Karma?Video itu menunjukkan, Mas Budi menaiki pagar sambil terus berteriak memanggil namaku, dan berusaha untuk bunuh diri. Lalu dia pun menangis sekeras-kerasnya sambil meminta maaf. Sepertinya dia mengira saat itu aku masih berada di dalam rumah.Memaluka sekali, kenapa dia bisa sampai seperti itu? Apa mungkin saat ini dia sedang mabuk? Terserahlah, yang pasti saat ini aku sedang malas melihat wajahnya. Bisa saja 'kan, itu hanya sebuah sandiwara, agar aku iba dan kembali mencabut gugatan cerai itu? Maaf, Mas, tak mempan caramu ini!!Di mana urat malu laki-laki yang pernah menjadi suamiku selama dua tahun itu. Padahal kejadian semalam itu 'kan sudah memalukan, kenapa hari ini malah dia buat yang lebih parah lagi?[Terus sekarang, Mas Budi masih di rumah Pak Rt, Mbak?]Aku mengirimkan pesan lagi pada Mbak Sela. Ingin tahu juga sih, apa dia masih membuat keributan di kompleks.[Ya, masih di rumah Pak Rt. Ini ditanyain muter-muter aja, kayak orang linglung gitu. Dia juga kadang histeri
Pov Bu Dewi (ibunya Nita)"Bu, Mas Budi semalam digerebek warga, karena ketahuan sedang bermesraan bersama Lisa," ucap Nita siang itu, saat berkunjung ke rumahku."Astaghfirullah aladzim. Apa kamu nggak bohong, Nit. Jangan bercanda!" ucapku yang tak percaya akan hal itu.Nita pun kemudian menceritakan semuanya padaku, namun jujur, dalam hati aku masih tak bisa percaya, jika menantu sebaik Budi itu, tega melakukan hal itu pada Nita.Hingga kemudian dia menunjukkan video dan juga bukti chat padaku. Tentu saja hal ini membuatku percaya. Tapi, menurutku itu bukan Budi yang memulainya, namun si Lisa."Bukankah sudah ibu bilang dari dulu, jangan membawa masuk perempuan seperti itu ke dalam rumahmu! Tapi, kamu tetap ngeyel, dan hasilnya seperti ini sekarang, 'kan?" ucapku yang juga sedikit kesal pada Nita.Tiga bulan yang lalu, saat acara kirim doa tiga pulub hari meninggalnya Mbak Tutik, kakak tiriku, dan ibu dari Linda dan Lisa. Saat itu aku sudah menasehati dengan berbagai cara, namun dia
Status LisaBerarti Lisa telab memprivasi statusnya dariku, atau mungkin juga, dia malah sudah memblokir nomorku. Kalau memang begitu adanya, berarti dia sangat pengecut. Cuci tangan setelah melakukan sebuah kejahatan.Segera kubaca status itu satu persatu,'Oo...kamu ketahuan! Wkwkwk!''Nanggung ih...nggak bisa lihat orang seneng deh kalian ini.''Pasti hancur 'kan tuh, perasaan dan hatinya?!''Pembalasan belum usai!''Ternyata mudah banget dibohongin, wkwkwk.''Ngenes-ngenes deh, tuh!'Coba baca, pasti semua status itu untuk aku 'kan? Apa dia tidak ingat dengan harta karunnya, yang tertinggal di rumahku?Rasanya, ingin sekali sekarang juga aku mendatangi rumah mendiang Bude Tutik itu. Jengkel dan gemas sekali dengan kelakuan kedua sepupuku itu. Namun, untuk saat ini, rasanya tak perlu, hanya akan menambah luka dihatiku saja.Tetapi, jika aku diam saja, gadis ingusan iti malah berpikir terus jika aku ini lemah. Jadi, kupikir kali ini aku akan coba menghubunginya.Saat mencoba menghu
"Kamu ngapain senyum-senyum, sambil megang handphone ibu?" ucap Ibu sambil menepuk pundakku.Aku tentu saja kaget, karena sedang asyik memblokir si gadis pelakor itu. Tadi, aku memang menelepon Lisa di samping tokonya ibu."Dih...ibu ngagetin aja sih, hehehe. Ini loh, aku kan kepo, ingin tahu siapa sih pacar ibu," ucapku sambil tersenyum.Memang aku tak ingin ibu tahu, bahwasanya saat ini, nomor Lisa telah kublokir. Biarlah, mulai sekarang sebisa mungkin semua akan kuatasi sendiri, tanpa menceritakan pada Ibu. Kasihan, beliau juga usianya sudah tak muda lagi, dan aku tak ingin menambah beban pikirannya."Ngawur kamu itu, pacar apaan sih, Nit-Nita. Ada-ada saja!" ucap Ibu sembari mencubit kecil perutku."Awww...sakit! Ya siapa tahu sih, kan ibu sudah lama sendiri, apa nggak pingin gitu, Bu menikah lagi?" tanyaku menggodanya."Ya nggak lah, Nit. Buat apa nikah lagi, lebih baik hidup sendiri, sambil nunggu kamu beri ibu cucu," ucap Ibu sambil duduk di sampingku.Di samping tokonya ibu,
"Ya ampun...kok aku bisa bodoh banget ya, Mbak. Sampai segitunya nggak ngerti. Astaghfirullah." Aku terus saja meratapi keadaan dan kebodohanku.Berarti, mertuaku selama ini berbuat baik padaku, hanya untuk menutupi semua ini. Sungguh jahat, selama tiga tahun, mereka menyembunyikan ini dariku, aku tak bisa menerimanya, dan tentu saja segera aku ingin meminta penjelasan atas semua ini."Yang sabar ya, Nit. Cobaan ini mungkin terasa begitu berat, tapi akan memberimu banyak hikmah kedepannya. Pasti nanti, kamu akan mendapat ganti yang lebih baik. Pokoknya, kamu harus tetap semangat." Mbak Sela terus saja memberiku semangat, sepertinya mengerti tentang perasaanku saat ini."Pasti, Mbak. Aku akan selalu bersabar dan menerima semua ini. Tapi jujur, Mbak, aku tuh juga sangat bahagia, karena dengan kedatangan Lisa, aku jadi tahu apa yang selama ini disembunyikan oleh keluarga Mas Budi. Entah jika tak ada ini, sampai kapan aku terus dibohongi," ucapku masih sedikit emosi."Iya juga sih...hehe
Kedatangan Kedua SepupukuAku dan ibu, akhirnya sampai di rumahku pukul setengah sebelas malam."Ibu mau tidur di sini sama aku, atau di kamar tamu.yang bekas dipakai Lisa? Tapi belum kubersihkan sih. Hehehe," tanyaku pada Ibu."Tidur di sini saja deh, sama kamu, Nit," jawab Ibu.Setelah melaksanakan shalar isya, kami berdua pun langsung berbaring. Badan dan pikiranku, rasanya amat lelah sekali hari ini. Karena sejak semalam juga, aku tak bisa tidur dengan nyenyak."Nit, berarti Tuhan itu masih sayang sama kamu. Buktinya hingga saat ini kamu belum hamil dan sekarang juga, kamu ditunjukkan jika Budi itu, bukan pria yang pas untukmu," ucap Ibu beberapa saat sebelum tidur."Iya, Bu. Benar sekali, aku sangat bersyukur, meski awalnya semua terasa menyakitkan. Mulai saat ini, aku ingin memulai lembaran baru. Temani aku menata hidup ini ya, Bu.""Tentu saja, Bismillah saja. Insyaallah kedepannya, hidupmu bakal bahagia dan sukses, Nit," ucap Ibu sambil mengusap pucuk rambutku.***************
Budi ( Pov Author)Budi Santoso atau yang lebih akrab dipanggil Budi itu. Kini harus kembali masuk ke rumah sakit jiwa, seperti tiga setengah tahun yang lalu. Namun, kali ini orang tuanya pesimis jika Budi bisa sembuh lagi seperti sedia kala. Pasalnya, kali ini sepertinya syaraf Budi makin rusak saja, dan dengan gejala lebih mengerikan dibandingkan dulu."Pak, ini bagaimana anak kita? Aku takut dia nggak bisa sembuh lagi kali ini," ucap Bu Lastri, ibunya Budi."Aku juga berpikiran seperti itu, Bu. Sepertinya kita tak bisa melihat anak kita ini, seeperti sedia kala," ucap Pak Muji, bapaknya Budi."Dua kali, dia kayak gini. Tapi kali ini sungguh keterlaluan, dan sekali lagi karena sebab yang sama, yaitu wanita.""Iya, Bu. Tapi mau bagaimana lagi, toh memang begitu adanya. Sebisa mungkin kita sudah menutupi penyakitnya ini. Berharap agar bisa aman hingga selamanya, eh tapi dengan kedatangan si Lisa itu, semuanya jadi hancur berkeping-keping!" Pak Muji keliahatan amat emosi.Sementara saa
Pov Lisa"Gimana, Mbak? Si Nita mau 'kan ngajak aku ikut pulang ke rumahnya?" tanyaku pada Mbak Linda sore itu, tepat saat acara empat puluh harian meninggalnya ibu."Sudah pasti dia mau dong. Secara, siapa sih yang nggak tertipu dengan mulut manisku? Apalagi cuma si Nita yang selalu sok dermawan itu, hahaha," ucap Mbak Linda bangga."Bagus deh kalau begitu, sudah nggak sabar deh aku menyaksikan kehancuran rumah tangga si Nita itu. Sok baik, sok kaya juga. Dasar keturunan pelakor!" ucapku sengit.Aku, mbak Linda dan juga almarhum Mama, sebenarnya sudah sejak lama ingin menghancurkan rumah tangga Lisa, tapi sayang rasanya untuk masuk ke rumahnya, atau mengganggu suaminya itu, amat sulit.Dan kini, ketika mama sudah tiada, justru kesempatan itu akhirnya datang, dan tentu saja, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kalau bisa sih, aku ingin menghancurkan seluruh hidupnya, agar dia tak bisa punya anak, jadi garis keturunan pelakor itu, akan habis, hahaha.Tunggu hingga aku bisa
Bab 38Setelah Lisa dirawat beberapa hari di rumah sakit, gadis itu pada akhirnya diperbolehkan untuk pulang oleh dokter. Namun dengan satu syarat bahwa dia harus menjalani perawatan rutin ke rumah sakit.Mereka semua kini telah sampai di rumah dan Lisa dirawat di rumah Retno. Apalagi tak ada satupun orang yang mau merawatnya sama sekali. Hanya Nita dan ibunya saja yang bersedia."Lisa, kalau nanti kamu butuh sesuatu panggil saja Mbak atau Bibi."Wanita muda itu tampak menganggukkan kepalanya perlahan dan membiarkan sesosok perempuan yang baru saja bicara padanya itu menutup pintu kamar.Setelah Nita memastikan keadaan sepupunya itu baik-baik saja dan merasa nyaman di dalam kamar. Dia memutuskan untuk kembali dan menemui ibunya. Apalagi saat ini ada tamu tak diundang yang terus saja mengikutinya.Pandangan kita mengarah tajam ke arah ruang tamu. Ada Dimasta yang tengah asik mengobrol dengan Bu Dewi.Perlahan wanita itu mendekat namun tatapan tajamnya tak kunjung menghilang sama sekali
Bab 37Nita datang kembali ke rumah sakit untuk bergantian menjaga Lisa. Pagi tadi ibunya telah pulang lebih dulu ke rumah.Setelah sampai di rumah sakit wanita itu segera pergi ke ruang rawat sepupunya. Saat membuka pintu ruang rawat Lisa, gadis itu terlihat termenung seolah telah mendapatkan begitu banyak kehancuran di dalam hidupnya.Nita menghela nafas perlahan sambil meletakkan barang bawaannya. Dia lantas menarik kursi dan duduk tepat di samping ranjang Lisa."Gimana keadaan kamu, Lis? Udah lebih membaik?"Lisa melirik sekilas tapi sayangnya gadis itu tak mengatakan apapun. Bahkan bibirnya kini terlihat semakin pucat dengan raut wajah yang tak memiliki semangat sedikitpun untuk melanjutkan hidup."Kalau kamu butuh sesuatu jangan sungkan untuk minta sama Mbak dan Bibi, ya?"Lisa terkekeh pelan. Tiba-tiba saja gadis itu merasakan kengerian di dalam dirinya karena kini justru dirawat oleh orang-orang yang sempat dia sakiti."Mbak, kamu nggak perlu bersikap baik padaku.""Kenapa? Ap
Dada Lisa terasa semakin bergemuruh. Saat ini dia memang masih belum yakin kalau kakaknya telah meninggal. Tapi satu hal yang pasti, Mbak Linda tak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah sakit apalagi sampai membiarkan dirinya berada di tangan Nita dan Bu Dewi.Tangisan Lisa kembali pecah dan dia tak bisa membendungnya lagi. Seberapa banyak dia mencoba untuk tak lagi menangis tetap saja rasanya sulit karena dirinya frustasi.Saat ini dia telah lumpuh dan Mbak Linda juga sudah meninggal. Lisa hanya bisa meratapi tangisnya. Nita tiba-tiba memeluknya, Lisa awalnya mencoba untuk berontak tapi nyatanya dia tak bisa menggerakkan tubuh sama sekali.Alhasil dia menangis dipelukan Nita, wanita yang sangat dibencinya.Di luar ruangan, Bu Dewi dan Dimasta terlihat tersenyum melihat pemandangan yang cukup mengejutkan. "Syukurlah, sepertinya semuanya kan baik-baik saja.""Iya, Bu. Dimas harap juga gitu," cicit Dimasta.Bu Dewi sejujurnya karena pria muda itu putrinya. Bukan satu dua kali saja
"Aku lumpuh, 'kan? Kenapa Bibi nggak jujur padaku?!"Tangis Lisa kembali pecah ketika wanita itu sadar keadaannya memprihatinkan. Hidupnya benar-benar hancur karena dia bahkan tak bisa lagi menggerakkan tubuhnya."Dimana Mbak Linda? Kalian berbuat apa sama Mbak Linda?!"Satu-satunya hal yang ingin diketahui oleh Lisa hanyalah keadaan kakaknya. Namun satu hal yang tidak diketahui oleh wanita muda itu, Linda kini telah meninggal dunia.Bibir Bu Retno rasanya begitu berat untuk terbuka. Bagaimana caranya dia bisa menjelaskan tentang keadaan yang telah terjadi?Sebelum dia berhasil membuka suara, pintu ruangan kembali terbuka dan menampakan sosok Nita. Wanita itu bahkan datang dengan seorang pria yang tak lain adalah Dimasta."Nita? Kenapa kamu balik lagi, Nduk?"Nita menghela napas berat. "Gimana mungkin aku tetap berada di rumah, Bu? Biar aku saja yang bicara sama Lisa."Bu Dewi tampak mengangguk pelan. Sedangkan Nita kini berjalan mendekati sepupunya yang masih menangis di atas ranjang
Lisa tampak mengerjapkan matanya beberapa kali. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari kejauhan yang cukup samar."Lisa ... kamu udah bangun, Nduk?"Lisa memperjelas penglihatannya secara perlahan-lahan dan saat itulah matanya kembali membulat dengan sempurna ketika melihat sosok Bu Dewi."Bibi? Kenapa Bibi ada disini?!"Bukannya merasa senang, Lisa justru makin merasa kesal karena dia ingin sekali bertemu dengan Linda.Lisa juga merasa takut jika sesuatu yang buruk terjadi padanya karena Lisa hanya percaya pada Linda.Bu Dewi tampak terkejut ketika mendapatkan sikap kasar Lisa. Tapi wanita paruh baya itu tahu kalau keponakannya saat ini tengah dalam keadaan yang buruk."Lisa tenang dulu, ya? Bibi panggilkan dokter," ujarnya.Lisa hanya diam. Wanita itu memilih untuk memalingkan wajahnya. Tapi setelah pintu tertutup, Lisa kembali berpikir untuk mencari cara agar bisa menyelamatkan dirinya.Wanita muda itu kembali mencoba untuk menggerakkan tubuhnya. Tapi sekali lagi dia dikejut
Bab 33Bu Dewi terlihat tergopoh-gopoh menghampiri anaknya. Nita masih duduk tepat di depan ruangan Lisa. Namun wanita itu segan untuk masuk kembali karena takut jika sepupunya akan marah. Walaupun Lisa kini sudah ditenangkan, Nita masih saja merasa bersalah."Nita," panggil Bu Dewi.Nita menoleh, seketika pula dia beranjak dan memeluk erat tubuh ibunya. Sudah cukup baginya untuk pura-pura kuat, Nita tak tahan lagi.Bu Dewi segera mengelus pelan pundak anaknya. Dia tahu kalau anaknya memang sering kali menyalahkan diri sendiri atas segala hal yang terjadi."Sudah, Nita ... Sudah! Mau sampai kapan kamu nangis seperti ini?"Nita mengusap sudut matanya. Ucapan Bu Dewi barusan benar. Dia memang tak pantas menangis terus. Tapi nyatanya dia ketakutan saat ini.Nita segera melepas pelukan. Ditatapnya lekat sosok sang ibu dengan sudut mata yang berair."Gimana kondisi Lisa?""Dia kayaknya masih tidur, Bu. Mungkin dua jam lagi sadar," ujar Nita.Bu Dewi menghela napas berat. "Kamu pulang aja
Bab 32Nita menganggukkan kepalanya perlahan. "Baik, Dok. Tapi apakah adik sepupu saya itu baik-baik saja?"Dokter tampak menarik sudut bibirnya hingga membentuk senyum tipis seolah mencoba untuk memberikan kode pada Nita, agar dia tetap bersikap tenang."Pasca sadar dari koma memang seringkali membuat pasien merasa terkejut. Ini merupakan hal yang wajar jadi anda tak perlu khawatir."Setelah Nita mendapat penjelasan dari dokter, perasaannya jauh lebih tenang.Kini dokter dan beberapa perawat terlalu pergi meninggalkan Nita. Walaupun keadaan sudah jauh lebih tenang, Nita tetap memilih berada di luar ruangan Lisa.Dia masih merasa takut dan juga shock karena keponakannya itu terus saja mengumpatnya.Tiba-tiba suara ponselnya berdering. Nita lantas meraihnya dan menatap layar ponsel yang menyala serta memperlihatkan adanya panggilan masuk dari ibunya."Halo, Bu?""Nit? Kenapa suara kamu kedengaran bergetar. Ada apa?"Nita menggigit bibir bawahnya karena dia tak bisa menyembunyikan peras
Bab 31Nita menangis tersedu-sedu di dalam pelukan seorang pria yang tiba-tiba datang. Sesekali Nita merasakan kepalanya dielus perlahan dan suara seorang pria mulai masuk ke dalam gendang telinganya."Sudah, Nit. Menangislah jika itu semua bisa membuatmu menjadi lebih tenang," lirih pria itu lagi.Di dalam keadaan yang kini begitu ricuh, Nita merasakan kehangatan dan entah mengapa rasanya dia tak bisa menolak walaupun sebenarnya merasa enggan.Entah siapa pria yang tengah memeluknya sekarang. Tapi Nita merasa bersyukur karena dia bisa jauh lebih tenang. Suara Lisa dan teriakan yang terus memaki-maki kini mulai mereda. Begitu juga dengan kekhawatirannya dan juga tangisan yang sejak tadi terus saja membasahi pipi.Perlahan, Nita mulai sadar dan wanita itu mencoba untuk keluar dari pelukan. Tapi tiba-tiba pria itu mencegahnya dan semakin menerapkan pelukannya."Jangan melepaskannya karena terpaksa, Nita. Aku tahu kalau kamu sekarang butuh sandaran."Lagi, Nita dibuat bingung oleh sosok
Bab 30"Aku nggak menyukaimu, Dimasta."Mata Dimasta terlihat membulat dengan sempurna setelah mendengar penuturan Nita. Pria itu berhenti berbicara dan mulai memikirkan tentang arti dari perkataan wanita yang berada tepat di sampingnya."Kamu sudah dengar jawabannya, 'kan? Mulai sekarang jangan ganggu aku lagi, Dim. Kamu hanya akan terluka jika terus memaksa untuk mendekat."Nita menegaskan lagi maksud dari ucapannya barusan. Lagi pula dia tak berbohong sama sekali karena sampai saat ini masih belum memiliki yang sedikitpun untuk membuka hati.Dimasta perlahan mulai mendongakkan kepala dan menatap lekat manik mata milik Nita."Aku tahu soal ini, Nit. Tapi aku yakin bahwa suatu hari nanti hatimu pasti akan terbuka," lirihnya.Cukup sudah! Nita bahkan tak nafsu makan. Perkataan Dimasta membuatnya merasa cukup muak."Kamu sangat menyebalkan!" desisnya sambil beranjak dari tempat duduk dan beralih mendekat ke arah kasir. Nita segera membayar pesanannya. Setelah itu dia berbalik hendak