Ternyata apa yang dikatakan Rendi kemarin benar. Dia benar benar mengenalkanku pada orang tuanya.Rendi mengajakku ke rumahnya untuk yang pertama kali. Sesampai disana, sungguh ku tertegun dengan besarnya rumah Rendi."Ini rumahmu Ren?""Bukan. Ini rumah orang tuaku." Jawabnya merendah.Ternyata dia berasal dari keluarga kaya. Walaupun demikian namun dia tetap terlihat sederhana setiap hari. Aku bahkan tidak pernah menyangka jika dia berasal dari keluarga berada."Aku akan membangun rumahku sendiri jika sudah berumah tangga, yang pasti dengan uangku sendiri." Ujarnya.Sungguh beruntung perempuan yang akan menjadi istrinya kelak, pikirku. "Ayo masuk. Papa sama Mama sudah menunggu didalam." Ajak Rendi.Setelah kami masuk, benar saja mereka ternyata sudah duduk dikursi yang terbuat dari rotan itu."Jadi kamu yang bernama Reina?" Tanya Papa Rendi. Dia terlihat sangat baik, sama seperti putranya."Iya Om. Saya Reina." Jawabku."Saya Arif, Papanya Rendi. Silahkan duduk Re." Kata Papa Rend
Malam itu, ketika aku hendak memejamkan mata, tiba tiba sebuah telepon masuk. Ku abaikan telepon itu, karena ku yakin itu pasti telepon dari Rendi. Setelah ku abaikan sekali, telepon berdering kembali. Kini ku ambil ponselku lalu kulihat ternyata telepon dari Diki.Kenapa ini anak menelepon? Tinggal menghampiri kesini aja apa susahnya."Kenapa telepon? Tinggal kesini aja tidak memerlukan waktu sepuluh detik." Gerutuku. Kamar kami bahkan bersebelahan, Ada apa dengannya."Aku sedang diluar Kak." Ucapnya kemudian."Diluar? Kapan kamu pergi?""Aku keluar tadi setelah melihat Ibu masuk kamar.""Trus kamu ngapain keluar malam malam? Jika Bapak tau, dia marah lo.""Makanya aku minta Kakak buat jaga jaga. Jangan sampai Bapak atau Ibu tau." "Trus Reza?""Reza udah tidur. Ada guling yang ku selimuti untuk mengelabuhi Ibu dan Bapak jika mereka menengok ke kamar." Lanjutnya."Memang kamu dimana?""Aku diapartemen Mas Yogi. Ratna memintaku datang. Dia bilang akan kasih sertifikatnya sekarang."
"Hai Ren." Jawabku mencoba setenang mungkin. Aku tidak mau dia berpikir jika aku kecewa padanya."Em, diantar Diki ya Re?" Tanya Rendi kemudian."Iya Ren." Jawabku."Yuk masuk bareng." Ajak Rendi.Aku pun melangkah mengikutinya masuk. Dia sesekali memperhatikanku, seperti ada yang ingin dia katakan."Maaf buat yang kemarin Re. Kamu pasti kecewa ya sama aku?""Em, tidak apa apa Ren. Lupakan saja." Jawabku."Aku akan memastikan kedua orang tuaku untuk menerimamu, juga Reza. Aku janji.""Maaf ya Ren, aku jalan duluan. Banyak berkas yang perlu ku tanda tangani." Jawabku lalu berjalan lebih cepat darinya.Rendi tidak menghentikan atau menghalangiku. Dia tau betul jika kita sedang berada dikantor saat ini. "Ya udah, nanti ku tunggu di kantin saat istirahat." Katanya yang masih bisa ku dengar.Aku tidak menoleh ataupun mengiyakan ucapannya. Aku hanya ingin menjaga jarak dengannya, agar aku tidak merasa sakit hati untuk yang kedua kalinya."Belum tentu orang tuanya menyukaiku kan?" Gumamku.
Rendi terlihat sedang menunggu ketika aku berjalan turun dari ruanganku. Dia berdiri di sebelah pintu keluar. "Ayo Re!" Seru Rendi ketika melihatku berjalan ke arahnya."Kamu nungguin aku?""Iya. Mulai hari ini aku akan antar jemput kamu ya." Jawabnya."Tidak usah Ren. Aku bisa berangkat dan pulang sendiri. Banyak taksi juga." Jawabku berusaha menolak niat baiknya. "Kamu tidak suka jika aku antar jemput?"Tanya Dia."Bukan begitu, em aku cuma gak mau merepotkanmu." Balasku."Aku tidak merasa direpotkan Re. Justru aku malah seneng. Bisa lebih dekat denganmu." Ucap Rendi.Rendi kemudian mempersilahkan aku untuk jalan terlebih dahulu menuju mobilnya."Kamu yakin gak ngrepotin?""Egak Re, santai aja." Jawabnya."Oh ya Re, aku dengar Istri Pak Hisyam tadi menemuimu? Apa dia marah lagi sama kamu seperti tempo hari?" Tanya Rendi penasaran."Tidak Ren. Dia justru minta maaf. Dia merasa bersalah karena melabrakku tempo hari." Terangku."Syukurlah. Aku kira dia marah lagi. Berarti dia sudah ta
"Oh ya Re, saya dengar kamu juga buka butik ya?" Tanya Bu Serli."Iya Bu. Hanya Butik kecil kecilan." Jawabku."Sepertinya kamu memang perempuan cerdas dan pekerja keras." Lanjut Bu Serli.Candra memandangku lalu tersenyum. Dia selalu terlihat menawan jika tersenyum, dari dulu."Oh ya. Sepertinya kalian sama sama pernah tersakiti oleh seseorang. Tidak ada salahnya jika kalian saling mengenal lebih dekat satu sama lain." Sambung Bu Serli.Dari perkataannya aku dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya ada niat terselubung dari Bu Serli. Mereka bahkan juga mengajak Candra untuk makan bersama."Em, Maksud Bu Serli apa ya?" Tanya pura pura tidak paham. "Em begini Re, Istri saya bilang kamu tidak punya kekasih atau teman dekat. Jadi dia berniat untuk mengenalkan kalian awalnya. Karena ternyata kalian sudah saling menenal, tidak ada salahnya kan untuk kenal lebih dekat lagi? Kalian sama sama singel. Selain itu kalian juga pernah merasakan sakit karena ditinggalkan."Bagaimana aku harus menjawab
Hari ini hari sabtu. Seperti yang dijanjikan Rendi, dia akan datang ke rumahku bersama dengan kedua orang tuanya."Mereka akan datang jam berapa Re?" Tanya Ibu ketika kami sedang sibuk didapur."Gak tau Bu. Rendi juga gak bilang jam berapa akan datang. Dia cuma bilang akan datang hari ini." Jawabku.Ibu kemudian meneruskan memotong wortel. Dia terlihat sangat bahagia mendengar anaknya sebentar lagi akan melepas status jandanya."Kamu udah pernah bertemu dengan orang tuanya kan? Mereka baik kan?" Tanya Ibu."Em. I_Iya. Mereka baik." Jawabku ragu. Aku tidak berhak menilai sifat orang lain hanya karena pertemuan pertama. Mungkin mereka seperti itu hanya karena syok, pasti aslinya mereka baik, pikirku."Oh iya. Bagaimana pendapat mereka tentangmu? Pasti mereka bangga ya akan dapat menantu seorang manajer." Lanjut Ibu. Dia merasa bangga denganku.
Malam itu, Rendi berkali kali meneleponku. Dia pasti ingin meminta maaf atas perbuatan orang tuanya.Namun karena sakit hati yang masih terasa hingga saat ini, membuatku harus mengabaikannya."Maafkan aku Ren." Gumamku.Jujur sebenarnya hati ini belum bisa untuk segera melupakanmu. Kamu adalah lelaki baik yang pertama kali ku jumpai setelah aku bercerai. Kamu lelaki yang bisa membuat anakku merasa nyaman saat bersamamu.Disatu sisi perasaan ini akan tetap tertanam dihatiku. Kamu tidak akan mudah untuk kulupakan. Namun disisi lain, Kamu juga telah membuatku kecewa.Kenapa kamu tidak pastikan tentang keputusan orang tuamu yang mendadak mau berkunjung ke rumahku??? Jika kamu tau mereka hanya ingin menghinaku dan keluargaku, harusnya kamu tidak usah mengajak mereka berkunjung. Itu hanya akan membuat kelu
Siang itu ketika aku sedang makan dikantin, Rendi mendatangiku. Dia pasti masih berusaha meminta maaf padaku."Re, aku mohon jangan pergi. Beri aku waktu buat ngejelasin."Kata Rendi ketika aku hendak berdiri."Maafin aku. Aku gegabah dalam bertindak. Aku meminta orang tuaku segera menemuimu juga keluargamu. Aku tidak mau kamu menunggu terlalu lama." Terangnya."Ternyata keputusanku yang buru buru itu membuat semua jadi kacau. Maafin aku Re." Katanya lagi. Aku masih diam. Rasanya percuma saja memintanya agar berhenti menemuiku."Aku tau perlakuan orang tuaku sangat menyakiti hatimu juga orang tuamu. Namun aku janji Re, suatu saat nanti mereka akan menerimamu dengan kedua tangan mereka." Sambungnya."Aku udah maafin kamu Ren. Tapi maaf aku gak bisa seperti ini terus." Ujarku."Maksud kamu? Kamu ingin mengakhiri semuanya?" Tanya Rendi cemas."Iya. Aku ingin kita selesai disini." Jawabku."Bukannya kamu yang memintaku untuk memberimu kepastian?? Sekarang ketika kepastian itu sudah hampi
Beberapa bulan setelah itu buku ketiga mas Candra pun terbit. Buku yang menjadi inspirasi banyak orang ternyata. Kisah seorang ayah yang rela berkorban melakukan apapun itu demi pengobatan anaknya yang menderita gagal ginjal. "Selamat atas realisnya buku ketigamu, Mas. Semoga semakin sukses untuk ke depannya," kataku pada mas Candra. "Terimakasih juga, Sayang. Semua ini terjadi juga karena adanya kamu. Aku percaya jika aku bisa seperti ini karena dukungan penuh darimu. Terimakasih sekali lagi sudah mau menjadi pendamping hidupku yang selalu mendukung apapun keputusanku," kata mas Candra. "Aku bangga padamu, Mas," balasku. Mas Candra kemudian naik ke panggung setelah pembawa acara mempersilahkannya. "Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktunya. Hari ini secara resmi, buku ketiga saya telah diterbitkan. Buku ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang ayah. Kalian mungkin bertanya-tanya, siapakah sosok dibalik tokoh yang menjadi inspirasi saya da
"Ndra," terdengar suara seorang perempuan memanggil nama suamiku saat kita sedang berjalan menuju ke mobil."Oliv?" kataku saat melihat ternyata dia yang memanggil mas Candra tadi."Ada apa?" tanya mas Candra kemudian."Aku mau bicara sama kamu, bisa?" kata Oliv kemudian.Mas Candra malah menoleh ke arahku tanpa menjawab perkataan Oliv. "Iya silahkan bicara di sini saja," kata mas Candra. Sepertinya dia ingin menjaga perasaanku."Aku mau bicara empat mata saja. Bisakah?" tambah Oliv."Kenapa nggak di sini saja? Sama saja kan?" kata mas Candra lagi."Boleh aku pinjam Candranya sebentar, Re. Janji deh hanya lima menitan saja," kata Oliv padaku setelah itu."Oh iya, silahkan bawa saja," jawabku.Mas Candra pun kemudian mengikuti kemana Oliv pergi. Dari jauh aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka terlihat membicarakan hal yanh serius berdua.Lima menit kemudian mas Candra kembali menghampiriku begitu juga dengan Oliv."Makasih ya, Re. Ini aku kembalikan lagi Candra untukmu," kata O
Mas Candra akhirnya menjadikan pak Sapto sebagai sosok inspirasi untuk buku ke tiganya. Dia juga mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan pada pak Sapto.Ternyata pak kepala desa yang mengetahui kebaikan mas Candra kepada pak Sapto menceritakannya pada bapak wali kota. Secepat ini balasan yang Allah berikan kepada orang yang ikhlas membantu orang lain ternyata. "Jadi hari ini berangkat jam berapa, Mas?" tannyaku pada mas Candra. Hari ini dia akan datang ke acara launching buku salah satu teman penulisnya."Sebentar lagi. Kamu ikut kan?" tanya mas Candra. "Raiqa bagaimana?" tanyaku."Ajak aja Raiqa. Dia pasti seneng kan diajak jalan-jalan naik mobil," balas mas Candra. "Kamu yakin? Di sana pasti banyak orang kan?" "Nggak papa, Sayang. Raiqa pasti senang," kata mas Candra kemudian. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu dan tanpa terasa kini putri kecilku sudah berusia tiga bulan. "Ya sudah deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu," kataku.Saat aku sedang bersiap tiba-tiba s
"Ini hadiah buat Mela. Mela semangat ya. Tidak boleh malas jika di suruh melakukan HD," kataku saat kita sudah sampai di rumah sakit lagi. "Asyik, makasih ya, Tante.""Sama-sama, Sayang. Kalau begitu Tante keluar ya. Mela ditungguin Ibu sekarang," lanjutku."Iya, Tante. Makasih ya. Mela akan selalu semangat menjalani HD agar cepat sembuh," jawab Mela.Aku segera memeluk Mela. Tak terasa air mata ini pun jatuh begitu saja."Tante kenapa menangis?" tanya anak kecil itu."Nggak papa, Sayang. Tante cuma bangga saja padamu," jawabku seraya menyeka air mataku yang baru saja tumpah."Aku hebat ya?""Iya, kamu anak yang hebat. Teruslah seperti ini ya, Sayang," tambahku.Setelah hampir setengah jam aku di dalam bersama dengan Mela, akhirnya aku pun keluar. Mela meneruskan melakukan cuci darahnya. "Sudah?" tanya mas Candra yang saat ini sedang menggendong Raiqa."Sudah, Mas.""Pergi sekarang?""Semua sudah kamu selesaikan?""Sudah, Sayang," jawab mas Candra. "Ya sudah kalau begitu. Ayo pulan
"Mulai hari ini setiap kamu mau HD, kamu perginya ke sini ya, Mel. Tidak perlu ke rumah sakit yang di luar kota," kata mas Candra."Kenapa di sini, Om? Mela kan udah betah dan nyaman HD di rumah sakit yang kemarin. Perawatnya juga baik-baik banget pada Mela," jawab Mela. "Mela mau cepet sembuh kan? Rumah sakit ini lebih baik dari rumah sakit sebelumnya. Jadi di rumah sakit ini juga nantinya Mela bakalan dapat perawatan dan pengobatan yang baik. Mela mau sembuh kan?" kata mas Candra selanjutnya. "Mela ingin sekali sembuh, Om. Tapi kata ibu, Mela ini anak istimewa. Jadi sewaktu-waktu kalau Tuhan udah sayang sama Mela, Mela harus siap untuk dipanggil Tuhan," jawab Mela. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Aku langsung pergi sebentar agar Mela tidak melihat air mataku keluar."Re," kata mas Candra yang tiba-tiba menyusulku. "Mas," ujarku yang kemudian langsung memeluknya."Nggak papa. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua. Kita akan membantunya. Kita
"Di mana pak Sapto?" taya bapak kepala desa pada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu bersama seorang anak perempuan."Pak Lurah, tolong suami saya, Pak. Dia sedang di interogasi di dalam," kata perempuan tadi."Bagaimana ini, Mbak? Apa kita harus masuk?" tanya bapak kepala desa padaku. "Sebentar, Pak. Saya telepon suami saya dulu," sambungku.Aku menghubungi mas Candra setelah itu. Dia pasti bisa memberi pengertian kepada polisi agar polisi membebaskan pak Sapto."Jadi kamu di kantor polisi sekarang, Re?""Iya, Mas. Mas Candra bisa datang sekarang nggak? Sudah selesai belum di sana?" tanyaku."Iya aku akan langsung ke kantor polisi setelah ini. Urusanku di sini juga sudah selesai," kata mas Candra kemudian."Buruan ya, Mas. Aku bingung harus bagaimana ini," ucapku."Iya, Re. Aku segera datang."Setelah menghubungi mas Candra, aku kemudian mendekati istri pak Sapto dan anaknya. Aku yakin jika anak yang dimaksud pak Sapto adalah anak ini."Bu," sapaku."Iya, Mbak. Apakah mbakn
Ponsel mas Candra berdering saat kita sedang sarapan bersama. Dia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung melihat siapa yang meneleponnya. "Halo," ujar mas Candra."Oh iya, Pak. Apa sudah sampai di rumah sekarang?" tanya mas Candra kemudian."Baik, Pak. Hari ini saya ke rumah ya. Saya hubungi dulu teman saya di rumah sakit," sambung mas Candra."Sama-sama, Pak. Tunggu saya datang. Sebentar lagi saya ke sana," lanjut mas Candra.Setelah mas Candra mengakhiri panggilannya dia lalu bergegas bangkit dari meja makan."Mau berangkat sekarang? Pak Sapto sudah sampai di rumah ya, Mas?" tanyaku yang tahu jika itu panggilan dari pak Sapto."Iya, Sayang. Aku langsung ke sana sekarang ya. Kamu mau ikut nggak?" tanya mas Candra kemudian."Aku di rumah saja ya, Mas. Kasihan Raiqa," jawabku."Ya sudah kalau begitu. Aku sendiri saja nggak papa. Aku siap-siap dulu ya," kata mas Candra selanjutnya. "Iya, Mas. Oh iya, Mas. Bukankah hari ini kamu ada janji ketemuan sama produ
"Jadi begitu ceritanya? Kasihan banget pak Sapto itu. Dia rela melakukan penipuan seperti itu demi membiayai pengobatan anaknya," kata Ibu saat aku dan mas Candra menceritakan soal kejujuran pak Sapto. "Iya benar, Bu. Sebuah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya," balasku. "Ya begitulah, Re. Jadi kalian berniat untuk membantunya?""Iya, Bu. Mas Candra mau membantu pengobatan anak pak Sapto," ujarku."Benar begitu, nak Candra?""Iya, Bu. Aku merasa harus membantu bapak ini. Rejeki yang selama ini aku dapat sebenarnya juga rejeki pak Sapto ini. Diki menabraknya juga bukan sebuah kebetulan semata. Semua ini sudah kehendak Allah.""Nak Candra benar. Dalam rejeki kita ada rejeki orang lain juga. Semoga rejeki kalian makin berkah kedepannya," lanjut Ibu."Amin," balasku dan Mas Candra secara bersamaan. "Dan untuk Diki, ibu minta maaf. Ibu tidak pernah berniat atau pun bermaksud untuk membuatmu sakit hati. Ibu hanya berusaha menasehati mu. Ibu menghawatirkanmu," sambung Ibu."Maafkan Dik
"Iya begitulah, Mbak," jawab pak Sapto. Aku tahu jika saat ini dia sedang berkata jujur. "Kenapa bapak memilih untuk melakukan pekerjaan ini?" tanya mas Candra."Saya terpaksa, Mas. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa mendapatkan uang dengan cepat pasti saya akan melakukannya. Apapun itu pekerjaannya. Saya pernah mau menjual ginjal saya juga untuk pengobatan anak saya, tapi istri melarang saya. Saya tidak ada pilihan lain, Mas." "Apakah istri dan anak bapak tahu akan hal ini?" tanya mas Candra lagi."Istri tahu, anak yang tidak tahu. Jadi setiap kali saya di tangkap dan masuk polisi istri selalu bilang jika saya lagi bekerja keluar kota. Berusaha untuk membuat anak saya percaya," jawab pak Sapto sembari menyeka air matanya."Apa polisi tidak pernah menanyakan alasan bapak melakukan ini semua? Bukankah sudah hampir tiap kali di tangkap pasti melakukan hal yang sama?" tanyaku."Tidak ada yang peduli, Mas. Polisi juga yang penting memenjarakan saya. Mereka tidak pernah bertanya ken