Kapokmu Kapan, Mas? (25b)Benarkah Bang Robi bersikap demikian? Akan tetapi, mengapa dia malah berselingkuh dengan Miska?"Akhirnya adik saya mengalah. Dia bisa berpikir jernih dan tak mau merusak keutuhan rumah tangga Robi dan Mbak Titi. Adik saya mengalah.""Awalnya saya tetap memaksa adik saya untuk meminta pertanggung jawaban Robi. Saya bahkan sempat berniat membeberkan kenyataan bahwa Robi punya anak dengan adik saya. Tapi adik saya bersikukuh menolak. Dia tidak mau ada wanita lain yang ikut merasakan penderitaan seperti yang dia rasakan. Hal itu yang membuat saya mengalah.""Tapi entah dari mana datangnya bisikan untuk memata-matai Robi. Ternyata Robi berselingkuh. Dia membohongi adik saya. Dia yang seolah laki-laki yang ingin setia pada istrinya, tak lebih dari predator ganas. Dia berselingkuh dengan lebih dari dua wanita."Astaghfirullah ... benarkah demikian?"Saya juga mencaritahu info tentang Mbak Titi. Saya mencaritahu kebiasaan dan semua tentang Mbak Titi. Saya merasa iba
Kapokmu Kapan, Mas? (26)Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan secara berkali-kali demi menetralkan sesak di dada. Ya, pertanyaan Ira dan laki-laki itu membuat sesak di dadaku kian bertambah.Hening sejenak sebelum aku memberikan jawaban."Iya, saya akan tetap melepaskan mereka."Ira menatapku seraya menggeleng. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Dari tatapannya, aku bisa melihat ketidaksukaannya atas jawabanku."Bagaimana saya bisa melepaskan mereka?" Aku bertanya pada laki-laki itu.Dia menggeleng lemah."Mereka hanya bisa dilepaskan oleh dukun yang jasanya saya pakai untuk membuat mereka seperti itu.""Di mana saya bisa menemukan dukun itu?""Sayangnya, kedua dukun itu sudah meninggal.""Mas, tolong ... jangan main-main!" Aku sedikit membentak."Saya tidak main-main, Mbak!" Dia menegaskan."Kapan mereka meninggal?""Mbak tahu persis. Saudara Mbak Titi yang melawan mereka."Mas Aryo?"Ya, saudara Mbak Titi melawan mereka hingga tewas.""Dua kalajengking itu?"Laki-l
Kapokmu Kapan, Mas? (26b)"Dek ... Abang minta maaf, ya!" ucapnya lirih.Tak kuasa kutahan air mata. Permintaan maaf yang terdengar tulus itu begitu menyentuh hatiku. Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulut Bang Robi setelah beberapa hari ini."Abang minta maaf! Abang minta maaf, Dek! Abang minta maaf ...." Bang Robi terus mengucapkan kalimat itu seraya menatapku dengan tatapan penuh penyesalan."Abang sadar telah salah. Abang sadar banyak salah dan dosa sama kamu, Dek. Abang sadar ....""Abang mau berubah, Dek. Abang gak mau nyakitin kamu lagi. Abang minta maaf, Dek ...."Aku masih diam tak menanggapi. Hanya ujung baju yang kugunakan untuk menyeka air mata. Aku bingung harus menjawab apa.Benarkah Bang Robi telah sadar akan semua kesalahannya? Benarkah dia akhirnya mau mengakui bahwa dirinya bersalah? Benarkah janjinya untuk berubah?Pertanyaan-pertanyaan itu berlarian begitu saja dalam benakku.Bang Robi terus saja menangis penuh penyesalan. Sementara Miska tampak terlelap. En
Kapokmu Kapan, Mas? (27)"Kamu mau membiarkan orang yang sudah membunuh orang tua kamu bebas, Ti?"Pertanyaan Ira benar-benar membuatku syok. Aku yang tadinya berdiri langsung luruh jatuh terduduk ke lantai. Tubuhku seperti tak bertulang.Tak kuhiraukan panggilan Ira yang masih aktif. Kuletakkan ponsel begitu saja di lantai. Duniaku terasa berputar. Lalu semuanya menjadi gelap seketika.Saat aku membuka mata, pelipisku terasa panas. Aroma minyak kayu putih memenuhi indera penciumanku. Ketika menoleh, aku mendapati Kak Elfa sudah berada di sampingku."Alhamdulillah ... akhirnya kamu sadar juga, Ti," ujar Kak Elfa.Aku tak sanggup menjawab Kak Elfa. Kepalaku rasanya masih terlalu berat. Jadi, kuputuskan untuk memijat pelan pelipis dengan dua ibu jari.Saat itu kulihat Kak Elfa berjalan keluar kamarku dan kembali tak lama kemudian dengan membawa segelas air yang langsung disodorkan kepadaku."Minum dulu, Ti!" ujarnya.Aku hanya menjawab dengan sebuah anggukan disertai gerakan mengambil
Kapokmu Kapan, Mas? (28)Aku dan Bang Robi saling tatap. Kak Elfa yang sedang berjalan menuju dapur segera menghentikan langkahnya. Mbok Mina lari dari arah belakang."Ada apa, Bu? Kayak suara benda jatuh," tanya Mbok Mina."Saya gak tau, Mbok. Suaranya dari kamar Miska," jawabku.Detik berikutnya Bang Robi berinisiatif mendobrak pintu kamar Miska. Beruntung tidak butuh banyak waktu untuk bisa membuka pintu kamar itu. Walaupun sudah diperbaiki seadanya setelah dirusak Tante Riri tempo hari, pintunya masih mudah didobrak.Selanjutnya, pintu kamar mandi di kamar Miska yang harus didobrak paksa. Ketika berhasil terbuka, kami mendapati Miska tergeletak di lantai kamar mandi tak sadarkan diri. Bang Robi, aku, Kak Elfa, dan Mbok Mina segera mengangkat tubuh Miska dan membaringkannya di ranjang."Mbok, tolong ambilin minyak kayu putih!" perintah Kak Elfa.Mbok Mina sigap berlari keluar kamar dan kembali tak lama kemudian dengan minyak kayu putih di tangan. Kak Elfa langsung mengambil alih be
Kapokmu Kapan, Mas? (29)Aku segera berlari menuju Ira. Beruntung, aku berhasil menahan tubuh Ira yang ambruk. Ira langsung tak sadarkan diri saat itu juga.Mbok Mina lari ke arahku dan membantuku membaringkan tubuh Ira di sofa ruang tamu."Ya Allah, Ra ... kamu kenapa?" Aku menepuk pelan pipi Ira. Berharap dengan begitu dia bisa sadar. Sayangnya usahaku sia-sia."Mbok, tolong ambilin air hangat di baskom, es batu, sama perlengkapan buat obatin luka!" Aku memberi perintah kepada Mbok Mina. Wanita itu langsung mengangguk dan berlalu dariku.Kuperhatikan wajah Ira yang dipenuhi lebam. Sebelah matanya bengkak. Ada darah mengering di sudut bibir kirinya. Di bawah mata kanan yang tidak bengkak, ada luka goresan yang cukup panjang sampai hampir sejajar dengan garis bibirnya. Hampir seluruh bagian wajahnya lebam kemerahan. Dagu kanannya lebih parah, lebam keunguan."Ya Allah, Ra ... kamu kenapa bisa begini?" Aku bergumam seraya menyentuh wajah kawanku itu secara hati-hati.Mataku lalu turun
Kapokmu Kapan, Mas? (30)Mbok Mina yang melihat perubahan sikapku, lantas bertanya, "Ada apa, Bu?"Aku tak mampu menjawab tanyanya. Hanya kusodorkan kertas pesan dari Ira kepadanya. Mbok Mina menerimanya dengan ragu-ragu."Astaghfirullah ... apa ini benar, Bu?" tanyanya.Aku mengangguk, lalu menggeleng. Air mataku keluar begitu saja. Tubuhku rasanya tidak bertulang menerima kenyataan ini."Kalau ini benar, Ibu harus segera pergi dari sini, Bu!"Aku tak menjawab perkataan Mbok Mina."Bu!" Mbok Mina kembali menegurku dengan sedikit meninggikan suara. Cara itu berhasil mengembalikan kesadaranku."Ya, Mbok?" Aku balik bertanya."Ibu harus pergi dari sini secepatnya, Bu! Mumpung Bapak tidak di rumah."Ah, ya, benar kata Mbok Mina. Ini kesempatanku mumpung Bang Robi sedang tidak di rumah.Tiba-tiba saja aku jadi bertenaga. Aku langsung berjalan menuju kamar untuk melakukan persiapan. Ya, aku harus pergi dengan persiapan matang. Tidak boleh pergi begitu saja tanpa membawa apa pun. Minimal, a
Kapokmu Kapan, Mas? (30b)Astaghfirullah ... hidup atau mati?"Bu ...."Aku tak mampu menjawab panggilan Mbok Mina sampai akhirnya sentuhan di bahuku mengembalikan kesadaranku. Saat menoleh, Mas Wisnu mengisyaratkan agar aku kembali menjawab telepon dari ibunya."Ya, Mbok?""Ibu tenang aja di situ, ya! Insya Allah di situ aman. Wisnu akan jagain Ibu."Aku menoleh pada Mas Wisnu. Dia memberikan sebuah anggukan mantap sebagai jawaban. Melihat itu hatiku seperti menemukan ketenangan.Aku kembali fokus dengan perbincangan bersama Mbok Mina. Lagi-lagi, Mbok Mina menasehatiku dengan banyak hal. Benar-benar aku merasakan kehadiran seorang Ibu dari sosoknya.Perbincangan kami harus diakhiri karena Bang Robi sudah kembali lagi ke rumah setelah pergi tadi kata Mbok Mina. Walaupun masih banyak yang ingin kubicarakan, aku harus menurut. Jangan sampai Bang Robi tahu tentang persekongkolanku dengan Mbok Mina.Tiga hari berlalu sejak kepergianku dari rumah. Selama itu juga aku terus berhubungan deng
Kapokmu Kapan, Mas? (53b)Aku masuk dan tiba-tiba pintu itu terkunci dari luar."Masuk saja. Tidak perlu takut, Dek!" perintah Bang Robi.Tangannya menunjuk sebuah sofa agar aku duduk di sana. Kuletakkan tasku di samping."Gak usah tegang gitu, Dek," kata Bang Robi saat melihatku membetulkan posisi duduk berulang kali.Aku tak menjawab kata-katanya."Aku ke sini mau to the point aja, Bang!" kataku kemudian."Kamu butuh apa memangnya?""Aku gak butuh apa-apa, Bang. Aku malah mau menyerahkan ini." Kulempar map berisi duplikat surat-surat berharga peninggalan orang tuaku ke atas meja yang menjadi pembatas aku dan Bang Robi."Silakan ambil semua itu. Itu yang Abang inginkan, kan?" tanyaku.Bukannya menjawab, Bang Robi malah tertawa."Bukan itu, Sayang! Abang gak butuh itu semua. Yang Abang butuh itu kamu!""Aku? Maksud Abang apa? Bukannya Abang niat bunuh aku?"Bang Robi kembali tertawa."Nah, itu kamu tau.""Kenapa Abang segitu jahatnya sama aku? Salah aku apa, Bang?""Salah kamu karena
Kapokmu Kapan, Mas? (53)Aku bersiap berangkat setelah Bang Robi mengirimkan pesan berisi tempat di mana kami akan bertemu. Kusiapkan apa-apa saja yang kuperlukan untuk menemui Bang Robi. Aku harus menyelesaikan semuanya.Baru saja aku memutar gagang pintu kamar, dari luar sudah didorong orang. Ternyata Pak Arsyad yang mendorong. Aku yang tadinya sudah di ambang pintu, harus mundur beberapa langkah karena Pak Arsyad yang ikut masuk ke kamarku. Tangannya lantas menutup pintu kamarku dan menguncinya dengan cepat. Lalu, kunci itu disembunyikannya di dalam saku celana yang dikenakannya."Mas ... balikin kuncinya! Saya mau pergi," pintaku.Bukannya memberikan apa yang kupinta, Pak Arsyad malah menempelkan belakangnya ke pintu. Dengan santai Pak Arsyad bersedekap dan berucap, "Kalau bisa, coba ambil sendiri!""Mas ... tolong! Saya mau pergi. Sudah ada janji.""Janji dengan Robi?"Aku mengangguk."Tidak akan saya biarkan kamu keluar dari sini, kalau begitu.""Mas ... tolong ngertiin saya kal
Kapokmu Kapan, Mas? (52b)Malam itu, aku tak dapat tidur dengan pulas. Marahnya Pak Arsyad mendominasi pikiranku. Aku tak suka dengan itu. Sungguh menyakitkan.Pagi harinya, saat sarapan, aku sengaja meminta izin kepada kedua orang tua Pak Arsyad, serta Bude Ningsih."Siang nanti Titi izin keluar, ya, Ma, Pa, Bude."Ketiganya serempak menanyakan tujuanku."Mau menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan," jawabku.Pak Arsyad diam saja tak merespon apa pun. Dia juga tak melirikku barang sedikit. Ada rasa sakit kurasakan karena itu.Meskipun Pak Arsyad marah, aku sudah bertekad bulat untuk menemui Bang Robi. Aku ingin menyelesaikan semuanya. Semua upaya yang aku dan Pak Arsyad lakukan selama ini tak berdampak banyak. Jadi, ini jalan terakhir untuk mengakhiri semuanya. Setidaknya, setelah Bang Robi mendapatkan semua yang diinginkannya, aku berharap tidak ada lagi korban. Aku semakin takut menjadi sumber dosa banyak orang.Ternyata, setelah sarapan, Pak Arsyad tidak berangkat ke kantor
Kapukmu Kapan Mas? (52a)Selepas shalat, aku menyusul Pak Arsyad yang telah lebih dulu menunggu di mobil."Kita pulang sekarang?" tanya Pak Arsyad setelah aku duduk di kursi samping kemudi."Memang masih ada rencana mau ke mana lagi, Mas?" Aku balik bertanya."Tidak juga. Tapi siapa tau kamu butuh pergi ke suatu tempat untuk film diri."Benar juga kata Pak Arsyad. Aku butuh tempat untuk syuting diri. Juga untuk menjernihkan pikiran."Boleh, sih, Mas. Tapi saya gak tau mau ke mana.""Gimana kalau ke pantai?""Boleh."Pak Arsyad lantas melajukan mobilnya menuju pantai. Kami lalu duduk di tepi pantai beralas tikar yang disewakan. Pak Arsyad juga memesan dua buah kelapa muda untuk kami nikmati.Cukup lama kami dalam diam menikmati semilir angin pantai yang menyejukkan. Aku sibuk dengan pikiranku tentang langkah selanjutnya yang akan kuambil. Entah dengan Pak Arsyad, apa yang dipikirkannya, aku tak bisa menebak.Seandainya waktu dapat kuputar. Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin agar se
Kapokmu Kapan, Mas? (51c)Aku benar-benar dibuat terkejut dengan pengakuan itu. Dadaku bergemuruh. Tak pernah kusangka semua itu."Itu pun karena saya diancam. Bapak mengancam akan membunuh anak bungsu saya yang sedang berada di rumah sakit.""Mbok punya anak selain Mas Wisnu?" tanyaku heran. Pasalnya, selama ini yang kutahu Mbok Mina hanya punya satu anak."Anak saya ada dua, Bu. Wisnu anak pertama saya. Adiknya bernama Siti. Dia sedang dalam masa perawatan di rumah sakit jiwa. Pak Robi tau itu. Saya juga kurang mengerti beliau tau dari mana. Padahal saya tidak pernah bercerita. Pak Robi menggunakan Siti untuk menekan saya memberitahukan tentang kepergian Ibu. Saya terpaksa memberitahu alamat rumah di kampung."Astaghfirullah ...."Awalnya, saya pikir Bapak mau menjemput Ibu secara baik-baik. Jadi saya beri saja. Tapi ... saya malah disuruh hubungi Wisnu. Saya disuruh bohong tentang sakit dan nyuruh Wisnu nyusul ke kota. Di situ, perasaan saya sudah gak enak. Tapi saya gak bisa berbu
Kapokmu Kapan, Mas? (51b)Karena bosan tak mendapat jawaban, Mas Wisnu akhirnya kembali ke motornya dan pergi dari tempat itu. Aku dan Pak Arsyad membuntutinya. Cukup jauh perjalanan yang harus kami tempuh sampai akhirnya kami tiba di sebuah rumah. Tempat motor Mas Wisnu berhenti.Di depan rumah itu terlihat Mbok Mina keluar menyambut putranya. Tampak ibu dan anak itu saling berbincang entah apa. Mereka lalu masuk ke rumah bersama dan mengunci pintu setelahnya.Aku dan Pak Arsyad masih setia di dalam mobil. Kami menunggu kesempatan untuk dapat masuk ke rumah itu dan meminta penjelasan. Pak Arsyad yakin betul bahwa ada sesuatu keterkaitan antara mereka dan apa yang sedang terjadi kepadaku.Satu jam sudah kami menunggu di dalam mobil. Akan tetapi, Pak Arsyad belum juga mau kami turun menghampiri rumah itu. Perutku sudah perih, tetapi tak sampai hati kuutarakan."Ayo, kita turun!" Pak Arsyad memberi perintah setelah melihat Mas Wisnu keluar dari rumah itu. Sepertinya Mas Wisnu hendak sa
Kapokmu Kapan, Mas? (51)"Jadi, apa yang akan Mas lakuin selanjutnya?" Aku bertanya."Kita buntuti Wisnu.""Kita?" Aku mengernyit."Iya. Apa kamu gak mau tau apa yang sebenarnya terjadi? Saya ada feeling kuat mereka ada kaitannya dengan kasus ini.""Begitu menurut Mas?"Pak Arsyad mengangguk."Kalau begitu, saya ikut. Kapan Mas mau laksanain rencana itu?" ucapku."Kemungkinan besok sore sepulang kerja. Atau lihat besok, deh. Pokoknya kamu siap-siapa aja. Kalau saya telpon, kita siap berangkat.""Oke, Mas, kalau gitu.""Ya udah, ini udah malam. Kamu tidur, sana!""Iya, Mas. Mas juga, ya! Terima kasih udah mau saya repotin malam begini.""Santai."Kami lantas kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.Namun, sebelum dapat terlelap, aku kembali teringat mimpi malam sebelumnya. Aku bermimpi sedang bertengkar dengan Mbok Mina dan Mas Wisnu di tepu jurang. Hampir saja kami terpeleset ke dalam jurang itu. Aku merasa itu adalah sebuah petunjuk. Semoga saja aku segera mengetahui maksud
Kapukmu Kapan Mas? (50b)"Kayaknya korban pembunuhan, Mbak."Entah mengapa, saya merasa ngeri dengan informasi itu. Apakah Mas Adam juga menjadi salah satu korban Bang Robi? Entahlah. Aku tak berani berspekulasi.Karena hari semakin petang, Pak Arsyad mengajakku untuk pulang setelah sedikit berbasa-basi dengan tetangga Mas Adam yang kami tanyai. Sepanjang perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Begitu juga dengan Pak Arsyad.Malamnya aku merasa gelisah. Bahkan dalam tidur pun aku jadi tidak tenang. Mataku terpejam, tapi sama sekali aku tidak merasa tidur. Pikiranku berlarian ke berbagai praduga.Barulah setelah lewat pukul dua dini hari, aku bisa terlelap. Akan tetapi, sebuah mimpi aneh muncul dalam tidurku. Aku memimpikan Mbok Mina dan Mas Wisnu.Aku terbangun tepat saat azan Subuh berkumandang. Berkali-kali aku beristighfar demi keputusan debar di dada. Apakah mimpiku adalah pertanda? Atau hanya bunga tidur semata.Sudah cukup lama aku tak mendapat kabar dari Mbok Mina dan Mas Wis
Kapokmu Kapan, Mas? (50)Aku benar-benar terkejut melihat Bang Robi menarik tanganku. Ingin rasanya kutepis dan berlari menjauh darinya. Akan tetapi, suasana di lain arah pun sedang tak kondusif.Terpaksa, aku hanya pasrah dibawanya. Kami akhirnya keluar dari gedung itu. Segera kutepis tangan Bang Robi. Dari kejauhan, terlihat Pak Arsyad. Aku segera lari menghampirinya."Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Pak Arsyad ketika aku sampai di depannya.Belum sempat aku menjawab, Bang Robi sudah menimpali, "Cewek lo gak kenapa-kenapa, kok, Bro. Aman.""Lo yang nyelametin dia, Bi?" tanya Pak Arsyad."Iya.""Thanks, ya, Bi."Bang Robi hanya mengangguk menanggapi ucapan Pak Arsyad."Lain kali, jagain cewek lo baik-baik, Bro. Dia kayaknya sensian sama cowok." Bang Robi menyindirku.Pak Arsyad malah tertawa menanggapi perkataan Bang Robi.Pak Arsyad melihat ke arahku. Aku menggeleng sebagai isyarat tak melakukan apa pun kepadanya."Diapain emangnya lo, Bi?""Gak, kok. Dah, ya, gue duluan. Sial.