Karena Kita Orang Miskin (28)Tengah malam, aku terbangun saat tangan Mas Dadang membelai lembut rambutku."Ayah?"Melihatku terbangun, Mas Dadang menghentikan kegiatannya. Belum sempat ia berdiri, kutarik tangannya dan membenamkan diri dalam pelukannya. Kutumpahkan semua tangis yang sengaja ditahan sejak pagi tadi."Ibu nggak akan khianatin Ayah. Ibu sayang, Ibu cinta sama Ayah. Ayah cuma salah paham," kataku di sela tangis.Mas Dadang diam. Tak menjawab kata-kataku atau bergerak barang sedikit. Sementara aku masih saja terus berusaha meyakinkannya."Yang Ayah lihat, nggak seperti itu kenyataannya. Ibu nggak ada apa-apa sama Mas Bambang. Ibu datang ke rumah sakit karena nyariin Ayah."Mas Dadang sepertinya terkejut akan penuturanku itu. Buktinya, tubuhnya sedikit mengendur dari pelukanku."Ibu gelisah nungguin Ayah nggak pulang-pulang. Tiba-tiba ada yang nelpon pake nomor Mas Bambang ngasih tau dia kecelakaan. Ibu panik. Ibu kira Ayah juga kenapa-kenapa." Tangisku semakin pecah mengi
Karena Kita Orang Miskin (29)Aku menatap Mas Dadang meminta jawaban. Haruskah kujawab telepon itu? Atau membiarkannya saja."Angkat aja, Bu. Speaker!" perintah Mas Dadang."Assalamualaikum," sapa Mas Bambang."Waalaikumsalam." Aku menjawab datar."Ada apa, ya, Mas?" tanyaku kemudian."Dadang ada, Ratna? Kalau boleh, saya mau bicara sama dia."Aku meminta pendapat Mas Dadang lewat tatapan. Mas Dadang menjawab dengan anggukan."Maaf saya nelpon ke nomor kamu. Nomor Dadang nggak aktif soalnya," lanjut Mas Bambang.Segera saja kuserahkan ponsel ke Mas Dadang. Suamiku itu lantas mematikan speaker dan berjalan ke ruang depan. Meninggalkan aku yang berniat melanjutkan kegiatan memasak makan siang.Entah apa yang Mas Dadang bicarakan dengan Mas Bambang. Biarlah, aku tak mau terlalu ambil pusing. Yang penting kesalahpahaman antara aku dan suamiku sudah berakhir.Bertepatan dengan aku selesai memasak, Mas Dadang pun selesai berbincang dengan Mas Bambang. Kami lalu makan siang bersama anak-anak
Karena Kita Orang Miskin (30)Aku terbangun saat merasakan sentuhan pada bagian atas tubuh. Kepalaku masih berat saat mataku mulai terbuka perlahan. Di depanku ada orang.Astaghfirullah ... Mas Hamdan sedang menggerayangi tubuhku.Refleks, kudorong tubuhnya."Astaghfirullah ... Mas ngapain di sini? Pergi, Mas!"Segera kubetulkan kancing baju yang sudah terbuka semua.Bukannya pergi, suami Mbak Lulu malah menyeringai dan berjalan semakin mendekat ke arahku. Aku yang ketakutan melihat itu, terus saja mundur hingga tubuhku tertempel di dinding kamar. Dengan cekatan, Mas Hamdan mengunci tanganku dengan sebelah tangannya dan membekap mulutku dengan tangan lainnya."Saya sudah lama nunggu momen ini. Akhirnya, hari ini saya bisa milikin kamu juga," bisik Mas Hamdan.Aku berusaha memberontak, tapi tak bisa. Aku kalah kuat darinya. Akhirnya, hanya gelengan yang bisa kuberikan seraya menatap matanya dengan tatapan memohon."Sudahlah, nikmati saya apa yang akan saya kasih, Ratna. Kamu juga pasti
Karena Kita Orang Miskin (31)Usaha yang aku dan Mas Dadang rintis, berjalan semakin baik dari hari ke hari. Pesanan catering pun semakin banyak. Mulai dari catering untuk makan siang guru-guru di beberapa sekolah, hingga catering untuk beberapa kantor di sekitar tempat tinggal kami.Tentunya aku kewalahan dalam menangani pesanan seorang diri. Aku sengaja memanggil beberapa orang untuk membantuku memasak. Begitu juga untuk membantu Mas Dadang berjualan pada sore hari karena usaha warung makan mobil kami semakin banyak peminatnya."Bu, gimana kalau kita buka cabang baru?" Mas Dadang meminta pendapatku setelah satu tahun usaha kami berjalan dan mulai ramai."Tapi, Yah, untuk beli mobil baru, kita nggak punya uangnya, Yah. Belum cukup," jawabku."Kita ambil di bank dulu aja, Bu. Lumayan, loh, Bu. Nanti ada kenalan Ayah yang urus." Mas Dadang memberi solusi.Sebenarnya, aku enggan untuk mengambil pinjaman di bank. Aku khawatir kalau nantinya kami malah tidak bisa melunasinya. Lagipula, bu
Karena Kita Orang Miskin (32)"Apa yang mau kamu bicarakan, Pri?" tanyaku setelah menyiapkannya minuman. Aku sengaja mengajak Supri berbincang di lantai tiga rumah yang berfungsi sebagai atap dan tempat jemuran karena berupa ruang terbuka. Aku tak mau perbincangan ini terganggu kalau kami mengobrol di ruang tamu rumah.Maklum, lantai satu rumah kami yang dijadikan tempat produksi makanan, membuatnya dilalui banyak orang. Kalau seperti permintaan Supri tadi bahwa ingin bicara penting secara empat mata denganku, di atas sinilah tempat yang cocok. Di sini aman dari lalu lalang orang yang berpotensi menguping pembicaraan kami.Supri tampak menghela napas berkali-kali. Sepertinya dia sedang menimbang apa yang akan diucapkannya. Aneh, padahal tadi dia tampak serius dan sedikit bersemangat saat bilang ingin berbicara empat mata denganku."Pri ...."Supri terlihat salah tingkah saat aku menegurnya."I-iya, Bu?""Jadi, apa yang mau kamu sampaikan?"Supri menunduk sebentar sebelum memulai kalim
Karena Kita Orang Miskin (33)Kupersilakan Supri pulang setelah mendapatkan semua informasi yang dimilikinya. Aku akan menunggu Mas Dadang malam ini. Kalau sampai besok suamiku itu tak jua ada kabarnya, akan kuperintahkan Supri untuk mencaritahu lebih dalam tentang apa yang terjadi."Ingat, Pri, tolong rahasiakan hal ini dari siapa pun! Saya percaya kamu orang baik," pintaku sebelum Supri pergi dengan motornya."Baik, Bu. Insya Allah saya akan jaga amanah Ibu." Supri mengatakan itu setelah mengancing helmnya."Saya pamit, Bu. Assalmualaikum," lanjutnya seraya menyalakan mesin motor. Lantas pergi dari rumahku. Sedangkan aku langsung mengunci pintu setelahnya.Aku menunggu kedatangan Mas Dadang sampai jam sebelas malam. Mataku sudah tak sanggup lagi untuk tetap terjaga setelahnya. Sebelum benar-benar terpejam, aku sempat menelepon Mas Dadang. Namun, nomornya tidak aktif.Seperti biasanya, aku terbangun setelah alarm--yang kusetel aktif sebelum adzan Subuh--berdering. Segera kubangunkan
Karena Kita Orang Miskin (34)"Maksud Ibu gimana?" Mas Dadang masih pura-pura tak tahu. Padahal, aku yakin dia mengerti bahwa aku sudah tahu semua kebohongannya."Nggak usah pura-pura bodoh, Yah!" Aku sedikit membentak.Wajah Mas Dadang kembali menanpakkan gurat ketidakpercayaan. Mungkin dia terkejut karena ini memang baru pertama kalinya aku meninggikan suara di depannya. "Kalau Ibu nggak jelasin, gimana Ayah mau ngerti?"Aku diam tak menanggapi."Bu ...." Mas Dadang menyentuh pundakku. Aku berusaha melepasnya dengan menggerakkan bahu."Tolong jangan bersikap kayak gini!" pinta Mas Dadang.Rasanya dadaku penuh sesak karena menahan emosi."Kalau Ayah nggak ngebohongin Ibu, nggak mungkin Ibu bersikap kayak gini!" Aku berbicara tanpa memandang Mas Dadang.Berkali-kali kuseka sudut mata dengan pergelangan baju yang kukenakan. Menahan air mata ini rasanya sangat sulit meski telah beberapa kali aku menengadah dan mengerjap agar ia tak tumpah. Namun, sepertinya semua itu sia-sia belaka. Ak
Karena Kita Orang Miskin (35a)Mas Dadang meminta pendapatku setelah memutuskan sambungan telepon dengan kakaknya."Pergi aja, Yah. Ibu izinin, kok," jawabku.Sebenarnya, aku juga ingin ikut, tapi ini sudah terlalu larut. Aku takut meninggalkan anak-anak itu sendiri di rumah. di sana, aku juga belum tahu bagaimana situasi di sana. Jangan sampai kedatanganku nanti malah menambah masalah.Kuantar Mas Dadang sampai teras. Lalu, kunci pintu setelah mobilnya menjauh dari rumah. Selanjutnya, kembali ke kamar untuk istirahat.Namun, di kamar, aku malah tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku sibuk menerka apa yang sebenarnya terjadi. Sakit apa sebenarnya ibu mertuaku itu?Aku tetap terjaga sampai pukul dua dini hari. Kegundahan hatiku tak kunjung hilang meski entah berapa ratus kali aku telah mencoba menghalaunya dengan melafazkan kalam Allah. Berkali-kali kuucapkan doa yang sama, semoga ibu mertuaku kembali sehat dan bisa melewati masa kritisnya.Pagi hari, aku bangun kesiangan. Entah berapa
Karena Kita Orang Miskin (41b)Meski sedikit sulit, aku mencoba untuk mengikhlaskan semua yang telah terjadi pada kami hingga hari itu. Sepanjang hari Mas Dadang memilih menemaniku pergi ke pantai untuk melepaskan rasa sesak yang menghimpit dada karena mengingat semua peristiwa buruk yang pernah menimpa keluarga kami. Urusan catering dan jualan lainnya kami percayakan pada Ratri dan karyawan lainnya. Anak-anak juga tidak rewel meminta ikut, jadi aku bisa pergi berduaan dengan Mas Dadang.Dua minggu kemudian, Mas Bambang meminta kami menemaninya untuk menemui Bulek Ima demi meminta restu meminang Ratri. Kami sekeluarga pergi bersama. Anak-anak kami bawa serta karena hari itu bertepatan dengan libur sekolahnya.Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Bulek Ima sangat senang dengan pinangan Mas Bambang. Sesuai rencana, satu bulan setelah lamaran itu akan diadakan akad nikah dan resepsi di kampung halaman. Setelah itu, Mas Bambang akan membawa Ratri serta ibunya untuk tinggal di rumahnya.A
Karena Kita Orang Miskin (41)Pagi-pagi sekali, Mas Dadang mengajakku berkunjung ke rumah Mas Mamat. Sudah pasti tujuannya untuk menanyakan ke mana larinya hak suamiku yang harusnya diberikan sejak tiga tahun yang lalu itu. Karena hingga detik ini kami belum merasa menerima barang sepeser pun."Assalamualaikum ...." Mas Dadang mengucap salam setelah ketukannya di pintu rumah tak mendapat jawaban.Cukup lama sampai salam kami dibalas. Mas Mamat yang membukakan pintu tampak terkejut dengan kedatangan kami. Akan tetapi, dia berpura-pura tersenyum. Aku tahu itu karena gelagatnya yang mencurigakan seperti dulu waktu dia baru pulang dari perantauan.Kami dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamu rumahnya. Sementara dia pamit ke belakang untuk menyiapkan sajian. Sebenarnya, kami sudah menolak untuk dijamu, tetapi dia tetap bersikukuh bahwa tamu adalah raja. Jadi, kami biarkan saja dia berlalu dan menghilang di balik kain pintu pembatas dapurnya.Kami menunggu cukup lama hingga dia muncul k
Karena Kita Orang Miskin (40b)"Bener, Dek?" Aku bertanya pada Ratri.Dia mengangguk seraya tersenyum malu."Iya, Mbak," katanya."Mas Bambang ngajak serius setelah kami dekat dua minggu yang lalu, Mbak," lanjut Ratri."Boleh, kan, Mbak?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban. Aku kenal Mas Bambang. Pria itu baik dan bertanggung jawab. Ya, walaupun aku pernah ditinggalkannya tanpa kabar.Biarlah itu menjadi masa lalu. Mungkin itu hanya sebab dan pertanda bahwa dia bukanlah jodohku. Sekarang, dia berniat serius dengan Ratri. Semoga dia bisa membahagiakan adik sepupuku itu."Alhamdulillah ...." Mas Bambang dan Ratri menjawab bersamaan.Hal itu membuat aku dan Mas Dadang tersenyum."Mirip kita dulu, ya, Bu?" bisik Mas Dadang.Aku jadi mengingat kejadian serupa di masa dulu. Ketika Mas Dadang datang memintaku pada almarhum Kakek."Iya, Yah," balasku seraya menahan tawa karena mengingat kejadian serupa."Rencananya, saya mau minta tolong ditemani kalian untuk min
Karena Kita Orang Miskin (40)Segera aku berjalan ke arah Ratri yang tampak sedang asik berbincang dengan beberapa orang di dalam toko bangunan milik Mas Bambang. Mas Dadang yang berjalan di sampingku selalu mengingatkan, "Kontrol emosi, ya, Bu. Ini tempat umum. Apalagi pemiliknya kita kenal." Sementara aku menanggapinya hanya dengan berdeham."Dek ...." Aku menegur Ratri seraya menyentuh pundaknya. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku tadi. Ratri langsung menengok dengan wajah pias."Mbak ...," katanya seraya menunduk.Di sana ada Mas Bambang yang tersenyum ramah padaku dan Mas Dadang."Datang juga kamu, Bro," sapa Mas Bambang pada suamiku."Iya, Bang. Maaf baru pulang dari rumah sakit soalnya," jawab Mas Dadang.Selanjutnya, mereka terlibat obrolan panjang yang dimulai dari kabar kesehatan Rindi. Sedangkan aku dan Ratri masih saling diam. Sesekali kami bersitatap. Namun, secepat kilat Ratri akan mengalihkan tatapannya setelah itu.Mas Bambang mengajak kami masuk ke ruangan pri
Karena Kita Orang Miskin (39)Segera saja kukantongi benda yang kutemukan itu. Akan kumintai penjelasan bila Ratri datang nanti. Apa penyebab benda ini ada di kamarnya.Selama ini, aku mengenal Ratri sebagai gadis baik-baik. Hanya saja perubahan sikapnya pada Mas Dadang dua minggu belakangan ini saja yang aneh. Selebihnya, aku tidak melihat hal mencurigakan dari adik sepupuku itu.Namun, benda yang kutemukan ini seperti mematahkan penilaianku. Bila bungkus ini ada di kamar Ratri, berarti dia pernah menggunakannya. Berarti, dia pernah melakukan hubungan intim dengan laki-laki hingga takut hamil.Astaghfirullah ....Sungguh, aku benar-benar tak menyangka dengan temuanku ini. Bisa-bisanya Ratri seperti ini. Bagaimana tanggapan Bulek Ima nantinya kalau tahu Ratri seperti ini saat berada dalam pengawasanku. Entah apa yang akan kujelaskan nanti pada Bulek Ima tentang ini seandainya hasil dari alat tes yang digunakan Ratri menunjukkan garis dua.Aku menanti kedatangan Ratri dengan cemas. Sam
Karena Kita Orang Miskin (38)Akibat dari perebutan harta warisan, hubungan kami dengan keluarga Mas Dadang kembali berantakan. Mas Dadang yang menolak untuk membicarakan perihal pembagian warisan adalah penyebabnya. Bukan tanpa sebab Mas Dadang menolak hal itu. Melainkan hanya untuk menghormati mendiang ibunya yang tanah makamnya belum juga kering.Namun, bukannya disambut baik, Mas Dadang malah dimusuhi. Suamiku bahkan diancam tidak mendapat bagian warisan oleh saudara-saudaranya. Tak kusangka, Mbak Lulu pun bersikap demikian.Akhirnya, Mas Dadang memilih mengalah. Suamiku itu pun tak mau menuntut haknya. Lebih baik kami berusaha sendiri untuk mencapai kesuksesan, prinsipnya.Alhamdulillah, semakin hari, usaha kami kian lancar. Utang-utang kami di bank pun sudah lunas. Begitu juga dengan cicilan di tempat lainnya.Aku juga bisa menambah karyawan untuk membantuku. Salah satunya adalah Ratri--adik sepupuku. Aku mengajaknya kerja atas permintaan Bulek Ima--ibunya Ratri, adik dari almar
Karena Kita Orang Miskin (37)Aku sudah terbaring di atas brankar rumah sakit saat membuka mata. Aroma obat menyeruak menusuk hidung saat itu juga. Kepalaku juga masih terasa berat."Ibu ...." Itu suara Mas Dadang.Benar saja, saat mataku terbuka sempurna, aku melihat Mas Dadang berdiri dengan senyum mengembang dan mata berkaca-kaca. Tangannya meraih jemariku untuk digenggamnya."Syukurlah, Ibu sadar juga. Ayah khawatir banget," tuturnya."Ibu kenapa memangnya, Yah?""Ibu nggak inget?"Aku menggeleng. Belum mampu aku mengingat apa pun saat ini. Kepalaku saja rasanya masih sakit saat berbicara. Pasti akan lebih sakit lagi kalau aku memaksa untuk menggali ingatan."Sudah, nggak usah diingat kalo gitu, Bu. Yang penting Ibu sekarang sudah sadar. Bentar, ya, Ayah panggil suster atau dokter dulu."Aku hanya bisa menanggapinya dengan anggukan.Mas Dadang lantas melepas tanganku dan berlalu keluar kamar. Tak lama setelahnya, suamiku itu sudah datang dengan seorang dokter dan dua orang perawat
Karena Kita Orang Miskin (36b)"Sudah, sana, keluar! Jangan lupa tutup lagi pintunya!" Mas Hamdan memberi perintah padaku.Karena merasa sudah cukup bukti, aku langsung keluar setelah mendengar perintah itu. Sayangnya, aku tak sempat mengambil gambar mereka dalam kamar itu. Padahal, itu juga bisa menjadi kartu as yang kumiliki. Tak apa lah, yang penting sudah ada sedikit bukti.Keluar dari kamar Mas Hamdan, aku langsung menuju tempat pertemuan tadi dengan Anisa. Lantas berganti pakaian dengan pakaianku semula. Tak lupa, sebelum pergi, kuselipkan beberapa lembar uang sebagai tanda terima kasih pada Anisa dan Lulu.Mereka sempat menolak pemberianku. Alasannya adalah karena mereka ikhlas membantu. Akan tetapi, aku terus memaksa dengan alasan sudah kuniatkan sedari awal. Syukurlah, mereka akhirnya mau menerimanya.Aku pulang dengan perasaan lega. Rencananya, besok akan menemui Mas Hamdan. Pertemuan itu akan kujadikan sebuah bukti lainnya untuk membersihkan nama baikku.Sengaja kurahasiaka
Karena Kita Orang Miskin (36)Aku tidak boleh kehilangan kesempatan emas ini! Harus kukumpulkan bukti sebagai alat untuk memperbaiki namaku di mata keluarga Mas Dadang. Harus hari ini juga kulakukan itu. Belum tentu besok aku masih punya kesempatan yang sama.Untuk melancarkan aksiku, kuhubungin Supri. Kuperintahkan dirinya untuk mengambil alih tugasku berbelanja bahan yang kurang. Kuperintahkan juga dia untuk menangani proses masak seperti kemarin bersama Marni.Sementara aku berjalan mengendap mengekori Mas Hamdan. Beberapa kali kuabadikan kemesraan suami kakak iparku itu bersama gadisnya dengan kamera ponsel. Beberapa gambar kuambil berkali-kali.Aku juga ikut masuk ke hotel beberapa saat setelah mereka masuk. Segera, aku menuju meja resepsionis untuk mencari informasi tentang Mas Hamdan. Sayangnya, kebijakan di sana tidak memperbolehkanku memperoleh informasi yang kubutuhkan."Tolongin saya, lah, Mbak! Ini menyangkut harga diri saya. Tolong, ya, Mbak!" pintaku pada sang resepsioni