"Loh, kamu belum ganti baju?" tanya Andika pada Nuri saat ia memasuki kamar pengantin yang sudah dihias dengan begitu cantik dan romantis. Nuri, wanita yang sudah sah memiliki gelar istri dari Andika, tentu saja menunduk malu dengan wajah merona.
Pakaian resepsi yang dipesan oleh mertuanya masih ia pakai lengkap. Hanya hiasan kepala yang sudah dibantu lepas oleh perias pengantin.
Andika berjalan mendekati istrinya, sedikit membungkukkan badannya agar bisa menatap wajah malu-malu sang istri.
"Kamu kenapa tidak jawab? Suami tanya harus dijawab loh, Nuri?" kalimat tanya bernada protes itu membuat Nuri terkejut dan langsung mengangkat wajah. Jantungnya berdetak terlalu cepat hingga ia lupa apa yang tadi ditanyakan oleh suaminya.
"Eh, Mas, maaf, Mas tanya apa tadi?" Nuri tergagap dan Dika hanya bisa tertawa pendek. Pria itu berbalik, lalu melepas dasi kupu-kupu dan juga jas berwarna hijau yang masih melekat pada tubuhnya. Nuri melirik apa yang tengah dilakukan suaminya. Jantungnya berdetak semakin cepat.
Apakah ini saatnya ia melepas mahkotanya?
"Setelah saya mandi, gantian kamu mandi ya, Istriku. Terus, itu make up dihapus dulu, masa mau istirahat malah kayak badut. Saya gak suka wanita terlalu mubazir sama make up!" Dika berjalan masuk ke kamar mandi setelah menegur istrinya.
Sadar suaminya mandi dan pasti akan lama, maka Nuri memutuskan untuk membersihkan wajahnya di wastafel dapur. Salahnya, ia tidak membawa sabun cuci muka yang biasa digunakan. Hanya ada sabun pencuci piring dan sabun batangan berwarna merah yang ada di pinggir wastafel tersebut.
Tak ingin berlama-lama, wanita pun itu mengambil sabun batang tersebut dan menggosok wajahnya dengan kuat. Dia tidak ingin sang suami kembali memanggilnya badut karena riasan tebalnya.
Tidak mungkin ia memberikan kesan buruk di jam keempat setelah mereka resmi menjadi suami dan istri. Untunglah di rumah suaminya sudah tidak ada sanak-saudara yang tinggal. Hanya ada ibu mertua, ayah mertuanya, serta ibunya yang sedang beristirahat di kamar masing-masing, sehingga tingkah konyolnya tidak diketahui oleh siapapun.
"Kamu dari mana?" tanya Dika setelah Nuri membuka pintu kamar. Wajah Nuri kembali terkejut, tetapi ia mencoba tersenyum dengan manis.
"Mencuci muka, Mas. Ini, sudah bersih." Nuri memperlihatkan wajahnya yang sudah bersih pada suaminya. Pria itu tersenyum, lalu mendekat pada Nuri.
"Lekas mandi ya, Sayang. Kita harus menjenguk Nura yang baru saja melahirkan. Masa kamu lupa?" Nuri mendelik. Ia baru ingat bahwa memang setelah resepsi, mereka semua akan menjenguk Nura yang sudah melahirkan di rumah sakit. Kenapa di kepalanya hanya ada malam pertama?
Nuri yang merasa sangat malu, hanya mengangguk dan langsung berjalan cepat masuk ke kamar mandi. Tak lupa tangannya meraih handuk di jemuran yang ada di depan kamar mandi.
Tidak ingin membuat suami menunggunya lama, Nuri menghabiskan lima menit saja mandi. Ia keluar dengan rambut yang ditutupi handuk kepala. Tubuhnya memakai handuk besar hingga betisnya.
"Maaf, Mas, saya lupa ambil baju di dalam lemari," kata Nuri sungkan. Dika yang tengah duduk bersandar di kepala ranjang hanya menoleh sebentar untuk mengangguk sembari tersenyum tipis. Lalu ia kembali fokus pada ponselnya. Nuri bergegas mengambil baju lengkap dengan dalaman, lalu ia bawa lagi ke kamar mandi dan ia pakai di sana.
"Nuri, cepat! Ibu sudah menunggu!"
"Iya, Mas." Nuri keluar dari kamar mandi dengan pakaian rapi. Suaminya sudah menunggu di depan pintu, sehingga Nuri tidak sempat lagi untuk sekedar memakai pelembab di pipinya.
Dengan mengendarai mobil suaminya, mereka menuju rumah sakit. Tempat Nura baru saja melahirkan. Nura adalah adik dari Nuri yang belum lama ditinggal meninggal oleh suaminya. Saat di acara pernikahan kakaknya, Nura yang tengah hamil sembilan bulan, malah kontraksi dan dilarikan ke rumah sakit oleh Willy; adik ipar Nuri.
Setibanya di sana, semua begitu tak sabar untuk melihat Nura dan juga bayi lelaki yang berhasil lahir sehat dan selamat. Suasana haru penuh bahagia tentu saja menyelimuti hati Bu Larsih yang merasakan senang dua kali lipat. Pertama karena anak sulungnya sudah resmi menikah dan di hari yang sama, putri bungsunya melahirkan bayi yang tampan.
Semua yang ada di sana mengucap selamat dan juga penuh syukur. Pakde dan Bude dari Nuri juga ikut hadir di sana memberikan selamat pada keponakan mereka.
"Pengantin baru jangan lama-lama di rumah sakit, takut mengantuk nanti. Apalagi ini malam pertama. Udah, pulang sana! Kalian berdua pasti lelah." Bu Larsih menggoda anak menantunya. Nuri menunduk malu, menyembunyikan rona merah di pipinya. Dika pun ikut tersenyum lebar, lalu keduanya berpamitan pulang.
"Mau langsung pulang atau mau mampir makan bubur ayam dulu?" tanya Dika pada Nuri.
"Boleh, Mas, makan bubur ayam dulu aja." Nuri tersenyum senang. Suaminya sudah lebih tenang daripada saat mereka berada di kamar saat sore tadi. Saraf tegang di wajahnya sudah lebih mengendur karena sejak di rumah sakit, ia lebih banyak senyum.
"Kamu pernah makan di sini?" tanya Dika saat mereka sudah duduk di bangku menunggu pesanan dibuat.
"Selama di Jakarta, saya belum pernah makan malam di luar, Mas. Pernah makan bakso bersama Nura di depan gang kontrakan."
"Oh, nanti kita kulineran ya. Saya suka jajan di luar, mencoba aneka makanan di tempat-tempat favorit rekomendasi dari teman atau saudara." Dika begitu bersemangat, membuat Nuri lebih nyaman dan juga senang. Mereka menikmati bubur ayam yang rasanya memang enak, hingga satu jam berlalu.
Setelah kenyang, Dika dan Nuri melanjutkan perjalanan menuju rumah. Semakin dekat dengan rumah suaminya, Nuri merasakan detak jantungnya semakin tidak karuan.
Apalagi saat mobil sudah memasuki garasi dan Dika turun dari mobil. Terlalu asik dengan kegugupannya, Nuri sampai lupa untuk turun dari mobil.
"Nuri, ada apa? Kenapa masih di mobil?" Dika melambaikan tangannya dari kaca mobil. Lalu mengetuk-ngetuk jendela itu dengan telunjuknya. Nuri tersentak, lalu dengan menahan rasa malu yang luar biasa, ia turun dari mobil.
"Kamu aneh sekali. Masa sudah di rumah, lupa turun dari mobil. Ayo, masuk, ini sudah malam. Itu kunci saja pintu rumah. Papa dan mama pasti sudah tidur." Dika berjalan lebih dulu naik ke lantai dua rumahnya, lalu masuk ke dalam kamar. Nuri melaksanakan perintah suaminya untuk menutup pintu. Mengecek jendela dan juga memadamkan semua lampu, kecuali lampu dapur.
Dengan gugup, Nuri menekan kenop pintu kamar. Ia berjalan masuk dengan menunduk, karena tidak siap jika suaminya saat ini sedang memperhatikannya. Lampu kamar pun sudah padam, sehingga matanya tidak begitu jelas melihat keadaan sekeliling.
"Nuri, kamu gerakannya lambat sekali. Apa ini aslinya kamu? Ayo, sini, kita tidur!" Tegur Dika membuat Nuri tersentak kaget. Lambat? Tunggu, ia bukan lambat tapi gugup. Nuri merasa seperti hatinya disentil oleh perkataan suaminya. Kenapa malam pertama yang akan ia lewati sepertinya akan berbeda dengan malam pertama kebanyakan pasangan pengantin?
"Mas, kita benar-benar akan tidur?" tanya Nuri saat ia sudah berbaring telentang di samping suaminya.
"Iya, memangnya kenapa?" Dika menoleh ke samping menatap lekat wajah sang Istri.
"Mm... gak papa." Nuri tersenyum samar, lalu ia langsung memejamkan mata.
"Nuri, saya belum bisa menyentuhmu, tolong beri saya waktu ya."
"Kenapa?" tanya Nuri cepat karena memang ia tidak mengerti kenapa pria yang ia kenal sebelum menikah, sangat berbeda perilakunya setelah mereka menikah.
"Karena memang saya belum mau, belum kepingin, dan bisa dibilang, belum muncul hasrat ingin berhubungan sama kamu."
"Apa, Mas? Tidak ada hasrat?!"
Andika memang sudah tidur dengan pulas. Suara dengkuran halus terdengar teratur, mengisi ruang kamar yang senyap. Hanya ada suara rintik hujan di luar sana, menemani perasaan gundah istrinya. Ya, setelah Dika mengatakan belum ada hasrat pada dirinya, bagaimana mungkin ia bisa tidur? Apakah ia benar tidak menarik? Ia tidak seksi? Bukankah lelaki yang normal tentu saja menginginkan menyentuh wanita yang baru ia nikahi, kecuali memang alasannya tepat. Seperti ia saat ini sedang datang bulan. Nuri terjaga sepanjang malam, hingga menjelang subuh. Ini adalah kali pertama ia tidur bersama lawan jenis, ditambah hanya punggung suaminya yang bisa ia pandangi saja. Nuri memutuskan untuk melaksanakan shalat malam.Selesai shalat dan memanjatkan doa, Nuri akhirnya bisa juga memejamkan matanya. "Nuri, bangun!" Wanita itu menyadari ada yang menepuk-nepuk pundaknya, tetapi karena ia sangat mengantuk, ia tidak sanggup membuka mata. "Nuri, bangun! Ini sudah jam lima subuh! Saya mau sarapan. Ayo, ba
Sejak kejadian saat sarapan tadi, Nuri tidak berani melakukan apapun di rumah suaminya. Ia khawatir akan mendapat masalah jika ia bergerak, ingin membantu pekerjaan rumah, tetapi ujungnya malah salah. Pengantin baru satu hari dan paginya sudah dibanting sendok. Tidak ada yang bisa membayangkan bagaimana perasaan Nuri. Suara pintu diketuk, membuat Nuri menoleh. "Nuri, apa Mama boleh masuk?" "Boleh, Ma, masuk saja." Nuri bergegas turun dari ranjang untuk menyambut mertuanya dengan wajah gembira. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil memperhatikan isi kamar pengantin yang masih rapi. Kelopak mawar yang ia sebar sudah tidak ada lagi. Semua bersih dan rapi. Bu Widya tersenyum pada Nuri, kemudian memilih duduk di pinggir tempat tidur. "Kenapa kadonya belum ada yang dibuka?" tanya Bu Widya pada Nuri. "Saya menunggu Mas Dika saja, Ma. Kalau katanya buka kado, kita buka sama-sama. Amplop dari tamu undangan yang diberikan langsung pada Mas Dika juga masih ada di laci, saya belum ber
Nuri menemani suaminya makan di kamar. Ia tidak berani berkomentar apapun karena khawatir akan salah lagi. Lebih baik diam, kecuali suaminya menanyakan sesuatu. Dika makan dengan begitu lahap.Masakan Tika memang enak, ia pun mengakui, tetapi komentar Tika tadi di dapur membuatnya menjadi semakin tidak percaya diri menjadi istri Dika. Untunglah ia memiliki mertua super baik seperti Bu Widya, jika tidak, bisa saja, Tika akan lebih berani menyindir atau mengomentarinya.Kenapa harus dirinya yang didekati jika pria di depannya ini tidak benar-benar mencintainya atau tidak benar-benar menginginkannya menjadi istri? Semua masih tanda tanya besar dalam hatinya. Ia bukan merasa seperti istri dan nyonya di rumah sang Suami, tetapi rasanya seperti tamu saja. Jujur, ia pun belum sepenuh hati bulat mencintai suaminya, tetapi wanita itu perasaannya sangatlah halus. Rasa cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya saat respon dari pasangan juga sangat baik. Sebaik-baik rejeki adalah yang ada di hadap
"Mas, maaf, sejak tadi ponselnya berdering. Jadi saya pikir ini penting, mohon maaf kalau saya lancang." Nuri memberikan ponsel pada Dika. Wajah pria itu nampak terkejut begitu juga Bu Widya. Mereka saling pandang dengan canggung, khawatir Nuri mendengar apa yang mereka bicarakan. "Makasih," kata Dika. Nuri mengangguk tanpa senyum, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di kamar, tubuhnya luruh di lantai kamar yang dingin. Belum satu minggu ia menikah dan kenyataan pahit ia dapati tentang perasaan suaminya. Pantaslah suaminya tidak mau menyentuhnya, semua itu karena suaminya menyukai Nura. Perasaan orang tidak ada yang bisa dipaksakan, termasuk suaminya yang telah menikahinya tanpa cinta. Lantas kenapa ia yang dinikahi? Kenapa mempermainkan perasaannya? Wahai Nuri, sungguh malang nasibmu. Dinikahi pria hampir sempurna, tetapi hanya untuk status saja. Nuri menghapus air matanya dengan cepat. Ia tidak boleh cengeng apalagi menyedihkan. Ia harus kuat karena memang hal l
"Kamu mau pesan makan apa?" tanya Dika pada Nuri saat keduanya sudah memegang buku menu. "Beneran boleh pesan makanan apa saja?" tanya Nuri balik karena ia harus memastikan suaminya tidak marah padanya jika ia memesan yang aneh. Dika tentu saja mengangguk yakin. "Mas, saya pesan menu di restoran ini yang paling mahal dan paling enak ya." Nuri tersenyum pada pelayan yang siap mencatat pesanannya. Dika menoleh pada Nuri dan pelayan itu bergantian. "Memangnya apa menu paling mahal dan enak di sini?" tanya Dika. "Kalkun panggang dengan saus Inggris." "Oh, pantes, pasti ongkirnya mahal banget." Nuri berkomentar. Pelayan menyeringai, sedangkan Dika tertawa. "Ya sudah, gak papa. Pesan itu saja." Pelayan mencatat menu makanan dan minuman pesanan sepasang pengantin itu, lalu ia beranjak dari sana untuk memberikan list pesanan pada chef yang bertugas. Nuri tidak bicara lagi, apalagi menanyakan sesuatu. Ia sibuk dengan belanjaannya yang sangat banyak dan merasa bersyukur di balik sik
"Saya rasa ini masalah rumah tangga yang harus diselesaikan oleh suami-istri. Kita orang luar tidak berhak ikut campur. Mari, Pak Dika, saya akan menunggu di luar saja." Dokter itu pun keluar dari kamar diikuti oleh Dika. Tinggal Udin yang berdiri di depan pintu dengan perasaan kesal. "Saya laporin ibu ya?!" Ancam Udin. Sontak Nuri menggeleng kuat sambil meneteskan air mata. "Orang mah nikah buat bahagia, Mbak. Kalau buat sengsara, tinggalin aja. Kek cuma dia makhluk Tuhan paling iya di muka bumi." Sindiran Udin membuat air mata Nuri semakin deras. "Udah, Mbak, jangan nangis! Sabar deh ya. Saya pamit, gak bisa lama-lama. Kalau ada sesuatu yang membahayakan, telepon saya langsung." Nuri mengangguk dari kejauhan. Udin pun pergi dari depan kamarnya. Nuri mengusap air mata. Ia harus kuat dan tetap semangat. Ia gak boleh cengeng dalam menghadapi Dika yang bersikap tidak peduli dengannya. Ia akan berusaha membuat suaminya melirik, mencintai, lalu menyentuhnya. Jika tidak berhasil juga,
Begitu sedih hatinya saat tidak mendapatkan ijin untuk melihat keponakan pertamanya aqiqah. Memang tubuhnya masih lemas, tetapi jika dipaksakan, pasti ia bisa berkumpul di sana dan siapa tahu saja dengan bertemu dan berkumpul dengan keluarganya, sakitnya bisa segera sembuh. Namun, lagi-lagi wajah tegang suaminya berputar di kepala, sehingga ia tidak mau membuat masalah baru dengan tidak patuh pada suaminya. Ponsel ia matikan. Lalu remot TV ia tekan untuk menyalakan televisi. Mungkin dengan menonton film drama atau film horor, rasa bosan dan sedihnya akan hilang. Tidak ada acara yang menarik, hanya ada satu channel TV luar yang sedang menayangkan acara Paris Fashion Week. Nuri menonton acara tersebut dengan sangat fokus. Sesekali ia berdecak kagum dengan model catwalk yang tinggi kurus, jalannya juga keren. Ditambah dengan pakaian yang mereka kenalan, membuat penampilan mereka semakin keren. Masih dengan TV yang menyala, Nuri mencari kertas dan alat tulis di meja kerja suaminya. Pe
"Halo, assalamu'alaikum, kamu sedang apa, Nuri?""Wa'alaykumussalam, Mas, saya sedang memotong bahan baju. Saya mau buatkan sample baju untuk Tika.""Wah, bagus itu. Ya sudah kalau kamu sibuk, saya tutup.""Tapi saya gak.... "Sambungan itu terlanjur diputus suaminya, padahal pria itu belum benar-benar mendengar jawaban darinya. Nuri hanya bisa menghela napas panjang. Meteran baju yang ada di tangannya, ia masukkan kembali ke dalam kotak kecil. Hilang sudah semangatnya untuk memotong bahan, ketika suaminya lagi-lagi menganggapnya seadanya dan tidak begitu penting. Padahal saat tadi mengetahui nomor suaminya yang menelepon, hatinya sangat gembira. Nuri keluar dari kamar kerjanya. Jika ia nekat pergi ke rumah ibu untuk melihat keluarganya, ia khawatir Dika akan marah, sedangkan di rumah ia merasa bosan. Ditambah sikap acuh suaminya. Masih dua hari lagi suaminya pulang dan dua hari pun mungkin ia tidak akan ditelepon lagi. "Baik, Pak, apa lagi? Banyak amat pesannya. Tangan saya cuma du
Setelah sekian lama menghubungi papanya, akhirnya panggilan itu diangkat juga oleh Daniel. "Luna, Sayang, ada apa?" suara Daniel berat, seperti orang baru saja bangun dari tidur. "Papa, Bunda pingsan di rumah. Sekarang ada di rumah sakit bersama Luna dan Bu guru. Kenapa Papa susah ditelepon. Ini masalahnya Bunda terus menangis. Bunda bilang papa jahat. Ada apa sih, Pa?" "Hah? A-apa? Nuri dirawat. Luna, apa bisa kamu berikan ponsel kamu pada bunda, Papa harus bicara dan Papa mohon, kamu keluar dari kamar perawatan ya, Nak. Karena ini pembicaraan orang dewasa.""Iya, Pa, sebentar, Luna kasih Bunda." Remaja itu berjalan masuk ke dalam bilik Nuri. Bunda sambungnya itu masih menangis sesegukan sejak tadi. Belum pernah sedetik pun berhenti. Bantalnya saja sampai basah. Suster membujuk untuk bercerita, tetapi Nuri memilih bungkam. "Bunda, ada telepon dari Papa." Luna berujar pelan. Lalu meletakkan ponselnya di samping Nuri. Remaja itu keluar dari ruang perawatan VIP. Masuk ke dalam lift
Nuri dilarikan ke rumah sakit oleh Luna, dibantu juga oleh guru homeschooling-nya. Bu Cici dan Bu Mila sedang keluar untuk jogging dan dua orang nenek itu tidak membawa ponsel. Jadilah Luna membawa Nuri ke rumah sakit dengan mobil sedan lama milik gurunya. Kunci pagar dan juga rumah, dititipkan Luna pada pembantu di sebelah rumahnya. Luna memberi tahu kan hal itu pada papanya. Remaja itu menghubungi papanya, tetapi tidak bisa. Ponsel Daniel memang masih mati. Lebih tepatnya dimatikan sengaja oleh Angel. "Papa ke mana sih? Ini masih pagi loh," gerutu remaja itu kesal. "Sabar, Luna. Papa kamu sedang meeting mungkin. Coba tinggalkan pesan saja. Bilang bunda kamu lagi di rumah sakit karena pingsan di kamar.""Oh, gitu, ya Bu. Ya sudah, saya tinggalkan pesan WA saja." Luna menurut saran darin gurunya. Ia pun mengetik dengan cepat pesan untuk sang Papa yang saat ini ternyata tengah mandi. Mobil yang dikendarai guru Luna berhenti di lobi IGD rumah sakit. Ia meminta tolong pada salah satu
"Kamu terlalu menganggap remeh aku, Mas Daniel. Apa kamu tidak tahu sedang mempermainkan perasaan siapa? Kamu nampak begitu tidak sudi padaku, bahkan menikahi janda dari kampung itu tanpa mengundangku. Ya ampun, padahal kamu duda, tetapi kenapa aku malah bucin berat sama kamu. Padahal kamu jelas tidak suka padaku. Baiklah, jika aku sudah ikuti aturan main kamu, maka kamu pun harus ikuti aturan main aku, Mas. Tuhan itu adil, membawa kamu padaku." Angel kembali mencium rakus bibir Daniel yang tidak sadarkan diri di bawah pengaruh obat perangsang dan juga obat tidur yang ia cekoki saat pria itu tak sadarkan diri. Tubuh telanjangnya benar-benar menyukai senjata milik Daniel yang berhasil mengobrak-abrik organ intimnya. Bercak darah perawan juga tercecer di seprei dan selimut mereka. Angel puas, bahkan amat sangat puas. Rencananya berhasil tanpa perlu ikut campur dari orang tua Daniel. Saat ia tahu Daniel sedang ada di Singapura, maka ia pun mendapatkan ide ini. Foto itu ia kirimkan pad
Pukul dua siang, Nuri sudah diantar pulang ke rumah suaminya. Tidak lupa Bu Widya membelikan banyak vitamin untuk Nuri dan juga makanan. Bu Widya bahkan membelikan daster cantik untuk putrinya itu. Ya, bagi seorang Bu Widya, Nuri adalah putrinya. Jika putrinya tertekan, maka ia pun akan sangat sedih. Selagi Nuri tidak sampai di dipukul oleh mertua yang sombongnya gak tertolong itu, maka ia harus menahan diri. "Mama, terima kasih jalan-jalannya dan oleh-olehnya." Nuri begitu senang setelah meluapkan semua kesedihannya pada Bu Widya. Wanita paruh baya itu selalu mengerti dirinya. Bersikap begitu bijak dan tidak memanas-manasinya untuk durhaka pada suami atau mertua. Bu Widya hanya memintanya kuat dan juga memperjuangkan haknya. Jika sudah dianggap keterlaluan, maka ia harus bisa melawan. Bukan melawan tanda tidak hormat, tetapi untuk menyelamatkan mentalnya. "Iya, Sayang, Mama. Minggu depan Mama ke sini lagi ya. Kita ke salon. Hari ini gak keburu mau ke salon. Ingat pesan Mama ya, Can
"Ibu siapa?" tanya Bu Cici saat Bu Widya sudah berada di teras rumahnya. Wanita begitu jengah karena sejak kemarin ada saja saudara Nuri yang datang. Apakah wanita itu menceritakan pada keluarganya bahwa ia di sini diperlukan seperti pembantu? Tapi bukankah Nuri gak punya siapapun di Jakarta? "Saya adik ayahnya Nuri. Kebetulan sedang ada bisnis di sini. Saya mau ajak Nuri makan di luar. Apakah boleh, Bu?" Bu Cici memperhatikan Bu Widya yang tampilan glowing dengan emas yang ia pakai. Mulai dari gelang, cincin, kalung besar, jam tangan mahal, serta gamis yang dipakai Bu Widya adalah gamis seharga lima jutaan ke atas. "Baik, tapi Nuri tidak diijinkan keluar terlalu lama oleh suaminya. Itu pesan Daniel. Jadi sebelum jam dua siang, sudah kembali ya." "Baik, Bu, terima kasih atas pemaklumannya." "Nuri Sayang, kamu ganti baju dulu ya, Tante tunggu di sini saja gak papa.""Ah, itu sopir saya! Sini, Cep!" Pria dari luar pagar berlari untuk memberikan kunci mobil pada Bu Widya. Dengan ang
115. Dika benar-benar tidak bisa menahan emosinya sepulang dari menjenguk Nuri. Ibu Mertua Nuri tadi bahkan tidak mempersilakannya masuk dan malah mengomel, mengatakan urusan rumah tangga Nuri bukanlah urusannya, jadi Dika tidak perlu ikut campur. Bagaimana Dika bisa berdiam diri kalau melihat secara nyata Nuri diperlakukan buruk seperti itu? Mumpung Tika sedang sibuk menonton, Dika langsung menelepon adiknya, Willy, untuk mengabarkan apa yang dilihatnya di rumah Daniel tadi. Untung saja Willy langsung mengangkat teleponnya sehingga ia tidak perlu repot-repot menambah emosi. Setelah berbasa-basi sejenak, Dika pun mulai bercerita kepada Willy. Sang adik tentu saja terkejut mendengar apa yang terjadi kepada kakak iparnya itu. "Mas mau minta saran dari kamu, nih, WIil. Apa yang harus Mas lakuin sekarang? Rasanya nggak tega ngeliat Nuri dijadikan babu seperti itu," ujar Dika setelah selesai bercerita. "Duh, gimana, ya, Mas. Aku juga bingung. Gini aja, aku minta tolong Mas buat serin
Dika tidak bisa melupakan kata-kata mamanya kemarin. Tentu saja tentang Nuri, bukan tentang Tika. Kalau hal yang berhubungan dengan Tika, Dika sudah tidak heran lagi. Ia sudah menyaksikan sendiri betapa menjengkelkannya sang istri. "Apakah aku harus datang sendiri untuk memastikannya?" Dika bertanya kepada dirinya sendiri. Tanpa bisa dipungkiri, Dika merasa iba kepada Nuri kalau memang mantan istrinya itu diperlakukan seperti babu oleh keluarga suaminya. Padahal saat masih menjadi istrinya dulu, setidaknya Dika tidak pernah melihat mamanya memperlakukan Nuri dengan buruk. "Iya, sepertinya aku memang harus datang ke sana," tekad Dika. Berbekal alibi mereka adalah ipar, Dika pun nekat ingin menemui Nuri di rumah Daniel. Ia sengaja tidak memberitahukan hal tersebut kepada ibunya, apalagi kepada Tika. Bisa-bisa Tika guling-guling di depannya kalau sampai ia meminta izin untuk hal yang satu itu. "Din, saya minta alamat Nuri dong!" pinta Dika ketika menemui Udin. "Loh, buat apa, Pak?"
"Aduh, kenapa halaman depan masih banyak daun jatuh, ya, Nuri? Bukannya saya udah sempat nyuruh kamu bersihin, ya? Kalau sampai ada tamu penting yang datang bagaimana? Mereka bisa ilfeel melihatnya!" Mendapati pertanyaan seperti itu saat sedang sarapan, membuat Nuri kesusahan menelan air yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Untung saja cairan itu tidak menyembur ke wajah Bu Cici. "Maaf, Ma. Saya sudah bersihkan halaman semalam, kok. Namanya juga ada pohon hidup, Ma. Wajar kalau ada daun yang jatuh lagi," jawab Nuri setelah berhasil menelan minumannya. "Berarti harusnya kamu inisiatif, dong, bersihin subuh-subuh. Jadi waktu saya bangun, halamannya sudah bersih. Saya kan jadi tidak perlu buang-buang waktu buat negur kamu." Nuri menghela napas panjang. Ingin membalas ucapan sang Mertua, tetapi malas berdebat. Alhasil, ia pun mengalah. "Baik, Ma. Setelah sarapan saya bersihkan halamannya.""Ya, udah, yang cepat sarapannya. Jangan sengaja lama-lamain karena malas mengurus rumah!" Nuri
Tika sedang berada di boncengan motor suaminya. Seperti biasa, Tika memeluk tubuh Dika terlalu erat, sehingga pria itu tidak nyaman. Napasnya terasa sesak, sehingga mengakibatkan Dika tidak fokus mengendarai motornya. Beberapa kali ia menabrak begitu saja polisi tidur, hingga Tika terguncang. "Mas, pelan dong!" protesnya. "Kamu juga jangan kuat-kuat peluk saya. Napas saya jadi sesak. Saya gak fokus bawa motor!" omel Dika balik. "Bukannya lelaki itu suka kalau dipeluk erat istri, ini malah protes!" Dika menghentikan motornya di pinggir trotoar. Lalu pria itu menoleh ke belakang dengan wajah marah. "Sekali lagi kamu balikin ucapan saya, kamu turun di jalan! Kita mau ke dokter, jadi jangan rusak suasana!" Tika terdiam sambil menunduk. Di dalam hatinya masih sangat kesal dengan Dika, tetapi justru ia juga semakin cinta. Apalagi setelah melihat senjata suaminya secara tidak sengaja yang seguede timun suri. Membayangkan benda itu masuk ke miliknya, membuat Tika bergetar, sekaligus bergi