Share

Bab 24a

Penulis: Aisyah Nur Permata
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Karena Kita Orang Miskin (24a)

Terpaksa, aku membuka kembali pintu rumah. Ternyata, yang menahan pintu adalah Bu Ina, salah satu tetangga kami. Beliau datang dengan mata sembab sembari menahan tangis.

"Mbak Ratna, tolongin saya," katanya seraya menangkupkan tangan di depan dada. Tatapannya penuh harap. Mata sembabnya mengisyaratkan kesedihan yang mendalam.

"Masuk dulu, Bu. Nggak enak nanti kalau dilihat orang. Silakan." Aku mengajak beliau masuk. Lantas kutinggalkan untuk membuat jamuan.

Dari kamar, Mas Dadang memanggilku. Dia menanyakan siapa yang datang. Kuberitahu saja seraya memintanya menemani di ruang tamu terlebih dahulu sementara aku membuatkan teh.

Aku ikut duduk di samping Mas Dadang setelah memindahkan isi nampan ke atas meja. Lantas menawarkan tamu kami untuk menikmatinya. Sajian sederhana berupa teh dan beberapa keping biskuit kalengan.

"Jadi, kalau boleh saya tau, ada apa maksud kedatangan Bu Ani malam-malam begini ke sini?" Aku bertanya setelah wanita paruh baya itu mel
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 24b

    Karena Kita Orang Miskin (24b)Pagi hari, saat berbelanja sayur ke pasar, aku mendapati beberapa orang berbisik-bisik saat aku lewat. Entah apa lagi yang dibicarakannya tentang diriku. Lebih baik kuacuhkan saja.Entah dari mana orang-orang tahu kabar kami membantu keluarga Bu Ina, siangnya, satu per satu orang datang ke rumah untuk meminta bantuan dana. Macam-macam alasan mereka. Ada yang untuk biaya sekolah anak, hingga yang hanya untuk foya-foya seperti mengganti ponsel dengan model terbaru. Semuanya kami tolak baik-baik karena memang kami tidak memegang uang tunai. Lagipula, aku takut kalau menjadi kebiasaan bagi mereka. Bukannya pelit atau sombong, aku hanya takut kalau hutang-piutang malah menjadi pemutus silaturahmi.Ibu mertua yang mengetahui perihal orang-orang yang datang ke rumah kami untuk berhutang pun menjadi geram. Beliau bahkan mengusir secara terang-terangan beberapa orang yang datang saat beliau sampai di rumah kami. Beliau malah tak segan untuk menyindir beberapa ora

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 25

    Karena Kita Orang Miskin (25)Aku berjalan mendekat saat melihat kejadian di depan sana."Loh, ada apa ini, Pak?" tanyaku pada seorang polisi yang hendak masuk ke dalam mobil patroli bersama suamiku."Apa dengan Ibu Ratna?" Polisi itu balik bertanya."Benar, saya sendiri.""Kalau begitu, mari Ibu ikut dengan kami juga untuk memberikan keterangan di kantor.""Loh, ada apa ini, Pak? Kenapa kami harus dibawa ke kantor polisi? Salah kami apa?""Nanti akan kami jelaskan lengkapnya di kantor. Mari, Ibu." Polisi itu mempersilakan aku untuk masuk ke dalam mobil patroli yang di dalamnya telah duduk Mas Dadang. Terpaksa, aku ikut masuk setelah memastikan anak-anak aman di rumah.Ternyata, kami dibawa ke kantor polisi guna dimintai keterangan sebagai saksi yang menguatkan alibi Yu Tina. Semalam, suami Yu Tina dikabarkan meninggal dunia akibat dibunuh. Sesuai identifikasi, waktu kematian ditaksir tepat saat Yu Tina sedang berada di rumah kami. Jadi, kami dimintai keterangan terkait hal itu. Syuk

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 26

    Karena Kita Orang Miskin (26)"Assalamualaikum," sapa orang di seberang telepon."Waalaikumsalam.""Maaf, Bu, apa Ibu kenal dengan orang yang punya nomor telepon ini?"Suara ini bukan milik Mas Bambang. Lantas, siapa dia? Kenapa menanyakan hal ini. Ada apa sebenarnya?"Iya, ada apa, ya?" Aku bertanya setelah berpikir sejenak."Saya Yanto, Bu. Saya yang membawa orang yang punya hape ini ke rumah sakit. Orangnya kecelakaan barusan. Sekarang orangnya lagi ditangani dokter. Di hape ini, cuma ada nomor Ibu. Jadi, saya nelpon ke Ibu."Astaghfirullah ....Mas Bambang kecelakaan?Inikah jawaban firasat burukku?Lalu, bagaimana dengan Mas Dadang? Mereka, kan, pergi bersama.Tanpa bertanya lebih detail, aku langsung meminta alamat rumah sakit tempat Mas Bambang dilarikan. Lalu, sesegera mungkin aku keluar rumah dan mencari ojek untuk mengantar ke sana. Tentunya setelah memastikan anak-anak mengunci pintu rumah dan tidak membuka pintu untuk orang lain selain aku dan Mas Dadang.Aku harus mengece

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 27

    Karena Kita Orang Miskin (27)Aku langsung mendorong Mas Bambang untuk melepaskan diri dari pelukannya. Lantas berdiri kikuk sembari menanti langkah Mas Dadang yang kian mendekat. Entah apa yang ada dalam benaknya kini, tak mampu kutebak dari rautnya yang datar. Namun, aku bisa pastikan bahwa suamiku itu telah salah paham.Mas Dadang berdiri di sisi lain ranjang Mas Bambang. Mata kami sempat bertemu sesaat sebelum suamiku membuang pandang ke tubuh Mas Bambang. Detak jantungku semakin riuh karenanya."Abang udah baikan?" tanya Mas Dadang."Lumayan, Bro. Untung kamu semalem nggak ikut. Kalo ikut pulang bareng aku, bahaya!" balas Mas Bambang."Bahaya gimana, Bang? Tabrakan beruntun, ya, katanya?" Lagi, Mas Dadang bertanya."Hmm." Mas Bambang mengangguk.Selanjutnya, mereka berbincang cukup lama. Aku diabaikan. Entah sengaja atau tidak.Mas Dadang pun sepertinya tak mau berbicara banyak denganku dulu. Buktinya, saat aku izin untuk pulang lebih dulu, dia hanya memberikan anggukan sebagai j

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 28

    Karena Kita Orang Miskin (28)Tengah malam, aku terbangun saat tangan Mas Dadang membelai lembut rambutku."Ayah?"Melihatku terbangun, Mas Dadang menghentikan kegiatannya. Belum sempat ia berdiri, kutarik tangannya dan membenamkan diri dalam pelukannya. Kutumpahkan semua tangis yang sengaja ditahan sejak pagi tadi."Ibu nggak akan khianatin Ayah. Ibu sayang, Ibu cinta sama Ayah. Ayah cuma salah paham," kataku di sela tangis.Mas Dadang diam. Tak menjawab kata-kataku atau bergerak barang sedikit. Sementara aku masih saja terus berusaha meyakinkannya."Yang Ayah lihat, nggak seperti itu kenyataannya. Ibu nggak ada apa-apa sama Mas Bambang. Ibu datang ke rumah sakit karena nyariin Ayah."Mas Dadang sepertinya terkejut akan penuturanku itu. Buktinya, tubuhnya sedikit mengendur dari pelukanku."Ibu gelisah nungguin Ayah nggak pulang-pulang. Tiba-tiba ada yang nelpon pake nomor Mas Bambang ngasih tau dia kecelakaan. Ibu panik. Ibu kira Ayah juga kenapa-kenapa." Tangisku semakin pecah mengi

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 29

    Karena Kita Orang Miskin (29)Aku menatap Mas Dadang meminta jawaban. Haruskah kujawab telepon itu? Atau membiarkannya saja."Angkat aja, Bu. Speaker!" perintah Mas Dadang."Assalamualaikum," sapa Mas Bambang."Waalaikumsalam." Aku menjawab datar."Ada apa, ya, Mas?" tanyaku kemudian."Dadang ada, Ratna? Kalau boleh, saya mau bicara sama dia."Aku meminta pendapat Mas Dadang lewat tatapan. Mas Dadang menjawab dengan anggukan."Maaf saya nelpon ke nomor kamu. Nomor Dadang nggak aktif soalnya," lanjut Mas Bambang.Segera saja kuserahkan ponsel ke Mas Dadang. Suamiku itu lantas mematikan speaker dan berjalan ke ruang depan. Meninggalkan aku yang berniat melanjutkan kegiatan memasak makan siang.Entah apa yang Mas Dadang bicarakan dengan Mas Bambang. Biarlah, aku tak mau terlalu ambil pusing. Yang penting kesalahpahaman antara aku dan suamiku sudah berakhir.Bertepatan dengan aku selesai memasak, Mas Dadang pun selesai berbincang dengan Mas Bambang. Kami lalu makan siang bersama anak-anak

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 30

    Karena Kita Orang Miskin (30)Aku terbangun saat merasakan sentuhan pada bagian atas tubuh. Kepalaku masih berat saat mataku mulai terbuka perlahan. Di depanku ada orang.Astaghfirullah ... Mas Hamdan sedang menggerayangi tubuhku.Refleks, kudorong tubuhnya."Astaghfirullah ... Mas ngapain di sini? Pergi, Mas!"Segera kubetulkan kancing baju yang sudah terbuka semua.Bukannya pergi, suami Mbak Lulu malah menyeringai dan berjalan semakin mendekat ke arahku. Aku yang ketakutan melihat itu, terus saja mundur hingga tubuhku tertempel di dinding kamar. Dengan cekatan, Mas Hamdan mengunci tanganku dengan sebelah tangannya dan membekap mulutku dengan tangan lainnya."Saya sudah lama nunggu momen ini. Akhirnya, hari ini saya bisa milikin kamu juga," bisik Mas Hamdan.Aku berusaha memberontak, tapi tak bisa. Aku kalah kuat darinya. Akhirnya, hanya gelengan yang bisa kuberikan seraya menatap matanya dengan tatapan memohon."Sudahlah, nikmati saya apa yang akan saya kasih, Ratna. Kamu juga pasti

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 31

    Karena Kita Orang Miskin (31)Usaha yang aku dan Mas Dadang rintis, berjalan semakin baik dari hari ke hari. Pesanan catering pun semakin banyak. Mulai dari catering untuk makan siang guru-guru di beberapa sekolah, hingga catering untuk beberapa kantor di sekitar tempat tinggal kami.Tentunya aku kewalahan dalam menangani pesanan seorang diri. Aku sengaja memanggil beberapa orang untuk membantuku memasak. Begitu juga untuk membantu Mas Dadang berjualan pada sore hari karena usaha warung makan mobil kami semakin banyak peminatnya."Bu, gimana kalau kita buka cabang baru?" Mas Dadang meminta pendapatku setelah satu tahun usaha kami berjalan dan mulai ramai."Tapi, Yah, untuk beli mobil baru, kita nggak punya uangnya, Yah. Belum cukup," jawabku."Kita ambil di bank dulu aja, Bu. Lumayan, loh, Bu. Nanti ada kenalan Ayah yang urus." Mas Dadang memberi solusi.Sebenarnya, aku enggan untuk mengambil pinjaman di bank. Aku khawatir kalau nantinya kami malah tidak bisa melunasinya. Lagipula, bu

Bab terbaru

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 41b

    Karena Kita Orang Miskin (41b)Meski sedikit sulit, aku mencoba untuk mengikhlaskan semua yang telah terjadi pada kami hingga hari itu. Sepanjang hari Mas Dadang memilih menemaniku pergi ke pantai untuk melepaskan rasa sesak yang menghimpit dada karena mengingat semua peristiwa buruk yang pernah menimpa keluarga kami. Urusan catering dan jualan lainnya kami percayakan pada Ratri dan karyawan lainnya. Anak-anak juga tidak rewel meminta ikut, jadi aku bisa pergi berduaan dengan Mas Dadang.Dua minggu kemudian, Mas Bambang meminta kami menemaninya untuk menemui Bulek Ima demi meminta restu meminang Ratri. Kami sekeluarga pergi bersama. Anak-anak kami bawa serta karena hari itu bertepatan dengan libur sekolahnya.Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Bulek Ima sangat senang dengan pinangan Mas Bambang. Sesuai rencana, satu bulan setelah lamaran itu akan diadakan akad nikah dan resepsi di kampung halaman. Setelah itu, Mas Bambang akan membawa Ratri serta ibunya untuk tinggal di rumahnya.A

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 41a

    Karena Kita Orang Miskin (41)Pagi-pagi sekali, Mas Dadang mengajakku berkunjung ke rumah Mas Mamat. Sudah pasti tujuannya untuk menanyakan ke mana larinya hak suamiku yang harusnya diberikan sejak tiga tahun yang lalu itu. Karena hingga detik ini kami belum merasa menerima barang sepeser pun."Assalamualaikum ...." Mas Dadang mengucap salam setelah ketukannya di pintu rumah tak mendapat jawaban.Cukup lama sampai salam kami dibalas. Mas Mamat yang membukakan pintu tampak terkejut dengan kedatangan kami. Akan tetapi, dia berpura-pura tersenyum. Aku tahu itu karena gelagatnya yang mencurigakan seperti dulu waktu dia baru pulang dari perantauan.Kami dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamu rumahnya. Sementara dia pamit ke belakang untuk menyiapkan sajian. Sebenarnya, kami sudah menolak untuk dijamu, tetapi dia tetap bersikukuh bahwa tamu adalah raja. Jadi, kami biarkan saja dia berlalu dan menghilang di balik kain pintu pembatas dapurnya.Kami menunggu cukup lama hingga dia muncul k

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 40b

    Karena Kita Orang Miskin (40b)"Bener, Dek?" Aku bertanya pada Ratri.Dia mengangguk seraya tersenyum malu."Iya, Mbak," katanya."Mas Bambang ngajak serius setelah kami dekat dua minggu yang lalu, Mbak," lanjut Ratri."Boleh, kan, Mbak?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban. Aku kenal Mas Bambang. Pria itu baik dan bertanggung jawab. Ya, walaupun aku pernah ditinggalkannya tanpa kabar.Biarlah itu menjadi masa lalu. Mungkin itu hanya sebab dan pertanda bahwa dia bukanlah jodohku. Sekarang, dia berniat serius dengan Ratri. Semoga dia bisa membahagiakan adik sepupuku itu."Alhamdulillah ...." Mas Bambang dan Ratri menjawab bersamaan.Hal itu membuat aku dan Mas Dadang tersenyum."Mirip kita dulu, ya, Bu?" bisik Mas Dadang.Aku jadi mengingat kejadian serupa di masa dulu. Ketika Mas Dadang datang memintaku pada almarhum Kakek."Iya, Yah," balasku seraya menahan tawa karena mengingat kejadian serupa."Rencananya, saya mau minta tolong ditemani kalian untuk min

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 40a

    Karena Kita Orang Miskin (40)Segera aku berjalan ke arah Ratri yang tampak sedang asik berbincang dengan beberapa orang di dalam toko bangunan milik Mas Bambang. Mas Dadang yang berjalan di sampingku selalu mengingatkan, "Kontrol emosi, ya, Bu. Ini tempat umum. Apalagi pemiliknya kita kenal." Sementara aku menanggapinya hanya dengan berdeham."Dek ...." Aku menegur Ratri seraya menyentuh pundaknya. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku tadi. Ratri langsung menengok dengan wajah pias."Mbak ...," katanya seraya menunduk.Di sana ada Mas Bambang yang tersenyum ramah padaku dan Mas Dadang."Datang juga kamu, Bro," sapa Mas Bambang pada suamiku."Iya, Bang. Maaf baru pulang dari rumah sakit soalnya," jawab Mas Dadang.Selanjutnya, mereka terlibat obrolan panjang yang dimulai dari kabar kesehatan Rindi. Sedangkan aku dan Ratri masih saling diam. Sesekali kami bersitatap. Namun, secepat kilat Ratri akan mengalihkan tatapannya setelah itu.Mas Bambang mengajak kami masuk ke ruangan pri

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 39

    Karena Kita Orang Miskin (39)Segera saja kukantongi benda yang kutemukan itu. Akan kumintai penjelasan bila Ratri datang nanti. Apa penyebab benda ini ada di kamarnya.Selama ini, aku mengenal Ratri sebagai gadis baik-baik. Hanya saja perubahan sikapnya pada Mas Dadang dua minggu belakangan ini saja yang aneh. Selebihnya, aku tidak melihat hal mencurigakan dari adik sepupuku itu.Namun, benda yang kutemukan ini seperti mematahkan penilaianku. Bila bungkus ini ada di kamar Ratri, berarti dia pernah menggunakannya. Berarti, dia pernah melakukan hubungan intim dengan laki-laki hingga takut hamil.Astaghfirullah ....Sungguh, aku benar-benar tak menyangka dengan temuanku ini. Bisa-bisanya Ratri seperti ini. Bagaimana tanggapan Bulek Ima nantinya kalau tahu Ratri seperti ini saat berada dalam pengawasanku. Entah apa yang akan kujelaskan nanti pada Bulek Ima tentang ini seandainya hasil dari alat tes yang digunakan Ratri menunjukkan garis dua.Aku menanti kedatangan Ratri dengan cemas. Sam

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 38

    Karena Kita Orang Miskin (38)Akibat dari perebutan harta warisan, hubungan kami dengan keluarga Mas Dadang kembali berantakan. Mas Dadang yang menolak untuk membicarakan perihal pembagian warisan adalah penyebabnya. Bukan tanpa sebab Mas Dadang menolak hal itu. Melainkan hanya untuk menghormati mendiang ibunya yang tanah makamnya belum juga kering.Namun, bukannya disambut baik, Mas Dadang malah dimusuhi. Suamiku bahkan diancam tidak mendapat bagian warisan oleh saudara-saudaranya. Tak kusangka, Mbak Lulu pun bersikap demikian.Akhirnya, Mas Dadang memilih mengalah. Suamiku itu pun tak mau menuntut haknya. Lebih baik kami berusaha sendiri untuk mencapai kesuksesan, prinsipnya.Alhamdulillah, semakin hari, usaha kami kian lancar. Utang-utang kami di bank pun sudah lunas. Begitu juga dengan cicilan di tempat lainnya.Aku juga bisa menambah karyawan untuk membantuku. Salah satunya adalah Ratri--adik sepupuku. Aku mengajaknya kerja atas permintaan Bulek Ima--ibunya Ratri, adik dari almar

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 37

    Karena Kita Orang Miskin (37)Aku sudah terbaring di atas brankar rumah sakit saat membuka mata. Aroma obat menyeruak menusuk hidung saat itu juga. Kepalaku juga masih terasa berat."Ibu ...." Itu suara Mas Dadang.Benar saja, saat mataku terbuka sempurna, aku melihat Mas Dadang berdiri dengan senyum mengembang dan mata berkaca-kaca. Tangannya meraih jemariku untuk digenggamnya."Syukurlah, Ibu sadar juga. Ayah khawatir banget," tuturnya."Ibu kenapa memangnya, Yah?""Ibu nggak inget?"Aku menggeleng. Belum mampu aku mengingat apa pun saat ini. Kepalaku saja rasanya masih sakit saat berbicara. Pasti akan lebih sakit lagi kalau aku memaksa untuk menggali ingatan."Sudah, nggak usah diingat kalo gitu, Bu. Yang penting Ibu sekarang sudah sadar. Bentar, ya, Ayah panggil suster atau dokter dulu."Aku hanya bisa menanggapinya dengan anggukan.Mas Dadang lantas melepas tanganku dan berlalu keluar kamar. Tak lama setelahnya, suamiku itu sudah datang dengan seorang dokter dan dua orang perawat

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 36b

    Karena Kita Orang Miskin (36b)"Sudah, sana, keluar! Jangan lupa tutup lagi pintunya!" Mas Hamdan memberi perintah padaku.Karena merasa sudah cukup bukti, aku langsung keluar setelah mendengar perintah itu. Sayangnya, aku tak sempat mengambil gambar mereka dalam kamar itu. Padahal, itu juga bisa menjadi kartu as yang kumiliki. Tak apa lah, yang penting sudah ada sedikit bukti.Keluar dari kamar Mas Hamdan, aku langsung menuju tempat pertemuan tadi dengan Anisa. Lantas berganti pakaian dengan pakaianku semula. Tak lupa, sebelum pergi, kuselipkan beberapa lembar uang sebagai tanda terima kasih pada Anisa dan Lulu.Mereka sempat menolak pemberianku. Alasannya adalah karena mereka ikhlas membantu. Akan tetapi, aku terus memaksa dengan alasan sudah kuniatkan sedari awal. Syukurlah, mereka akhirnya mau menerimanya.Aku pulang dengan perasaan lega. Rencananya, besok akan menemui Mas Hamdan. Pertemuan itu akan kujadikan sebuah bukti lainnya untuk membersihkan nama baikku.Sengaja kurahasiaka

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 36a

    Karena Kita Orang Miskin (36)Aku tidak boleh kehilangan kesempatan emas ini! Harus kukumpulkan bukti sebagai alat untuk memperbaiki namaku di mata keluarga Mas Dadang. Harus hari ini juga kulakukan itu. Belum tentu besok aku masih punya kesempatan yang sama.Untuk melancarkan aksiku, kuhubungin Supri. Kuperintahkan dirinya untuk mengambil alih tugasku berbelanja bahan yang kurang. Kuperintahkan juga dia untuk menangani proses masak seperti kemarin bersama Marni.Sementara aku berjalan mengendap mengekori Mas Hamdan. Beberapa kali kuabadikan kemesraan suami kakak iparku itu bersama gadisnya dengan kamera ponsel. Beberapa gambar kuambil berkali-kali.Aku juga ikut masuk ke hotel beberapa saat setelah mereka masuk. Segera, aku menuju meja resepsionis untuk mencari informasi tentang Mas Hamdan. Sayangnya, kebijakan di sana tidak memperbolehkanku memperoleh informasi yang kubutuhkan."Tolongin saya, lah, Mbak! Ini menyangkut harga diri saya. Tolong, ya, Mbak!" pintaku pada sang resepsioni

DMCA.com Protection Status