Karena Kita Orang Miskin (10)Belum sempat aku mengatakan perihal Mas Dadang yang hilang kontak, Mbak Lulu terburu-buru kembali ke kamar ibunya setelah menerima pesan yang entah apa."Kalian hati-hati, ya, Na! Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi Mbak, ya," katanya sebelum pergi.Selama perjalanan pulang, anak-anak asyik berceloteh tentang apa saja yang mereka lihat di luar kaca jendela mobil. Sementara aku sibuk mencerna maksud kata-kata Mbak Lulu tentang pesan dari Mas Dadang. Entah apa maksudnya semua itu.Sampai di rumah pun aku masih mencoba menguak teka-teki dari pesan Mas Dadang ke Mbak Lulu. Aku bahkan kesulitan untuk terlelap karenanya. Belum lagi kalau memikirkan mimpiku tentang Mas Dadang. Sepertinya semua saling berkaitan. Akan tetapi, aku belum bisa menemukan benang merahnya.Selepas salat Subuh, aku segera berangkat menuju pasar untuk berbelanja kebutuhan masak pesanan makan siang untuk pegawai kantor kelurahan. Hari ini biarlah aku tak membuatkan anak-anak sarapan. Bi
Karena Kita Orang Miskin (11)Sepanjang perjalanan pulang dari rumah keluarga Mas Mamat, aku sempat melihat beberapa orang tampak bisik-bisik saat aku lewat. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak peduli. Semoga saja bukan gosip aneh-aneh seperti yang tadi kudengar dari puteri sulungku.Sisa hari kujalani seperti biasa. Tak terlalu ada sesuatu yang aneh atau istimewa. Anak-anak bangun tidur, salat, berangkat mengaji, kami berempat salat berjamaah, makan malam, lalu tidur. Aku malah ingin hari cepat berlalu sampai lusa agar segera bisa bertemu Mas Dadang.Saat tidur, aku kembali memimpikan Mas Dadang. Mimpinya masih sama. Mas Dadang menanjak bukit sambil menggandeng anak laki-laki. Entah apa arti mimpi itu, aku belum mengerti.Paginya, rutinitas kami--aku dan anak-anak--berjalan seperti biasanya. Sebenarnya, hari ini aku berencana mengajak anak-anak untuk menjenguk neneknya yang dijadwalkan pulang dari rumah sakit hari ini. Namun, urung kulakukan setelah Mbak Lulu mengatakan bahwa ib
Karena Kita Orang Miskin (12)Aku terpaksa menghentikan makan dan berjalan ke arah pintu. Begitu juga dengan anak-anak yang tampak antusias. Mereka terlihat buru-buru menghabiskan makanan di piring yang tersisa sedikit.Saat membuka pintu, tak kudapati Mas Dadang, melainkan ibunya. Ibu mertuaku itu datang dengan wajah yang mengisyaratkan kemarahan."Ibu? Mari masuk, Bu," tawarku.Tanpa menjawab, beliau langsung masuk dan duduk di kursi ruang tamuku."Ibu mau minum apa? Biar saya buatkan.""Nggak usah! Suruh anak-anakmu main, sana! Ada hal penting yang mau saya bicarakan sama kamu!" Suara ibu mertua terdengar tegas dan penuh penekanan."Baik, Bu," balasku.Aku lantas ke belakang dan memberikan selembar uang lima ribu rupiah pada Kasih."Kakak ajak adek-adek jajan, ya!" Perintahku pada Kasih."Iya, Bu. Makasih," jawab Kasih. Kedua adiknya pun mengatakan hal yang sama."Sama-sama, Sayang-sayangnya Ibu." Aku mengecup kening ketiganya bergantian sebelum mereka menghilang dari balik tirai p
Karena Kita Orang Miskin (13)Aku menuju ruang tamu setelah mengatur napas berkali-kali. Sebenarnya, aku enggan untuk bertemu Mas Bambang. Tetapi, aku juga harus menegaskan sesuatu padanya. Juga bertanya tentang tujuannya datang ke sini.Aku duduk setelah meletakkan gelas berisi teh manis di sisi meja yang menghadap Mas Bambang. Sekilas mata kami bertemu, tapi aku segera memalingkan wajah. Takut kalau akan semakin menimbulkan fitnah. Mas Bambang menyeruput tehnya secara perlahan seraya matanya--kuperhatikan--sesekali mengerling ke arahku.Baru setelah dia menaruh kembali cangkir teh yang tinggal setengah, aku mengeluarkan tanya, "Maaf, ada apa, ya, Mas ke sini?""Saya hanya ingin menyampaikan amanah dari Mba Arin," jawabnya santai seraya menyandarkan tubuh ke sandaran kursi plastik yang didudukinya."Bisa langsung ke intinya saja?""Sepertinya kamu sedang berusaha menghindari saya, Ratna. Apa saya ada salah?""Tolong, Mas! Langsung ke intinya saja! Saya tidak punya banyak waktu." Aku
Karena Kita Orang Miskin (14)Sungguh, aku tak menyangka akan dipisahkan dengan Mas Dadang seperti ini. Dunia dan harapanku runtuh bersamaan kenyataan pahit yang kudengar. Tak sanggup lagi rasanya aku menjalani hari-hari setelah ini. Mas Dadang pergi bersama separuh hati dan jiwaku.Setelah menenangkan diri dan menghapus sisa air mata, aku berjalan gontai ke rumah. Mas Bambang yang datang entah kapan, menawarkan bantuan untuk mengantar, tapi kutolak. Takut semakin menjadi fitnah.Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku kembali tak kuasa menahan bendungan air mata. Setiap sudut desa ini mengingatkanku pada Mas Dadang. Semua kenangan kami di jalan desa semakin membuatku hancur.Mas ... kenapa kamu pergi tinggalin aku dan anak-anak? Lututku melemas. Aku seperti bisa melihat kejadian dulu saat kami pertama kali sampai ke desa ini. Hari itu, Mas Dadang mengajakku ke tanah kelahirannya untuk mengenalkan diriku pada keluarganya.Seperti sebuah film yang diputar di layar besar, aku melihat
Karena Kita Orang Miskin (15)Meski sudah lewat sebulan dari kabar tentang meninggalnya Mas Dadang, hatiku masih juga belum mampu menerima. Ada rasa yang kuyakini, tapi tak dapat kuungkap pada siapa pun. Aku merasa Mas Dadang belumlah meninggal meski surat keterangan yang dibawa Mas Mamat masih tersimpan rapi di kamar.Anak-anak pun seolah merasakan hal yang sama. Beberapa kali aku kedapatan mereka menceritakan firasat itu satu sama lain. Bahwa mereka yakin ayahnya akan pulang, entah kapan.Terkadang, aku juga membayangkan hal itu terjadi. Mas Dadang masih hidup dan pulang ke rumah ini. Kembali bersama kami dan menjemput bahagia bersama.Sebulan ini, sudah beberapa kali ibu mertua datang ke rumah kami. Beliau datang berkunjung membawa beberapa barang. Kadang buah, kadang cemilan untuk anak-anak, juga sesekali mainan.Entah mengapa, aku melihat duka yang mendalam dari tatapan beliau setiap meliat anak-anakku. Mungkin beliau sama rindunya dengan kami pada Mas Dadang. Bukankah seorang ib
Karena Kita Orang Miskin (16)PoV DadangSebagai seorang anak laki-laki, aku sadar betul akan tanggung jawab. Meski sudah menikah, aku tetap berkewajiban menafkahi orang tua. Itulah sebabnya aku menurut saat Ibu dan Bapak meminta agar aku, istri, dan anak sulung kami kembali ke desa untuk mengurusi ladang milik keluarga kami.Awalnya memang berat untuk menerima pilihan itu. Posisiku di kantor yang sudah terbilang baik, harus kulepaskan begitu saja. Karir yang kubangun bertahun-tahun, harus rela kutanggalkan demi bakti pada orang tua.Syukurlah, aku beristrikan seorang wanita berhati lembut bak bidadari seperti Ratna. Yang saat kuminta pendapatnya, dia mendukung apa pun langkah yang kupilih. Sungguh beruntung aku memilikinya."Kapan lagi kita bisa berbakti pada orang tua, Yah, kalau bukan sekarang?!" Itu jawaban Ratna saat aku tengah bimbang memilih jalan keluar."Berbaktilah selagi kita mampu, Yah. Ibu akan dukung apa pun keputusan Ayah. Tapi, akan lebih baik bila kita bisa memaksimal
Karena Kita Orang Miskin (16b)Tiga bulan pertama kedatanganku ke proyek, semua berjalan lancar. Aku masih rutin mengirimkan kabar dan uang kepada istri. Gaji yang tertunda membuatku malu untuk menghubungi Ratna. Juga karena aku kehabisan uang untuk sekadar mengisi pulsa.Jangankan gaji, uang tabungan hasil lemburku pun tak terbayarkan oleh mandor proyek. Dia beralasan akan dibayar langsung semuanya setelah proyek rampung, beserta bonus. Janji manis itu yang akhirnya membuatku dan empat puluh pekerja lainnya bertahan tanpa gaji hingga dua bulan lamanya. Sialnya, setelah proyek benar-benar rampung, kami ditinggal begitu saja tanpa sepeser pun uang hasil keringat.Banyak dari kami--para pekerja proyek--yang kesulitan untuk pulang ke rumah. Kebanyakan dari kami pun malu untuk kembali ke rumah tanpa sedikit pun rupiah. Hal itu mendorong separuh dari kami memilih menempuh jalur lain untuk menghasilkan uang. Aku dan sembilan belas orang lainnya sepakat untuk berangkat menuju tambang emas ya
Karena Kita Orang Miskin (41b)Meski sedikit sulit, aku mencoba untuk mengikhlaskan semua yang telah terjadi pada kami hingga hari itu. Sepanjang hari Mas Dadang memilih menemaniku pergi ke pantai untuk melepaskan rasa sesak yang menghimpit dada karena mengingat semua peristiwa buruk yang pernah menimpa keluarga kami. Urusan catering dan jualan lainnya kami percayakan pada Ratri dan karyawan lainnya. Anak-anak juga tidak rewel meminta ikut, jadi aku bisa pergi berduaan dengan Mas Dadang.Dua minggu kemudian, Mas Bambang meminta kami menemaninya untuk menemui Bulek Ima demi meminta restu meminang Ratri. Kami sekeluarga pergi bersama. Anak-anak kami bawa serta karena hari itu bertepatan dengan libur sekolahnya.Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Bulek Ima sangat senang dengan pinangan Mas Bambang. Sesuai rencana, satu bulan setelah lamaran itu akan diadakan akad nikah dan resepsi di kampung halaman. Setelah itu, Mas Bambang akan membawa Ratri serta ibunya untuk tinggal di rumahnya.A
Karena Kita Orang Miskin (41)Pagi-pagi sekali, Mas Dadang mengajakku berkunjung ke rumah Mas Mamat. Sudah pasti tujuannya untuk menanyakan ke mana larinya hak suamiku yang harusnya diberikan sejak tiga tahun yang lalu itu. Karena hingga detik ini kami belum merasa menerima barang sepeser pun."Assalamualaikum ...." Mas Dadang mengucap salam setelah ketukannya di pintu rumah tak mendapat jawaban.Cukup lama sampai salam kami dibalas. Mas Mamat yang membukakan pintu tampak terkejut dengan kedatangan kami. Akan tetapi, dia berpura-pura tersenyum. Aku tahu itu karena gelagatnya yang mencurigakan seperti dulu waktu dia baru pulang dari perantauan.Kami dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamu rumahnya. Sementara dia pamit ke belakang untuk menyiapkan sajian. Sebenarnya, kami sudah menolak untuk dijamu, tetapi dia tetap bersikukuh bahwa tamu adalah raja. Jadi, kami biarkan saja dia berlalu dan menghilang di balik kain pintu pembatas dapurnya.Kami menunggu cukup lama hingga dia muncul k
Karena Kita Orang Miskin (40b)"Bener, Dek?" Aku bertanya pada Ratri.Dia mengangguk seraya tersenyum malu."Iya, Mbak," katanya."Mas Bambang ngajak serius setelah kami dekat dua minggu yang lalu, Mbak," lanjut Ratri."Boleh, kan, Mbak?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban. Aku kenal Mas Bambang. Pria itu baik dan bertanggung jawab. Ya, walaupun aku pernah ditinggalkannya tanpa kabar.Biarlah itu menjadi masa lalu. Mungkin itu hanya sebab dan pertanda bahwa dia bukanlah jodohku. Sekarang, dia berniat serius dengan Ratri. Semoga dia bisa membahagiakan adik sepupuku itu."Alhamdulillah ...." Mas Bambang dan Ratri menjawab bersamaan.Hal itu membuat aku dan Mas Dadang tersenyum."Mirip kita dulu, ya, Bu?" bisik Mas Dadang.Aku jadi mengingat kejadian serupa di masa dulu. Ketika Mas Dadang datang memintaku pada almarhum Kakek."Iya, Yah," balasku seraya menahan tawa karena mengingat kejadian serupa."Rencananya, saya mau minta tolong ditemani kalian untuk min
Karena Kita Orang Miskin (40)Segera aku berjalan ke arah Ratri yang tampak sedang asik berbincang dengan beberapa orang di dalam toko bangunan milik Mas Bambang. Mas Dadang yang berjalan di sampingku selalu mengingatkan, "Kontrol emosi, ya, Bu. Ini tempat umum. Apalagi pemiliknya kita kenal." Sementara aku menanggapinya hanya dengan berdeham."Dek ...." Aku menegur Ratri seraya menyentuh pundaknya. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku tadi. Ratri langsung menengok dengan wajah pias."Mbak ...," katanya seraya menunduk.Di sana ada Mas Bambang yang tersenyum ramah padaku dan Mas Dadang."Datang juga kamu, Bro," sapa Mas Bambang pada suamiku."Iya, Bang. Maaf baru pulang dari rumah sakit soalnya," jawab Mas Dadang.Selanjutnya, mereka terlibat obrolan panjang yang dimulai dari kabar kesehatan Rindi. Sedangkan aku dan Ratri masih saling diam. Sesekali kami bersitatap. Namun, secepat kilat Ratri akan mengalihkan tatapannya setelah itu.Mas Bambang mengajak kami masuk ke ruangan pri
Karena Kita Orang Miskin (39)Segera saja kukantongi benda yang kutemukan itu. Akan kumintai penjelasan bila Ratri datang nanti. Apa penyebab benda ini ada di kamarnya.Selama ini, aku mengenal Ratri sebagai gadis baik-baik. Hanya saja perubahan sikapnya pada Mas Dadang dua minggu belakangan ini saja yang aneh. Selebihnya, aku tidak melihat hal mencurigakan dari adik sepupuku itu.Namun, benda yang kutemukan ini seperti mematahkan penilaianku. Bila bungkus ini ada di kamar Ratri, berarti dia pernah menggunakannya. Berarti, dia pernah melakukan hubungan intim dengan laki-laki hingga takut hamil.Astaghfirullah ....Sungguh, aku benar-benar tak menyangka dengan temuanku ini. Bisa-bisanya Ratri seperti ini. Bagaimana tanggapan Bulek Ima nantinya kalau tahu Ratri seperti ini saat berada dalam pengawasanku. Entah apa yang akan kujelaskan nanti pada Bulek Ima tentang ini seandainya hasil dari alat tes yang digunakan Ratri menunjukkan garis dua.Aku menanti kedatangan Ratri dengan cemas. Sam
Karena Kita Orang Miskin (38)Akibat dari perebutan harta warisan, hubungan kami dengan keluarga Mas Dadang kembali berantakan. Mas Dadang yang menolak untuk membicarakan perihal pembagian warisan adalah penyebabnya. Bukan tanpa sebab Mas Dadang menolak hal itu. Melainkan hanya untuk menghormati mendiang ibunya yang tanah makamnya belum juga kering.Namun, bukannya disambut baik, Mas Dadang malah dimusuhi. Suamiku bahkan diancam tidak mendapat bagian warisan oleh saudara-saudaranya. Tak kusangka, Mbak Lulu pun bersikap demikian.Akhirnya, Mas Dadang memilih mengalah. Suamiku itu pun tak mau menuntut haknya. Lebih baik kami berusaha sendiri untuk mencapai kesuksesan, prinsipnya.Alhamdulillah, semakin hari, usaha kami kian lancar. Utang-utang kami di bank pun sudah lunas. Begitu juga dengan cicilan di tempat lainnya.Aku juga bisa menambah karyawan untuk membantuku. Salah satunya adalah Ratri--adik sepupuku. Aku mengajaknya kerja atas permintaan Bulek Ima--ibunya Ratri, adik dari almar
Karena Kita Orang Miskin (37)Aku sudah terbaring di atas brankar rumah sakit saat membuka mata. Aroma obat menyeruak menusuk hidung saat itu juga. Kepalaku juga masih terasa berat."Ibu ...." Itu suara Mas Dadang.Benar saja, saat mataku terbuka sempurna, aku melihat Mas Dadang berdiri dengan senyum mengembang dan mata berkaca-kaca. Tangannya meraih jemariku untuk digenggamnya."Syukurlah, Ibu sadar juga. Ayah khawatir banget," tuturnya."Ibu kenapa memangnya, Yah?""Ibu nggak inget?"Aku menggeleng. Belum mampu aku mengingat apa pun saat ini. Kepalaku saja rasanya masih sakit saat berbicara. Pasti akan lebih sakit lagi kalau aku memaksa untuk menggali ingatan."Sudah, nggak usah diingat kalo gitu, Bu. Yang penting Ibu sekarang sudah sadar. Bentar, ya, Ayah panggil suster atau dokter dulu."Aku hanya bisa menanggapinya dengan anggukan.Mas Dadang lantas melepas tanganku dan berlalu keluar kamar. Tak lama setelahnya, suamiku itu sudah datang dengan seorang dokter dan dua orang perawat
Karena Kita Orang Miskin (36b)"Sudah, sana, keluar! Jangan lupa tutup lagi pintunya!" Mas Hamdan memberi perintah padaku.Karena merasa sudah cukup bukti, aku langsung keluar setelah mendengar perintah itu. Sayangnya, aku tak sempat mengambil gambar mereka dalam kamar itu. Padahal, itu juga bisa menjadi kartu as yang kumiliki. Tak apa lah, yang penting sudah ada sedikit bukti.Keluar dari kamar Mas Hamdan, aku langsung menuju tempat pertemuan tadi dengan Anisa. Lantas berganti pakaian dengan pakaianku semula. Tak lupa, sebelum pergi, kuselipkan beberapa lembar uang sebagai tanda terima kasih pada Anisa dan Lulu.Mereka sempat menolak pemberianku. Alasannya adalah karena mereka ikhlas membantu. Akan tetapi, aku terus memaksa dengan alasan sudah kuniatkan sedari awal. Syukurlah, mereka akhirnya mau menerimanya.Aku pulang dengan perasaan lega. Rencananya, besok akan menemui Mas Hamdan. Pertemuan itu akan kujadikan sebuah bukti lainnya untuk membersihkan nama baikku.Sengaja kurahasiaka
Karena Kita Orang Miskin (36)Aku tidak boleh kehilangan kesempatan emas ini! Harus kukumpulkan bukti sebagai alat untuk memperbaiki namaku di mata keluarga Mas Dadang. Harus hari ini juga kulakukan itu. Belum tentu besok aku masih punya kesempatan yang sama.Untuk melancarkan aksiku, kuhubungin Supri. Kuperintahkan dirinya untuk mengambil alih tugasku berbelanja bahan yang kurang. Kuperintahkan juga dia untuk menangani proses masak seperti kemarin bersama Marni.Sementara aku berjalan mengendap mengekori Mas Hamdan. Beberapa kali kuabadikan kemesraan suami kakak iparku itu bersama gadisnya dengan kamera ponsel. Beberapa gambar kuambil berkali-kali.Aku juga ikut masuk ke hotel beberapa saat setelah mereka masuk. Segera, aku menuju meja resepsionis untuk mencari informasi tentang Mas Hamdan. Sayangnya, kebijakan di sana tidak memperbolehkanku memperoleh informasi yang kubutuhkan."Tolongin saya, lah, Mbak! Ini menyangkut harga diri saya. Tolong, ya, Mbak!" pintaku pada sang resepsioni