Karena Kita Orang Miskin
Aku berlari ke rumah mertua. Menggedor pintunya dengan tergesa-gesa seraya mengucap salam berkali-kali.
"Ada apa, sih, Ratna?" tanya ibu mertuaku setelah membuka pintu.
"Ratna boleh pinjam uang sepuluh ribu rupiah, Bu?"
"Buat apa, Rat? Kayaknya kamu buru-buru banget."
"Buat ... beli obatnya Rindi, Bu. Demam dia." Hanya itu yang bisa kuberikan sebagai alasan. Bukannya berniat berbohong, uang itu sebenarnya akan kubelikan sate untuk putri bungsuku. Sate itulah yang menjadi obatnya.
Benar adanya anak bungsuku sedang demam. Sudah tiga hari ini suhu tubuhnya meningkat. Sudah berbagai obat kuberikan, tetapi belum juga sakitnya sembuh. Sampai akhirnya aku mengetahui penyebab sakitnya puteriku.
"Rindi ... makan dulu, ya, Nak. Biar cepat sembuh." Aku mencoba membujuknya. Sejak sakit, Rindi memang susah sekali untuk makan. Dia selalu menolak makanan yang kusuapkan. Terpaksa, hanyalah teh manis yang masuk dalam perutnya untuk mengganjal lapar.
"Rindi pengen makan sate katanya, Bu." Bunga, si tengah menyahut dari teras rumah kami.
Saat mendengar itu, kulihat Rindi menunduk.
"Bener, Sayang?" tanyaku yang langsung dijawab anggukan pelan oleh Rindi.
"Rindi sejak kapan pingin makan satenya?" Aku bertanya lagi.
"Kemarin itu, Bu. Sebelum sakit." Lagi, Bunga yang menjawab tanyaku. Sementara Rindi lagi-lagi hanya mengangguk seolah mengiyakan apa yang dibilang kakaknya.
Kuraba saku, celana yang kukenakan, berharap ada selembar uang yang terselip. Sayangnya, saku celanaku kosong. Begitu juga dengan sisipan pakaian di lemari yang kuperiksa. Nihil, tidak ada satu rupiah pun aku miliki.
Sudah hampir seminggu ini kami--aku dan ketiga putriku--makan hanya berlauk sepapan tempe berharga dua ribu rupiah. Untungnya, persediaan beras jatah kami masih ada. Juga sedikit minyak goreng--yang sudah berkali-kali digunakan. Jadi, kami masih bisa makan walau dengan menu sederhana.
Gajiku sebagai buruh cuci di rumah Bu Lurah, harusnya sudah dibayarkan dua hari yang lalu. Nyatanya, sampai hari ini, upah sebesar seratus ribu rupiah untuk satu minggu cuci setrika di rumah itu, belum juga dibayarkan. Entah beliau lupa atau apa. Aku juga tak berani menagih. Sungkan.
Mas Dadang yang bekerja merantau ke pulau seberang pun belum mengirimkan uang sejak dua bulan lalu. Jangankan uang, suaranya pun sangat jarang kudengar lewat sambungan telepon. Terakhir kali kami berkomunikasi hampir dua minggu yang lalu saat dirinya mengabarkan upahnya sebagai kuli bangunan yang belum juga dibayarkan.
Bingung, tak tahu harus bagaimana, aku memutuskan berlari ke rumah ibu mertua yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah kami. Tujuanku tidak lain adalah untuk meminjam uang sepuluh ribu rupiah. Harga seporsi sate ayam yang dijual di kedai ujung kampung ini.
Cukup lama menunggu, ibu mertuaku akhirnya keluar dan menyerahkan selembar uang sebesar nominal yang tadi kusebutkan.
"Ini ... bener buat obat, kan, Ratna?"
"I-iya, Bu." Gelagapan aku menjawabnya. Takut kalau akhirnya ibu mertuaku tahu bahwa uang itu bukan untuk membeli obat dalam arti sesungguhnya.
Setelah menerima uang itu dan mengucap terima kasih, aku pamit dari rumah ibu mertua. Lalu, berjalan kembali ke rumah. Aku tidak langsung menuju warung sate yang letaknya tak jauh dari rumah mertuaku, biar tak dicurigai.
Sesampai di rumah, kuperintahkan Kasih--si sulung--untuk membelikan seporsi sate di satu-satunya kedai yang menjual sate di kampung ini.
Selang satu jam berlalu, Kasih datang dengan mata merah. Tak kulihat kantong plastik berisi bungkusan sate yang harusnya dibawa serta. Malah, anak gadisku itu langsung berlari ke belakangku saat terdengar suara yang familiar dari depan rumah.
"Ratna!" Itu suara ibu mertuaku.
Aku segera keluar dan menyambut beliau.
"Ada apa, Bu? Mari, masuk dulu ...."
"Nggak usah! Kamu ternyata minjem duit buat nyuruh anak beli sate, ya?"
Tak bisa menjawab, aku memilih menunjuk dan mengangguk pelan.
"Kamu itu, udah tau susah. Malah manjain anak aja kerjaannya. Bikin malu! Bilangnya pinjem uang buat obat anak. Taunya buat beli sate. Saya aja nggak makan sate. Kamu sok-sokan makan sate."
Aku hanya bisa diam menanggapi nasehat yang terdengar seperti cibiran itu. Sakit sebenarnya mendengar itu. Tetapi, lebih baik aku diam. Bicara pun pastinya percuma. Yang ada malah akan semakin dicibir.
"Makanya, kalau miskin, jangan kebanyakan gaya!" Itu kata-kata terakhir yang kudengar dari mulut ibu mertuaku sebelum beliau meninggalkan rumah kami tanpa pamit.
Aku masuk ke dalam sambil menahan sesak di dada. Sakit sekali mendengar kata-kata tadi. Padahal, aku hanya meminjam uang dengan nominal yang tidak besar. Tetapi, kata-kata yang kudapat sakitnya terlalu besar.
Di dalam, Kasih bercerita bahwa dia bertemu dengan nenek yang juga ingin membeli sate untuk Kalina--sepupunya, cucu mertuaku juga. Kasih yang polos, menceritakan tujuan. Menurut penuturan Kasih, neneknya langsung mengambil uang di tangan dan menyuruh Kasih untuk pulang karena uang itu adalah uang neneknya.
"Emang bener ya, Bu, itu uang nenek?" tanya Kasih di sela tangisnya.
Aku hanya bisa mengangguk lemah. Sakit, sedih tak terkira rasanya. Ingin menumpahkannya lewat tangisan, tapi kutahan. Aku tak boleh lemah di depan anak-anak.
Hening tercipta cukup lama setelah itu. Aku yakin, anak-anakku pasti sedih karena ini. Rencana makan malam dengan lauk sate gagal. Apalagi Rindi yang terlihat antusias saat tadi aku menyuruh kakaknya pergi membeli sate.
Maafkan Ibu, ya, Nak....
"Bu... kenapa ya, kalina beliin sate, tapi kita nggak boleh beli sate?" tanya Rindi pelan.
"Karena kita orang miskin," jawab Bunga.
Jawaban yang terasa menyakitkan walau benar adanya.
Karena Kita Orang Miskin (2)"Hust ... nggak boleh bilang gitu, Nak!" Aku menasehati Bunga."Tapi emang bener, kan, Bu? Karena kita orang miskin, makanya Eyang Ti kayak gitu. Nggak kayak ke Kalina. Minta ini itu diturutin," keluhnya.Ingin rasanya aku membantah dan memberitahu bahwa nenek mereka tak pilih kasih. Namun, anak-anakku rupanya sudah cukup mengerti keadaan yang sebenarnya. Bukan baru sekali ini keluarga kami mendapat perlakuan tak mengenakkan dari keluarga suamiku."Iya, bener," sahut Kasih. "Kayak waktu Eyang Ti pulang dari Bali kemaren. Kita cuma dibeliin kaus satu. Kalina sama yang lainnya dibeliin macem-macem. Kaos lah, kalung lah, gelang, sampe sepatu yang bagus banget. Kalina juga dapet boneka. Padahal Rindi nggak dapet loh," lanjutnya.Ah, menyedihkan memang. Aku jadi kembali teringat hari itu. Andai bisa diulang, aku pasti akan memilih tidak ke rumah mertuaku hari itu kalau tahu ujung-ujungnya hanya kekecewaan dan penghinaan yang kami dapat.Aku ingat betul, hari it
Karena Kita Orang Miskin (3)"Waalaikumsalam," jawabku seraya membuka pintu.Benar saja, Bu Lurah sudah berdiri di depan pintu rumah sederhana kami. Sungguh, aku merasa sungkan beliau mampir ke sini. Meski begitu, segera kupersilakan beliau untuk masuk."Nggak usah, Mbak Ratna. Saya ke sini cuma mau nganter ini," ucapnya seraya menyerahkan sebuah kantong plastik hitam berukuran sedang."Ini apa, Bu?" Aku bertanya setelah kantong itu berpindah tangan. Sebenarnya, tanpa bertanya pun aku sudah bisa menebak isi bungkusan ini dari aroma yang menguar saat ia mendarat di tanganku."Itu, sedikit jajanan buat anak-anak Mbak Ratna. O iya, saya minta maaf, ya, Mbak. Kemarin kelupaan ngasih gajinya Mbak Ratna. Ini, Mbak, silakan." Bu Lurah kembali menyerahkan sesuatu padaku. Kali ini sebuah amplop putih yang yang biasa kuterima sebagai upah mencuci dan setrika tiap minggunya."Alhamdulillah ... terima kasih banyak, Bu Lurah," ucapku.Aku lagi-lagi mempersilakan beliau masuk ke rumah. Namun, belia
Karena Kita Orang Miskin (4)Cukup lama untukku bisa menetralkan diri sebelum bertanya maksud ucapan Bu Lurah."Iya, Mbak Ratna mulai hari ini saya berhentikan," jawab Bu Lurah.Mendengar itu, kedua lututku semakin melemas."Salah saya apa, Bu? Kalau saya ada salah, tolong ditegur, Bu. Asal jangan dipecat seperti ini.""Mbak Ratna nggak ada salah, kok. Malah, selama ini pekerjaan Mbak Ratna sangat baik. Tapi ... saya terpaksa berhentiin Mbak Ratna karena ada satu hal.""Boleh saya tau apa itu, Bu?""Saya ada rencana mau pesan catering makan siang buat para pekerja di kantor kelurahan. Sudah dua minggu ini nyari orang yang cocok, tapi belum ketemu. Kemarin, pas makan siang, kata Bi Sumi, Mbak Ratna yang masak, ya?""Iya, Bu. Maaf kalau saya lancang. Kemarin saya memang bantuin Bi Sumi masak pas beliau tiba-tiba pusing. Apa ada yang salah sama masakan saya, Bu?""Nggak, kok, Mbak. Malah, saya senang. Akhirnya ketemu juga orang yang pas.""Maksud Ibu?""Saya mau Mbak Ratna yang nanganin
Karena Kita Orang Miskin (5)Aku mencoba mengalihkan pandang ke arah lain. Sembari berdoa agar ibu mertuaku tidak melihat kami di sini. Semoga saja beliau berbelok masuk ke supermarket yang pintu masuknya beberapa meja dari tempat kami makan.Beberapa kali aku sempat mencuri pandang ke arah mertuaku itu, beliau tampak asik bercengkrama dengan cucu kesayangannya yang terlihat sibuk bertanya ini itu. Syukurlah, akhirnya mereka masuk ke super market. Aku bisa bernapas lega.Tak bisa kubayangkan kalau ibu mertuaku melihat kami di sini. Bisa-bisa, aku dibuat malu. Seperti yang dilakukannya empat bulan lalu saat aku mengajak anak-anak makan di warung bakso di pasar saat berbelanja kebutuhan dapur setelah Mas Dadang mengirim uang.Waktu itu, anak-anakku sedang asik menikmati bakso mereka saat neneknya datang dan memarahiku karena dianggap menghambur-hamburkan uang suami. Sakit dan malu rasanya, karena hal itu dilakukan di depan banyak orang yang sedang menikmati bakso. Padahal, harga semangk
Karena Kita Orang Miskin (6)Cukup lama aku berdiri mematung sebelum memberanikan diri untuk membuka pintu. Entah mengapa, perasaanku tak enak. Seolah sesuatu yang buruk akan terjadi."Nah, ada juga orangnya," ucap ibu mertuaku saat pintu terbuka.Segera saja kupersilakan beliau dan orang yang bersamanya untuk masuk."Ada apa, ya, Bu?" tanyaku setelah meletakkan nampan berisi teh dan cemilan."Kamu tadi abis dari pujasera, ya, Ratna?" tanya ibu mertuaku.Sontak saja aku terkejut akan pertanyaannya. Dari mana beliau bisa tahu secepat ini? Aku sudah siap sebenarnya bilamana beliau tahu, tapi tidak secepat ini."Iya, Bu." Aku menjawab pelan sekali sambil menunduk."Bener berarti dia, ya, Mbak?" Ibu mertuaku bertanya pada orang di sampingnya. Orang itu mengangguk."Ada apa sebenarnya, Bu? Saya belum mengerti," kataku."Mbak Ani ini tadi ke rumah Ibu. Katanya dompetnya hilang pas makan di Pujasera tadi siang. Ada yang ngasih tau kalau yang duduk dekat dia itu anak Ibu. Makanya tadi dia ke
Karena Kita Orang Miskin (7)Tanpa menunggu lama, ibu mertua mengajakku masuk ke dalam rumah. Beliau lantas duduk di kursi ruang tamu sambil memerintahku dengan tangannya untuk ikut duduk. Entah kenpa, perasaanku tak karuan. Takut kalau akan diinterogasi soal kejadian di Pujasera tadi siang."Kamu dapat uang dari mana bisa makan-makan di Pujasera?" tanya mertuaku tanpa basa-basi."Saya dikasih Bu Lurah, Bu. Upah nyuci." Aku menjawab pelan."Oh, habis gajian?"Aku mengangguk. Entah mengapa, pertanyaan itu terasa menusuk."Kamu itu, Ratna. Sudah tau suami lagi merantau, ekonomi susah. Bisa-bisanya kamu foya-foya." Ibu mertuaku menggeleng seraya tersenyum sinis."Bukan gitu, Bu." Aku bingung bagaimana menjelaskannya."Bukan gitu gimana? Jelas-jelas kamu itu foya-foya. Gaji cuma seratus ribu aja sok-sokan makan di Pujasera sana. Lihat, tuh, Lulu. Dia aja nggak sok kaya macem kamu."Sabar, Ratna! Sabar!Aku hanya bisa diam menanggapi omongan ibu mertua. Diam memang lebih baik. Aku takut ka
Karena Kita Orang Miskin (8)Sejak bangun tidur, perasaanku menjadi tak enak kalau teringat mimpi semalam. Entah apa arti dari mimpi itu. Aku berharap semua baik-baik saja.Jujur saja, tak hentinya aku mengkhawatirkan Mas Dadang sejak gagal menelepon semalam. Entah di mana kini dirinya berada, bagaimana kini keadaannya. Aku sangat cemas.Karena terlalu memikirkan itu, aku menjadi tidak konsentrasi saat membuatkan sarapan untuk anak-anak. Hampir saja telur dadar yang kubuat hangus. Ungtungnya Bunga cepat menegurku, kalau tidak, anak-anak pasti akan menunggu lebih lama lagi.Berulang kali aku beristighfar untuk menghalau pikiran buruk. Kemungkinan apa pun bisa terjadi. Bisa saja ponsel Mas Dadang hilang atau kartunya rusak.Aku harus sabar. Mas Dadang bukan tipe pria yang suka berselingkuh. Aku kenal betul suamiku itu. Pasti, nanti Mas Dadang akan menghubungi kami.Setelah anak-anak berangkat sekolah, aku langsung menuju dapur untuk memasak pesanan Bu Lurah. Aku tak boleh larut dalam pi
Karena Kita Orang Miskin (9)Kami berempat sampai di rumah sakit tepat pukul lima sore. Kami lantas segera menuju meja resepsionis untuk menanyakan lokasi ruang rawat ibu mertuaku. Beliau dirawat di ruang VIP di lantai tiga rumah sakit ini.Sesaat sebelum masuk ke lift yang pintunya sudah terbuka, Bunga menarik tanganku."Bu, itu Bude Lulu, kan?" katanya. Tangannya menunjuk orang di ruang tunggu pengambilan obat.Kuurungkan niat naik lift dan berjalan menuju orang yang ditunjuk Bunga. Benar saja, itu Mbak Lulu. Beliau sedang mengantre obat untuk ibunya.Anak-anakku berebut untuk mencium tangan budenya. Kegiatan itu membuat Mbak Lulu tersenyum dan berbalik mengecup satu per satu keponakannya. Kebiasaannya memang begitu. Mbak Lulu sangat sayang pada anak-anakku sejak dulu. Bahkan sebelum beliau hamil dan melahirkan Kalina.Mbak Lulu lantas mengajakku duduk pada kursi ruang tunggu itu. Sementara anak-anak diberikan uang untuk membeli camilan di kantin rumah sakit yang jaraknya masih terj
Karena Kita Orang Miskin (41b)Meski sedikit sulit, aku mencoba untuk mengikhlaskan semua yang telah terjadi pada kami hingga hari itu. Sepanjang hari Mas Dadang memilih menemaniku pergi ke pantai untuk melepaskan rasa sesak yang menghimpit dada karena mengingat semua peristiwa buruk yang pernah menimpa keluarga kami. Urusan catering dan jualan lainnya kami percayakan pada Ratri dan karyawan lainnya. Anak-anak juga tidak rewel meminta ikut, jadi aku bisa pergi berduaan dengan Mas Dadang.Dua minggu kemudian, Mas Bambang meminta kami menemaninya untuk menemui Bulek Ima demi meminta restu meminang Ratri. Kami sekeluarga pergi bersama. Anak-anak kami bawa serta karena hari itu bertepatan dengan libur sekolahnya.Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Bulek Ima sangat senang dengan pinangan Mas Bambang. Sesuai rencana, satu bulan setelah lamaran itu akan diadakan akad nikah dan resepsi di kampung halaman. Setelah itu, Mas Bambang akan membawa Ratri serta ibunya untuk tinggal di rumahnya.A
Karena Kita Orang Miskin (41)Pagi-pagi sekali, Mas Dadang mengajakku berkunjung ke rumah Mas Mamat. Sudah pasti tujuannya untuk menanyakan ke mana larinya hak suamiku yang harusnya diberikan sejak tiga tahun yang lalu itu. Karena hingga detik ini kami belum merasa menerima barang sepeser pun."Assalamualaikum ...." Mas Dadang mengucap salam setelah ketukannya di pintu rumah tak mendapat jawaban.Cukup lama sampai salam kami dibalas. Mas Mamat yang membukakan pintu tampak terkejut dengan kedatangan kami. Akan tetapi, dia berpura-pura tersenyum. Aku tahu itu karena gelagatnya yang mencurigakan seperti dulu waktu dia baru pulang dari perantauan.Kami dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamu rumahnya. Sementara dia pamit ke belakang untuk menyiapkan sajian. Sebenarnya, kami sudah menolak untuk dijamu, tetapi dia tetap bersikukuh bahwa tamu adalah raja. Jadi, kami biarkan saja dia berlalu dan menghilang di balik kain pintu pembatas dapurnya.Kami menunggu cukup lama hingga dia muncul k
Karena Kita Orang Miskin (40b)"Bener, Dek?" Aku bertanya pada Ratri.Dia mengangguk seraya tersenyum malu."Iya, Mbak," katanya."Mas Bambang ngajak serius setelah kami dekat dua minggu yang lalu, Mbak," lanjut Ratri."Boleh, kan, Mbak?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban. Aku kenal Mas Bambang. Pria itu baik dan bertanggung jawab. Ya, walaupun aku pernah ditinggalkannya tanpa kabar.Biarlah itu menjadi masa lalu. Mungkin itu hanya sebab dan pertanda bahwa dia bukanlah jodohku. Sekarang, dia berniat serius dengan Ratri. Semoga dia bisa membahagiakan adik sepupuku itu."Alhamdulillah ...." Mas Bambang dan Ratri menjawab bersamaan.Hal itu membuat aku dan Mas Dadang tersenyum."Mirip kita dulu, ya, Bu?" bisik Mas Dadang.Aku jadi mengingat kejadian serupa di masa dulu. Ketika Mas Dadang datang memintaku pada almarhum Kakek."Iya, Yah," balasku seraya menahan tawa karena mengingat kejadian serupa."Rencananya, saya mau minta tolong ditemani kalian untuk min
Karena Kita Orang Miskin (40)Segera aku berjalan ke arah Ratri yang tampak sedang asik berbincang dengan beberapa orang di dalam toko bangunan milik Mas Bambang. Mas Dadang yang berjalan di sampingku selalu mengingatkan, "Kontrol emosi, ya, Bu. Ini tempat umum. Apalagi pemiliknya kita kenal." Sementara aku menanggapinya hanya dengan berdeham."Dek ...." Aku menegur Ratri seraya menyentuh pundaknya. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku tadi. Ratri langsung menengok dengan wajah pias."Mbak ...," katanya seraya menunduk.Di sana ada Mas Bambang yang tersenyum ramah padaku dan Mas Dadang."Datang juga kamu, Bro," sapa Mas Bambang pada suamiku."Iya, Bang. Maaf baru pulang dari rumah sakit soalnya," jawab Mas Dadang.Selanjutnya, mereka terlibat obrolan panjang yang dimulai dari kabar kesehatan Rindi. Sedangkan aku dan Ratri masih saling diam. Sesekali kami bersitatap. Namun, secepat kilat Ratri akan mengalihkan tatapannya setelah itu.Mas Bambang mengajak kami masuk ke ruangan pri
Karena Kita Orang Miskin (39)Segera saja kukantongi benda yang kutemukan itu. Akan kumintai penjelasan bila Ratri datang nanti. Apa penyebab benda ini ada di kamarnya.Selama ini, aku mengenal Ratri sebagai gadis baik-baik. Hanya saja perubahan sikapnya pada Mas Dadang dua minggu belakangan ini saja yang aneh. Selebihnya, aku tidak melihat hal mencurigakan dari adik sepupuku itu.Namun, benda yang kutemukan ini seperti mematahkan penilaianku. Bila bungkus ini ada di kamar Ratri, berarti dia pernah menggunakannya. Berarti, dia pernah melakukan hubungan intim dengan laki-laki hingga takut hamil.Astaghfirullah ....Sungguh, aku benar-benar tak menyangka dengan temuanku ini. Bisa-bisanya Ratri seperti ini. Bagaimana tanggapan Bulek Ima nantinya kalau tahu Ratri seperti ini saat berada dalam pengawasanku. Entah apa yang akan kujelaskan nanti pada Bulek Ima tentang ini seandainya hasil dari alat tes yang digunakan Ratri menunjukkan garis dua.Aku menanti kedatangan Ratri dengan cemas. Sam
Karena Kita Orang Miskin (38)Akibat dari perebutan harta warisan, hubungan kami dengan keluarga Mas Dadang kembali berantakan. Mas Dadang yang menolak untuk membicarakan perihal pembagian warisan adalah penyebabnya. Bukan tanpa sebab Mas Dadang menolak hal itu. Melainkan hanya untuk menghormati mendiang ibunya yang tanah makamnya belum juga kering.Namun, bukannya disambut baik, Mas Dadang malah dimusuhi. Suamiku bahkan diancam tidak mendapat bagian warisan oleh saudara-saudaranya. Tak kusangka, Mbak Lulu pun bersikap demikian.Akhirnya, Mas Dadang memilih mengalah. Suamiku itu pun tak mau menuntut haknya. Lebih baik kami berusaha sendiri untuk mencapai kesuksesan, prinsipnya.Alhamdulillah, semakin hari, usaha kami kian lancar. Utang-utang kami di bank pun sudah lunas. Begitu juga dengan cicilan di tempat lainnya.Aku juga bisa menambah karyawan untuk membantuku. Salah satunya adalah Ratri--adik sepupuku. Aku mengajaknya kerja atas permintaan Bulek Ima--ibunya Ratri, adik dari almar
Karena Kita Orang Miskin (37)Aku sudah terbaring di atas brankar rumah sakit saat membuka mata. Aroma obat menyeruak menusuk hidung saat itu juga. Kepalaku juga masih terasa berat."Ibu ...." Itu suara Mas Dadang.Benar saja, saat mataku terbuka sempurna, aku melihat Mas Dadang berdiri dengan senyum mengembang dan mata berkaca-kaca. Tangannya meraih jemariku untuk digenggamnya."Syukurlah, Ibu sadar juga. Ayah khawatir banget," tuturnya."Ibu kenapa memangnya, Yah?""Ibu nggak inget?"Aku menggeleng. Belum mampu aku mengingat apa pun saat ini. Kepalaku saja rasanya masih sakit saat berbicara. Pasti akan lebih sakit lagi kalau aku memaksa untuk menggali ingatan."Sudah, nggak usah diingat kalo gitu, Bu. Yang penting Ibu sekarang sudah sadar. Bentar, ya, Ayah panggil suster atau dokter dulu."Aku hanya bisa menanggapinya dengan anggukan.Mas Dadang lantas melepas tanganku dan berlalu keluar kamar. Tak lama setelahnya, suamiku itu sudah datang dengan seorang dokter dan dua orang perawat
Karena Kita Orang Miskin (36b)"Sudah, sana, keluar! Jangan lupa tutup lagi pintunya!" Mas Hamdan memberi perintah padaku.Karena merasa sudah cukup bukti, aku langsung keluar setelah mendengar perintah itu. Sayangnya, aku tak sempat mengambil gambar mereka dalam kamar itu. Padahal, itu juga bisa menjadi kartu as yang kumiliki. Tak apa lah, yang penting sudah ada sedikit bukti.Keluar dari kamar Mas Hamdan, aku langsung menuju tempat pertemuan tadi dengan Anisa. Lantas berganti pakaian dengan pakaianku semula. Tak lupa, sebelum pergi, kuselipkan beberapa lembar uang sebagai tanda terima kasih pada Anisa dan Lulu.Mereka sempat menolak pemberianku. Alasannya adalah karena mereka ikhlas membantu. Akan tetapi, aku terus memaksa dengan alasan sudah kuniatkan sedari awal. Syukurlah, mereka akhirnya mau menerimanya.Aku pulang dengan perasaan lega. Rencananya, besok akan menemui Mas Hamdan. Pertemuan itu akan kujadikan sebuah bukti lainnya untuk membersihkan nama baikku.Sengaja kurahasiaka
Karena Kita Orang Miskin (36)Aku tidak boleh kehilangan kesempatan emas ini! Harus kukumpulkan bukti sebagai alat untuk memperbaiki namaku di mata keluarga Mas Dadang. Harus hari ini juga kulakukan itu. Belum tentu besok aku masih punya kesempatan yang sama.Untuk melancarkan aksiku, kuhubungin Supri. Kuperintahkan dirinya untuk mengambil alih tugasku berbelanja bahan yang kurang. Kuperintahkan juga dia untuk menangani proses masak seperti kemarin bersama Marni.Sementara aku berjalan mengendap mengekori Mas Hamdan. Beberapa kali kuabadikan kemesraan suami kakak iparku itu bersama gadisnya dengan kamera ponsel. Beberapa gambar kuambil berkali-kali.Aku juga ikut masuk ke hotel beberapa saat setelah mereka masuk. Segera, aku menuju meja resepsionis untuk mencari informasi tentang Mas Hamdan. Sayangnya, kebijakan di sana tidak memperbolehkanku memperoleh informasi yang kubutuhkan."Tolongin saya, lah, Mbak! Ini menyangkut harga diri saya. Tolong, ya, Mbak!" pintaku pada sang resepsioni