Kapokmu Kapan, Mas? (30b)Astaghfirullah ... hidup atau mati?"Bu ...."Aku tak mampu menjawab panggilan Mbok Mina sampai akhirnya sentuhan di bahuku mengembalikan kesadaranku. Saat menoleh, Mas Wisnu mengisyaratkan agar aku kembali menjawab telepon dari ibunya."Ya, Mbok?""Ibu tenang aja di situ, ya! Insya Allah di situ aman. Wisnu akan jagain Ibu."Aku menoleh pada Mas Wisnu. Dia memberikan sebuah anggukan mantap sebagai jawaban. Melihat itu hatiku seperti menemukan ketenangan.Aku kembali fokus dengan perbincangan bersama Mbok Mina. Lagi-lagi, Mbok Mina menasehatiku dengan banyak hal. Benar-benar aku merasakan kehadiran seorang Ibu dari sosoknya.Perbincangan kami harus diakhiri karena Bang Robi sudah kembali lagi ke rumah setelah pergi tadi kata Mbok Mina. Walaupun masih banyak yang ingin kubicarakan, aku harus menurut. Jangan sampai Bang Robi tahu tentang persekongkolanku dengan Mbok Mina.Tiga hari berlalu sejak kepergianku dari rumah. Selama itu juga aku terus berhubungan deng
Kapokmu Kapan, Mas? (31)Entah apa yang menjadi pemicu ledakan itu. Aku sama sekali sedang tidak menyalakan kompor. Aneh juga mengapa api dengan sangat cepat merambat.Mukena yang kugunakan mulai dijalari api. Begitu juga dengan tubuh wanita itu yang sudah mulai dipenuhi api. Kami berhenti bergelut dan sibuk menepuk-nepuk tubuh untuk meredakan nyala api.Sayangnya usaha kami sia-sia. Ledakan lain terdengar. Kemudian api semakin menyambar ke arah kami. Kami semakin dikelilingi api dalam sekejap.Ya Allah ... apa yang harus aku lakukan sekarang?Aku diliputi ketakutan. Tak henti aku berdoa dalam hati. Berharap ada pertolongan di saat seperti ini.Lalu, tiba-tiba aku teringat untuk segera melepas mukena yang kugunakan. Meski sulit, aku akhirnya berhasil melakukannya. Tak kuhiraukan panas di wajahku yang terkena api dari mukena yang terbakar. Aku harus bisa keluar dari rumah Mbok Mina kalau tidak mau mati terbakar.Wanita tadi kulihat sudah menggelepar di lantai. Api memenuhi tubuhnya. Se
Kapokmu Kapan, Mas? (31b)Setiap hari, Emak dan Nining telaten merawat tubuh dan luka-luka di sekujur tubuhku. Mereka menempelkan ramuan-ramuan entah apa di wajah dan beberapa bagian tubuhku yang luka bakarnya paling parah. Entah bagaimana rupaku, Emak dan Nining tak pernah menyinggungnya. Bahkan, ketika aku bertanya, mereka sengaja mengalihkan pembicaraan.Setelah dua minggu dalam perawatan Emak dan Nining, aku merasakan banyak perubahan. Tubuhku yang biasanya panas menusuk hingga ke tulang, mulai berangsur normal. Begitu juga dengan wajahku, hal sama kurasakan. Aku juga sudah bisa bangun dari tempat tidur meski belum mampu untuk berjalan.Emak dan Nining dengan sabar merawatku. Mereka bahkan tak jijik membersihkan kotoran di tubuhku. Mereka ikhlas melakukan itu semua tanpa pamrih dan peduli siapa aku. Aku merasa terharu. Allah masih mempertemukanku dengan orang-orang baik seperti mereka.Setelah satu bulan, aku benar-benar merasa sudah pulih meski masih sedikit merasakan sakit di be
Kapokmu Kapan, Mas? (32)Tekadku sudah bulat. Aku harus membalas perbuatan Bang Robi!Aku sadar, balas dendam dengan keadaan seperti yang kualami sekarang ini bisa dibilang mustahil. Tanpa sepeser pun uang. Terlebih dengan kondisi fisik yang sudah tak sempurna.Namun, tekadku sudah kuat. Aku tidak akan mundur. Aku akan tetap membalaskan dendam ini bagaimana pun caranya.Berhari-hari aku merenung. Berbagai cara dan langkah kupikirkan dengan matang. Rencana balas dendam ini harus berhasil walau tanpa modal. Aku yakin aku pasti bisa!Akhirnya aku mempunyai ide. Aku akan menghancurkan Bang Robi lewat pekerjaannya. Untuk itu, aku membutuhkan persiapan yang matang.Mula-mula, aku meminta Nining mengajariku teknik make-up artis yang dia kuasai. Syukurlah, aku yang sudah mempunyai sedikit dasar pengetahuan akan itu lebih mudah untuk memahami apa yang diajarkannya. Hanya butuh waktu tiga hari, aku sudah bisa merias wajahku sesuai yang kuinginkan. Aku bahkan bisa menduplikat wajahku mirip denga
Kapokmu Kapan, Mas? (33)Kukumpulkan semua informasi tentang Bang Robi dari menguping pembicaraan karyawan kantor saat aku sedang menjalankan pekerjaan. Bang Robi begini. Bang Robi begitu. Semua kucatat dalam ingatan. Rupanya tak terlalu banyak perubahan pada diri Bang Robi selepas tiga bulan kami tak bersama.Bulan pertama aku bekerja di kantor Bang Robi, aku belum juga bisa mencari celah untuk masuk ke ruang kerjanya. Ruang kerja Bang Robi selama ini hanya boleh dimasuki orang-orang tertentu. Bahkan, office boy atau cleaning servisnya pun ada orang khusus. Jadi, ya, wajar bila aku agak kesulitan menjamah tempat itu. Terlebih, aku adalah karyawan baru di perusahaan itu.Satu bulan kerja di kota, aku sudah dua kali pulang ke rumah Emak. Beliau dan Nining selalu menelepon menanyakan kabar. Hal itu membuatku merasa tersentuh dan ingin cepat-cepat bertemu mereka setiap libur tiba. Kebetulan, setiap dua minggu sekali aku diberi jatah libur tiga hari. Jadi aku memanfaatkannya untuk melepas
Kapokmu Kapan, Mas? (34)Aku benar-benar penasaran dengan acara di masjid sorenya itu. Jadi, setelah selesai makan, aku segera pamit pulang. Aku ingin bersiap-siap untuk melakukan pengintaian lebih lanjut."Terima kasih banyak, Bu. Saya pamit dulu," ucapku saat Kak Elfa mengantar sampai depan pintu."Hati-hati, ya, Mbak.""Iya, Bu. Permisi."Aku berlalu dari rumah itu dengan perasaan tak menentu.Dari sana, aku langsung pulang ke indekos. Aku segera mengganti penampilan untuk melakukan pengintaian selanjutnya. Kalau benar apa yang kuduga tentang Bang Robi dan Miska, aku akan memberi pelajaran untuk mereka saat itu juga!Aku berganti pakaian dan riasan. Lantas bergegas menuju masjid yang letaknya tak jauh dari rumahku tadi. Aku yakin acara yang Kak Elfa maksud adalah di masjid itu. Sebelum pulang, aku sempat melihat beberapa orang sibuk memasang tiang-tiang tenda.Aku sampai di masjid tepat saat azan Ashar berkumandang. Karena aku sedang berhalangan, aku menunggu di luar masjid sambil
Kapokmu Kapan, Mas? (35)Ira. Betul itu Ira! Aku yakin seratus persen bahwa wanita yang sedang berjalan berbelok ke arah toilet bioskop itu Ira."Pak, saya izin ke toilet sebentar, boleh, kan? Bapak antri sendiri dulu, gak papa, kan, Pak?" Aku bertanya ragu-ragu pada Pak Arsyad.Berkali-kali aku membuang pandang pada arah kepergian Ira dengan cemas. Ini kesempatan emasku. Tidak boleh aku sia-siakan begitu saja!"Boleh, dong, Ning. Silakan aja, saya tunggu di sini, ya. Atau nanti kalau udah selesai antri, saya tunggu depan toilet. Biar gak ilang." Seperti biasa, Pak Arsyad selalu melontarkan senyum ramahnya setiap kali berbicara denganku."Iya, Pak. Permisi."Aku langsung berjalan cepat menuju toilet bioskop tempat tadi kulihat Ira memasukinya. Semoga saja aku tidak bersisian dengannya.Aku langsung masuk ke toilet dan mendapati tempat itu penuh sesak oleh beberapa wanita yang sedang mengantre bilik toilet di dalam ruangan itu. Tak kulihat Ira di antara orang-orang yang sedang mengantr
Kapokmu Kapan, Mas? (35b)Bagaimana aku tidak tertarik akan kemunculan Ira. Selama dua bulan aku kembali ke kota, aku sama sekali tak mendapati jejaknya. Nomor ponsel dan tempat tinggalnya sudah berganti. Beberapa orang yang kuketahui berhubungan dengannya pun mengakui kehilangan jejaknya. Lalu, dengan tiba-tiba aku aku melihatnya di tengah kerumunan pengunjung bioskop. Siapa yang tidak terkejut?Kami selesai makan tepat saat azan Magrib berkumandang."Temani saya ke masjid di atas dulu, ya, Ning. Bisa, kan?" tanya Pak Arsyad."Bisa, Pak."Kebetulan, saat itu aku sedang berhalangan. Jadi aku hanya menemaninya ke masjid di atap gedung mall saja. Lagipula, aku sedang menggunakan make-up menyerupai wajah Nining. Bisa ketahuan penyamaranku kalau nantinya aku menghapus make-up untuk bersuci sebelum melakukan ibadah wajib.Sampai di atap gedung, kami berpisah. Pak Arsyad berjalan menuju tempat salat pria. Sementara aku menunggunya di deretan kursi taman di sisi lain masjid.Sedang asyik men
Kapokmu Kapan, Mas? (53b)Aku masuk dan tiba-tiba pintu itu terkunci dari luar."Masuk saja. Tidak perlu takut, Dek!" perintah Bang Robi.Tangannya menunjuk sebuah sofa agar aku duduk di sana. Kuletakkan tasku di samping."Gak usah tegang gitu, Dek," kata Bang Robi saat melihatku membetulkan posisi duduk berulang kali.Aku tak menjawab kata-katanya."Aku ke sini mau to the point aja, Bang!" kataku kemudian."Kamu butuh apa memangnya?""Aku gak butuh apa-apa, Bang. Aku malah mau menyerahkan ini." Kulempar map berisi duplikat surat-surat berharga peninggalan orang tuaku ke atas meja yang menjadi pembatas aku dan Bang Robi."Silakan ambil semua itu. Itu yang Abang inginkan, kan?" tanyaku.Bukannya menjawab, Bang Robi malah tertawa."Bukan itu, Sayang! Abang gak butuh itu semua. Yang Abang butuh itu kamu!""Aku? Maksud Abang apa? Bukannya Abang niat bunuh aku?"Bang Robi kembali tertawa."Nah, itu kamu tau.""Kenapa Abang segitu jahatnya sama aku? Salah aku apa, Bang?""Salah kamu karena
Kapokmu Kapan, Mas? (53)Aku bersiap berangkat setelah Bang Robi mengirimkan pesan berisi tempat di mana kami akan bertemu. Kusiapkan apa-apa saja yang kuperlukan untuk menemui Bang Robi. Aku harus menyelesaikan semuanya.Baru saja aku memutar gagang pintu kamar, dari luar sudah didorong orang. Ternyata Pak Arsyad yang mendorong. Aku yang tadinya sudah di ambang pintu, harus mundur beberapa langkah karena Pak Arsyad yang ikut masuk ke kamarku. Tangannya lantas menutup pintu kamarku dan menguncinya dengan cepat. Lalu, kunci itu disembunyikannya di dalam saku celana yang dikenakannya."Mas ... balikin kuncinya! Saya mau pergi," pintaku.Bukannya memberikan apa yang kupinta, Pak Arsyad malah menempelkan belakangnya ke pintu. Dengan santai Pak Arsyad bersedekap dan berucap, "Kalau bisa, coba ambil sendiri!""Mas ... tolong! Saya mau pergi. Sudah ada janji.""Janji dengan Robi?"Aku mengangguk."Tidak akan saya biarkan kamu keluar dari sini, kalau begitu.""Mas ... tolong ngertiin saya kal
Kapokmu Kapan, Mas? (52b)Malam itu, aku tak dapat tidur dengan pulas. Marahnya Pak Arsyad mendominasi pikiranku. Aku tak suka dengan itu. Sungguh menyakitkan.Pagi harinya, saat sarapan, aku sengaja meminta izin kepada kedua orang tua Pak Arsyad, serta Bude Ningsih."Siang nanti Titi izin keluar, ya, Ma, Pa, Bude."Ketiganya serempak menanyakan tujuanku."Mau menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan," jawabku.Pak Arsyad diam saja tak merespon apa pun. Dia juga tak melirikku barang sedikit. Ada rasa sakit kurasakan karena itu.Meskipun Pak Arsyad marah, aku sudah bertekad bulat untuk menemui Bang Robi. Aku ingin menyelesaikan semuanya. Semua upaya yang aku dan Pak Arsyad lakukan selama ini tak berdampak banyak. Jadi, ini jalan terakhir untuk mengakhiri semuanya. Setidaknya, setelah Bang Robi mendapatkan semua yang diinginkannya, aku berharap tidak ada lagi korban. Aku semakin takut menjadi sumber dosa banyak orang.Ternyata, setelah sarapan, Pak Arsyad tidak berangkat ke kantor
Kapukmu Kapan Mas? (52a)Selepas shalat, aku menyusul Pak Arsyad yang telah lebih dulu menunggu di mobil."Kita pulang sekarang?" tanya Pak Arsyad setelah aku duduk di kursi samping kemudi."Memang masih ada rencana mau ke mana lagi, Mas?" Aku balik bertanya."Tidak juga. Tapi siapa tau kamu butuh pergi ke suatu tempat untuk film diri."Benar juga kata Pak Arsyad. Aku butuh tempat untuk syuting diri. Juga untuk menjernihkan pikiran."Boleh, sih, Mas. Tapi saya gak tau mau ke mana.""Gimana kalau ke pantai?""Boleh."Pak Arsyad lantas melajukan mobilnya menuju pantai. Kami lalu duduk di tepi pantai beralas tikar yang disewakan. Pak Arsyad juga memesan dua buah kelapa muda untuk kami nikmati.Cukup lama kami dalam diam menikmati semilir angin pantai yang menyejukkan. Aku sibuk dengan pikiranku tentang langkah selanjutnya yang akan kuambil. Entah dengan Pak Arsyad, apa yang dipikirkannya, aku tak bisa menebak.Seandainya waktu dapat kuputar. Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin agar se
Kapokmu Kapan, Mas? (51c)Aku benar-benar dibuat terkejut dengan pengakuan itu. Dadaku bergemuruh. Tak pernah kusangka semua itu."Itu pun karena saya diancam. Bapak mengancam akan membunuh anak bungsu saya yang sedang berada di rumah sakit.""Mbok punya anak selain Mas Wisnu?" tanyaku heran. Pasalnya, selama ini yang kutahu Mbok Mina hanya punya satu anak."Anak saya ada dua, Bu. Wisnu anak pertama saya. Adiknya bernama Siti. Dia sedang dalam masa perawatan di rumah sakit jiwa. Pak Robi tau itu. Saya juga kurang mengerti beliau tau dari mana. Padahal saya tidak pernah bercerita. Pak Robi menggunakan Siti untuk menekan saya memberitahukan tentang kepergian Ibu. Saya terpaksa memberitahu alamat rumah di kampung."Astaghfirullah ...."Awalnya, saya pikir Bapak mau menjemput Ibu secara baik-baik. Jadi saya beri saja. Tapi ... saya malah disuruh hubungi Wisnu. Saya disuruh bohong tentang sakit dan nyuruh Wisnu nyusul ke kota. Di situ, perasaan saya sudah gak enak. Tapi saya gak bisa berbu
Kapokmu Kapan, Mas? (51b)Karena bosan tak mendapat jawaban, Mas Wisnu akhirnya kembali ke motornya dan pergi dari tempat itu. Aku dan Pak Arsyad membuntutinya. Cukup jauh perjalanan yang harus kami tempuh sampai akhirnya kami tiba di sebuah rumah. Tempat motor Mas Wisnu berhenti.Di depan rumah itu terlihat Mbok Mina keluar menyambut putranya. Tampak ibu dan anak itu saling berbincang entah apa. Mereka lalu masuk ke rumah bersama dan mengunci pintu setelahnya.Aku dan Pak Arsyad masih setia di dalam mobil. Kami menunggu kesempatan untuk dapat masuk ke rumah itu dan meminta penjelasan. Pak Arsyad yakin betul bahwa ada sesuatu keterkaitan antara mereka dan apa yang sedang terjadi kepadaku.Satu jam sudah kami menunggu di dalam mobil. Akan tetapi, Pak Arsyad belum juga mau kami turun menghampiri rumah itu. Perutku sudah perih, tetapi tak sampai hati kuutarakan."Ayo, kita turun!" Pak Arsyad memberi perintah setelah melihat Mas Wisnu keluar dari rumah itu. Sepertinya Mas Wisnu hendak sa
Kapokmu Kapan, Mas? (51)"Jadi, apa yang akan Mas lakuin selanjutnya?" Aku bertanya."Kita buntuti Wisnu.""Kita?" Aku mengernyit."Iya. Apa kamu gak mau tau apa yang sebenarnya terjadi? Saya ada feeling kuat mereka ada kaitannya dengan kasus ini.""Begitu menurut Mas?"Pak Arsyad mengangguk."Kalau begitu, saya ikut. Kapan Mas mau laksanain rencana itu?" ucapku."Kemungkinan besok sore sepulang kerja. Atau lihat besok, deh. Pokoknya kamu siap-siapa aja. Kalau saya telpon, kita siap berangkat.""Oke, Mas, kalau gitu.""Ya udah, ini udah malam. Kamu tidur, sana!""Iya, Mas. Mas juga, ya! Terima kasih udah mau saya repotin malam begini.""Santai."Kami lantas kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.Namun, sebelum dapat terlelap, aku kembali teringat mimpi malam sebelumnya. Aku bermimpi sedang bertengkar dengan Mbok Mina dan Mas Wisnu di tepu jurang. Hampir saja kami terpeleset ke dalam jurang itu. Aku merasa itu adalah sebuah petunjuk. Semoga saja aku segera mengetahui maksud
Kapukmu Kapan Mas? (50b)"Kayaknya korban pembunuhan, Mbak."Entah mengapa, saya merasa ngeri dengan informasi itu. Apakah Mas Adam juga menjadi salah satu korban Bang Robi? Entahlah. Aku tak berani berspekulasi.Karena hari semakin petang, Pak Arsyad mengajakku untuk pulang setelah sedikit berbasa-basi dengan tetangga Mas Adam yang kami tanyai. Sepanjang perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Begitu juga dengan Pak Arsyad.Malamnya aku merasa gelisah. Bahkan dalam tidur pun aku jadi tidak tenang. Mataku terpejam, tapi sama sekali aku tidak merasa tidur. Pikiranku berlarian ke berbagai praduga.Barulah setelah lewat pukul dua dini hari, aku bisa terlelap. Akan tetapi, sebuah mimpi aneh muncul dalam tidurku. Aku memimpikan Mbok Mina dan Mas Wisnu.Aku terbangun tepat saat azan Subuh berkumandang. Berkali-kali aku beristighfar demi keputusan debar di dada. Apakah mimpiku adalah pertanda? Atau hanya bunga tidur semata.Sudah cukup lama aku tak mendapat kabar dari Mbok Mina dan Mas Wis
Kapokmu Kapan, Mas? (50)Aku benar-benar terkejut melihat Bang Robi menarik tanganku. Ingin rasanya kutepis dan berlari menjauh darinya. Akan tetapi, suasana di lain arah pun sedang tak kondusif.Terpaksa, aku hanya pasrah dibawanya. Kami akhirnya keluar dari gedung itu. Segera kutepis tangan Bang Robi. Dari kejauhan, terlihat Pak Arsyad. Aku segera lari menghampirinya."Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Pak Arsyad ketika aku sampai di depannya.Belum sempat aku menjawab, Bang Robi sudah menimpali, "Cewek lo gak kenapa-kenapa, kok, Bro. Aman.""Lo yang nyelametin dia, Bi?" tanya Pak Arsyad."Iya.""Thanks, ya, Bi."Bang Robi hanya mengangguk menanggapi ucapan Pak Arsyad."Lain kali, jagain cewek lo baik-baik, Bro. Dia kayaknya sensian sama cowok." Bang Robi menyindirku.Pak Arsyad malah tertawa menanggapi perkataan Bang Robi.Pak Arsyad melihat ke arahku. Aku menggeleng sebagai isyarat tak melakukan apa pun kepadanya."Diapain emangnya lo, Bi?""Gak, kok. Dah, ya, gue duluan. Sial.