Cinta duduk berhadapan dengan Anisa di sebuah ruangan yang tampak seperti kantor kecil di dalam kafe. Aroma kopi masih samar tercium, meski ketegangan di antara mereka jauh lebih dominan daripada wangi biji kopi yang baru digiling.Anisa meneguk air putihnya, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya berkata, “Kalau bisa, tolong dinaikkan lagi harganya.”Cinta menatapnya tanpa berkedip. “Saya tidak bisa menaikkan lagi, karena keterbatasan modal yang saya miliki.”Anisa mengangguk pelan, jemarinya mencengkeram gelas di depannya. “Saya memang ingin menjualnya, tapi saya juga harus melunasi utang bank yang kami gunakan untuk modal dulu. Kalau kafe ini saya jual dengan harga yang kita bicarakan tadi, itu artinya saya masih harus menutup kekurangannya dari uang saya sendiri, dan saya tidak mau itu.”Cinta mengamati wajah Anisa. Ada luka di sana, luka yang begitu dalam. Sebagai sesama perempuan, apalagi sama-sama pernah diselingkuhi, membuat Cinta seolah turut merasakan luka yang sama.“Seb
Maira menggulir layar ponselnya, matanya terpaku pada sebuah unggahan di akun media sosial Cinta yang sudah lama sepi. Deretan pakaian mewah dan tas branded ditawarkan dengan caption singkat ‘dijual cepat, barang istimewa’.Senyum sinis terbit di bibir Maira. Jadi begini akhirnya? Cinta, mantan istri Kevin Sanjaya, kini menjual barang-barang mewah miliknya seperti orang yang sudah bangkrut.Tampaknya teman-teman Cinta benar-benar tahu barang mewah dan berkelas, hingga dengan cepat barang terjual.Mata Maira tertumbuk pada satu gaun. Gaun biru tua dengan potongan sederhan tapi elegan, salah satu koleksi dari desainer ternama.Tanpa pikir panjang, Maira langsung menghubungi nomor yang tertera.Tidak butuh waktu lama, ponselnya bergetar. Sebuah pesan balasan masuk."Kemana saya bisa mengirim gaun ini?"Maira tersenyum puas. Tidak peduli berapa harga yang harus ia bayar, memiliki sesuatu yang pernah menjadi milik Cinta terasa seperti sebuah kemenangan baginya.Maira tidak memberikan alama
Cinta duduk di ranjang kecilnya di panti asuhan, menggenggam buku rekening yang baru saja diperbarui. Angka di dalamnya bukan hanya deretan nominal, tapi nilai yang harus dibayar untuk masa depan baruDia menarik napas dalam, lalu menutup buku rekening itu dengan senyum kecil. Ini saatnya.Langkahnya menuju ruang tengah terasa seperti perjalanan panjang. Ia melewati koridor yang penuh kenangan, gelak tawa anak-anak, suara Bunda Aminah yang lembut menenangkan, dan jejak air mata yang pernah ia tinggalkan di sudut-sudut ruangan.Ketika ia sampai di ruang tengah, seperti biasa Bunda Aminah duduk menikmati teh hangat sambil mengawasi anak-anak yang sedang bermain. Wajah lembut perempuan itu tampak teduh seperti biasa, meski garis-garis usia mulai lebih jelas tergambar di sana, Bunda Aminah menyambutnya dengan kehangatan yang memeluk, selalu seperti itu sejak dulu.“Bunda,” panggil Cinta pelan.Bunda Aminah menoleh, tersenyum, lalu menepuk sofa di sebelahnya. “Kemari, Nak.”Cinta duduk, me
Cinta menatap layar ponselnya dengan napas tertahan. Panggilan itu membangkitkan sesuatu yang ingin ia kubur selamanya. Cinta tidak ingin mengambil risiko. Tidak ingin ada celah yang bisa digunakan untuk menyeretnya kembali ke dalam masa lalu yang kelam.Dengan cepat, ia mengambil keputusan. Menolak panggilan dan memblokir nomor tersebut.Tampaknya Cinta sudah menyiapkan kartu SIM yang baru. Cinta membuka pengaturan ponselnya, memastikan semua data penting telah dipindahkan sebelum mengganti kartu SIM.Sebelum melepas kartu SIM lamanya, Cinta mengecek akun yang terhubung dengan nomor lama. Janda satu anak itu membuka aplikasi perbankan dan dompet digitalnya. Ia memastikan bahwa semua akun keuangan yang terhubung dengan nomor lama bisa segera dipindahkan.Nomor ponsel sering digunakan sebagai sarana One Time Password (OTP), yang berisi kode verifikasi yang dikirim via SMS untuk masuk ke akun atau melakukan transaksi finansial. Jika nomor ini jatuh ke tangan orang yang salah, seluruh s
Cinta melangkah masuk ke dalam kafe dengan perasaan campur aduk. Aroma kopi yang khas bercampur dengan suara mesin espresso dan obrolan pengunjung. Di salah satu sudut, sekelompok mahasiswa tertawa sambil mengerjakan tugas. Tempat ini hidup, penuh energi, dan sebentar lagi akan menjadi miliknya. Tiara, yang sudah menunggunya, langsung menghampiri dengan senyum hangat. "Kak Cinta, ayo, Bu Anisa sudah menunggu di kantor." Cinta mengangguk dan mengikuti Tiara melewati lorong sempit menuju ruang kantor. Saat melewati area barista, beberapa karyawan menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Dia yang akan jadi bos baru kita?" bisik salah seorang karyawan. "Iya, katanya sih begitu. Semoga dia nggak banyak aturan, ya," sahut yang lain. "Yang penting kita nggak dipecat. Sekarang cari kerja susah," ujar seorang perempuan yang sedang membersihkan meja dengan ekspresi khawatir. Cinta mendengar semua itu. Setiap bisikan mereka terasa seperti beban baru di pundaknya. Dia mengerti
Widya menghela napas pelan, menoleh ke arah Rama dengan tatap mata tajam, sementara Danu Lukito mengangkat alis, sedikit terkejut. Evita yang sedari tadi hanya diam, menggigit bibirnya, berusaha menyembunyikan perubahan ekspresi di wajahnya. "Rama." Suara Widya terdengar lembut, tetapi penuh peringatan. "Pertunangan ini bukan hanya tentang kamu. Ini tentang keluarga. Tentang masa depan kita." Rama menatap sang mama dengan mata yang penuh ketegasan. "Aku tahu, Ma. Tapi aku juga tidak bisa membohongi diri sendiri." Danu Lukito tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Anak muda memang butuh waktu untuk berpikir. Tapi Rama, kamu dan Evita sudah saling mengenal cukup lama. Aku yakin kalian bisa belajar mencintai satu sama lain." Evita akhirnya berbicara, suaranya lirih, tapi penuh harapan. "Rama, apakah kita tidak bisa mencoba lebih dahulu?" Rama mengalihkan pandangannya ke Evita. Bisa saja Rama memaksakan diri, mengatakan iya, menjalani semua ini demi keluarganya, demi bisnis.
Widya menoleh, terkejut. "Arman, jangan begini ...""Dia bilang siap dengan segala konsekuensinya, bukan?" Arman menyela tanpa menoleh ke istrinya. "Maka dia harus tahu bahwa setiap keputusan ada harganya."Rama tetap menatap sang papa, sama sekali tidak menunjukkan ketakutan. Bahkan sudut bibirnya terangkat sedikit. "Baik, Pa. Aku akan pergi."Widya menutup mulutnya dengan tangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi."Aku akan menunjukkan kepada Papa dan Mama …." Rama menambahkan sebelum bangkit dari kursinya. "Aku akan tetap berdiri. Dengan atau tanpa perusahaan ini."Rama mengambil jasnya dari sandaran kursi, merapikannya dengan tenang, lalu melangkah pergi, meninggalkan orang tuanya dalam keheningan yang penuh ledakan tak kasat mata.Malam itu, dia telah memilih jalannya sendiri.Meskipun jalan itu berarti melawan dunia yang selama ini membesarkannya.Rama keluar dari restoran dengan langkah panjang dan penuh tekad. Udara malam menyambutnya dengan dingin, tetapi tubuh
Bunda Aminah tersenyum haru mendengar kabar dari Cinta. Mata tuanya menatap penuh kebanggaan pada janda beranak.satu itu. “Syukurlah, Nak. Akhirnya kau benar-benar memulai hidup baru. Setelah semua badai yang menerpa hidupmu, semoga ini adalah awal yang baik untuk kebangkitanmu.” "Amin." Cinta mengangguk, menggenggam tangan Bunda Aminah erat. “Iya, Bunda. Kafe itu sudah resmi jadi milik saya, tinggal urusan administrasi di notaris.” Bunda Aminah menepuk tangan Cinta lembut. “Bunda bahagia mendengarnya. Tapi Chiara bagaimana? Kau tak perlu buru-buru pindah kalau belum siap.” Cinta menghela napas, lalu tersenyum. “Maaf Bunda, saya titip Chiara lebih lama lagi." Ada keraguan dari sorot mata Cinta. Tetapi dia tidak punya pilihan lain. "Saya masih butuh sedikit waktu sebelum bisa membawa Chiara. Lantai dua kafe itu sebenarnya bisa dijadikan tempat tinggal, tapi Chiara belum bisa naik turun tangga dengan kakinya yang belum sembuh total. Saya harus merenovasi beberapa bagian dulu agar
Waktu seakan berhenti. Tidak ada suara lain yang terdengar di telinga Rama, selain degup jantungnya sendiri.Ingin rasanya Rama bangkit dari tempat duduknya, berlari dan merengkuh pinggang Cinta. Ingin rasanya menculiknya dan langsung membawanya ke hotel terdekat. Rama sudah tidak sanggup menahan gairah, dia ingin mengulang saat-saat intim bersama Cinta.Tapi akal sehat Rama masih menahannya di kursi, duduk manis hanya menatap, dan menunggu reaksi pertama dari Cinta.Dan Cinta… masih berdiri di tempat. Seolah hatinya belum memutuskan apakah dia harus menghampiri Rama, atau justru kembali melangkah menjauh sebelum semuanya dimulai kembali.“Mbak, tamunya nunggu sudah lama,” ucap Rizka pelan dan ragu-ragu, karena melihat reaksi Cinta yang sangat berbeda. Sangat serius dan ada ketakutan.Cinta mengangguk pelan diikuti hembusan napas kasar. “Ya, aku akan ke sana.”Tidak ada guna lari, karena Rama akan terus mengejarnya. Seperti halnya masalah dengan Nora, dia pun akan menghadapi Rama.Di
Rama memejamkan mata sejenak. Kata demi kata yang terlontar dari bibir Arman bukan hanya restu, tapi ujian. Ujian tentang kesungguhan dan harga diri. Bukan hanya kesungguhan atas rasa cintanya, tetapi juga niatnya untuk berubah. “Terima kasih, Pa. Aku akan buktikan,” ucap Rama ketika membuka mata dan menatap sang ayah.Arman mengangguk. “Lakukan dengan tenang. Jangan gegabah. Mamamu biar papa yang urus.”Meski Arman sadar meyakinkan Widya bukanlah hal yang mudah, tetapi dia tetap mendukung putranya. Sudah terlalu lama putranya tersesat. Motivasi apa pun yang akan membawa perubahan akan dia dukung dengan sepenuh hati.***Hari yang dinantikan Rama akhirnya tiba. Dengan langkah mantap, dia melangkah keluar dari rumah.Rama mengenakan kemeja putih yang disetrika rapi, dipadukan dengan celana panjang warna abu tua. Jasnya belum dikenakan, masih disampirkan di lengan. Wajahnya bersih, segar, dan kali ini tak ada aroma parfum yang berlebihan atau gaya yang mencolok. Hanya lelaki biasa yang
Rama berdiri di ambang pintu ruang kerja ayahnya, memandangi sosok Arman Wijaya yang sedang membetulkan dasi di depan cermin. Setelan jas abu-abu gelap membungkus tubuh tegap itu, seolah menghapus bayang-bayang sakit yang sempat membuat Rama resah berminggu-minggu“Hari ini papa akan kembali ke kantor?” tanya Rama sambil menatap dengan saksama sang papa, seolah ingin memastikan jika pria di hadapannya sudah benar-benar sehat.Arman menoleh dan tersenyum kecil. “Papa sudah cukup istirahat. Perusahaan butuh orang tua seperti papa untuk mengingatkan anak muda seperti kamu agar tidak terlalu ambisius.”Meski tidak ke kantor, tetapi informasi tetap mengalir kepada Arman. Terutama proyek besar yang berhubungan dengan Narendra Green Dinamic. Selain itu juga Rama yang selalu lembur, entah karena terlalu antusias atau ada target lain yang dia kejar.Rama tertawa kecil, rasa lega menyelinap dalam dada. Ia mengangguk, “Papa tahu kan, aku tidak akan main-main dengan tanggung jawab.”“Dan Papa tah
Cinta mengepalkan tangannya di bawah meja. Dalam diam, Cinta sedang mengumpulkan keberanian untuk melawan. Janda beranak satu itu sudah siap dengan segala konsekuensinya.“Aku mengajakmu bertemu bukan untuk bilang ‘ya’,” ujar Cinta akhirnya. Suaranya yang tenang justru terasa menghujam di dada Nora.Senyum Nora menipis. Matanya menyipit karena tidak percaya melihat keberanian Cinta. “Lalu … untuk apa?”“Untuk memberitahu kamu, jika aku tidak akan goyah dengan pendirianku sekarang,” jawab Cinta pelan. “Aku tidak akan takut dengan segala ancamanmu, Nora. Kamu bisa mengatakan kepada siapa pun tentang masa laluku. Dan aku tidak akan peduli dengan penilaian mereka.”Teror tiada henti dari Nora justru semakin meyakinkan Cinta, jika niatnya untuk meninggalkan lembah hina, lebih besar dari ketakutan jika aibnya akan terbongkar.Cinta sadar, kapan pun aib itu bisa terbongkar, entah dari Nora, atau dari orang lain yang pernah melihatnya bersama Rama. Hujatan dan caci maki akan tertuju kepadanya
Sejak kehadiran Nora, hari-hari Cinta mulai terasa semakin penuh tekanan. Sejak tautan gosip itu menyebar, dia merasa seolah seluruh mata memandangnnya dengan tatapan hina.Setiap menyaksikan pelanggan yang sedang bercanda sambil menikmati hidangan, Cinta merasa seolah mereka sedang membicarakan dirinya. Kini hidup Cinta terasa tidak tenang, dipenuhi dengan berbagai kecurigaan. Cinta merasa, setiap orang yang memandangnya seolah ingin mengupas lapis demi lapis tubuh dan masa lalunya.Nora terus meneror. Kadang hanya kiriman emoji api, atau tautan komentar jahat dari netizen.Bahkan sosok yang telah menjadi teman bertumbuh sejak masa kecil itu, tidak segan mengirim pesan bernada ancaman, “Tinggal tunggu waktu sampai anakmu tahu siapa ibunya sebenarnya.”Cinta membaca setiap pesan yang dikirim oleh Nora, tetapi tidak satu pun yang dia balas.Untuk masalah yang satu ini, Cinta merasa benar-benar harus menghadapinya sendiri. Dia tidak tahu harus berbagi dengan siapa.Ini bukan tentang luk
Cinta berdiri di balik meja kasir, mengenakan blus putih sederhana dan celemek cokelat khas kafe miliknya. Ia menatap Hardy, barista muda yang sedang menuangkan espresso ke dalam cangkir. Pemuda itu berhenti sejenak saat menyadari Cinta melangkah menghampirinya, tampaknya ada hal penting yang ingin dia bicarakan.“Hardy!”Mendengar panggilan dari Cinta, Hardy segera meletakkan milk jug ke atas meja, lalu berbalik menghadap bos barunya.“Iya, Mbak?”Karena usia para karyawan tidak terlalu jauh dengan Cinta, mereka memanggil Cinta dengan panggilan 'Mbak' agar lebih akrab. Meski ada beberapa yang belum terbiasa, dan tetap memanggil 'bu' seperti saat bersama dengan Anisa dulu.“Terima kasih, ya,” ucap Cinta, menatap mata Hardy dengan tulus. “Kamu sudah bantu sampaikan pesanku ke Pak Davin. Aku tahu ini bukan posisi yang nyaman buat kamu, apalagi kalian masih ada hubungan kekerabatan.”Hardy tersenyum tipis, meski matanya tampak sedikit canggung. “Nggak apa-apa, Mbak. Mas Davin juga… ya,
Cinta berdiri di dekat meja kasir, menatap kosong ke arah para karyawan yang mulai merapikan kafe menjelang waktu tutup. Lantunan musik lembut masih mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan, bercampur dengan suara kursi digeser, gelas dicuci, dan ucapan ringan antar sesama karyawan. Semuanya tampak biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Tapi tidak dengan Cinta.Bayangan wajah Nora terus menghantui pikirannya. Senyum licik itu. Kata demi kata yang seperti racun. Ancaman yang bisa meruntuhkan semua yang selama ini dia bangun dengan susah payah.Tangannya yang menggenggam kain lap di meja mulai bergetar. Cinta berusaha tetap tegak, tersenyum kecil saat Rizka melambaikan tangan pamit. Tapi senyum itu tak sampai ke matanya. Begitu pintu kafe tertutup dan tinggal suara detik jam dinding yang terdengar jelas, Cinta menyandarkan tubuhnya ke meja, diam-diam menunduk.Air mata itu jatuh pelan. Tanpa suara. Tanpa drama. Hanya butiran kecil yang mengalir perlahan di pipinya. Ia menyekanya cep
Cinta menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap Nora dengan sorot mata dingin, meski amarah dalam dadanya membara. Dalam diamnya, ia mengingat kembali semua luka yang sudah lama ia pendam, malam-malam panjang penuh air mata, rasa jijik yang tidak bisa hilang dari tubuhnya, dan suara erangan dan desahan Rama yang terus menghantui pikirannya. Semua itu berawal dari satu nama, Nora.“Aku tidak akan pernah lupa, Nor,” ucap Cinta akhirnya, suaranya datar namun tajam. “Nggak akan lupa dari mana uang itu berasal. Dari mana aku bisa beli kafe ini. Dan aku juga nggak akan lupa siapa sahabatku yang menjerumuskan aku ke lembah itu.”Nora tersenyum kecil, seperti tak tersentuh oleh tudingan itu. Ia menyilangkan kakinya, mengambil cangkir kopi yang tinggal setengah, lalu menyesapnya dengan santai. “Kamu harusnya berterima kasih sama aku, Cin. Bukan malah melempar kesalahan seperti ini."Cinta menyipitkan mata. “Terima kasih? Karena kamu sudah menjual aku?”Nora tertawa, pahit dan sarkastik. “O
Nora. Sahabat masa kecil, seseorang yang dulu tidur di ranjang sebelah di panti asuhan. Yang berbagi sepotong roti dan mimpi-mimpi kecil tentang masa depan yang lebih baik. Tetapi dia adalah perempuan yang telah menghancurkan hidup Cinta. Dengan kata-kata manis dan senyum pura-pura, Nora menggiringnya ke dalam perangkap. Membuatnya percaya bahwa pekerjaan itu akan membawa kehidupan lebih baik, tetapi yang ia dapatkah adalah kehinaan. Kehinaan bersama Rama. Satu bulan menjadi budak nafsu mantan kekasihnya, sampai kini masih menghantui tidurnya.Sekarang, Nora duduk santai, tertawa pelan, tanpa beban. Seolah semua itu tak pernah terjadi. Seolah mereka masih dua anak yatim piatu yang saling menjaga.Tiara menoleh dan melambaikan tangan dengan wajah senang melihat kehadiran Cinta. “Kak Cintaaa! Lihat Kak Nora datang."Cinta mengangguk pelan. Senyum kecil dipaksakan, meski tangan yang menggenggam alat bantu jalan Chiara mulai gemetar.Nora bangkit dari duduknya, menghampiri Cinta lalu