Share

3. Awal kerusakan

Suara musik terdengar sangat keras, banyak sekali orang yang sedang berjoget tak tentu arah, pria dan wanita berciuman di mana saja, bahkan tak sedikit orang yang berhubungan badan, seolah-olah di tempat ini hanya ada mereka.

Di sebuah meja paling pojok, terlihat sosok Keenan yang sedang mabuk di temani oleh sang sekertaris. Mulut Keenan terus meracau tidak jelas sedangkan Zio, dia memang tidak minum karena memang hanya menemani bosnya itu.

"Tuan, sebaik kita pulang, anda sudah mabuk berat." Zio sudah berulang kali menahan tangan Keenan yang terus meminum cairan keras itu.

"Diamlah!! aku tidak mabuk bodoh!" sentak Keenan, kemudian meminum kembali.

Zio menatap sang Tuan dengan khawatir, dia sendiri tidak percaya dengan sosok Keenan yang sekarang. Semenjak pernikahan mereka, Zio baru kali ini lagi menemani Tuannya ketempat seperti ini, dan yang membuatnya tak menyangka lagi, Keenan bahkan berbohong kepada Nyonya Bella.

Pagi tadi ketika Zio diperintahkan untuk kerumah Keenan, dia sebenarnya tidak tega melihat raut wajah Bella yang terlihat sangat sedih, sesudah pulang dari sana sebenarnya ingin memberitahu kepada Keenan tentang reaksi Bella, tetapi Tuannya itu langsung menyuruh keluar.

"Tuan, sepertinya sedang ada masalah bersama Nyonya," pikirnya sedih. Dia tahu Keenan sangat mencintai Bella, begitu pun sebaliknya, tapi entah kenapa bisa seperti ini, yang dia tahu hubungan mereka beberapa waktu lalu masih terlihat baik-baik saja.

Keenan terlihat semakin kacau, Zio menatap iba sang tuan yang kini menangis dengan terus meracau.

"Bella, Bella," gumam Keenan.

"Bella, aku tau kamu pasti tak akan menghianatiku."

Zio terlihat binggung. "Apakah Nyonya ketahuan berselingkuh?" pikirnya yang mana langsung menggeleng tegas.

"Bodoh kau Zio, bisa bisanya berpikir seperti itu." Dia tahu betul sang nyonya bukanlah orang seperti itu, tapi dia juga heran, kenapa Tuannya bisa meracau seperti itu.

Melihat Keenan yang sepertinya tertidur, Zio langsung mencari bantuan untuk memapah Keenan ke dalam mobil.

Di perjalanan pulang, Keenan muntah hebat. Zio memutar setir untuk pergi ke rumah sakit, karena keadaan Keenan yang kini sudah sangat lemas, efek meminum terlalu banyak, jadi seperti ini.

Sampainya di sana, Keenan langsung dibawa ke IDG, Zio sempat terkejut melihat sosok dokter perempuan yang sudah lama tidak dia lihat.

Dia sempat melihat ada raut terkejut dari dokter itu, ketika melihat Keenan yang terbaring lemah.

Menunggu hampir setengah jam, Keenan harus di rawat karena asam lambungnya yang naik, dan juga kekurangan cairan.

Zio ikut berjalan ke kamar inap yang akan di tempati. Sudah selesai dengan semuanya, suster yang tadi mengantar keluar tak lama masuk dokter perempuan yang tadi memeriksa Keenan.

"Lama tak berjumpa, sekertaris Zio," sapa dokter tersebut yang bernama Amanda dengan tersenyum.

Zio mengangguk sopan. "Lama tak berjumpa, Nona."

Amanda terkekeh, Zio menatap Amanda, dia mengakui bahwa cinta pertama Tuannya ini sangat manis dan cantik, dengan lesung pipi yang berada di pipi kanannya, membuat senyuman Amanda semakin terasa manis.

"Saya tak menyangka, Nona sekarang sudah menjadi dokter," sahut Zio.

"Aku sendiri pun tak percaya, Zio," jawab Amanda terkekeh.

"Tuanmu ini kenapa bisa seperti ini? Dan juga kalian sedang apa di negara ini?" lanjutnya.

"Kami di sini ada urusan bisnis Nona, hanya satu minggu sebenarnya, tapi sepertinya Tuan ingin liburan sebentar di sini."

"Terus? kenapa dia bisa seperti ini?" tanya Amanda, dia tahu mantannya ini paling anti dengan meminum minuman keras, jika Keenan sudah minum berati dia sedang ada masalah.

"Tadi Tuan meminta saya untuk menamani di bar, mungkin karena dari pagi tuan belum makan, jadi asam lambungnya naik," jawabnya.

"Keenan ke bar? Dia sedang ada masalah besar?"

"Saya tidak tahu, Nona." Zio mana berani berbicara hal privasi tentang Tuannya, dan lagi ini urusan rumah tangga mereka, dia tidak bisa sembarang memberi tahu orang, apalagi ini mantannya.

Zio melihat Amanda yang menghela napas panjang. "Zio, nanti jika cairan infusnya habis, kau panggil suster untuk menggantinya," titah Amanda.

Zio mengangguk, Amanda kemudian pamit, untuk mengecek pasien yang lain, sesudah Amanda keluar, dia berjalan ke arah sofa memutuskan untuk mengistirahatkan sebentar tubuhnya.

* * * *

Pagi harinya, Bella terbangun dengan mata sembab, dia kemudian mengecek ponsel, yang lagi lagi harus menelan kekecewaan karena tak ada satu pun panggilan dari Keenan. Bella dengan raut wajah frustasi menjabak rambutnya tidak terlalu keras.

"Kau kenapa, Mas?" Lagi dan lagi, Bella kembali menangis, kesedihan terus di rasakan olehnya, karena tak mengerti dengan sikap Keenan.

Merasa sedikit lega sudah menumpahkan rasa sesaknya, Bella beranjak dari kasur untuk mandi, dia ingat bahwa sang mertua akan mengajaknya berbelanja. Dia berharap dengan pergi keluar bisa mengurangi rasa sedihnya.

Baru saja selangkah beranjak dari ranjang, Bella merasa mual, perutnya terasa di aduk, dengan cepat dia berlari menuju kamar mandi.

Tidak ada yang keluar selain cairan bening yang sangat terasa pahit, mungkin karena dari semalem Bella tidak makan, jadi tidak ada yang bisa dikeluarkan.

Tubuhnya kini terasa sangat lemas, Bella kemudian berjalan kembali ke arah kasur.

Wajah Bella kini terlihat lumayan pucat, sebelum berbaring dia mengambil minyak kayu putih, untuk meredakan rasa mual yang kini sedikit terasa lagi.

"Baik baik yah, anak Bunda." Bella mengelus perutnya, dia tau muntah tadi efek dari awal kehamilannya.

Satu jam berdiam diri saja sembari berbaring, pintu kamarnya di ketuk oleh pelayan.

"Nona, mohon maaf. Di bawah ada Nyonya Alea."

Mendengar itu, Bella dengan sekuat tenaga menjawab. "Iyah bi, tolong bilang Bunda, Bella akan segera ke bawah," teriaknya sedikit keras karna ranjangnya dengan pintu kamar lumayan jauh.

"Baik Nona."

Bella mendengar langkah kaki itu menjauh, kemudian dia memaksakan dirinya beranjak meskipun kini tubuhnya terasa sangat lemas.

Sampai dikamar mandi, Bella merasa mual kembali, kini rasa mualnya sangat hebat, tetapi lagi dan lagi hanya cairan bening saja yang keluar.

Alea yang menunggu di ruang tamu, merasa heran karena Bella yang tak kunjung turun, jadi dia memutuskan untuk melihat ke kamar sang menantu karna takut terjadi apa-apa.

Dan ternyata dugaannya benar, baru saja sampai di lantai atas, Alea mendengar suara muntah-muntah dikamar anak dan menantunya.

Dengan cepat dia membuka pintu yang untungnya tidak di kunci, Alea melihat ke arah kamar mandi yang pintunya terbuka, dia berjalan cepat ke arah sana, melihat Bella yang kini sudah terkulai lemas.

"Sayang," pekik Alea khawatir, dia melihat wajah sang menantu sangat pucat.

"Bella kamu kenapa, nak?" Alea membawa Bella yang lemas kedalam pelukan.

Bella terasa sangat nyaman berada di pelukan Alea, rasa mualnya pun sedikit reda, karena pelukan tersebut.

"Aku nggak papa, Bunda," jawab Bella dengan pelan.

"Nggak papa gimana? Kamu sampai muntah begini, kamu salah makan? Atau kamu lagi sakit? Kita kerumah sakit yah?" Alea terlihat sangat khawatir.

Bella menggeleng. "Aku beneran nggak papa Bunda. Mungkin hanya masuk angin."

"Ya sudah kita kerumah sakit yah, masuk angin kalau di biarin akan jadi parah, Sayang." Alea terlihat ingin memapah Bella agar berdiri.

Bella menggeleng kembali. "Bunda, Bella nggak mau kerumah sakit, ini hanya masuk angin biasa, jika besok belum sembuh, baru Bella akan pergi ke dokter." Bella memelas, tidak ingin sampai ke rumah sakit, karena nanti Bunda akan tahu bahwa dia hamil. Bella tidak ingin dulu mengatakan hal ini, karena belum berbicara dengan Keenan, dia ingin mengatakan hal bahagia ini berdua bersama sang suami.

"Ya sudah, sekarang kita keluar." Alea memapah Bella dengan perlahan.

Dia membaringkan Bella diranjang. "kamu tidur, ya sayang. Bunda bikinin kamu sop ayam."

"Tidak usah, Bunda. biar pelayan saja yang bikin, Bunda di sini saja."

"Nggak papa, kamu istirahat saja di sini, Bunda bikinin dulu yah." Alea dengan sayang mengecup kening Bella, kemudian dia keluar tanpa mendengar ucapan Bella lagi.

Dua jam kemudian, Bella kini terlihat sudah segar kembali, bahkan rasa mualnya sudah tidak terasa, kini menantu dan mertua itu, sedang berada di ruang tamu menonton acara televisi.

Bella melirik Alea, ketika melihat layar tv yang menampilkan seorang perempuan paruh baya yang bahagia karena melihat kelahiran cucunya.

Bella melihat mata Alea yang menatap sendu ke arah sana, dia tahu betul perasaan Alea, tapi dia sangat terharu karena di keluarga ini tidak ada yang menuntutnya apapun.

Jika biasanya Bella yang melihat ini, akan ikut merasa sedih, tetapi sekarang tidak. Rasanya dia tidak sabar untuk mengatakan bahwa dia hamil kepada Alea.

"Hari itu akan datang, dimana kehadiran mu akan membuat semua orang sangat bahagia, nak. Kau harus selalu sehat anak Bunda." Tangan Bella mengelus perutnya, sembari menatap Alea dengan rasa yang tidak sabar.

* * * *

Keenan terbangun dengan kepala yang terasa sangat pusing, tenggorokannya terasa sanga kering, dia dengan perlahan menatap ke arah samping, melihat sekertarisnya yang sedang tertidur di sofa.

Keenan berdecak kesal, dengan perlahan dia mendudukkan dirinya dengan perlahan, tangannya dengan susah menggapai air yang berada di samping naskah, langsung meminumnya sekali tegukkan.

Tenggorokannya kini sudah terasa lega, baru saja ingin memanggil Zio, pintu kamar rawat inap terbuka yang membuat Keenan terdiam, dia menatap lekat ke arah perempuan berjas putih itu.

"Kau sudah mendingan?" Amanda mendekat ke arah ranjang Keenan.

Keenan hanya dua, masih menatap ke arah Amanda. "Biar aku cek dulu." Amanda dengan telaten memeriksa kembali Keenan.

"Kau perlu dirawat karena asam lambungmu naik, dan juga kau sangat kekurangan cairan." Tangan Amanda dengan gesit menggantikan cairan infus yang sedikit lagi habis.

"Kau bekerja sebagai dokter?" tanya Keenan spontan.

Amanda terkekeh, memutarkan tubuhnya dengan pelan. "Apakah dengan jas ini, tidak menjawab pertanyaanmu."

Keenan menatap Amanda, wanita di depan nya ini, adalah cinta pertamanya. Mereka tidak saling berkomunikasi lagi karena Amanda yang menikah bersama sahabatnya.

Sebenernya bukan salah Amanda, karena memang mereka menikah ketika Amanda pun sudah putus lama darinya.

"Dimana Arka?"

Keenan lihat raut wajah Amanda terlihat terkejut karena ketika mendengar pertanyaannya.

"Kau tak tahu?" Amanda menatap Keenan dengan intens.

"Tak tahu apa?" Keenan merasa bingung.

"Dia sudah meninggal, satu tahun yang lalu." Kini Keenan yang terlihat terkejut.

"Bagaimana bisa?" tanyanya terkejut.

"Dia kecelakaan sehabis pulang dari kantor, dan meninggal kami," jawab Amanda sendu sembari menunduk.

"Kami? kau sudah punya anak?"

Amanda mengangguk," Anak kami berusia dua tahun, dia laki-laki."

"Aku turut berdukacita, Manda," sahut Keenan.

Amanda terdiam, panggilan itu. Itu adalah panggilan Keenan kepadanya ketika mereka masih pacaran, semenjak putus dia belum pernah mendengar lagi panggilan itu, tapi sekarang Keenan memanggilnya kembali.

"Kau sudah mempunyai anak?" tanya Amanda, mereka memang tidak bertemu selama empat tahun, tapi Amanda tahu jika Keenan sudah menikah.

"Entahlah," jawabnya lesu, dia kembali kepikiran Bella di rumah.

"Ada apa denganmu? Kau mempunyai masalah?"

Keenan menatap Amanda lagi, dia sedang menimbang-nimbang, apakah masalah ini harus dia ceritakan? Dan akhirnya Keenan memutuskan bercerita dan juga meminta solusi kepada Amanda.

Amanda terlihat terkejut mendengar cerita Keenan yang mengatakan bahwa Keenan ada masalah dengan kesuburannya, oleh karena itu Istrinya tak kunjung hamil, Keenan tidak menceritakan hal ini kepada Bella dan juga keluarganya karena menurutnya penyakit ini masih bisa di sembuhkan, tapi sayangnya dua tahun berobat, tidak ada hasil sama sekali, istrinya tak kunjung hamil, dan Keenan menyerah, dia juga tidak pernah membahas soal anak karena tau akar masalahnya berada di dirinya.

Tapi, setahun tidak menjalani pengobatan lagi, Bella di nyatakan hamil membuat Keenan sangat heran, pikiran buruk selalu bersarang di kepalanya, mengatakan bahwa itu bukan Anaknya.

Keenan juga menceritakan tentang dia yang mendiami Bella, karena tidak tahu harus bersikap seperti apa, dia selalu merasa sesak jika membayangkan hal yang tidak di inginkan.

Amanda mendengar cerita Keenan dengan serius, kemudian memberi saran untuk mengecek lagi keadaan Keenan agar dia tidak resah seperti ini.

"Hasilnya akan keluar sore ini," ujar pria yang masih terlihat muda, menggunakan jas putih khas dokter.

Mereka baru saja melakukan penelitian kepada sperma Keenan, Zio di tinggalkan diruang inap, karena masih tertidur.

"Aku harap hasilnya sesuai yang ku mau," harap Keenan pelan, semoga saja memang ada kemungkinan bahwa dia bisa mempunyai Anak, karena ketika dia berobat, dokter pernah berbicara hanya secuil harapan dirinya bisa sembuh.

"Terima kasih, Mark," ucap Amanda, Mark adalah salah satu temannya, mereka lumayan dekat.

"Sama-sama, kalo gitu saya permisi," pamit Mark, kemudian pergi meninggalkan Keenan dan Amanda.

"Tenanglah, hasilnya sebentar lagi keluar, sekarang kau mending istirahat." Amanda langsung menarik tangan Keenan untuk memapahnya.

Keenan dengan pasrah berjalan kembali ke arah kamar inapnya, jantungnya sedari tadi berdebar debar, entah debaran itu akan menjadi kebahagiaan, ataupun kejutan tak diinginkan untuknya.

Matahari sudah terbenam sedari tadi, tapi Mark belum juga membawa hasilnya, membuat Keenan kesal.

"Tuan, anda sedang menunggu siapa?" Zio melihat Keenan yang sepertinya menunggu seseorang. Dia memang tidak mengetahui hal Keenan lakukan.

Keenan tidak menjawab dia malah menghela napas panjang.

Bunyi pintu membuat mereka berdua langsung menatap ke arah pintu, terlihat Amanda dan Mark memasuki ruangan itu dengan membawa maps coklat ditangannya.

"Ini hasilnya." Amanda menyerahkan itu kepada Keenan.

Dengan tangan gemetar Keenan menerimanya, buliran keringat terlihat di dahinya, dia terlihat sangat gugup.

"Kau sudah melihat hasilnya?" tanya Keenan kepada Amanda.

Amanda menggeleng, "Belum."

Keenan menarik napas lagi, sedangkan Zio terlihat binggung karena tidak tahu apa-apa.

Perlahan tapi pasti, surat itu sudah dikeluarkan dari tempatnya, dengan teliti Keenan membaca perlahan setiap hurufnya.

Raut wajahnya kini menjadi sangat dingin, terlihat Keenan yang menghela nafas kasar, kemudian dengan marah dia merobek kertas itu.

"Tidak, ini tidak mungkin." Ini seperti mimpi buruk baginya, hasil mengatakan jika kesuburan Keenan benar benar 0% yang dimana dia dinyatakan mandul 100% tidak akan bisa mempunyai Anak.

"Keluar kalian semua!! Keluar!!!!" teriak Keenan marah, Amanda terlihat khawatir dia ingin menenangkan Keenan, tapi ditahan oleh Mark.

"Dia perlu waktu sendiri, kita kasih dia ruang untuk menyendiri."

Amanda mengangguk, tetapi matanya masih menatap khawatir kepada Keenan. Zio juga keluar karena tuannya terus berteriak agar mereka segera keluar.

Keenan kini hanya sendirian di sana, airmatanya seketika mengalir, dadanya terasa sesak, dia berkali-kali memukul dadanya agar rasa sesak itu hilang.

Tapi, bukanya hilang, rasa itu kian bertambah ketika membayangkan Bella yang berbagi ranjang dengan orang lain.

Keenan merasa dia adalah orang terbodoh, dia mengingat lagi, apa yang kurang darinya hingga Bella tega berkhianat kepadanya.

Bayangan tentang Bella yang mengatakan hamil dengan binar diwajahnya, membuat Keenan kini merasa jijik.

Mengambil ponsel, matanya menatap tajam ke arah foto Bella yang berada di ponselnya.

"Tunggu saja, aku akan segera membongkar sifat aslimu, JALANG!" ujarnya kemudian tersenyum misterius.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status