanya lima menitan saja," kata Oliv padaku setelah itu."Oh iya, silahkan bawa saja," jawabku.Mas Candra pun kemudian mengikuti kemana Oliv pergi. Dari jauh aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka terlihat membicarakan hal yanh serius berdua.Lima menit kemudian mas Candra kembali menghampiriku begitu juga dengan Oliv."Makasih ya, Re. Ini aku kembalikan lagi Candra untukmu," kata O
Mas Candra akhirnya menjadikan pak Sapto sebagai sosok inspirasi untuk buku ke tiganya. Dia juga mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan pada pak Sapto.Ternyata pak kepala desa yang mengetahui kebaikan mas Candra kepada pak Sapto menceritakannya pada bapak wali kota. Secepat ini balasan yang Allah berikan kepada orang yang ikhlas membantu orang lain ternyata. "Jadi hari ini berangkat jam berapa, Mas?" tannyaku pada mas Candra. Hari ini dia akan datang ke acara launching buku salah satu teman penulisnya."Sebentar lagi. Kamu ikut kan?" tanya mas Candra. "Raiqa bagaimana?" tanyaku."Ajak aja Raiqa. Dia pasti seneng kan diajak jalan-jalan naik mobil," balas mas Candra. "Kamu yakin? Di sana pasti banyak orang kan?" "Nggak papa, Sayang. Raiqa pasti senang," kata mas Candra kemudian. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu dan tanpa terasa kini putri kecilku sudah berusia tiga bulan. "Ya sudah deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu," kataku.Saat aku sedang bersiap tiba-tiba s
"Ini hadiah buat Mela. Mela semangat ya. Tidak boleh malas jika di suruh melakukan HD," kataku saat kita sudah sampai di rumah sakit lagi. "Asyik, makasih ya, Tante.""Sama-sama, Sayang. Kalau begitu Tante keluar ya. Mela ditungguin Ibu sekarang," lanjutku."Iya, Tante. Makasih ya. Mela akan selalu semangat menjalani HD agar cepat sembuh," jawab Mela.Aku segera memeluk Mela. Tak terasa air mata ini pun jatuh begitu saja."Tante kenapa menangis?" tanya anak kecil itu."Nggak papa, Sayang. Tante cuma bangga saja padamu," jawabku seraya menyeka air mataku yang baru saja tumpah."Aku hebat ya?""Iya, kamu anak yang hebat. Teruslah seperti ini ya, Sayang," tambahku.Setelah hampir setengah jam aku di dalam bersama dengan Mela, akhirnya aku pun keluar. Mela meneruskan melakukan cuci darahnya. "Sudah?" tanya mas Candra yang saat ini sedang menggendong Raiqa."Sudah, Mas.""Pergi sekarang?""Semua sudah kamu selesaikan?""Sudah, Sayang," jawab mas Candra. "Ya sudah kalau begitu. Ayo pulan
"Mulai hari ini setiap kamu mau HD, kamu perginya ke sini ya, Mel. Tidak perlu ke rumah sakit yang di luar kota," kata mas Candra."Kenapa di sini, Om? Mela kan udah betah dan nyaman HD di rumah sakit yang kemarin. Perawatnya juga baik-baik banget pada Mela," jawab Mela. "Mela mau cepet sembuh kan? Rumah sakit ini lebih baik dari rumah sakit sebelumnya. Jadi di rumah sakit ini juga nantinya Mela bakalan dapat perawatan dan pengobatan yang baik. Mela mau sembuh kan?" kata mas Candra selanjutnya. "Mela ingin sekali sembuh, Om. Tapi kata ibu, Mela ini anak istimewa. Jadi sewaktu-waktu kalau Tuhan udah sayang sama Mela, Mela harus siap untuk dipanggil Tuhan," jawab Mela. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Aku langsung pergi sebentar agar Mela tidak melihat air mataku keluar."Re," kata mas Candra yang tiba-tiba menyusulku. "Mas," ujarku yang kemudian langsung memeluknya."Nggak papa. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua. Kita akan membantunya. Kita
"Di mana pak Sapto?" taya bapak kepala desa pada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu bersama seorang anak perempuan."Pak Lurah, tolong suami saya, Pak. Dia sedang di interogasi di dalam," kata perempuan tadi."Bagaimana ini, Mbak? Apa kita harus masuk?" tanya bapak kepala desa padaku. "Sebentar, Pak. Saya telepon suami saya dulu," sambungku.Aku menghubungi mas Candra setelah itu. Dia pasti bisa memberi pengertian kepada polisi agar polisi membebaskan pak Sapto."Jadi kamu di kantor polisi sekarang, Re?""Iya, Mas. Mas Candra bisa datang sekarang nggak? Sudah selesai belum di sana?" tanyaku."Iya aku akan langsung ke kantor polisi setelah ini. Urusanku di sini juga sudah selesai," kata mas Candra kemudian."Buruan ya, Mas. Aku bingung harus bagaimana ini," ucapku."Iya, Re. Aku segera datang."Setelah menghubungi mas Candra, aku kemudian mendekati istri pak Sapto dan anaknya. Aku yakin jika anak yang dimaksud pak Sapto adalah anak ini."Bu," sapaku."Iya, Mbak. Apakah mbakn
Ponsel mas Candra berdering saat kita sedang sarapan bersama. Dia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung melihat siapa yang meneleponnya. "Halo," ujar mas Candra."Oh iya, Pak. Apa sudah sampai di rumah sekarang?" tanya mas Candra kemudian."Baik, Pak. Hari ini saya ke rumah ya. Saya hubungi dulu teman saya di rumah sakit," sambung mas Candra."Sama-sama, Pak. Tunggu saya datang. Sebentar lagi saya ke sana," lanjut mas Candra.Setelah mas Candra mengakhiri panggilannya dia lalu bergegas bangkit dari meja makan."Mau berangkat sekarang? Pak Sapto sudah sampai di rumah ya, Mas?" tanyaku yang tahu jika itu panggilan dari pak Sapto."Iya, Sayang. Aku langsung ke sana sekarang ya. Kamu mau ikut nggak?" tanya mas Candra kemudian."Aku di rumah saja ya, Mas. Kasihan Raiqa," jawabku."Ya sudah kalau begitu. Aku sendiri saja nggak papa. Aku siap-siap dulu ya," kata mas Candra selanjutnya. "Iya, Mas. Oh iya, Mas. Bukankah hari ini kamu ada janji ketemuan sama produ
"Jadi begitu ceritanya? Kasihan banget pak Sapto itu. Dia rela melakukan penipuan seperti itu demi membiayai pengobatan anaknya," kata Ibu saat aku dan mas Candra menceritakan soal kejujuran pak Sapto. "Iya benar, Bu. Sebuah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya," balasku. "Ya begitulah, Re. Jadi kalian berniat untuk membantunya?""Iya, Bu. Mas Candra mau membantu pengobatan anak pak Sapto," ujarku."Benar begitu, nak Candra?""Iya, Bu. Aku merasa harus membantu bapak ini. Rejeki yang selama ini aku dapat sebenarnya juga rejeki pak Sapto ini. Diki menabraknya juga bukan sebuah kebetulan semata. Semua ini sudah kehendak Allah.""Nak Candra benar. Dalam rejeki kita ada rejeki orang lain juga. Semoga rejeki kalian makin berkah kedepannya," lanjut Ibu."Amin," balasku dan Mas Candra secara bersamaan. "Dan untuk Diki, ibu minta maaf. Ibu tidak pernah berniat atau pun bermaksud untuk membuatmu sakit hati. Ibu hanya berusaha menasehati mu. Ibu menghawatirkanmu," sambung Ibu."Maafkan Dik
"Iya begitulah, Mbak," jawab pak Sapto. Aku tahu jika saat ini dia sedang berkata jujur. "Kenapa bapak memilih untuk melakukan pekerjaan ini?" tanya mas Candra."Saya terpaksa, Mas. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa mendapatkan uang dengan cepat pasti saya akan melakukannya. Apapun itu pekerjaannya. Saya pernah mau menjual ginjal saya juga untuk pengobatan anak saya, tapi istri melarang saya. Saya tidak ada pilihan lain, Mas." "Apakah istri dan anak bapak tahu akan hal ini?" tanya mas Candra lagi."Istri tahu, anak yang tidak tahu. Jadi setiap kali saya di tangkap dan masuk polisi istri selalu bilang jika saya lagi bekerja keluar kota. Berusaha untuk membuat anak saya percaya," jawab pak Sapto sembari menyeka air matanya."Apa polisi tidak pernah menanyakan alasan bapak melakukan ini semua? Bukankah sudah hampir tiap kali di tangkap pasti melakukan hal yang sama?" tanyaku."Tidak ada yang peduli, Mas. Polisi juga yang penting memenjarakan saya. Mereka tidak pernah bertanya ken