Andika memang sudah tidur dengan pulas. Suara dengkuran halus terdengar teratur, mengisi ruang kamar yang senyap. Hanya ada suara rintik hujan di luar sana, menemani perasaan gundah istrinya. Ya, setelah Dika mengatakan belum ada hasrat pada dirinya, bagaimana mungkin ia bisa tidur? Apakah ia benar tidak menarik? Ia tidak seksi? Bukankah lelaki yang normal tentu saja menginginkan menyentuh wanita yang baru ia nikahi, kecuali memang alasannya tepat. Seperti ia saat ini sedang datang bulan.
Nuri terjaga sepanjang malam, hingga menjelang subuh. Ini adalah kali pertama ia tidur bersama lawan jenis, ditambah hanya punggung suaminya yang bisa ia pandangi saja.
Nuri memutuskan untuk melaksanakan shalat malam.
Selesai shalat dan memanjatkan doa, Nuri akhirnya bisa juga memejamkan matanya.
"Nuri, bangun!" Wanita itu menyadari ada yang menepuk-nepuk pundaknya, tetapi karena ia sangat mengantuk, ia tidak sanggup membuka mata.
"Nuri, bangun! Ini sudah jam lima subuh! Saya mau sarapan. Ayo, bangun!" Seru Dika lagi lebih dekat ke telinga Nuri. Istrinya tersentak kaget, lalu memaksakan diri untuk benar-benar membuka mata.
"Maaf, Mas, sebentar saya bangun." Nuri duduk bersandar di kepala ranjang, lalu ia menggosok matanya dengan kuat.
"Memangnya kamu begadang? Kenapa bangunnya susah?" tanya Dika sambil menggelengkan kepala. Pria itu turun dari ranjang, masih lengkap dengan pakaian shalat dan juga sarung. Nuri segera turun untuk berwudhu. Rasanya sungguh malu, di hari pertama sebagai istri, ia malah kesiangan.
Nuri tidak mendapati suaminya ada di kamar begitu ia selesai mandi dan berwudhu. Ia pun segera shalat agar bisa lebih cepat untuk membuat sarapan. Ayah dan ibu mertuanya pasti juga sudah menunggunya.
"Eh, Ibu sudah bangun. Gak papa, Bu, biar saya yang masak sarapan. Perkenalkan, Bu, saya Tika. Sudah bekerja bersama Pak Dika tiga tahun. Jadi Ibu jangan sungkan, biar saya kerjakan seperti apa yang biasa saya kerjakan, Bu." Nuri hanya bisa tersenyum sambil mengangguk. ART suaminya itu masih muda dan bertubuh sintal. Terlihat sangat polos dan masih muda.
"Oh, tidak apa-apa, Tika. Ini hari pertama sama sebagai istri dan menantu. Jadi, biarkan saya yang memasak sarapan untuk pagi ini ya. Kalau untuk menu makan siang, baru kamu yang kerjakan. Bagaimana?" Nuri menatap penuh harap. Cukup satu kali ia mengecewakan suaminya karena bangun kesiangan, jangan sampai ia tidak melakukan apa-apa setelah bangun pagi.
"Baik, Bu, ini bahannya sudah ada, tinggal diolah saja. Nasi goreng daun jeruk, telur balado, dan tempe orek. Semua bahan sudah siap olah. Saya akan mengerjakan yang lain. Mungkin membuat jus." Nuri tersenyum senang. Kepalanya sempat menoleh ke belakang rumah. Suara orang berbincang, diselingi tawa terdengar dari sana. Pasti suami dan mertuanya yang tengah berkumpul di halaman belakang.
"Nuri, kamu sedang apa di dapur?" tanya Bu Widya sambil mengusap pundak menantunya. Wanita setengah baya itu tersenyum dengan begitu tulus.
"Membuat sarapan, Ma." Nuri ikut tersenyum malu-malu.
"Sudah ada Kartika yang mengerjakan, biarkan Tika saja semuanya. Kamu kan pengantin baru, masa di dapur. Tunggu, kenapa kamu gak keramas?" tanya Bu Widya heran. Wanita dewasa itu baru sadar bahwa rambut menantunya tidak basah, padahal ini pagi pertama sebagai pengantin.
"Keramasnya udah kemarin sore saat akan ke rumah sakit, Ma," jawab Nuri jujur. Ya, memang ia keramas saat akan ke rumah sakit, tetapi bukan keramas karena malam pertama dengan suaminya, melainkan karena gerah setelah seharian melewati prosesi pernikahan. Bu Widya mengangguk pelan, tetapi dari tatapannya, wanita itu merasa ada yang salah dengan menantunya.
"Ya sudah, kalau begitu, saya akan tunggu di halaman belakang ya. Dika dan papanya sedang main bulu tangkis. Kalau sudah selesai, panggil saja."
"Baik, Ma." Nuri mengangguk paham. Ini sudah hampir jam enam yang tandanya ia harus bergegas. Suaminya biasa sarapan jam setengah tujuh pagi, untuk itu ia tidak boleh mengecewakan pria itu lagi.
Tepat sesuai target, semua makanan sudah tersedia di atas meja makan. Tika membantu menata seperti biasa, sedangkan Nuri masuk ke kamar untuk mengganti pakaian. Bajunya terkena noda minyak dan itu ia khawatirkan bisa diprotes oleh Dika.
"Wah, sarapannya banyak ini!" Seru Dika menatap meja makan sudah penuh dengan aneka menu.
"Ayo, Mas, kita makan!" Nuri tersenyum senang karena ekspresi suaminya yang tampak gembira. Sebelum disajikan, semua makanan sudah ia cicipi terlebih dahulu, agar memastikan rasanya tidak asin atau terlalu manis. Wanita itu menarik kursi untuk Dika, mempersilakan suaminya duduk. Lalu Nuri duduk tepat di samping suaminya. Dia mertuanya juga sudah duduk berhadapan dengan mereka.
"Jus buah naga dulu deh. Habis olah raga, rasanya butuh yang segar-segar." Dika meraih gelas jus yang masih penuh isinya. Pria itu meneguknya sampai tandas. Begitu juga dengan papanya.
"Sudah, jangan kebanyakan minum, nanti makan nasinya tidak berselera," tegur Bu Widya pada dua lelaki yang ada di dekatnya.
"Tika memang selalu pandai membuat jus. Antara rasa susu dan buah, serta gula juga pas semua, makasih, Tik!" Seru Dika memuji ART yang sudah lama bekerja untuknya itu.
"Sama-sama, Pak." Tika mengangguk sambil tersenyum. Ia meletakkan teko teh hangat dengan hati-hati di atas meja, lalu segera beranjak dari sana.
Suara motor berhenti di depan rumah. Dika berdiri sebentar untuk memastikan siapa tamunya, ternyata Willy. Adiknya yang datang ingin menumpang sarapan. Pria itu menggelengkan kepalanya.
"Assalamu'alaikum," sapa Willy sambil tersenyum lebar.
"Wa'alaykumussalam," jawab semua orang yang sudah duduk di kursi makan. Nuri tersenyum pada Willy, saat pemuda itu melemparkan senyum padanya.
"Bawa-bawa ransel mau ke mana?" tanya Bu Widya pada putra bungsunya itu.
"Mau ke rumah sakit, Ma, biasa, nemenin Mbak Nura dan Baby L. Ini isinya pakaian ganti." Bu Widya nampak menghela napas kasar, dengan wajah yang berubah masam. Nuri hanya berani melirik sekilas, karena ia tahu, bahwa ibu mertuanya ini tidak setuju kalau Nura adiknya, berdekatan dengan Willy, anak bungsunya.
"Memangnya kamu gak ke kampus? Nura masih ada ibunya yang menunggui," tanya Bu Widya masih dengan intonasi tidak suka.
"Mama, ini adalah hari minggu, tentu saja saya libur ngampus. Besok baru ke kampus. Lagian udah tinggal urus wisuda saja, jadi lebih santai. Sudah, ayolah, kita makan! Keburu dingin nasinya ini!" Willy dengan tak sabar menyendiri nasi goreng jeruk terlebih dahulu ke dalam piringnya. Lalu ia mengambil satu butir telur balado. Hal yang sama dilakukan oleh Nuri. Ia mengambilkan nasi lengkap dengan teman lauk-pauk untuk Andika.
"Terima kasih, Istriku," kata Dika sambil mengusap rambut Nuri dengan lembut.
"Sama-sama, Mas." Nuri tersenyum malu-malu karena diperlakukan manis di depan orang banyak.
"Cuih! Asin! Ya ampun, Tika! Tika!" Wajah Nuri mendadak pucat. Tika berlari menuju ruang makan mendengar panggilan menggelegar majikannya.
"Masak apa ini? Kamu masak nasi goreng pakai garam, atau masak garam pakai nasi goreng?!" Bentak Dika emosi.
"P-pak, maaf, bukan saya yang masak, t-tapi Bu Nuri. Saya hanya bikin jus buah." Semua mata memandang ke arah Nuri, hingga membuat wanita itu gemetar ketakutan.
"Nuri, pertama kamu kesiangan bangun. Sekarang kamu membuat nafsu makan saya hancur berantakan!" Dika bangun dari duduknya, sembari membanting sendok.
Sejak kejadian saat sarapan tadi, Nuri tidak berani melakukan apapun di rumah suaminya. Ia khawatir akan mendapat masalah jika ia bergerak, ingin membantu pekerjaan rumah, tetapi ujungnya malah salah. Pengantin baru satu hari dan paginya sudah dibanting sendok. Tidak ada yang bisa membayangkan bagaimana perasaan Nuri. Suara pintu diketuk, membuat Nuri menoleh. "Nuri, apa Mama boleh masuk?" "Boleh, Ma, masuk saja." Nuri bergegas turun dari ranjang untuk menyambut mertuanya dengan wajah gembira. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil memperhatikan isi kamar pengantin yang masih rapi. Kelopak mawar yang ia sebar sudah tidak ada lagi. Semua bersih dan rapi. Bu Widya tersenyum pada Nuri, kemudian memilih duduk di pinggir tempat tidur. "Kenapa kadonya belum ada yang dibuka?" tanya Bu Widya pada Nuri. "Saya menunggu Mas Dika saja, Ma. Kalau katanya buka kado, kita buka sama-sama. Amplop dari tamu undangan yang diberikan langsung pada Mas Dika juga masih ada di laci, saya belum ber
Nuri menemani suaminya makan di kamar. Ia tidak berani berkomentar apapun karena khawatir akan salah lagi. Lebih baik diam, kecuali suaminya menanyakan sesuatu. Dika makan dengan begitu lahap.Masakan Tika memang enak, ia pun mengakui, tetapi komentar Tika tadi di dapur membuatnya menjadi semakin tidak percaya diri menjadi istri Dika. Untunglah ia memiliki mertua super baik seperti Bu Widya, jika tidak, bisa saja, Tika akan lebih berani menyindir atau mengomentarinya.Kenapa harus dirinya yang didekati jika pria di depannya ini tidak benar-benar mencintainya atau tidak benar-benar menginginkannya menjadi istri? Semua masih tanda tanya besar dalam hatinya. Ia bukan merasa seperti istri dan nyonya di rumah sang Suami, tetapi rasanya seperti tamu saja. Jujur, ia pun belum sepenuh hati bulat mencintai suaminya, tetapi wanita itu perasaannya sangatlah halus. Rasa cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya saat respon dari pasangan juga sangat baik. Sebaik-baik rejeki adalah yang ada di hadap
"Mas, maaf, sejak tadi ponselnya berdering. Jadi saya pikir ini penting, mohon maaf kalau saya lancang." Nuri memberikan ponsel pada Dika. Wajah pria itu nampak terkejut begitu juga Bu Widya. Mereka saling pandang dengan canggung, khawatir Nuri mendengar apa yang mereka bicarakan. "Makasih," kata Dika. Nuri mengangguk tanpa senyum, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di kamar, tubuhnya luruh di lantai kamar yang dingin. Belum satu minggu ia menikah dan kenyataan pahit ia dapati tentang perasaan suaminya. Pantaslah suaminya tidak mau menyentuhnya, semua itu karena suaminya menyukai Nura. Perasaan orang tidak ada yang bisa dipaksakan, termasuk suaminya yang telah menikahinya tanpa cinta. Lantas kenapa ia yang dinikahi? Kenapa mempermainkan perasaannya? Wahai Nuri, sungguh malang nasibmu. Dinikahi pria hampir sempurna, tetapi hanya untuk status saja. Nuri menghapus air matanya dengan cepat. Ia tidak boleh cengeng apalagi menyedihkan. Ia harus kuat karena memang hal l
"Kamu mau pesan makan apa?" tanya Dika pada Nuri saat keduanya sudah memegang buku menu. "Beneran boleh pesan makanan apa saja?" tanya Nuri balik karena ia harus memastikan suaminya tidak marah padanya jika ia memesan yang aneh. Dika tentu saja mengangguk yakin. "Mas, saya pesan menu di restoran ini yang paling mahal dan paling enak ya." Nuri tersenyum pada pelayan yang siap mencatat pesanannya. Dika menoleh pada Nuri dan pelayan itu bergantian. "Memangnya apa menu paling mahal dan enak di sini?" tanya Dika. "Kalkun panggang dengan saus Inggris." "Oh, pantes, pasti ongkirnya mahal banget." Nuri berkomentar. Pelayan menyeringai, sedangkan Dika tertawa. "Ya sudah, gak papa. Pesan itu saja." Pelayan mencatat menu makanan dan minuman pesanan sepasang pengantin itu, lalu ia beranjak dari sana untuk memberikan list pesanan pada chef yang bertugas. Nuri tidak bicara lagi, apalagi menanyakan sesuatu. Ia sibuk dengan belanjaannya yang sangat banyak dan merasa bersyukur di balik sik
"Saya rasa ini masalah rumah tangga yang harus diselesaikan oleh suami-istri. Kita orang luar tidak berhak ikut campur. Mari, Pak Dika, saya akan menunggu di luar saja." Dokter itu pun keluar dari kamar diikuti oleh Dika. Tinggal Udin yang berdiri di depan pintu dengan perasaan kesal. "Saya laporin ibu ya?!" Ancam Udin. Sontak Nuri menggeleng kuat sambil meneteskan air mata. "Orang mah nikah buat bahagia, Mbak. Kalau buat sengsara, tinggalin aja. Kek cuma dia makhluk Tuhan paling iya di muka bumi." Sindiran Udin membuat air mata Nuri semakin deras. "Udah, Mbak, jangan nangis! Sabar deh ya. Saya pamit, gak bisa lama-lama. Kalau ada sesuatu yang membahayakan, telepon saya langsung." Nuri mengangguk dari kejauhan. Udin pun pergi dari depan kamarnya. Nuri mengusap air mata. Ia harus kuat dan tetap semangat. Ia gak boleh cengeng dalam menghadapi Dika yang bersikap tidak peduli dengannya. Ia akan berusaha membuat suaminya melirik, mencintai, lalu menyentuhnya. Jika tidak berhasil juga,
Begitu sedih hatinya saat tidak mendapatkan ijin untuk melihat keponakan pertamanya aqiqah. Memang tubuhnya masih lemas, tetapi jika dipaksakan, pasti ia bisa berkumpul di sana dan siapa tahu saja dengan bertemu dan berkumpul dengan keluarganya, sakitnya bisa segera sembuh. Namun, lagi-lagi wajah tegang suaminya berputar di kepala, sehingga ia tidak mau membuat masalah baru dengan tidak patuh pada suaminya. Ponsel ia matikan. Lalu remot TV ia tekan untuk menyalakan televisi. Mungkin dengan menonton film drama atau film horor, rasa bosan dan sedihnya akan hilang. Tidak ada acara yang menarik, hanya ada satu channel TV luar yang sedang menayangkan acara Paris Fashion Week. Nuri menonton acara tersebut dengan sangat fokus. Sesekali ia berdecak kagum dengan model catwalk yang tinggi kurus, jalannya juga keren. Ditambah dengan pakaian yang mereka kenalan, membuat penampilan mereka semakin keren. Masih dengan TV yang menyala, Nuri mencari kertas dan alat tulis di meja kerja suaminya. Pe
"Halo, assalamu'alaikum, kamu sedang apa, Nuri?""Wa'alaykumussalam, Mas, saya sedang memotong bahan baju. Saya mau buatkan sample baju untuk Tika.""Wah, bagus itu. Ya sudah kalau kamu sibuk, saya tutup.""Tapi saya gak.... "Sambungan itu terlanjur diputus suaminya, padahal pria itu belum benar-benar mendengar jawaban darinya. Nuri hanya bisa menghela napas panjang. Meteran baju yang ada di tangannya, ia masukkan kembali ke dalam kotak kecil. Hilang sudah semangatnya untuk memotong bahan, ketika suaminya lagi-lagi menganggapnya seadanya dan tidak begitu penting. Padahal saat tadi mengetahui nomor suaminya yang menelepon, hatinya sangat gembira. Nuri keluar dari kamar kerjanya. Jika ia nekat pergi ke rumah ibu untuk melihat keluarganya, ia khawatir Dika akan marah, sedangkan di rumah ia merasa bosan. Ditambah sikap acuh suaminya. Masih dua hari lagi suaminya pulang dan dua hari pun mungkin ia tidak akan ditelepon lagi. "Baik, Pak, apa lagi? Banyak amat pesannya. Tangan saya cuma du
"Saya anggap kamu tidak pernah mengeluarkan kalimat aneh seperti itu." Dika keluar dari kamar. Meninggalkan Nuri yang menggeram sendiri. Ia mengucap istighfar berkali-kali karena sudah bermain-main dengan kalimat yang ia sendiri tidak suka mendengarnya. Cukuplah Nura yang sudah sempat mengajukan gugatan perceraian pada almarhum Dadang, ia tidak mau mengikuti jejak adiknya. Bisa-bisa ibunya kena serangan jantung jika ia benar bercerai dari Dika. Dua orang yang berbeda karakter, tinggal dalam satu rumah tangga, tentu saja tidak mudah. Apalagi kedua belah pihak belum sama-sama ikhlas dengan statusnya. Bukan seorang Nuri yang belum ikhlas, tetapi Dika. Ada banyak teka-teki dalam diri suaminya yang sampai saat ini ia tidak mengetahui apakah itu. Jika memang suaminya tidak mencintainya, kenapa harus menikahinya? Kenapa selalu royal padanya? Apakah hidup berumah tangga cukup dengan uang saja? Sikap acuh, ketus, egois, bahkan tidak memberi nafkah batin apakah termasuk di dalamnya? Malam ti
Setelah sekian lama menghubungi papanya, akhirnya panggilan itu diangkat juga oleh Daniel. "Luna, Sayang, ada apa?" suara Daniel berat, seperti orang baru saja bangun dari tidur. "Papa, Bunda pingsan di rumah. Sekarang ada di rumah sakit bersama Luna dan Bu guru. Kenapa Papa susah ditelepon. Ini masalahnya Bunda terus menangis. Bunda bilang papa jahat. Ada apa sih, Pa?" "Hah? A-apa? Nuri dirawat. Luna, apa bisa kamu berikan ponsel kamu pada bunda, Papa harus bicara dan Papa mohon, kamu keluar dari kamar perawatan ya, Nak. Karena ini pembicaraan orang dewasa.""Iya, Pa, sebentar, Luna kasih Bunda." Remaja itu berjalan masuk ke dalam bilik Nuri. Bunda sambungnya itu masih menangis sesegukan sejak tadi. Belum pernah sedetik pun berhenti. Bantalnya saja sampai basah. Suster membujuk untuk bercerita, tetapi Nuri memilih bungkam. "Bunda, ada telepon dari Papa." Luna berujar pelan. Lalu meletakkan ponselnya di samping Nuri. Remaja itu keluar dari ruang perawatan VIP. Masuk ke dalam lift
Nuri dilarikan ke rumah sakit oleh Luna, dibantu juga oleh guru homeschooling-nya. Bu Cici dan Bu Mila sedang keluar untuk jogging dan dua orang nenek itu tidak membawa ponsel. Jadilah Luna membawa Nuri ke rumah sakit dengan mobil sedan lama milik gurunya. Kunci pagar dan juga rumah, dititipkan Luna pada pembantu di sebelah rumahnya. Luna memberi tahu kan hal itu pada papanya. Remaja itu menghubungi papanya, tetapi tidak bisa. Ponsel Daniel memang masih mati. Lebih tepatnya dimatikan sengaja oleh Angel. "Papa ke mana sih? Ini masih pagi loh," gerutu remaja itu kesal. "Sabar, Luna. Papa kamu sedang meeting mungkin. Coba tinggalkan pesan saja. Bilang bunda kamu lagi di rumah sakit karena pingsan di kamar.""Oh, gitu, ya Bu. Ya sudah, saya tinggalkan pesan WA saja." Luna menurut saran darin gurunya. Ia pun mengetik dengan cepat pesan untuk sang Papa yang saat ini ternyata tengah mandi. Mobil yang dikendarai guru Luna berhenti di lobi IGD rumah sakit. Ia meminta tolong pada salah satu
"Kamu terlalu menganggap remeh aku, Mas Daniel. Apa kamu tidak tahu sedang mempermainkan perasaan siapa? Kamu nampak begitu tidak sudi padaku, bahkan menikahi janda dari kampung itu tanpa mengundangku. Ya ampun, padahal kamu duda, tetapi kenapa aku malah bucin berat sama kamu. Padahal kamu jelas tidak suka padaku. Baiklah, jika aku sudah ikuti aturan main kamu, maka kamu pun harus ikuti aturan main aku, Mas. Tuhan itu adil, membawa kamu padaku." Angel kembali mencium rakus bibir Daniel yang tidak sadarkan diri di bawah pengaruh obat perangsang dan juga obat tidur yang ia cekoki saat pria itu tak sadarkan diri. Tubuh telanjangnya benar-benar menyukai senjata milik Daniel yang berhasil mengobrak-abrik organ intimnya. Bercak darah perawan juga tercecer di seprei dan selimut mereka. Angel puas, bahkan amat sangat puas. Rencananya berhasil tanpa perlu ikut campur dari orang tua Daniel. Saat ia tahu Daniel sedang ada di Singapura, maka ia pun mendapatkan ide ini. Foto itu ia kirimkan pad
Pukul dua siang, Nuri sudah diantar pulang ke rumah suaminya. Tidak lupa Bu Widya membelikan banyak vitamin untuk Nuri dan juga makanan. Bu Widya bahkan membelikan daster cantik untuk putrinya itu. Ya, bagi seorang Bu Widya, Nuri adalah putrinya. Jika putrinya tertekan, maka ia pun akan sangat sedih. Selagi Nuri tidak sampai di dipukul oleh mertua yang sombongnya gak tertolong itu, maka ia harus menahan diri. "Mama, terima kasih jalan-jalannya dan oleh-olehnya." Nuri begitu senang setelah meluapkan semua kesedihannya pada Bu Widya. Wanita paruh baya itu selalu mengerti dirinya. Bersikap begitu bijak dan tidak memanas-manasinya untuk durhaka pada suami atau mertua. Bu Widya hanya memintanya kuat dan juga memperjuangkan haknya. Jika sudah dianggap keterlaluan, maka ia harus bisa melawan. Bukan melawan tanda tidak hormat, tetapi untuk menyelamatkan mentalnya. "Iya, Sayang, Mama. Minggu depan Mama ke sini lagi ya. Kita ke salon. Hari ini gak keburu mau ke salon. Ingat pesan Mama ya, Can
"Ibu siapa?" tanya Bu Cici saat Bu Widya sudah berada di teras rumahnya. Wanita begitu jengah karena sejak kemarin ada saja saudara Nuri yang datang. Apakah wanita itu menceritakan pada keluarganya bahwa ia di sini diperlukan seperti pembantu? Tapi bukankah Nuri gak punya siapapun di Jakarta? "Saya adik ayahnya Nuri. Kebetulan sedang ada bisnis di sini. Saya mau ajak Nuri makan di luar. Apakah boleh, Bu?" Bu Cici memperhatikan Bu Widya yang tampilan glowing dengan emas yang ia pakai. Mulai dari gelang, cincin, kalung besar, jam tangan mahal, serta gamis yang dipakai Bu Widya adalah gamis seharga lima jutaan ke atas. "Baik, tapi Nuri tidak diijinkan keluar terlalu lama oleh suaminya. Itu pesan Daniel. Jadi sebelum jam dua siang, sudah kembali ya." "Baik, Bu, terima kasih atas pemaklumannya." "Nuri Sayang, kamu ganti baju dulu ya, Tante tunggu di sini saja gak papa.""Ah, itu sopir saya! Sini, Cep!" Pria dari luar pagar berlari untuk memberikan kunci mobil pada Bu Widya. Dengan ang
115. Dika benar-benar tidak bisa menahan emosinya sepulang dari menjenguk Nuri. Ibu Mertua Nuri tadi bahkan tidak mempersilakannya masuk dan malah mengomel, mengatakan urusan rumah tangga Nuri bukanlah urusannya, jadi Dika tidak perlu ikut campur. Bagaimana Dika bisa berdiam diri kalau melihat secara nyata Nuri diperlakukan buruk seperti itu? Mumpung Tika sedang sibuk menonton, Dika langsung menelepon adiknya, Willy, untuk mengabarkan apa yang dilihatnya di rumah Daniel tadi. Untung saja Willy langsung mengangkat teleponnya sehingga ia tidak perlu repot-repot menambah emosi. Setelah berbasa-basi sejenak, Dika pun mulai bercerita kepada Willy. Sang adik tentu saja terkejut mendengar apa yang terjadi kepada kakak iparnya itu. "Mas mau minta saran dari kamu, nih, WIil. Apa yang harus Mas lakuin sekarang? Rasanya nggak tega ngeliat Nuri dijadikan babu seperti itu," ujar Dika setelah selesai bercerita. "Duh, gimana, ya, Mas. Aku juga bingung. Gini aja, aku minta tolong Mas buat serin
Dika tidak bisa melupakan kata-kata mamanya kemarin. Tentu saja tentang Nuri, bukan tentang Tika. Kalau hal yang berhubungan dengan Tika, Dika sudah tidak heran lagi. Ia sudah menyaksikan sendiri betapa menjengkelkannya sang istri. "Apakah aku harus datang sendiri untuk memastikannya?" Dika bertanya kepada dirinya sendiri. Tanpa bisa dipungkiri, Dika merasa iba kepada Nuri kalau memang mantan istrinya itu diperlakukan seperti babu oleh keluarga suaminya. Padahal saat masih menjadi istrinya dulu, setidaknya Dika tidak pernah melihat mamanya memperlakukan Nuri dengan buruk. "Iya, sepertinya aku memang harus datang ke sana," tekad Dika. Berbekal alibi mereka adalah ipar, Dika pun nekat ingin menemui Nuri di rumah Daniel. Ia sengaja tidak memberitahukan hal tersebut kepada ibunya, apalagi kepada Tika. Bisa-bisa Tika guling-guling di depannya kalau sampai ia meminta izin untuk hal yang satu itu. "Din, saya minta alamat Nuri dong!" pinta Dika ketika menemui Udin. "Loh, buat apa, Pak?"
"Aduh, kenapa halaman depan masih banyak daun jatuh, ya, Nuri? Bukannya saya udah sempat nyuruh kamu bersihin, ya? Kalau sampai ada tamu penting yang datang bagaimana? Mereka bisa ilfeel melihatnya!" Mendapati pertanyaan seperti itu saat sedang sarapan, membuat Nuri kesusahan menelan air yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Untung saja cairan itu tidak menyembur ke wajah Bu Cici. "Maaf, Ma. Saya sudah bersihkan halaman semalam, kok. Namanya juga ada pohon hidup, Ma. Wajar kalau ada daun yang jatuh lagi," jawab Nuri setelah berhasil menelan minumannya. "Berarti harusnya kamu inisiatif, dong, bersihin subuh-subuh. Jadi waktu saya bangun, halamannya sudah bersih. Saya kan jadi tidak perlu buang-buang waktu buat negur kamu." Nuri menghela napas panjang. Ingin membalas ucapan sang Mertua, tetapi malas berdebat. Alhasil, ia pun mengalah. "Baik, Ma. Setelah sarapan saya bersihkan halamannya.""Ya, udah, yang cepat sarapannya. Jangan sengaja lama-lamain karena malas mengurus rumah!" Nuri
Tika sedang berada di boncengan motor suaminya. Seperti biasa, Tika memeluk tubuh Dika terlalu erat, sehingga pria itu tidak nyaman. Napasnya terasa sesak, sehingga mengakibatkan Dika tidak fokus mengendarai motornya. Beberapa kali ia menabrak begitu saja polisi tidur, hingga Tika terguncang. "Mas, pelan dong!" protesnya. "Kamu juga jangan kuat-kuat peluk saya. Napas saya jadi sesak. Saya gak fokus bawa motor!" omel Dika balik. "Bukannya lelaki itu suka kalau dipeluk erat istri, ini malah protes!" Dika menghentikan motornya di pinggir trotoar. Lalu pria itu menoleh ke belakang dengan wajah marah. "Sekali lagi kamu balikin ucapan saya, kamu turun di jalan! Kita mau ke dokter, jadi jangan rusak suasana!" Tika terdiam sambil menunduk. Di dalam hatinya masih sangat kesal dengan Dika, tetapi justru ia juga semakin cinta. Apalagi setelah melihat senjata suaminya secara tidak sengaja yang seguede timun suri. Membayangkan benda itu masuk ke miliknya, membuat Tika bergetar, sekaligus bergi