Karena Kita Orang Miskin (21)Ya Allah ... ke mana Mas Dadang? Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Pergi dari kemarin siang membawa emas, sampai detik ini tak kunjung kembali. Kabar pun tak kudapati.Aku benar-benar takut sesuatu yang buruk menimpanya. Sementara aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong. Jangankan menolong, mencaritahu kabarnya pun aku tak mampu. Aku harus bagaimana sekarang?Sampai waktu Rindi pulang sekolah pun Mas Dadang belum juga tampak. Karenanya, aku memutuskan menemui Mbak Lulu di rumahnya. Semoga saja kakak iparku itu bisa membantu mencaritahu keberadaan adiknya."Memangnya, Dadang pergi ke mana, sih, Na?" tanya Mbak Lulu setelah kujelaskan maksud dan tujuan ke rumahnya."Pergi sama temennya, Mbak.""Temen siapa, Na? Kamu nggak punya nomer hapenya?""Ada, sih, Mbak. Tapi nggak aktif nomernya. Saya jadi bingung, Mbak. Mana mereka pergi bawa em-" Terpaksa kuhentikan kata-kata karena terdengar salam dari teras rumah Mbak Lulu.Mbak Lulu lantas berdiri dari ku
Karena Kita Orang Miskin (22)"Astaghfirullah ...." Aku dan ibu mertua mengucapkan itu bersama. Anak-anak yang sedang duduk bersama kami pun bergantian mengucap istighfar. Bagaimana bisa itu terjadi.Kudekati Mas Dadang yang telah terduduk lemas bersandar di dinding samping pintu. Mengelus pundaknya berkali-kali. Lalu membantunya berdiri saat suamiku itu mencoba bangkit.Kutuntun Mas Dadang berjalan hingga duduk di sofa baru kami. Setelah itu, segera aku ke dapur untuk membuatkan teh hangat. Lalu cepat-cepat kembali ke ruang tamu, menyajikannya untuk suamiku."Diminum dulu, Mas." Aku berucap seraya mendekatkan cangkir teh ke wajah Mas Dadang.Tanpa menjawab, Mas Dadang membuka sedikit mulutnya hingga aku bisa menempelkan cangkir ke bibirnya. Mas Dadang hanya meminum sekitar tiga tegukan. Kemudian, tangannya mengambil alih cangkir untuk diletakkannya di meja kecil yang berada di hadapan."Maaf ...." Hanya kata-kata itu yang diucapkan suamiku setelah cukup lama terdiam."Ayah nggak sala
Karena Kita Orang Miskin (23)Entah semalam aku tidur jam berapa dan bagaimana. Ketika bangun, aku sudah berada dalam kamar. Pelipisku terasa basah. Saat kuraba, ternyata ada handuk basah yang menempel di sana.Mas Dadang muncul tak lama setelah aku membuka mata. Suamiku itu membawa sebuah nampan di tangannya.Nampan itu diletakkannya di atas meja yang entah sejak kapan berada di sini ranjang kami."Alhamdulillah ... Ibu sudah bangun," katanya.Tangannya melepas handuk di keningku dan kemudian meraba tempat itu dengan membolak-balikkan tangannya."Syukurlah, demam Ibu sudah turun. Ayah khawatir banget," lanjutnya.Sementara aku hanya diam menanggapinya. Bingung hendak berkata apa. Juga masih ada perasaan yang tak dapat kumengerti di dalam hati akan sikap Mas Dadang yang kurasa aneh."Ibu kenapa?" tanya Mas Dadang. Tangannya menarik tubuhku dalam pelukan."Kenapa apanya, Yah?""Ibu, kok, kayak dingin sama Ayah dari semalem. Ada apa, Bu? Kalau Ayah salah, kasih tau, dong. Jangan kayak g
Karena Kita Orang Miskin (24a)Terpaksa, aku membuka kembali pintu rumah. Ternyata, yang menahan pintu adalah Bu Ina, salah satu tetangga kami. Beliau datang dengan mata sembab sembari menahan tangis."Mbak Ratna, tolongin saya," katanya seraya menangkupkan tangan di depan dada. Tatapannya penuh harap. Mata sembabnya mengisyaratkan kesedihan yang mendalam."Masuk dulu, Bu. Nggak enak nanti kalau dilihat orang. Silakan." Aku mengajak beliau masuk. Lantas kutinggalkan untuk membuat jamuan.Dari kamar, Mas Dadang memanggilku. Dia menanyakan siapa yang datang. Kuberitahu saja seraya memintanya menemani di ruang tamu terlebih dahulu sementara aku membuatkan teh.Aku ikut duduk di samping Mas Dadang setelah memindahkan isi nampan ke atas meja. Lantas menawarkan tamu kami untuk menikmatinya. Sajian sederhana berupa teh dan beberapa keping biskuit kalengan."Jadi, kalau boleh saya tau, ada apa maksud kedatangan Bu Ani malam-malam begini ke sini?" Aku bertanya setelah wanita paruh baya itu mel
Karena Kita Orang Miskin (24b)Pagi hari, saat berbelanja sayur ke pasar, aku mendapati beberapa orang berbisik-bisik saat aku lewat. Entah apa lagi yang dibicarakannya tentang diriku. Lebih baik kuacuhkan saja.Entah dari mana orang-orang tahu kabar kami membantu keluarga Bu Ina, siangnya, satu per satu orang datang ke rumah untuk meminta bantuan dana. Macam-macam alasan mereka. Ada yang untuk biaya sekolah anak, hingga yang hanya untuk foya-foya seperti mengganti ponsel dengan model terbaru. Semuanya kami tolak baik-baik karena memang kami tidak memegang uang tunai. Lagipula, aku takut kalau menjadi kebiasaan bagi mereka. Bukannya pelit atau sombong, aku hanya takut kalau hutang-piutang malah menjadi pemutus silaturahmi.Ibu mertua yang mengetahui perihal orang-orang yang datang ke rumah kami untuk berhutang pun menjadi geram. Beliau bahkan mengusir secara terang-terangan beberapa orang yang datang saat beliau sampai di rumah kami. Beliau malah tak segan untuk menyindir beberapa ora
Karena Kita Orang Miskin (25)Aku berjalan mendekat saat melihat kejadian di depan sana."Loh, ada apa ini, Pak?" tanyaku pada seorang polisi yang hendak masuk ke dalam mobil patroli bersama suamiku."Apa dengan Ibu Ratna?" Polisi itu balik bertanya."Benar, saya sendiri.""Kalau begitu, mari Ibu ikut dengan kami juga untuk memberikan keterangan di kantor.""Loh, ada apa ini, Pak? Kenapa kami harus dibawa ke kantor polisi? Salah kami apa?""Nanti akan kami jelaskan lengkapnya di kantor. Mari, Ibu." Polisi itu mempersilakan aku untuk masuk ke dalam mobil patroli yang di dalamnya telah duduk Mas Dadang. Terpaksa, aku ikut masuk setelah memastikan anak-anak aman di rumah.Ternyata, kami dibawa ke kantor polisi guna dimintai keterangan sebagai saksi yang menguatkan alibi Yu Tina. Semalam, suami Yu Tina dikabarkan meninggal dunia akibat dibunuh. Sesuai identifikasi, waktu kematian ditaksir tepat saat Yu Tina sedang berada di rumah kami. Jadi, kami dimintai keterangan terkait hal itu. Syuk
Karena Kita Orang Miskin (26)"Assalamualaikum," sapa orang di seberang telepon."Waalaikumsalam.""Maaf, Bu, apa Ibu kenal dengan orang yang punya nomor telepon ini?"Suara ini bukan milik Mas Bambang. Lantas, siapa dia? Kenapa menanyakan hal ini. Ada apa sebenarnya?"Iya, ada apa, ya?" Aku bertanya setelah berpikir sejenak."Saya Yanto, Bu. Saya yang membawa orang yang punya hape ini ke rumah sakit. Orangnya kecelakaan barusan. Sekarang orangnya lagi ditangani dokter. Di hape ini, cuma ada nomor Ibu. Jadi, saya nelpon ke Ibu."Astaghfirullah ....Mas Bambang kecelakaan?Inikah jawaban firasat burukku?Lalu, bagaimana dengan Mas Dadang? Mereka, kan, pergi bersama.Tanpa bertanya lebih detail, aku langsung meminta alamat rumah sakit tempat Mas Bambang dilarikan. Lalu, sesegera mungkin aku keluar rumah dan mencari ojek untuk mengantar ke sana. Tentunya setelah memastikan anak-anak mengunci pintu rumah dan tidak membuka pintu untuk orang lain selain aku dan Mas Dadang.Aku harus mengece
Karena Kita Orang Miskin (27)Aku langsung mendorong Mas Bambang untuk melepaskan diri dari pelukannya. Lantas berdiri kikuk sembari menanti langkah Mas Dadang yang kian mendekat. Entah apa yang ada dalam benaknya kini, tak mampu kutebak dari rautnya yang datar. Namun, aku bisa pastikan bahwa suamiku itu telah salah paham.Mas Dadang berdiri di sisi lain ranjang Mas Bambang. Mata kami sempat bertemu sesaat sebelum suamiku membuang pandang ke tubuh Mas Bambang. Detak jantungku semakin riuh karenanya."Abang udah baikan?" tanya Mas Dadang."Lumayan, Bro. Untung kamu semalem nggak ikut. Kalo ikut pulang bareng aku, bahaya!" balas Mas Bambang."Bahaya gimana, Bang? Tabrakan beruntun, ya, katanya?" Lagi, Mas Dadang bertanya."Hmm." Mas Bambang mengangguk.Selanjutnya, mereka berbincang cukup lama. Aku diabaikan. Entah sengaja atau tidak.Mas Dadang pun sepertinya tak mau berbicara banyak denganku dulu. Buktinya, saat aku izin untuk pulang lebih dulu, dia hanya memberikan anggukan sebagai j
Karena Kita Orang Miskin (41b)Meski sedikit sulit, aku mencoba untuk mengikhlaskan semua yang telah terjadi pada kami hingga hari itu. Sepanjang hari Mas Dadang memilih menemaniku pergi ke pantai untuk melepaskan rasa sesak yang menghimpit dada karena mengingat semua peristiwa buruk yang pernah menimpa keluarga kami. Urusan catering dan jualan lainnya kami percayakan pada Ratri dan karyawan lainnya. Anak-anak juga tidak rewel meminta ikut, jadi aku bisa pergi berduaan dengan Mas Dadang.Dua minggu kemudian, Mas Bambang meminta kami menemaninya untuk menemui Bulek Ima demi meminta restu meminang Ratri. Kami sekeluarga pergi bersama. Anak-anak kami bawa serta karena hari itu bertepatan dengan libur sekolahnya.Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Bulek Ima sangat senang dengan pinangan Mas Bambang. Sesuai rencana, satu bulan setelah lamaran itu akan diadakan akad nikah dan resepsi di kampung halaman. Setelah itu, Mas Bambang akan membawa Ratri serta ibunya untuk tinggal di rumahnya.A
Karena Kita Orang Miskin (41)Pagi-pagi sekali, Mas Dadang mengajakku berkunjung ke rumah Mas Mamat. Sudah pasti tujuannya untuk menanyakan ke mana larinya hak suamiku yang harusnya diberikan sejak tiga tahun yang lalu itu. Karena hingga detik ini kami belum merasa menerima barang sepeser pun."Assalamualaikum ...." Mas Dadang mengucap salam setelah ketukannya di pintu rumah tak mendapat jawaban.Cukup lama sampai salam kami dibalas. Mas Mamat yang membukakan pintu tampak terkejut dengan kedatangan kami. Akan tetapi, dia berpura-pura tersenyum. Aku tahu itu karena gelagatnya yang mencurigakan seperti dulu waktu dia baru pulang dari perantauan.Kami dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamu rumahnya. Sementara dia pamit ke belakang untuk menyiapkan sajian. Sebenarnya, kami sudah menolak untuk dijamu, tetapi dia tetap bersikukuh bahwa tamu adalah raja. Jadi, kami biarkan saja dia berlalu dan menghilang di balik kain pintu pembatas dapurnya.Kami menunggu cukup lama hingga dia muncul k
Karena Kita Orang Miskin (40b)"Bener, Dek?" Aku bertanya pada Ratri.Dia mengangguk seraya tersenyum malu."Iya, Mbak," katanya."Mas Bambang ngajak serius setelah kami dekat dua minggu yang lalu, Mbak," lanjut Ratri."Boleh, kan, Mbak?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban. Aku kenal Mas Bambang. Pria itu baik dan bertanggung jawab. Ya, walaupun aku pernah ditinggalkannya tanpa kabar.Biarlah itu menjadi masa lalu. Mungkin itu hanya sebab dan pertanda bahwa dia bukanlah jodohku. Sekarang, dia berniat serius dengan Ratri. Semoga dia bisa membahagiakan adik sepupuku itu."Alhamdulillah ...." Mas Bambang dan Ratri menjawab bersamaan.Hal itu membuat aku dan Mas Dadang tersenyum."Mirip kita dulu, ya, Bu?" bisik Mas Dadang.Aku jadi mengingat kejadian serupa di masa dulu. Ketika Mas Dadang datang memintaku pada almarhum Kakek."Iya, Yah," balasku seraya menahan tawa karena mengingat kejadian serupa."Rencananya, saya mau minta tolong ditemani kalian untuk min
Karena Kita Orang Miskin (40)Segera aku berjalan ke arah Ratri yang tampak sedang asik berbincang dengan beberapa orang di dalam toko bangunan milik Mas Bambang. Mas Dadang yang berjalan di sampingku selalu mengingatkan, "Kontrol emosi, ya, Bu. Ini tempat umum. Apalagi pemiliknya kita kenal." Sementara aku menanggapinya hanya dengan berdeham."Dek ...." Aku menegur Ratri seraya menyentuh pundaknya. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku tadi. Ratri langsung menengok dengan wajah pias."Mbak ...," katanya seraya menunduk.Di sana ada Mas Bambang yang tersenyum ramah padaku dan Mas Dadang."Datang juga kamu, Bro," sapa Mas Bambang pada suamiku."Iya, Bang. Maaf baru pulang dari rumah sakit soalnya," jawab Mas Dadang.Selanjutnya, mereka terlibat obrolan panjang yang dimulai dari kabar kesehatan Rindi. Sedangkan aku dan Ratri masih saling diam. Sesekali kami bersitatap. Namun, secepat kilat Ratri akan mengalihkan tatapannya setelah itu.Mas Bambang mengajak kami masuk ke ruangan pri
Karena Kita Orang Miskin (39)Segera saja kukantongi benda yang kutemukan itu. Akan kumintai penjelasan bila Ratri datang nanti. Apa penyebab benda ini ada di kamarnya.Selama ini, aku mengenal Ratri sebagai gadis baik-baik. Hanya saja perubahan sikapnya pada Mas Dadang dua minggu belakangan ini saja yang aneh. Selebihnya, aku tidak melihat hal mencurigakan dari adik sepupuku itu.Namun, benda yang kutemukan ini seperti mematahkan penilaianku. Bila bungkus ini ada di kamar Ratri, berarti dia pernah menggunakannya. Berarti, dia pernah melakukan hubungan intim dengan laki-laki hingga takut hamil.Astaghfirullah ....Sungguh, aku benar-benar tak menyangka dengan temuanku ini. Bisa-bisanya Ratri seperti ini. Bagaimana tanggapan Bulek Ima nantinya kalau tahu Ratri seperti ini saat berada dalam pengawasanku. Entah apa yang akan kujelaskan nanti pada Bulek Ima tentang ini seandainya hasil dari alat tes yang digunakan Ratri menunjukkan garis dua.Aku menanti kedatangan Ratri dengan cemas. Sam
Karena Kita Orang Miskin (38)Akibat dari perebutan harta warisan, hubungan kami dengan keluarga Mas Dadang kembali berantakan. Mas Dadang yang menolak untuk membicarakan perihal pembagian warisan adalah penyebabnya. Bukan tanpa sebab Mas Dadang menolak hal itu. Melainkan hanya untuk menghormati mendiang ibunya yang tanah makamnya belum juga kering.Namun, bukannya disambut baik, Mas Dadang malah dimusuhi. Suamiku bahkan diancam tidak mendapat bagian warisan oleh saudara-saudaranya. Tak kusangka, Mbak Lulu pun bersikap demikian.Akhirnya, Mas Dadang memilih mengalah. Suamiku itu pun tak mau menuntut haknya. Lebih baik kami berusaha sendiri untuk mencapai kesuksesan, prinsipnya.Alhamdulillah, semakin hari, usaha kami kian lancar. Utang-utang kami di bank pun sudah lunas. Begitu juga dengan cicilan di tempat lainnya.Aku juga bisa menambah karyawan untuk membantuku. Salah satunya adalah Ratri--adik sepupuku. Aku mengajaknya kerja atas permintaan Bulek Ima--ibunya Ratri, adik dari almar
Karena Kita Orang Miskin (37)Aku sudah terbaring di atas brankar rumah sakit saat membuka mata. Aroma obat menyeruak menusuk hidung saat itu juga. Kepalaku juga masih terasa berat."Ibu ...." Itu suara Mas Dadang.Benar saja, saat mataku terbuka sempurna, aku melihat Mas Dadang berdiri dengan senyum mengembang dan mata berkaca-kaca. Tangannya meraih jemariku untuk digenggamnya."Syukurlah, Ibu sadar juga. Ayah khawatir banget," tuturnya."Ibu kenapa memangnya, Yah?""Ibu nggak inget?"Aku menggeleng. Belum mampu aku mengingat apa pun saat ini. Kepalaku saja rasanya masih sakit saat berbicara. Pasti akan lebih sakit lagi kalau aku memaksa untuk menggali ingatan."Sudah, nggak usah diingat kalo gitu, Bu. Yang penting Ibu sekarang sudah sadar. Bentar, ya, Ayah panggil suster atau dokter dulu."Aku hanya bisa menanggapinya dengan anggukan.Mas Dadang lantas melepas tanganku dan berlalu keluar kamar. Tak lama setelahnya, suamiku itu sudah datang dengan seorang dokter dan dua orang perawat
Karena Kita Orang Miskin (36b)"Sudah, sana, keluar! Jangan lupa tutup lagi pintunya!" Mas Hamdan memberi perintah padaku.Karena merasa sudah cukup bukti, aku langsung keluar setelah mendengar perintah itu. Sayangnya, aku tak sempat mengambil gambar mereka dalam kamar itu. Padahal, itu juga bisa menjadi kartu as yang kumiliki. Tak apa lah, yang penting sudah ada sedikit bukti.Keluar dari kamar Mas Hamdan, aku langsung menuju tempat pertemuan tadi dengan Anisa. Lantas berganti pakaian dengan pakaianku semula. Tak lupa, sebelum pergi, kuselipkan beberapa lembar uang sebagai tanda terima kasih pada Anisa dan Lulu.Mereka sempat menolak pemberianku. Alasannya adalah karena mereka ikhlas membantu. Akan tetapi, aku terus memaksa dengan alasan sudah kuniatkan sedari awal. Syukurlah, mereka akhirnya mau menerimanya.Aku pulang dengan perasaan lega. Rencananya, besok akan menemui Mas Hamdan. Pertemuan itu akan kujadikan sebuah bukti lainnya untuk membersihkan nama baikku.Sengaja kurahasiaka
Karena Kita Orang Miskin (36)Aku tidak boleh kehilangan kesempatan emas ini! Harus kukumpulkan bukti sebagai alat untuk memperbaiki namaku di mata keluarga Mas Dadang. Harus hari ini juga kulakukan itu. Belum tentu besok aku masih punya kesempatan yang sama.Untuk melancarkan aksiku, kuhubungin Supri. Kuperintahkan dirinya untuk mengambil alih tugasku berbelanja bahan yang kurang. Kuperintahkan juga dia untuk menangani proses masak seperti kemarin bersama Marni.Sementara aku berjalan mengendap mengekori Mas Hamdan. Beberapa kali kuabadikan kemesraan suami kakak iparku itu bersama gadisnya dengan kamera ponsel. Beberapa gambar kuambil berkali-kali.Aku juga ikut masuk ke hotel beberapa saat setelah mereka masuk. Segera, aku menuju meja resepsionis untuk mencari informasi tentang Mas Hamdan. Sayangnya, kebijakan di sana tidak memperbolehkanku memperoleh informasi yang kubutuhkan."Tolongin saya, lah, Mbak! Ini menyangkut harga diri saya. Tolong, ya, Mbak!" pintaku pada sang resepsioni